Rabu, 04 April 2018

Cahaya Menerangi Singgasana


Oleh : Muhammad Atim
 Andai saja Islam datang membawa misi ibadah ritual saja, tentu tidak akan membuat gerah para petinggi kabilah-kabilah Arab, bahkan kerajaan Romawi dan Persia, dua negara adidaya ketika itu.
Islam, dengan sifat kesempurnaan dan keuniversalannya, yang bersumber dari wahyu yang terjaga, hendak menyemburatkan cahaya ke seantero bumi. Menerangi kegelapan yang pekat, akibat tingkah laku tercela manusia, yang disebut dengan kejahiliyahan. 
Ia tidak hanya mengenalkan tuhan yang sebenarnya yang layak disembah dan cara beribadah kepadanya, tetapi juga memberi panduan yang lengkap dalam interaksi sesama manusia, dan terhadap alam semesta untuk memakmurkannya. Termasuk bagaimana cara menjalankan kekuasaan.
Sistem kehidupan yang Allah turunkan dalam Islam ini, semuanya bertujuan untuk kemaslahatan, baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Sehingga, jika sistem ini dijalankan, maka yang akan mendapat kasih sayang dan ketentraman di bumi ini bukan hanya orang-orang Islam saja, orang-orang kafir yang tunduk terhadap sistem ini pun akan merasakannya, bahkan hewan, tumbuhan dan seluruh yang ada di alam semesta ini. Untuk itulah Allah SWT menegaskan, "Tidaklah Kami mengutusmu, melainkan sebagai rahmat bagi alam semesta". (QS. Al-Anbiya : 107).
Ketika Rasulullah saw lahir, Allah SWT telah memberikan isyarat bahwa beliau adalah cahaya yang menerangi istana-istana kekuasaan. Artinya, Islam yang dibawanya akan menggantikan sistem kekuasaan yang ada, para sahabat dan para pelanjutnya akan menjadi para pemimpin bumi yang memberikan kemaslahatan.
Suatu ketika para sahabat bertanya,
“Wahai Rasulullah, kabarkanlah kepada kami tentang dirimu”
Beliau menjawab,
“Ya, aku adalah doa ayahku Ibrahim dan kabar gembira saudaraku Isa, ibuku saat hamil mengandungku melihat ada cahaya yang keluar darinya menerangi istana-istana Syam...[1]
Allah SWT telah menjanjikan bahwa bumi ini akan diwariskan kepada orang-orang shaleh. Janji ini pun seringkali disampaikan oleh Rasulullah saw dalam berbagai kesempatan. Suatu ketika beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah melipat bumi untukku, maka aku melihat bagian timur dan baratnya, dan sesungguhnya umatku akan sampai kekuasaannya kepada apa yang dilipatkan kepadaku dari bumi tersebut. Aku diberi pembendaharaan harta yang merah (Romawi) dan putih (Persia)... (HR. Muslim).
Saat di Mekah, beliau telah menyampaikan kepada orang-orang kafir, “Bagaimana menurut kalian, jika kalian mengucapkan satu kata saja, niscaya kalian akan menguasai bangsa Arab dan non-Arab? Yaitu “Laa ilaaha illallah”.
Karena seringnya janji tersebut terdengar oleh orang-orang kafir, mereka pun mengejek para sahabat yang sedang berjalan di dekat mereka. Mereka menyindir, “Raja-raja dunia sedang menghampiri kalian. Mereka akan mengalahkan raja-raja Kisra dan Kaisar” sembari bersiual dan bertepuk tangan. Mereka tidak sadar, apa yang mereka lecehkan suatu saat nanti menjadi kenyataan.
Benarlah, apa yang dijanjikan oleh Allah itu menjadi kenyataan. Allah tidak pernah mengingkari janji-Nya. Kekuasaan di bumi ini selanjutnya ada di tangan orang-orang yang beriman dan beramal shaleh. Namun, untuk meraih janji Allah itu, tentu tidak dengan berleha-leha, tetapi melalui perjuangan yang sangat berat. Itulah yang telah dilakukan oleh Rasulullah saw dan para sahabatnya. Tidak ada yang menandingi kesungguhan dan beratnya perjuangan yang mereka lakukan. Sehingga, kemenangan dari Allah itu layak diberikan kepada mereka.
Seringkali mereka menghadapi kondisi sulit dan terjepit, namun mereka tidak pernah berputus asa dan bersikap pesimis. Mereka selalu optimis dan selalu yakin akan janji Allah. Misalnya dalam perang Ahzab, saat orang-orang muslim dikepung oleh persekongkolan orang-orang kafir di jazirah Arab yang terdiri dari musyrikin Quraisy, Ghatafan dan orang-orang Yahudi. Jumlah mereka cukup banyak, sepuluh ribu orang. Sementara kaum muslimin hanya sekitar seribu orang. Rasulullah saw memberi keyakinan kepada para sahabat, jangankan musuh yang ada di hadapan kita, Romawi dan Perisa, dua kerajaan besar saat itu pun akan ditaklukkan. Yaitu ketika ditemukan batu yang keras yang tidak bisa dipecahkan oleh para sahabat. Mereka melaporkannya kepada Rasulullah saw. Lalu beliau memecahkannya. Di pukulan pertama beliau mengatakan, “Allahu Akbar! Aku telah diberi kunci-kunci Syam. Demi Allah! Sesungguhnya aku melihat istana-istananya yang berwarna merah sekarang.” Di pukulan kedua beliau bersabda, “Allahu Akbar! Aku telah diberi Persia. Demi Allah! Sesungguhnya aku melihat istana Madain yang putih sekarang.” Dan di pukulan ketiga beliau bersabda, “Allahu Akbar! Aku telah diberi kunci-kunci Yaman. Demi Allah! Aku melihat pintu-pintu Shan’a dari tempatku.”[2]   
Kemenangan demi kemenangan diraih oleh kaum muslimin. Meskipun masa kejayaan Islam itu tidak disaksikan langsung oleh Rasulullah saw, karena beliau lebih memilih untuk kembali kepada Rabbnya. Di tahun 8 H terjadi Fathu Makkah, sebuah penaklukkan besar tanpa ada penumpahan darah. Jazirah Arab pun berbondong-bondong masuk ke dalam Islam. Sementara Romawi dan Persia, keruntuhannya diawali dengan kabar peperangan besar di antara mereka. Romawi dikalahkan oleh Persia, lalu disusul dengan kemenangan Romawi atas Persia. Ini adalah sebuah isyarat, bahwa babak berikutnya Islam akan mengalahkan Romawi dan Persia. Sebagaimana disebutkan di dalam surat Ar-Ruum, “Alif lam mim. Romawi telah dikalahkan. Di negeri Romawi yang terdekat (ke tempat Rasul, yaitu di negeri Syam), dan mereka setelah kekalahannya itu akan menang. Dalam beberapa tahun lagi (sekitar tiga sampai sembilan tahun). Bagi Allahlah urusan sebelum dan sesudah (mereka menang). Dan pada hari (kemenangan bangsa Romawi) itu bergembiralah orang-orang yang beriman. Karena pertolongan Allah. Dia menolong siapa yang Dia kehendaki. Dia Maha Perkasa, Maha Penyayang. (Itulah) janji Allah. Allah tidak akan menyalahi janji-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. Mereka mengetahui yang tampak dari kehidupan dunia, sedangkan terhadap akhirat mereka lalai.” (QS. Ar-Rum: 1-7).
Ayat tersebut turun ketika kaum muslimin masih di Makkah, sekitar setahun sebelum hijrah ke Madinah. Yaitu ketika orang-orang kafir Quraisy bergembira dengan kemenangan Persia atas Romawi. Melalui ayat ini, para sahabat menyampaikan bahwa Romawi kelak akan mengalahkan Persia. Orang-orang kafir tidak percaya. Abu Bakar Ash-Shiddiq, yang sangat kuat sikap membenarkannya terhadap wahyu, menantang taruhan kepada mereka. Maka Ubay bin Khalaf menyanggupinya. Mereka menyepakati dalam waktu enam tahun dengan taruhan sepuluh ekor unta. Namun Rasulullah saw menegur Abu Bakar, bukankah kata “Al-Bidh’u” itu antara tiga sampai sembilan tahun? Beliau menyuruhnya untuk menambah waktu dan taruhannya. Abu Bakar pun menambah waktu taruhannya hingga sembilan tahun dengan seratus ekor unta. Tentu taruhan ini dilakukan sebelum turun ayat larangan taruhan.
 Setelah tujuh tahun berlalu, ternyata benar, Romawi dapat mengalahkan Persia. Abu Bakar pun memenangkan taruhan. Tetapi Ubay bin Khalaf telah terbunuh dalam perang Uhud, dan taruhan tetap dilanjutkan oleh keluarganya. Namun saat itu taruhan telah diharamkan, maka Rasulullah saw menyuruh untuk menyedekahkan seratus unta tersebut. Kisah kemenangan Romawi tersebut diceritakan di dalam kitab-kitab tafsir.
Heraklius, Kaisar Romawi, dalam pengurungannya di Konstantinopel, tidak berdiam diri seraya pasrah, tetapi ia merancang strategi bagaimana dapat mengalahkan Persia serta mengambil kembali salib agungnya yang dicuri oleh mereka. Ia membuat suatu tipu daya. Ia meminta kepada Sabur, Kisra Persia untuk meninggalkan negerinya dengan ganti harta berapapun yang ia minta sebagai sebuah perdamaian. Sabur menerima permintaannya. Ia mensyaratkan harta yang sangat banyak berupa emas, permata, kain-kain, wanita-wanita, pembantu-pembantu, dan sebagainya, yang sesungguhnya tidak akan pernah mampu dipenuhi oleh raja manapun di dunia. Namun, sebagai sebuah tipu daya, Heraklius menyanggupinya dan mengatakan bahwa ia memiliki apa yang dimintanya. Walaupun sebenarnya, seluruh yang ia miliki tak akan dapat memenuhi sepersepuluhnya saja dari yang diminta. Ia memohon kepada Kisra agar membolehkannya mendatangi negeri Syam dan negeri-negeri kekuasaannya untuk mengumpulkan harta yang ia minta. Sang Kisra pun mengizinkannya.
Hal ini dimanfaatkan oleh Heraklius untuk mengumpulkan rakyatnya dan mempersiapkan pasukannya. Ia bertekad untuk mematahkan kekuatan Persia. Ia berkata kepada rakyatnya, “Sungguh, aku akan keluar dengan suatu urusan yang telah aku tetapkan dan dengan suatu pasukan yang telah aku tentukan. Jika aku kembali sebelum setahun, maka aku adalah raja kalian, namun jika aku tidak kembali setelah itu, urusannya terserah kalian, kalian boleh keluar dari baiat kepadaku dan beralih kepada penguasa lain.”
Rakyatnya yang setia menjawab, “Sungguh, engkau adalah raja kami selama engkau masih hidup, walaupun engkau tidak ada selama sepuluh tahun.”
Ketika Heraklius telah keluar dari Konstatinopel bersama pasukannya, dari pasukan tengahnya disampaikan kabar bahwa Kisra dan pasukannya telah berkemah di dekat Konstantinopel, untuk menunggunya kembali. Heraklius segera mempercepat langkahnya hingga sampai di negeri Persia. Di sanalah ia berkesempatan membunuh orang-orang Persia satu demi satu hingga sampai di Madain, singgasana kerajaan Kisra. Ia berhasil membunuh orang-orang di sana, mengambil seluruh hartanya dan menawan wanita-wanitanya bahkan permaisurinya. Heraklius mencukur gundul anak raja Persia lalu menaikannya ke atas keledai dalam keadaan sangat terhina. Ia mengirimkannya kepada Kisra sembari membawa beberapa gelang Persia dengan sebuah pesan, “Ini yang kamu minta, ambillah!”
Ketika pesan itu sampai kepada Kisra, ia sangat sedih dan marah besar. Ia bersikeras dengan segala cara untuk menguasai Konstatinopel namun tak mampu. Akhirnya tak ada pilihan lain selain menuju ke arungan sungai Jaihun (kini sungai Amu Darya) untuk mencegat pasukan Kaisar, karena tak ada jalan lain bagi Kaisar Heraklius untuk kembali ke Konstantinopel kecuali melawati arungan sungai itu. Namun lagi-lagi Heraklius melancarkan strategi jitunya. Ia menempatkan pasukannya dan segala yang diperoleh dari rampasan perang di mulut sungai. Sedangkan ia berangkat bersama sebagian pasukan dan memerintahkan mereka untuk membawa kotoran hewan dan jerami. Ia membawa pasukannya itu melalui jalan atas yang mendaki hingga sampai di tempat yang jaraknya hampir perjalanan satu hari dari sungai. Sesampainya di atas, ia memerintahkan untuk membuang bawaannya itu ke arah sungai. Sehingga ketika hanyut melewati Kisra, ia dan pasukannya akan mengira bahwa Kaisar dan pasukannya telah lewat melalui jalan itu. Maka mereka segera berangkat mencari dan meninggalkan arungan sungai itu sehingga menjadi kosong. Kaisar segera kembali menemui pasukannya dan berhasil lolos melewati sungai hingga sampai di Konstantinopel. Ini menjadi hari besar bagi kaum kristen. Sedangkan Kisra dan pasukannya dalam keadaan bingung, tak tahu apa yang mesti dilakukan. Negeri-negeri Kaisar tak berhasil mereka capai, sedangkan negeri-negeri sendiri telah diporakporandakan.[3]
Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa orang-orang beriman bergembira di hari kemenangan tersebut. Namun sejatinya, mereka tidak hanya bergembira atas kemenangan Romawi atas Persia, tetapi yang lebih utama adalah mereka bergembira karena kemenangan bagi mereka telah dekat. Peristiwa itu terjadi tepatnya di hari Hudaibiyah[4] tahun 6 H. Karena tak lama lagi mereka akan mendapat kemenangan dalam Fathu Makkah, dan dalam masa selanjutnya mereka akan dapat menguasai Romawi dan Persia.
Di awal bulan Muharram tahun 7 H, tak berapa lama setelah Kaisar Romawi mengalahkan Persia dan menunaikan nazarnya yaitu berjalan kaki dari Homs ke Aila (Yerussalem/Baitul Maqdis, Palestina), Rasulullah saw mengirimkan surat melalui beberapa utusannya, yaitu kepada Najasyi raja Habasyah, Muqauqis raja Mesir, Kisra raja Persia, Kaisar raja Romawi, Al-Mundzir bin Sawa pemimpin Bahrain, Haudzah bin Ali Al-Hanafi pemimpin Yamamah, Al-Harits bin Abu Syamr Al-Ghassani pemimpin Damaskus dan kepada raja Oman. Di antara mereka ada yang masuk Islam seperti Najasyi yang bernama Ashamah dan raja Oman yang bernama Jaifar dan saudaranya yang bernama Abd, ada yang menolak dengan halus seperti Muqauqis Mesir, Kaisar Romawi, Al-Mundzir bin Sawa (sebagian rakyatnya masuk Islam), dan ada yang menolak dengan keras seperti Kisra Persia, pemimpin Yamamah dan pemimpin Damaskus.
Satu persatu raja-raja tersebut dapat ditaklukkan oleh kaum muslimin. Bahkan saat Rasulullah saw masih hidup, beliau menyaksikan kekalahan Persia dan Romawi. Raja Persia yang merobek-robek surat Rasulullah saw itu, tak lama kekuasaannya pun dirobek-robek oleh kalangan mereka sendiri atas doa Rasulullah saw. Begitupun Romawi, telah nampak kekalahan mereka dalam perang Mu’tah tahun 8 H dan perang Tabuk tahun 9 H. Puncaknya adalah pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab ra. Romawi dikalahkan dalam perang Yarmuk, dan Persia dikalahkan dalam perang Qadisiyyah. 
Episode kekuasaan Persia dan Romawi telah berakhir, tibalah episode berikutnya yaitu episode kekhalifahan Islam. Alam yang telah diliputi dengan kegelapan jahiliyah, dengan berbagai sistem yang penuh dengan kezaliman dan kerusakan, telah berganti dengan sistem Islam yang penuh dengan kasih sayang dan keadilan. Sebuah fakta sejarah dari kepemimpinan Islam yang dibanggakan oleh dunia, yang tak bisa lagi terbantahkan. Seharusnya episode ini menjadi kebanggaan umat Islam hari ini untuk berusaha mengulang kembali kebesarannya. Telah berabad-abad lamanya kekhalifahan Islam tegak, dari sejak Rasulullah saw mendirikan negara Islam di Madinah, hingga kemudian umat Islam tidak lagi memiliki kekhalifahan, tepatnya ketika diruntuhkan Kekhalifahan Turki Utsmani tahun 1924 M. Bumi kembali dipenuhi kegelapan jahiliyah, akankah kita mampu membuat cahaya Islam kembali menerangi singgasana-singgasana kekuasaan saat ini bahkan jagat raya? Sebuah janji Allah yang pasti terjadi di kemudian hari, yang mesti kita songsong dengan penuh semangat perjuangan.

Belajar dari kisah orang-orang besar dalam Islam - #01


[1] HR. Ahmad, Siroh Nabawiyyah Ibnu Hisyam, hal.79
[2] Lihat Ar-Rahiqul Makhtum, hal. 261-262
[3] Kisah ini diceritakan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya, lihat Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 6, hal.302-303
[4] Ada yang mengatakan hari kemenangan Romawi atas Persia bertepatan dengan hari perang Badar dengan alasan itu adalah hari kemenagan bagi muslimin. Namun, rasa syukur Heraklius yang ia ekspresikan setelah kemenangan dengan nadzar berjalan kaki dari Homs ke Aila (Yerussalem), dan tak lama kemudian ia mendapat surat dari Rasulullah saw yang dikirim selepas peristiwa Hudaibiyyah, hal itu menunjukkan lebih tepat jika bertepatan dengan hari Hudaibiyah, selain Hudaibiyyah pun merupakan kemenangan yang lebih besar daripada Badar. Lihat At-Tahrir wat-Tanwir, Jilid 21, hal.45, Tafsir Ibnu katsir, Jilid 6, hal.304. Wallahu A’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar