Muhammad Atim
Definisi
Siroh berasal dari kata,
سَارَ يَسِيْرُ
سِيْرَةً جَمْعُهَا السِّيَرُ وهي الطَّرِيْقَة
Saro-yasiru-siroh bentuk jama’nya adalah as-siyar. Maknanya adalah ath-thariqah, perjalanan.
Nabawiyyah merupakan nisbat kepada
Nabi, maksudnya nabi Muhammad ﷺ.
Siroh Nabawiyyah berarti perjalanan
hidup Rasulullah Muhammad ﷺ.
Maka ilmu Siroh Nabawiyyah dapat
didefinisikan,
العِلْمُ الَّذِي
يُبْحَثُ فِيْهِ عَنْ أَحْوَالِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم، وَمَراحِلِ حَيَاتِهِ
وَدَعْوَتِهِ
“Ilmu yang membahas keadaan-keadaan
Rasulullah ﷺ, fase-fase kehidupannya dan da’wahnya.”
Objek ilmu (maudhu)
Objek yang dibahas dalam ilmu ini
adalah semua yang berkaitan dengan perjalanan hidup Rasulullah ﷺ dari lahir hingga wafatnya. Sering
disertakan pula tentang kehidupan keluarganya, para sahabatnya yang berkaitan
erat dengan kehidupan beliau, serta nasab-nasab dan kakek-kakek beliau, serta
para nabi yang diutus sebelum beliau, karena kenabian beliau adalah penutup
dari rangkaian kenabian sebelumnya.
Buah (manfaat)
Manfaat yang sangat besar dari Ilmu
Siroh Nabawiyyah dapat dipetakan seperti berikut ini,
1. Akar dari pendidikan Islam yang memberi sentuhan
keteladanan pada jiwa manusia
2. Cermin perjuangan seorang muslim, tentang tujuan, cara yang
ditempuh, menghayati ujian-ujian yang dihadapi sehingga menjadi pelipur lara
dan penguat kesabaran
3. Memahami konteks diturunkannya Al-Qur’an
4. Seluruh kehidupan beliau adalah pengamalan dan penjabaran
dari Al-Qur’an
5. Model yang sempurna bagi penerapan seluruh sistem Islam
Penisbatan kepada ilmu lain (nisbat)
Ilmu Siroh Nabawiyyah ditinjau dari
hubungannya dengan ilmu-ilmu syar’i yang lain adalah umum-khusus dari segi
tertentu (al-umum wal-khusus al-wajhi). Artinya, yang dibahas di dalam
siroh nabawiyyah juga ada di dalam ilmu lain seperti tafsir, hadits, ilmu
tarikh (sejarah), ilmu rijal (tentang para perowi), dan yang lainnya. Tetapi
juga ada bagian-bagian tertentu yang menjadi kekhususan ilmu Siroh Nabawiyyah.
Keutamaan
Dengan mengetahui manfaat yang besar
dari ilmu ini, maka kita dapat mengetahui kedudukan dan keutamaannya. Ilmu ini
mesti diajarkan sejak kecil kepada anak-anak, agar pertumbuhan mereka dapat
dikawal dengan keteladan kehidupan beliau, rasa kekaguman dan cinta kepada
beliau yang terus dipupuk. Jika ilmu ini tidak diajarkan, tentu saja umat Islam
kehilangan akar dari pendidikannya, kehilangan keteladan. Ucapan syahadat dan
kecintaan kepada beliau, hanya menjadi buah bibir belaka, tidak menjelma pada
kenyataannya.
Peletak
Ilmu Siroh Nabawiyyah sepeti halnya
ilmu-ilmu sejarah lainnya tidak bisa ditentukan siapa peletak awalnya, tetapi
dapat dikatakan sebagai orang yang menyusun karya pertama kali. Orang yang
menyusun karya pertama kali dalam ilmu siroh nabawiyyah dengan cara menuliskan
dan mengumpulkan kisah-kisah dan berita-berita adalah Urwah bin Zubair bin
Awwam radhiyallahu ‘anhuma. Ayahnya adalah hawari (pengikut setia)
Rasulullah ﷺ, Zubair bin
Awwam, salah satu dari sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga. Ibunya Asma
binti Abi Bakar Ash-Shiddiq. Bibi ayahnya adalah Khadijah binti Khuwailid,
istri Nabi ﷺ. Bibinya
adalah Aisyah, istri Nabi ﷺ. Radhiyallahu ‘anhum jami’an. Ia merupakan kalangan
senior tabi’in, dikenal sebagai salah satu ahli fiqih yang tujuh.
Urwah lahir di awal-awal kekhilafahan
Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu. Ia memfokuskan diri pada ilmu,
menjadi pewaris keilmuan terbanyak dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, di
saat saudara-saudaranya sibuk dengan urusan politik seperti Abdullah bin Zubair
dan Mush’ab bin Zubair. Ia banyak meriwayatkan kisah-kisah dan berita-berita
tentang siroh nabawiyyah dari Aisyah dan para sahabat senior lainnya, dan juga
dari kalangan tabi’in lainnya. Maka kita dapat menemukan banyak periwayatan
siroh seperti yang terdapat di dalam dua kitab hadits shahih (shahih Bukhari
dan Muslim) dan yang lainnya, melalui jalurnya.
Nama
Ilmu ini dinamakan dengan ilmu
Siroh Nabawiyyah, atau disebut juga ilmu Siyar.
Sumber pengambilan ilmu (istimdad)
Sumber pengambilan ilmu ini adalah
Al-Qur’an, Sunnah, dan kisah-kisah orang-orang terdahulu (salaf), juga tak
dapat dipungkiri ada yang diambil dari kisah-kisah Bani Israi seperti berkaitan
dengan nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad ﷺ, berita-berita sebelum kelahiran
beliau, dan nasab-nasab.
Hukum syar’i
Hal-hal yang dapat menjadi ukuran
seorang muslim dapat mengenal Rasulullah saw dan dapat membedakannya dari yang
lain hukumnya adalah fardu ‘ain, sedangkan yang lebih dari itu masuk dalam
kategori fardu kifayah.
Pembahasan (masail)
Permasalahan-permasalahan yang
dibahas di dalam ilmu ini adalah tentang kelahiran Rasulullah ﷺ, nasab-nasabnya, pendidikannya,
pertumbuhannya, pengutusannya menjadi rasul, turunnya wahyu, da’wahnya, hijrahnya,
peperangan-peperangannya baik yang dipimpin langsung oleh beliau (ghazwah)
maupun dengan mengirimkan suatu pasukan beserta pemimpinnya (sariyah)
dan pendiriannya terhadap negara Islam. Termasuk sifat-sifatnya baik secara
fisik maupun akhlaq. Juga disertakan sejarah kehidupan keluarganya dan para
sahabatnya yang bersentuhan langsung dengan beliau, sejarah bangsa Arab yang
merupakan asal nasab beliau, dan juga kisah nabi-nabi sebelumnya bahkan sejak
awal penciptaan makhluk, agar dapat diketahui rangkaian diutusnya para nabi dan
dipilihnya beliau sebagai nabi terakhir, penyempurna dari para nabi, bahkan
menjadi pemimpin mereka dan yang paling istimewa.
Jika dilihat dari karya yang
ditulis oleh para ulama dalam bidang ilmu siroh nabawiyyah ini, diantara mereka
ada yang membahasnya secara kronologis sejak lahir beliau hingga wafat. Ini
bisa disebut dengan ilmu Siroh Nabawiyyah kronologis. Ada juga yang memisahkan
secara khusus membahas peperangan-peperangan beliau saja yang disebut dengan Maghazi.
Ada juga yang secara khusus membahas nasab-nasab beliau, yang artinya juga
membahas nasab Quraisy dan bangsa Arab, sehingga menjadi ilmu yang terpisah
secara sendiri yang disebut dengan ilmu Nasab. Ada yang membahas secara khusus
sisi sifat-sifat beliau baik yang berkaitan dengan fisik maupun akhlaq
(karakter) yang disebut dengan Syamail Muhammadiyyah. Dan ada yang
membahas dengan memfokuskan mengambil hikmah dan pelajaran di setiap perjalanan
Rasulullah ﷺ, menganalisis
peristiwa-peristiwanya, menyimpulkan kaidah-kaidah dan hukum-hukum yang
dipahami darinya. Ini yang disebut dengan ilmu Fiqih Siroh.
Sejarah Perkembangan Ilmu Siroh Nabawiyyah
Sebagaimana telah disebutkan bahwa
orang yang pertama menulis karya dalam ilmu Siroh Nabawiyyah adalah Urwah bin
Zubair rahimahullah. Kemudian datang setelahnya para muridnya. Orang
yang paling terkenal meriwayatkan dari mereka adalah Muhammad bin Ishaq.
Kepakaran Muhammad bin Ishaq dalam ilmu Siroh
Tak dapat dipungkiri, Muhammad bin
Ishaq adalah punggawa di dalam ilmu siroh ini. Meskipun ada pandangan yang
kurang baik dari imam Malik berkenaan dengannya, tetapi ia termasuk rowi sesuai
syarat imam Bukhari, dan imam Bukhari meriwayatkan darinya di dalam kitab
shahihnya. Namun tidak termasuk syarat imam Muslim, sehingga ia tidak
meriwayatkan darinya satupun di dalam shahihnya. Memang terjadi, seseorang itu
masuk kategori syarat imam Bukhari tetapi tidak masuk pada kategori syarat imam
Muslim, dan sebaliknya. Misalnya Suhail bin Abi Shalih As-Siman dan Hamad bin
Salamah termasuk kategori syarat imam Muslim, tetapi tidak termasuk syarat imam
Bukhari sehingga ia tidak meriwayatkan dari mereka. Sebaliknya, Muhammad bin
Ishaq, Ubaidullah bin Musa dan Imron bin Hithan, mereka sesuai dengan syarat
imam Bukhari, tetapi tidak sesuai syarat imam Muslim. Disebutkan, alasan
pandangan kurang baik imam Malik terhadap Ibnu Ishaq adalah karena ia
meriwayatkan dari Fatimah binti Mundzir bin Zubair bin Awwam, dia adalah istri
dari Hisyam bin Urwah bin Zubair, namun Hisyam mengingkari periwayatannya. Ia
berkata, “Dari mana ia dapat meriwayatkan darinya padahal ia tidak
melihatnya dan tidak mendengar darinya?” Sedangkan Hisyam sendiri
meriwayatkan dari istrinya seluruh hadits-haditsnya, tetapi Ibnu Ishaq tidak
meriwayatkan hadits-haditsnya tersebut. Imam Malik adalah murid dari Hisyam bin
Urwah dan ia banyak meriwayatkan banyak hadits darinya dalam kitabnya
Al-Muwatha. Ketika Hisyam menganggap Ibnu Ishaq berdusta dan dituduh berdusta,
maka imam Malik pun menuduhnya seperti itu. Tetapi pada kenyataannya, bahwa
mereka berdua (Hisyam dan Ibnu Ishaq) berada pada satu zaman, dan orang-orang
yang berada pada satu zaman itu bisa jadi sebagian mereka tidak mendengar
periwayatan dari sebagian yang lainnya. Yang jelas memang Ibnu Ishaq ini
diperselisihkan, namun bisa dikatakan, bahwa beliau bisa diterima
periwayatannya dalam masalah sejarah dan siroh, dan tidak diterima dalam
masalah hukum. Wallahu A’lam.
Faktanya, Ibnu Ishaq memang menjadi
rujukan para ulama dalam masalah siroh. Baik para ulama fiqih maupun ulama
sejarah setelahnya, selalu merujuk kepada karyanya. Beliau dikenal sebagai
ulama hafizh senior, khususnya dalam bidang ilmu siroh ini. Beliau menyusun
kitab Al-Muntaqa fis Siyar. Namun karyanya ini tidak sampai kepada kita.
Dalam kitabnya ini, beliau mengumpulkan berbagai kisah dan berita tentang
siroh, dan memang beliau tidak terlalu konsen pada masalah sanad dan
validitasnya. Oleh karena itu kitab tersebut perlu di-tahdzib.
Ibnu Hisyam pentahdzib kitab Ibnu Ishaq
Maka datanglah Ibnu Hisyam Al-Lahmi
Al-Andalusi menyusun kitab Tahdzib Siroh Ibnu Ishaq, yang dikenal dengan
Siroh Ibnu Hisyam. Ibnu Hisyam membuang banyak kisah yang dikemukakan
oleh Ibnu Ishaq, dan yang ia pandang diriwayatkan dari Ahli Kitab, seperti yang
diriwayatkan dari jalur Muhammad bin Ka’ab Al-Qurazhi, atau yang diriwayatkan
dari murid-murid Ka’ab Al-Ahbar, dan selain dari keduanya dari orang-orang
Yahudi yang masuk Islam di Madinah. Karena Rasulullah ﷺ pada saat perang Bani Quraizhah
menawan perempuan-perempuan dan keturunan mereka, mereka masuk Islam dan
menetap di Madinah. Ibnu Ishaq bertemu dengan jumlah yang banyak dari mereka. Diantaranya
adalah kisah yang berkaitan dengan permulaan penciptaan makhluq dan kisah-kisah
para nabi sebelum nabi Muhammad ﷺ.
Al-Waqidi dan ulama lainnya
Setelah Ibnu Ishaq, datanglah
Al-Waqidi. Imam Malik pernah ikut di majelisnya dan mendengarkan hadits darinya
tanpa menyanggahnya. Tetapi imam Malik tidak meriwayatkan darinya. Karena
Al-Waqidi dinilai matruk oleh para ahli hadits. Tetapi, dia adalah
seorang ulama besar dalam bidang ilmu tafsir, hadits, siroh, tarikh dan
lainnya. Cukuplah ketinggian derajatnya diketahui dari seorang penulisnya dan
muridnya, ia adalah Muhammad bin Sa’ad penyusun kitab Ath-Thabaqat Al-Kubra,
dan ia merupakan imam dan syaikh dari para penyusun kutub sittah (kitab-kitab
hadits yang enam). Al-Waqidi menulis banyak kitab siroh diantaranya adalah
kitab As-Siyar Al-Kabir dan As-Siyar Ash-Shagir, tetapi kedua
kitab tersebut tidak sampai kepada kita. Juga beliau menyusun kitab Futuh
Asy-Syam, kitab ini diterbitkan dengan berbagai terbitan, dan
kitab-kitabnya yang lain.
Selain Al-Waqidi, terkenal juga
orang yang sibuk dengan ilmu siroh
adalah Musa bin Uqbah, dan ia merupakan ulama di dalam bidang ilmu ini. Secara
umum, di zaman tabi’in ulama-ulama yang terkenal ahli di dalam ilmu siroh
adalah Mu’tamar bin Sulaiman dan ayahnya sebelumnya, Sulaiman bin Bilal, Abu
Suhail Nafi bin Malik bin Abi Amir, paman imam Malik bin Anas rahimahumullah.
Ilmu Siroh masuk ke dalam ilmu hadits
Setelah itu, ilmu siroh ini mulai
masuk ke dalam kitab-kitab hadits, seperti imam Bukhari memuat di dalam kitab
shahihnya tentang kitab permulaan penciptaan, cerita para nabi, dimintai
bertaubat orang-orang yang murtad, maghazi (peperangan), manaqib dan fadhail.
Begitu pula di dalam kitab tafsir, imam Bukhari banyak mengemukakan siroh yang
berkaitan dengan tafsir Al-Qur’an.
Ilmu Siroh masuk ke dalam ilmu Rijal
Ilmu siroh juga masuk ke dalam ilmu
rijal (para perowi hadits). Diantaranya kitab Ath-Thabaqat Al-Kubra karya
Muhammad bin Sa’ad yang terhitung sebagai kitab ilmu rijal, pada juz 1 dan 2
memuat siroh nabawiyyah, dan di bab 3 memuat para sahabat ahli Badar dan
menyebutkan banyak perkara siroh di dalamnya. Dan begitulah kitab-kitab yang
disusun dalam ilmu biografi para perowi, memberi perhatian khusus pada siroh
nabawiyyah.
Metode penggabungan kisah-kisah siroh secara berurutan
Setelah itu, mulailah ilmu sejarah
Islam ini disusun dengan metode yang berbeda dari metode para ahli hadits,
yaitu menggabungkan kisah-kisah tanpa menyebutkan langsung sanad-sanadnya. Baik
kisah-kisah tersebut disusun secara berurutan berdasarkan tahun dengan
peristiwa-peristiwa yang terjadi di setiap tahunnya, maupun berdasarkan
biografi orang perorang.
Punggawa dalam metode ini adalah imam Ibnu
Jarir Ath-Thabari. Ia menyusun kitabnya yang besar yang dikenal dengan Tarikh
Ath-Thabari. Namun di dalam kitab ini banyak kisah yang diriwayatkan dari para
perowi yang matruk dan lemah. Dan ternyata ini menjadi kebiasaan penulisan
kitab tarikh setelahnya. Yaitu imam Adz-Dzahabi dalam kitab beliau At-Tarikh
Al-Islami yang diawali dengan siroh nabawiyyah dan siroh khulafaur
rasyidin, serta kitab beliau Kitab ‘Ibar dan yang lainnya. Begitu pula imam
Ibnu Katsir dalam karya beliau secara khusus tentang siroh nabawiyyah –ini yang
diringkas dan dipilih oleh Muhammad bin Abdul Wahab dalam kitabnya Mukhtashar
Siroh-, dan secara umum kitab tarikh yang sangat besar yang dinamakan Al-Bidayah
wan Nihayah. Dan Ibnu Atsir dalam kitab beliau Al-Kamil fit Tarikh.
Untuk itu Ahmad Al-Badawi rahimahullah
menyebutkan,
وَلْيَعْلَمِ
النَّاظِرُ أَنَّ السِّيْرَةَ تَضُمُّ مَا صَحَّ وَمَا قَدْ ذُكِرَ، فَيَصْعُبُ فِيْهَا
التَّمْيِيْزُ بَيْنَ الْخَبِيْثِ وَالطَّيِّبِ
“Hendaklah orang yang mengamati
mengetahui bahwa dalam ilmu siroh itu tergabung antara yang shahih dan yang
telah disebutkan (yang lemah). Hingga sulit padanya membedakan antara yang
buruk dan yang baik.”
Begitu pula Al-‘Iraqi dalam karya
nazhamnya tentang siroh nabawiyyah menyebutkan yang semisalnya,
وَلْيَعْلَمِ
الطَّالِبُ أَنَّ السِّيَرَا تَجْمَعُ
مَا صَحَّ وَمَا قَدْ أُنْكِرَا
“Hendaklah seorang pelajar
mengetahui bahwa siroh itu
Mengumpulkan yang shahih dan yang
sungguh telah diingkari”
Kemudian datanglah Syamsuddin Abul
Fath Muhammad bin Sayyidin Nas Al-Ya’muri yang dikenal dengan Ibnu Sayyidin
Nas, ia menyusun kitab ‘Uyunul Atsar fi funun al-maghazi wasy syamail was
siyar. Inilah kitab yang paling baik dalam metode ini, paling teliti dalam
penuturan dan paling baik dalam penyusunan. Para ulama setelahnya banyak yang
memberi perhatian terhadapnya. Kitab inilah yang dijadikan pegangan oleh
Al-Qasthalani dalam kitabnya “Al-Mawahib Al-Ladunniyyah fis Siroh
An-Nabawiyyah”. Kitab Al-Qasthalani ini disyarah oleh Muhammad bin Abdul
Baqi Az-Zurqani dalam kitabnya Syarh Al-Mawahib Al-Ladunniyyah, kitab
ini adalah diantara kitab paling luas di dalam ilmu siroh. Begitu pula Muhammad
bin Yusuf Ash-Shalihi Asy-Syami dalam kitabnya Subulul Huda war Rasyad fi
Siroti khairil ‘Ibad banyak berpegang kepada kitab ‘Uyunul Atsar. Kitab
ini yang terluas setelah Syarh Al-Mawahib Al-Ladunniyyah, hanya saja
kelebihannya ia berusaha untuk membedakan riwayat yang shahih di setiap babnya,
dan ini merupakan perkembangan secara umum dalam ilmu siroh ini.
Banyaknya kitab-kitab siroh yang
ditulis oleh para ulama, meskipun mereka adalah hafizh dan ahli periwayatan,
kita akan menemukan kisah yang mereka ceritakan itu, mereka pasti berpegang
kepada riwayat Ibnu Ishaq dan Al-Waqidi. Misalnya Ad-Dimyathi dalam kitab sirohnya,
Ibnu Abdil Bar dalam kitabnya Al-Mukhtashar fis Siroh An-Nabawiyyah, Ibnu
Qudamah dalam kitab-kitab beliau yang memuat siroh, begitu pula Al-Kila’i
Al-Andalusi dalam kitabnya yang besar tentang siroh, dan yang lainnya.
Selain itu, ada juga kitab yang
memiliki keistimewaan tersendiri, yaitu kitab Asy-Syifa bit ta’rif bihuquqil
Mushthafa yang ditulis oleh Qadhi ‘Iyadh. Kitab ini memiliki keistimewaan
menuliskan bab-bab yang belum ditulis di dalam kitab-kitab sebelumnya, yaitu
tentang kecintaan kepada Nabi ﷺ, kema’shuman para nabi secara umum, penghormatan salaf terhadap
rasul dan ahli baitnya, banyak ilmu-ilmu lain yang beliau kemukakan. Meskipun dalam
kitabnya ini ada sebagian riwayat yang lemah dan kisah yang tidak ada sanadnya,
namun kitab ini terima oleh para ulama secara luas di berbagai pelosok bumi. Para
ahli hadits meriwayatkan kitab ini sebagaimana mereka meriwayatkan kitab-kitab
lain. Para ulama di setiap zaman membacakan kitab ini kepada murid-muridnya di
setiap bulan Rabi’ul Awwal.
Karya Manzhumah (berbentuk sya’ir) dalam ilmu Siroh
Karya manzhumah dalam ilmu siroh
yang terkenal adalah yang ditulis oleh Al-Hafizh Al-‘Iroqi yang disebut dengan Alfiyatus
Siroh. Begitu pula nazham yang ditulis oleh Ahmad Badawi Al-Umawi
Asy-Syanqithi tentang peperangan yang disebut dengan nazhmul ghazawat. Banyak
syarah terhadap nazham ini diantaranya Inarotud Duja karya Hasan Masyat
Al-Maliki, Raudhun Nuha karya Hamad bin Amir Al-Umawi Al-Majlisi begitu
pula yang ditulis oleh Abdul Qadir bin Muhammad bin Muhammad Al-Bahi meskipun
belum diterbitkan. Begitu pula nazham Qurratul Abhsar fi siroh Al-Musyaffa
Al-Mukhtar karya Abdul Aziz Al-lamthi Al-Jazairi.
Kitab tentang Asy-Syamail Al-Muhammadiyyah
Kitab yang paling penting dalam
Asy-Syamail Al-Muhammadiyyah adalah yang ditulis oleh imam At-Tirmidzi, di
dalamnya terdapat banyak hadits shahih dan sebagian hadits dhaif. Banyak syarah
terhadap kitab ini, yang diterbitkan misalnya syarah Jasus dan hasyiyah Ibnu
Nais, meskipun sedikit disusupi dengan apa yang diada-adakan oleh ahli tasawuf.
Kemudian yang ditulis oleh imam Ibnu Katsir. Dan setelahnya yang ditulis oleh
Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah, yaitu kitab Zadul Ma’ad fi hadyi khairil ‘Ibad. Meskipun
kitab ini tidak dikhususkan dalam siroh, beliau menuturkan siroh yang dikaitkan
secara erat dengan hukum-hukum fiqih, petunjuk nabi, akhlaqnya dan
tindakan-tindakanya dalam berbagai perkara. Kitab ini memiliki keistimewaan
tersendiri dalam bidang ini. Begitu pula kitab Safar As-Sa’adah yang
ditulis oleh Muhammad bin Ya’qub Fairuzzabadi, penulis kitab Qamus, beliau
mengemukakan pembahasan siroh dan menyertakan doa-doa yang diriwayatkan dari
Nabi ﷺ.
Selain syamail, ada juga kitab yang
ditulis berkenaan dengan khasais (kekhususan) Nabi ﷺ, yaitu yang ditulis oleh imam
As-Suyuthi dalam kitabnya Al-Khasaish Al-Kubra.
Kitab kontemporer dalam ilmu Siroh Nabawiyyah
Buku-buku yang ditulis oleh para
ulama kontemporer ini kebanyakannya adalah menyusun dan mengumpulkan sebagian
apa yang telah ditulis oleh para ulama sebelumnya, maka posisinya sebagai
penyalin saja. Namun selain itu, ada juga yang berusaha menerapkan manhaj
hadits dalam siroh, yaitu yang dilakukan oleh Akram Dhiya Al-Umri dalam karya
tesis dan disertasi di Jami’ah Islamiyyah, seperti ditempuh pula oleh Ibrahim
Ali dalam kitabnya Shahih Sirah Nabawiyyah. Namun secara umum, kitab yang
paling seimbang, tanpa ada kesan berlebihan, adalah kitab Ar-Rahiqul Makhtum
yang ditulis oleh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri, beliau banyak berpegang
kepada kitab ‘Uyunul Atsar fi funun al-maghazi wasy syamail wassiyar karya
Ibnu Sayyidin Nas.
Kitab tentang Fiqih Siroh
Kitab yang terpenting yang ditulis
tentang fiqih siroh adalah kitab-kitab yang ditulis oleh Munir Ghadban. Kitabnya
Fiqhus Siroh An-Nabawiyyah, Manhaj Haraki fis Siroh An-Nabawiyyah, dan
yang lainnya. Juga yang ditulis oleh Muhammad Al-Ghazali dan Sa’id Ramadhan
Al-Buthi. Kemudian yang ditulis oleh Abdul Aziz Hamid. Ada juga kitab yang
ditulis oleh Muhammad Rif’at Basya tentang Shuwar min hayatish shahabah dan
Shuwar min hayatit tabi’in.
Kitab tentang menjawab tuduhan terhadap Siroh Nabawiyyah
Kitab yang memuat jawaban atas
tuduhan-tudahan yang tidak benar terhadap Siroh Nabawiyyah, yiatu kitab Asy-Syifa
bita’rif bihuquqil Mushthafa karya Qadhi ‘Iyadh. Setelah itu ada juga
jawaban terhadap tuduhan terhadap siroh sekaligus sunnah, yaitu yang ditulis
oleh Mushthafa As-Siba’i dalam kitabnya “As-Sunnah wa makanatuha fit tasyri’
al-islami”, yang ditulis oleh Mu’alimi Al-Yamani yaitu kitab Al-Anwar
Al-Kasyifah yang menjadi jawaban bagi Abu Royah dalam kitabnya Adhwaus ‘alas
Sunnah. Secara umum kitab yang memuat jawaban-jawaban terhadap tuduhan
seputar sejarah Islam ditulis oleh Abu Bakar Ibnul ‘Arabi dalam kitabnya Al-‘Awashim
minal Qawashim.
Wallahu A’lam.
Sumber tulisan :
Muhadharah Syaikh Muhammad bin Hasan Ad-Dadaw
Asy-Syanqithi tentang Muqaddimah ilmu-ilmu Syar’i
Tidak ada komentar:
Posting Komentar