Jumat, 03 Mei 2019

Muqaddimah Ilmu Ushul Fiqih





Kajian Dasar dalam Ilmu Ushul Fiqih – 01

الأَسَاسُ فِي أُصُوْلِ الْفِقْهِ
Oleh : Muhammad Atim

Ushul Fiqih adalah salah satu ilmu di dalam ilmu-ilmu syar'i. Untuk mengetahui hakikat dan kedudukannya, maka perlu diuraikan sepuluh muqoddimah ilmu sebagaimana sudah maklum bahwa kokohnya sebuah disiplin ilmu adalah dengan memenuhi sepuluh muqoddimah ilmu tersebut.
Sebagaimana disebutkan oleh Ash-Shabban,
إِنَّ مَبَادِئَ كُلِّ فَنٍّ عَشْرَة             الحَدُّ وَالْمَوْضُوْعُ ثُمُّ الثَّمَرَة
وَنِسْبَةٌ وَفَضْلُهُ وَالْوَاضِع              وَالإِسْمُ الإِسْتِمْدَادُ حُكْمُ الشَّارِع
مَسَائِلٌ وَالْبَعْضُ بِالْبَعْضِ اكْتَفَى      وَمَنْ دَرَى الْجَمِيْعَ حَازَ الشَّرَفَ

“Sesungguhnya permulaan-permulaan setiap disiplin ilmu itu ada sepuluh
Definisi, objek ilmunya, kemudian buahnya (manfaatnya)
Penisbatannya kepada ilmu lain, keutamaannya, dan peletaknya
Namanya, istimdadnya (asal pengambilan ilmunya), hukumnya secara syariat
Pembahasannya. Satu dengan lainnya telah tercukupi
Siapa yang dapat menempuh semuanya itu, layaklah ia menyandang kemuliaan”

Definisi

Ushul Fiqih didefinisikan dengan dua tinjauan definisi. Yaitu definisi secara idhofi, dengan melihat makna satu persatu kata dari dua kata yang diidhofatkan (dinisbatkan), yaitu ushul dan fiqih. Dan definisi secara laqobi, artinya dengan melihat kata Ushul Fiqih secara menyatu yang sudah menjadi suatu istilah.
Secara idhofi, Ushul Fiqih terdiri dari dua kata yaitu ushul dan fiqih.
الأُصُوْلُ جَمْعُ أَصْلٍ، وَالْأَصْلُ لُغَةً : مَا يَنْبَنِي عَلَيْهِ غَيْرُهُ أَوْ مَا يَنْبُتُ عَلَيْهِ
Ushul adalah jama' (bentuk majemuk) dari kata "Ashl". Dan Ashl secara bahasa adalah : "Yang dibangun diatasnya yang lainnya atau yang tumbuh di atasnya".
Artinya ia adalah pondasi yang dibangun di atasnya suatu bangunan, ataupun akar yang tumbuh di atasnya suatu tanaman.
 “Ashl” adalah lawan kata dari “Far’u” yang berarti cabang. Oleh karena itu, Ushul Fiqih adalah dasar bagi fiqih, sedangkan fiqih merupakan cabang.
Sedangkan secara istilah, kata "Ashl" digunakan untuk beberapa makna, diantaranya :
1. Dalil
Misalnya dikatakan, "Asal dari permasalahan ini adalah Al-Qur'an dan Sunnah", maksudnya adalah dalilnya.
2. Ar-Rajih (Yang lebih kuat)
Misalnya dikatakan, "Asal dari suatu perkataan adalah hakikat", artinya yang lebih kuat untuk dipahami dari suatu perkataan adalah maknanya secara hakikat, bukan dipahami secara majaz (kiasan), karena hakikat lebih kuat dari majaz.
3. Kaidah
Maksudnya kaidah yang ada di berbagai disiplin ilmu. Misalnya dalam ilmu kaidah fiqih jika dikatakan "Membolehkan bangkai bagi orang yang sedang dalam keadaan darurat adalah menyalahi asal". Asal tersebut maksudnya kaidah bahwa "Bangkai itu haram".
4. Asal dalam qiyas
Dalam pembahasan qiyas, ada rukun yang dikenal dengan Ashl (asal) dan Far'u (cabang). Asal itu yang disebutkan di dalam Nash Al-Qur'an atau hadits, misalnya larangan mengucapkan "ah" sebagai ucapan menggerutu kepada kedua orang tua, itu adalah asal. Sedangkan yang tidak disebutkan yang bisa diqiyaskan kepadanya yaitu memukulnya, mencelanya, dan lain sebagainya, itu disebut cabang. Lebih jauhnya ini akan dibahas di pembahasan qiyas.
5. Istishhab
Yaitu hukum asal dari segala sesuatu. Misalnya dikatakan, "Asal dari segala sesuatu adalah mubah", maksudnya istishhab. Ini akan dibahas dalam pembahasan khusus salah satu dalil yang digunakan adalah dalil istishhab.
Dari kelima definisi ashl secara istilah di atas, makna yang dimaksud di dalam kata ushul fiqih adalah makna pertama, yaitu bahwa ushul fiqih maknanya adalah dalil-dalil fiqih.
الفِقْهُ لُغَةً : الفَهْمُ
وَاصْطِلَاحًا : العِلْمُ بِالْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ العَمَلِيَّةِ المُكْتَسَبُ مِنْ أَدِلَّتِهَا التَّفْصِيْلِيَّةِ
Fiqih menurut bahasa adalah paham. Dan menurut istilah adalah : "Ilmu tentang hukum-hukum syariat yang bersifat amalan (praktek) yang dihasilkan dari dalil-dalilnya yang terperinci".
Misalnya kata fiqih di dalam Al-Qur'an digunakan untuk makna paham,
قَالُوا يَا شُعَيْبُ مَا نَفْقَهُ كَثِيْرًا مِمَّا تَقُوْلُ
"Mereka berkata : Wahai Syu'aib, kami tidak terlalu memahami apa yang kamu katakan" (QS. Hud : 91).
Sedangkan sebagian ulama memandang, kata fiqih itu tidak sekedar paham, tetapi bermakna pemahaman yang mendalam. Misalnya Abu Ishaq Asy-Syirozi mendefinisikan,
فَهْمُ الْأَشْيَاءِ الدَّقِيْقَةِ
"Memahami berbagai perkara secara mendalam"
Imam Fakhruddin Ar-Razi mendefinisikan,
فَهْمُ غَرْضِ الْمُتَكَلِّمِ مِنْ كَلَامِهِ
"Memahami maksud seorang pembicara dari perkataannya.
Namun disini perlu dipahami bahwa kata fiqih memiliki tiga akar kata yang berbeda yang tentu saja mengandung makna yang berbeda.
Pertama, berasal dari kata "faqiha-yafqohu" artinya paham
Kedua, berasal dari kata "faqoha-yafqohu" artinya orang lain telah lebih dulu paham dari padanya
Ketiga, berasal dari kata "faquha-yafquhu" artinya seseorang telah menjadi pakar (sajiyyah) dalam ilmu fiqih.
Makna pertama dan kedua adalah makna secara bahasa, sedangkan makna ketiga adalah makna istilah yaitu dalam disiplin ilmu fiqih. Seperti dikenal dalam ilmu tashrif, bahwa penggunaan huruf dhommah di 'ain fi'il itu biasanya digunakan untuk suatu disiplin ilmu, seperti contoh lain kata "balugho" artinya seseorang telah menjadi ahli dalam ilmu balaghah.
Kata "ilmu" dalam definisi fiqih merupakan "jins", artinya fiqih adalah salah satu jenis ilmu. Sedangkan kata-kata berikutnya adalah "fashl" yaitu pembeda dari ilmu-ilmu yang lain, sebagaimana hal itu diketahui dalam ilmu mantiq yang merupakan syarat disusunnya suatu definisi.
Ilmu di sini maknanya adalah yang mencakup sesuatu yang yakin dan juga zhan rajih (dugaan yang kuat), bukan dalam arti makna ilmu secara hakiki, tetapi makna ilmu yang sudah menjadi disiplin ilmu tertentu hasil pemikiran manusia.
Hukum-hukum syari'at artinya hukum-hukum yang berasal dari Allah sebagai pembuat syari'at. Ini untuk membedakan dari hukum-hukum yang lain, misalnya hukum akal, yaitu yang dihasilkan dari pemahaman akal, misalnya "seluruhnya" itu lebih besar daripada "sebagian", atau hukum al-'adi at-tajribi (hukum alam hasil eksperimen), misalnya api itu membakar.
Kata "al-'amaliyyah" yang bersifat amalan fisik, ini untuk membedakan hukum syariat yang bersifat keyakinan karena itu termasuk ilmu aqidah, atau yang bersifat perbuatan hati yang termasuk wilayah ilmu akhlaq atau disebut juga ilmu tasawuf.
Kata "al-muktasab" sebagai sifat dari ilmu, yaitu ilmu yang dihasilkan oleh manusia, untuk membedakan dari ilmu wahyu yang langsung diberikan oleh Allah kepada para rasul atau malaikat.
Kata "dari dalil-dalilnya yang terperinci" ini untuk membedakan dari ilmu orang yang taqlid (muqollid), bahwa mereka mengetahuinya bukan dari dalil, tapi dari fatwa ulama, atau mereka mengetahuinya dari dalil global bukan dalil yang terperinci.
Kata "terperinci" juga untuk membedakan pembahasan ilmu fiqih yang berkaitan dengan dalil-dalil yang terperinci dengan ilmu ushul fiqih yang membahas dalil-dalil yang bersifat global, sebagaimana akan diuraikan dalam pembahasan definisi ushul fiqih secara makna laqobi.
Dari makna ushul dan fiqih secara idhofi, kita memahami bahwa ushul fiqih itu berarti "dalil-dalil yang menjadi landasan bagi ilmu tentang hukum-hukum syariat yang bersifat amalan fisik yang dihasilkan dari dalil-dalilnya yang terperinci", atau lebih ringkasnya "dalil-dalil yang menjadi landasan bagi ilmu fiqih".
Namun dalam definisi secara idhofi ini belum nampak jelas bagaimanakah sifat dalil-dalil tersebut, dan apa titik penting yang dibahas darinya. Hal itu akan nampak jelas dalam pembahasan definisi secara laqobi.
Secara makna laqobi, Ushul Fiqih didefinisikan,
العِلْمُ بِأَدِلَّةِ الْفِقْهِ الْإِجْمَالِيَّةِ وَطُرُقِ اسْتِفَادَةٍ مِنْهَا وَحَالِ الْمُسْتَفِيْدِ
"Ilmu tentang dalil-dalil fiqih secara global, cara-cara mengambil faidah dari dalil-dalil tersebut dan keadaan orang yang mengambil faidah".
Para ulama berbeda pendapat apakah dalam definisi ini menggunakan kata ilmu atau ma'rifah (pengetahuan) ataukah tidak. Yang jelas, jika kita melihat istilah Ushul Fiqih dari segi hakikatnya, tidak perlu disebutkan kata "ilmu" sebelumnya, tetapi dikatakan ia sebagai "dalil-dalil fiqih..." Tetapi jika kita memaksudkan dengan Ushul Fiqih adalah sebuah disiplin ilmu tentu saja merupakan suatu hal yang bagus kita mendefinisikannya dengan menyebutkan kata "ilmu" di awalnya.
Adapun yang lebih mengutamakan kata "ma'rifah" (pengetahuan) daripada ilmu, hal itu karena memandang bahwa di dalam pembahasannya tidak semua berupa hal yang qath'i, yang diyakini seratus persen kebenarannya, tetapi mencakup juga sesuatu yang zhan. Tentu saja tidak begitu, karena yang dimaksud ilmu di sini adalah suatu disiplin ilmu (fan / shina'ah) yang dihasilkan dari pemikiran manusia, yang mencakup hal yang yakin dan juga zhan, tidak berdasarkan makna ilmu secara hakiki, sebagaimana akan dijelaskan tentang makna ilmu dan tingkatan-tingkatannya.
Ada juga yang mendefinisikan ushul fiqih dengan kaidah, tidak dengan dalil-dalil, sebegaimana yang dilakukan oleh Ibnu Hajib,
القَوَاعِدُ الَّتِي يُتَوَصَّلُ بِهَا إِلَى اسْتِنْبَاطِ الْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ الْفَرْعِيَّةِ مِنْ أَدِلَّتِهَا التَّفْصِيْلِيَّةِ
"Kaidah-kaidah yang bisa sampai dengannya kepada kesimpulan hukum-hukum syariat yang bersifat cabang dari dalil-dalilnya yang terperinci."
Dalam definisi tersebut titik tekan pendefinisiannya ada pada kata "kaidah-kaidah istinbath" adapun kata-kata selanjutnya hanyalah merupakan definisi dari fiqih.
Definisi ini tidak lebih bagus dari definisi pertama, karena inti yang dibahas dalam ilmu ushul fiqih justru adalah dalil-dalil. Adapun kaidah-kaidah istinbath hanyalah sesuatu yang lazim untuk memahami dalil-dalil tersebut, dan hal itu sudah disebutkan di dalam definisi pertama yaitu "cara-cara mengambil faidah dari dalil-dalil" yanh tiada lain merupakan kaidah-kaidah istinbath.
Kata "dalil-dalil fiqih yang bersifat global", adalah kebalikan dari yang bersifat terperinci. Yaitu misalnya dalil Al-Qur'an, sunnah, ijma, qiyas, dll. Tanpa disebutkan rinciannya, karena hal itu merupakan pembahasan ilmu fiqih. Dalil terperinci itu sedikit disebutkan hanya sebagai contoh saja. Karena dalil global dan rinci itu bukanlah sesuatu yang terpisah, karena tidak akan dapat tergambar dalil global tanpa disebutkan contoh dari dalil rincinya.
الدَّلِيْلُ لُغَةً المُرْشِدُ
وَاصْطِلَاحًا : مَا يُمْكِنُ التَّوَصُّلُ بِصَحِيْحِ النَّظَرِ فِيْهِ إِلَى مَطْلُوْبٍ خَبَرِي

Dalil menurut bahasa adalah "petunjuk"
Dan menurut istilah adalah "Apa yang memungkinkan dengan benarnya pengamatan terhadapnya untuk sampai kepada hasil pernyataan (kesimpulan)."
Dengan kata lain dalil adalah petunjuk yang bisa menyampaikan kepada sebuah kesimpulan ilmu. Tentu saja ilmu yang memerlukan dalil sebagai wasilahnya adalah ilmu nazhori (yang butuh pengamatan) bukan ilmu dharuri (yang tidak butuh pengamatan).
النّظَرُ هُوَ الْفِكْرُ الْمُفِيْدُ لِلْعِلْمِ
Nazhar (pengamatan) adalah sebuah pemikiran yang menghasilkan ilmu.
Kata "mathlub" artinya sesuatu yang dicari atau hasil yang diinginkan. Maksudnya kesimpulan ilmu yang dihasilkan dari pengamatan terhadap dalil tersebut.
Kesimpulan tersebut berupa "khobari" (pernyataan) bukan berupa insya, sebagaimana dikenal dalam ilmu balaghah yang mencakup perintah, larangan, pertanyaan, panggilan, dsb.
Dari dalil yang diamati di dalam Al-Qur'an misalnya dapat disimpulkan bahwa "babi itu haram".
Pernyataan kesimpulan itu pada saat belum ditemukan dalilnya disebut "da'wa" (klaim), pada saat sedang diamati disebut "mathlub" dan pada saat telah diamati dalilnya disebut "natijah" (kesimpulan).
Benar tidaknya, dan bagaimana bobot pengetahuannya akan sangat tergantung kepada dalil yang digunakan dan juga seberapa tepat menggunakan dalil tersebut.

Tingkatan pengetahuan
Para ulama Ushul Fiqih sudah lazim bagi mereka membahas tingkatan pengetahuan di dalam pendahuluan ilmu Ushul Fiqih, karena memang ilmu Ushul Fiqih merupakan ilmu untuk memahami dalil yang dari dalil itu dihasilkan ilmu, maka sangat penting untuk disebutkan tingkatan pengetahuan, seperti berikut ini,

1. العِلْمُ
إِدْرَاكُ الشَّيْءِ عَلَى مَا هُوَ عَلَيْهِ إِدْرَاكًا جَازِمًا
Ilmu adalah "mengetahui sesuatu sebagaimana hakikat sebenarnya dengan pengetahuan yang yakin"
Tingkat pengetahuannya adalah 100%
2. الظَّنُّ
إِدْرَاكُ الرَّاجِحِ بَيْنَ الْأَمْرَيْنِ

Zhan (dugaan kuat) adalah "mengetahui yang lebih kuat dari dua perkara"
Tingkat pengetahuannya antara 51 sd 99 %
3. الوَهْمُ
إِدْرَاكُ الْمَرْجُوْحِ بَيْنَ الْأَمْرَيْنِ
Wahm (sangkaan yang lemah) adalah "mengetahui yang lemah dari dua perkara"
Tingkat pengetahuannya antara 1 sd 49 %
4. الشَّكُّ
إِدْرَاكُ الْمُتَسَاوِي بَيْنَ الْأَمْرَيْنِ
Syak (ragu) adalah "mengetahui secara seimbang antara dua perkara"
Tingkat pengetahuannya 50 %
5. الجَهْلُ
الجَهْلُ الْبَسِيْطُ : عَدَمُ الْإِدْرَاكِ بِالْكُلِّيَّةِ
الجَهْلُ الْمُرَكَّبُ : إِدْرَاكُ الشَّيْءِ عَلَى وَجْهٍ يُخَالِفُهُ
Jahl (bodoh) ada dua, yaitu :
Jahl basith (bodoh sederhana) : "Tidak ada pengetahuan sama sekali terhadap sesuatu"
Jahl murokkab (bodoh bertingkat) : "Mengetahui sesuatu dalam bentuk yang menyalahi hakikatnya"
Tingkat pengetahuannya 0 %
"Dan cara-cara mengambil faidah dari dalil tersebut". Ini merupakan metode dan seperangkat kaidah untuk memahami dalil-dalil tersebut sehingga dapat dihasilkan sebuah kesimpulan fiqih.
"Dan keadaan orang yang mengambil faidah"
Ini berkaitan dengan seseorang yang sedang memahami dalil dengan menggunakan kaidah-kaidahnya yang disebut dengan mujtahid.
Dari definisi tersebut dapat disimpulkan empat pembahasan dalam ilmu Ushul Fiqih, dan imam Ghazali sangat indah dalam memberi perumpamaannya seperti sebuah pohon
1. Hukum fiqih sebagai buah yang dihasilkan
2. Dalil-dalil sebagai pohonnya
3. Metode istinbath sebagai cara memetik buah tersebut
4. Mujtahid sebagai orang yang memetik buah tersebut

Maudhu' (objek ilmu)

Dalam setiap disiplin ilmu mesti diketahui apa objek yang dibahas di dalam ilmu tersebut, agar kita dapat fokus terhadap apa yang dibicarakan di dalam ilmu tersebut dan tidak keluar dari ruang lingkup pembahasannya. Misalnya objek ilmu tajwid adalah huruf-huruf dan kata-kata dalam Al-Qur'an dari segi membaguskan pengucapan huruf-huruf dan pembacaannya. Ilmu nahwu adalah kata-kata dalam bahasa Arab dari segi i'rob dan bina di dalam susunan kalimat.
Para ulama berbeda pendapat tentang objek ilmu Ushul Fiqih kepada tiga pendapat. Pertama, dalil-dalil syariat secara global. Kedua, hukum-hukum syari'at. Dan yang lebih tepat adalah pendapat ketiga, yaitu dua-duanya; dalil-dalil syariat secara global dan hukum-hukum syariat. Karena yang dibahas dalam Ushul Fiqih adalah dalil-dalil syariat secara global yaitu baik dalil-dalil yang disepakati berupa Al-Qur'an, Hadits, Ijma' dan Qiyas, ataupun yang diperselisihkan seperti Istihsan, Istishlah, Istishhab, Sad Adz-Dzaro'i, dll, serta tatacara memahami dalil-dalil tersebut, dan juga hukum-hukum syariat secara global yang mencakup hukum-hukum taklifi dan hukum-hukum wadh'i.

Buah (manfaat)

Muqaddimah ilmu yang mesti diketahui selanjutnya adalah tsamaroh (buah atau manfaat) dari ilmu Ushul Fiqih. Dengan mengetahui manfaatnya, menjadi jelaslah aktifitas kita dalam mempelajarinya, karena mengarah kepada manfaat yang akan kita dapatkan.

Ilmu Ushul Fiqih adalah ilmu yang sangat penting di dalam memahami syariat Islam. Ilmu inilah yang menjadi alat utama para ulama untuk dapat menyimpulkan hukum-hukum yang dipahami dari dalil-dalil. Oleh karena itu sangat banyak manfaatnya. Jika kita rumuskan ke dalam poin-poin, diantaranya sebagai berikut :

1. Memahami pesan-pesan dari Allah dan Rasul-Nya dan dengannyalah kita dapat beribadah dengan benar
2. Mengetahui dalil-dalil yang menjadi landasan dan cara memahami dalil-dalil tersebut sehingga disimpulkanlah hukum-hukum syariat
3. Mengetahui berbagai bentuk bayan (penjelasan) yang disampaikan oleh Allah dan Rasul-Nya di dalam syariat Islam ini.
4. Sebagai perangkat untuk menjadi ulama yang mampu berijtihad, atau paling tidak memahami cara kerja ulama dalam berijtihad. Dari sini kita bisa beralih secara bertahap dari seorang yang awam yang hanya bertaklid kepada pendapat atau fatwa ulama, menjadi seorang pembelajar yang memahami cara kerja ijtihad, lalu lebih jauh lagi dengan penguasaan ilmu yang lebih luas dan me dalam, banyak pengalaman dalam praktek dan penerapan yang tentu saja belajar dari pengalaman yang telah dilakukan oleh para ulama sehingga mampu merasakan dzauq (cita rasa) dalam berijtihad, serta tentu dibimbing oleh ketakwaan kepada Allah, yang dengannya Allah memberikan ilmu mauhibah (ilmu anugrah langsung dari Allah), menjadi seseorang yang mampu berijtihad, walaupun tentu saja dalam berijtihad itu ada tingkatan-tingkatannya, insya Allah akan dibahas secara khusus dalam pembahasan Ijtihad.
5. Mengetahui dan memahami cara menjawab persoalan baru yang tidak terbatas, yang tidak ada habisnya dengan ayat-ayat Al-Qur'an dan hadits-hadits yang terbatas, dalam arti dilalah-dilalah yang terdapat pada keduanya mampu menjawab persoalan baru dan menentukan hukum bagi segala sesuatu. Ini adalah pekerjaan ijtihad yang tidak bisa tidak kecuali melalui perangkat ilmu Ushul Fiqih.

Nisbat (hubungan dengan ilmu-ilmu lain)

Muqaddimah yang penting diketahui selanjutnya adalah nisbat (hubungan dengan ilmu-ilmu lain). Dengan mengetahui nisbat, kita akan mengetahui posisi ilmu yang sedang kita bahas, sejauh mana saling keterkaitan dan saling membutuhkan dengan ilmu lainnya. Di sini kita menjadi tahu bahwa ilmu itu satu sama lain memiliki keterkaitan.
Ilmu Ushul Fiqih adalah termasuk bagian dari ilmu syar'i. Jika dikaitkan dengan ilmu non-syar'i atau ilmu duniawi, tentu tidak memiliki kaitan secara langsung, nisbatnya disebut "tabayun" التباين (berbeda), dalam tataran teoritisnya. Sedangkan dalam tataran paktisnya, tentu saja akan saling membutuhkan. Misalnya seorang ulama mujtahid yang akan berijtihad dengan perangkat ilmu Ushul Fiqih terhadap suatu kasus, jika kasus itu berhubungan dengan kedokteran misalnya, maka seorang mujtahid membutuhkan keterangan dari ilmu kedokteran untuk mengidentifikasi kasus tersebut. Setelah diketahui hakikat perkara tersebut, barulah diberikan dalil yang tepat dan disimpulkanlah hukumnya.
Adapun kaitannya dengan ilmu-ilmu syar'i yang lain, nisbatnya adalah "al-'umum wal khusus min wajhin" (umum-khusus dari segi-segi tertentu). Artinya di dalam ilmu Ushul Fiqih ada bagian ilmu-ilmu yang lain, seperti ilmu Al-Qur'an, ilmu hadits, ilmu fiqih, ilmu bahasa Arab, dll, dan ada pula yang menjadi kekhususan ilmu Ushul Fiqih yang tidak ada di ilmu yang lain, misalnya pembahasan muthlaq-muqoyyad, manthuq-mafhum, dll.
Dengan mengetahui kaitan seperti ini, kita akan tahu bahwa untuk dapat memahami ilmu Ushul Fiqih secara utuh dan memiliki kemahiran terhadapnya, mesti menguasai juga ilmu-ilmu syar'i yang lainnya.

Keutamaan

Dengan mengetahui manfaat ilmu Ushul Fiqih, dari sana kita sudah bisa mengukur keutamaannya. Dengan ilmu inilah kita bisa memahami Al-Qur'an dan hadits, memahami hukum-hukum yang terkandung di dalamnya dan selanjutnya dapat mengamalkannya, dan menjadikan seorang ulama bisa berijtihad dengannya. Untuk itu, ilmu Ushul Fiqih memiliki keutamaan yang agung di dalam berkhidmat kepada agama Allah ini.


Peletak

Ilmu-ilmu yang objeknya adalah syariat Islam, tidak bisa disebutkan seseorang sebagai peletaknya. Karena sejak wahyu diturunkan, proses memahaminya dengan kaidah-kaidah ushul telah berjalan. Berbeda misalnya dengan ilmu-ilmu bahasa Arab yang objeknya adalah perkataan orang-orang, bisa diketahui siapa peletak ilmu Nahwu, ilmu Tashrif, ilmu Balaghah, dll, begitu pula ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial.
Namun, bisa kita katakan bukan sebagai peletak awal tetap sebagai orang yang pertama kali menyusun karya dalam bidang ilmu Ushul Fiqih secara terpisah dari ilmu-ilmu lain yaitu Abu Abdillah Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i Al-Muththalibi Al-Qurasyi (150-204 H) yang dikenal dengan imam Asy-Syafi'i dalam karya beliau yang beliau namakan dengan "Ar-Risalah".
Dalam kitab Ar-Risalah tersebut belum semua permasalahan ushul fiqih di bahas, hanya bagian-bagian pentingnya saja, dan secara khusus beliau memperpanjang pembahasan tentang bayan (penjelasan) di dalam syariat. Belum tersusun dengan urutan-urutan logika keilmuan (tartib mantiqi), sebagaimana telah maklum bahwa seperti itulah karya-karya awal dalam suatu disiplin ilmu.

Nama

Nama untuk ilmu ini adalah Ushul Fiqih أصول الففه, namun terkadang para ulama menyingkatnya dengan sebutan ilmu Ushul.

Istimdad (sumber pengambilannya)

Yang dimaksud dengan istimdad (sumber pengambilannya) adalah ilmu-ilmu lain yang menjadi bahan dasar disusunnya suatu disiplin ilmu.
Istimdad dari ilmu Ushul Fiqih adalah ilmu fiqih karena ilmu fiqih telah lebih dulu mapan ketimbang ilmu ushul fiqih, dari ilmu fiqih yang digeluti oleh para ulama itu dapat diketahui ushulnya. Selanjutnya ilmu-ilmu bahasa Arab untuk memahami teks-teks wahyu yang berbahasa Arab itu. Dan terakhir ilmu-ilmu logika khususnya ilmu kalam, karena untuk memahami teks-teks wahyu dan merumuskan kaidah-kaidah dalam memahaminya dan menyimpulkannya hingga melahirkan hukum itu diperlukan pengamatan akal yang mendalam.

Hukum

Hukum mempelajari ilmu Ushul Fiqih adalah fardu kifayah. Jika tidak ada seorang pun yang mempelajarinya, maka berdosalah semuanya karena hal itu membuat wahyu yang Allah turunkan tidak bisa dipahami dan diamalkan. Jika ada sebagian orang yang telah mempelajarinya dan orang-orang tersebut melaksanakan amanah ilmunya, maka gugurlah kewajiban yang lainnya.

Namun hukum fardhu kifayah ini bisa berubah menjadi fardhu 'ain jika di suatu tempat hanya ada seseorang yang memiliki potensi untuk dapat mempelajarinya sedangkan orang-orang sangat membutuhkannya, maka hukumnya menjadi fardhu 'ain baginya.

Permasalahannya

Permasalahan yang dibahas dalam ilmu Ushul Fiqih di dalam karya-karya klasik secara keumumannya mencakup :
Muqaddimah yang didalamnya sudah dibahas tentang hukum-hukum syariat, dan setelahnya dibahas tujuh pembahasan, yaitu
1. Al-Qur'an dan pembahasan lafazh
2. Sunnah
3. Ijma
4. Qiyas
5. Istidlal, maksudnya adalah dalil lain yang diperselisihkan
6. Ta'arudh wat Tarjih (hal-hal yang bertentangan dan cara penyelesaiannya)
7. Ijtihad dan dibahas kebalikannya yaitu taqlid

Adapun sistematika pembahasan dalam karya-karya kontemporer biasanya meliputi :
Muqaddimah, dan setelahnya
1. Hukum-hukum syariat
2. Dalil-dalil hukum baik yang disepakati maupun yang diperselisihkan
3. Metode istinbath yang meliputi
    a. kaidah ushul dan kebahasaan
    b. Maqashid syariat
    c. Ta'arudh dan tarjih
4. Ijtihad dan Taqlid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar