Rabu, 10 April 2019

Kajian Ushul Fiqih Dasar (UFD) ke-21, tentang Ijma’




Ijma itu secara istilah didefinisikan, “Kesepakatan para ahli ijtihad umat Nabi Muhammad setelah beliau wafat pada suatu zaman terhadap suatu hukum syariat”

Secara realita, sangat sulit terjadinya ijma’ sebagaimana yang disebutkan di dalam definisi, karena memang sulitnya mengetahui seluruh ahli ijtihad di suatu zaman, yang mereka sepakat pada suatu permasalahan hukum syariat. 

Pada kenyataannya, ijma sharih yang menyelisihinya diancam dengan neraka sebagaimana ditunjukkan dari dalil-dalil yang menjadi landasan adanya ijma, hanyalah dapat diterapkan pada permasalahan-permasalahan yang diketahui oleh kaum muslimin secara mendesak (ma’lum minaddiin bidh-dharurah) seperti wajibnya shalat lima waktu, wajibnya zakat, haramnya khamer, mencuri, dll.

Adapun yang banyak dinukil oleh para ulama tentang ijma, seperti oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni, Ibnu Mundzir di dalam Al-Ijma, imam Nawawi, Ibnu Abdil Bar, Ibnu Hazm, dll, adalah termasuk ijma’ sukuti, karena mereka menelusuri riwayat-riwayat dari para ulama mujtahid di suatu zaman yang didapati mereka bersepakat, tetapi jumlahnya hanya terbatas, lalu bagaimanakah dengan ulama-ulama lain yang tidak dinukil pendapatnya. Ini menjadi bukti bahwa ijma’ sukuti bukanlah hujjah yang qath’i. Disamping bisa saja seorang ulama mengatakan ‘ijma pada suatu zaman, tapi ternyata ada ulama lain yang menelaahnya bahwa di dalampermasalahan yang diklaim ijma tersebut ternyata ditemukan adanya perbedaan pendapat.

Hal tersebut sebagaimana dikemukakan oleh penulis kitab ini, Taisir Ilmi Ushul Fiqih, DR. Abdullah bin Yusuf Al-Judayyi’. 

Lebih jauhnya bagaimana hakikat ijma tersebut, yang terklasifikasi kepada ijma sharih dan ijma sukuti, bagaimana realita penerapannya, dan bagaimana madzhab-madzhab ulama memandang ijma sukuti tersebut, silahkan ikuti kajiannya di sini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar