Kajian MAISY (Markaz Ilmu Syar'i) secara rutin mengkaji kitab Tadzkirotus
Sami wal Mutakallim fi adabil 'alim wal muta'allim yang berisi adab seorang 'alim dan penuntut ilmu karya Al-Imam Al-Qadhi
Badruddin Ibnu Jama'ah rahimahullah.
Kenapa kitab ini yang digunakan?
Sebenarnya banyak kitab-kitab lain
berkenaan dengan adab ilmu seperti kitab An-Nawawi rahimahullah, Adabul
'alim wal muta'allim, dalam Ihya Ulumuddin karya Al-Ghazali juga
pembahasan pertamanya tentang adab ilmu, dll. Kitab-kitab tersebut perlu kita baca.
Hanya untuk panduan pembelajaran, kitab ini dirasa lebih lengkap mencakup
berbagai babnya.
Kitab
ini mencakup 4 pembahasan :
1.
Keutamaan ilmu dan ahlinya
2.
Adab seorang alim terhadap dirinya,
bersama murid-muridnya dan dalam memberikan pelajaran
3.
Adab berteman dengan kitab
4. Adab
tinggal di madrasah
Keistimewaan lain dari kitab ini karena penulisnya
menyusun buku ini berdasarkan,
1. Yang disepakati yang beliau dengar dari riwayat-riwayat
para ulama
2. Beliau dengar langsung dari para guru beliau
3. Beliau dapatkan ketika muthola'ah (membaca) kitab-kitab
4. Beliau dapatkan faidah ketika mengulang pelajaran
(mudzakaroh)
Beliau paparkan dengan tidak
menyebutkan sanad dan dalil, agar penelaahnya tidak merasa kepanjangan, atau
membuatnya bosan.
Sedangkan penulisnya, tentu tidak
diragukan lagi keshalehan dan keulamaan beliau. Beliau adalah Abu Abdullah
Badruddin Muhammad bin Ibrahim bin Sa’dullah bin Jama’ah bin Ali bin Jama’ah
bin Hazim bin Shakhr Al-Kinani Al-Hamawi Asy-Syafi’i, yang dikenal dengan
Badruddin Ibnu Jama’ah. Beliau dilahirkan pada Jum’at malam 4 Rabi’ul Akhir
tahun 637 H.
Beliau tumbuh di rumah yang penuh
dengan keilmuan dan lingkungan yang agamis, serta keluarganya yang memegang
amanah kehakimah (qadha), sehingga tidak aneh dalam perjalanan hidup
beliau selanjutnya menjadi hakim berkali-kali. Ayahnya seorang hakim (qadhi),
Burhanuddi Ibnu Jama’ah (w.675 H), ia sebagai seorang yang ahli ilmu, begitu
juga kakeknya. Di tangan ayahnya, Badruddin Ibnu Jama’ah menghapal Al-Qur’an
dan menghapal banyak matan ilmu.
Ketika beranjak muda beliau belajar
di para syekh, diantaranya Syarafuddin Abdil Aziz Al-Anshari (w.662 H), Ibnul Burhan
(w.664 H), Ar-Rasyid Al-‘Athar (w.662 H), Tajuddin Ibnul Qasthalani (w. 665 H),
Taqiyuddin ibnu Abil Yusr (w. 672 H). Dan ilmu beliau paling banyak diambil
dari Qadhi Taqiyuddin Ibnu Ruzain (w. 680 H), dan membaca Nahwu kepada imam
Ibnu Malik (w. 672 H).
Beliau sangat bersungguh-sungguh
dalam menuntut ilmu melebihi teman-temannya. Fatwa-fatwa beliau pernah
disodorkan kepada imam Nawawi, lalu imam Nawawi menilai jawaban-jawabannya
tersebut bagus. Tidak sedikit karya yang telah beliau torehkan di berbagai
bidang ilmu syar’i, dan hal itu menunjukkan penguasaannya terhadap berbagai
bidang ilmu syar’i.
Karya-karya beliau diantarany; Al-Munhil
Ar-Rawi, Al-Fawaid Al-Laihah min Surotil Fatihah, At-Tibyan limuhimmatil Qur’an,
Al-Masalik fi ‘Ulumil Manasik, An-Najmul Lami’ fi Syarhil Jam’il Jawami’, serta
kitab yang kita bahas ini Tadzkirotus Sami’ wal Mutakallim fi Adabil ‘Alim
wal Muta’allim, dan banyak lagi yang lainnya.
Dalam bidang pengajaran, beliau
telah mengerahkan segenap kesungguhan. Beliau mengajar di Damaskus : di
Qaimariyyah, Al-‘Adiliyyah Al-Kubra, Asy-Syamiyyah Al-Barroniyyah, dll. Di Kairo
: di Ash-Shalihiyyah, An-Nashiriyyah, Al-Kamiliyyah, Jami’ Al-Hakim, Jami’ Ibnu
Thulun, dll. Di tangan beliau lahirlah murid-murid yang menjadi ulama, yang
paling menonjol adalah anaknya sendiri yaitu Izzuddin (w.767 H), Ash-Shalah
Ash-Shafdi (w. 764 H), Syamsuddin Adz-Dzahabi (w. 748 H), Tajuddin As-Subki (w.
771 H).
Beliau wafat pada malam Senin 21
Jumada Ula 733 H.
Kenapa
tentang adab ilmu yang mesti pertama kali kita bahas?
Ini
sesuai dengan ajaran Islam. Dimana proses tarbiyah yang disebutkan dalam
Al-Qur'an adalah
1.
Membacakan ayat-ayat-Nya
2.
Mensucikan hati
3.
Mengajarkan ilmu Al-Qur'an dan Sunnah
Membacakan
ayat itu agar tumbuh keimanan. Ini mesti dilalui oleh setiap muslim, dalam hariiharinya
berinteraksi dengan Al-Qur'an. Dalam majelis kita pun ada kajian tafsir dan
tadabur juz 'amma dalam rangka menerapkan ini, disertai menghapal dengan Metode
Tadabur Tematik (MTT).
Mensucikan
hati/jiwa, dan indikasinya tampak dalam adab-adab.
Barulah
setelah itu diajarkan ilmu-ilmu syar'i secara komprehensif yang tertuang dalam
Al-Qur'an dan Sunnah.
Para
ulama pun menyarankan agar belajar adab terlebih dahulu sebelum belajar ilmu.
Seperti yang disebutkan oleh Imam Malik rahimahullah,
تَعَلَّمَ الْأَدَبَ قَبْلَ أَنْ تَتَعَلَّمَ
الْعِلْمَ
“Belajarlah adab
sebelum belajar ilmu”
Maka
ini sangat penting sekali, dimana saat ini banyak orang yang belajar ilmu,
tetapi tetap tidak membuatnya beradab.
Di muqaddimahnya, penulis
mengemukakan keutamaan ilmu dan ulama, serta ulama seperti apakah yang akan
mendapatkan keutamaan tersebut.
Beliau mengatakan, “Orang yang
cerdas pasti akan menyibukkan dirinya di awal masa mudanya dengan pembekalan
adab.”
Lalu bagaimana dengan pendidikan
kita hari ini, ketika pengajaran ilmu dilepaskan dari penanaman adab? Yang
lahir adalah anak-anak brutal tak bermoral?!
Ada perkataan para ulama yang
mengandung hikmah yang beliau kemukakan,
Ibnu Sirin rahimahullah berkata, "Mereka
mempelajari petunjuk (adab) sebagaimana mereka mempelajari ilmu"
Hasan Al-Bashri rahimahullah
berkata, "Jika seseorang keluar mempelajari adab, niscaya ia akan
berusaha mendapatkannya bertahun-tahun"
Sufyan bin 'Uyainah rahimahullah
berkata, "Sesungguhnya Rasulullah saw adalah timbangan paling besar,
dengannya ditampakkan segala sesuatu: akhlaqnya, perjalanan hidupnya,
petunjuknya, apa saja yang sesuai dengannya maka itulah kebenaran, dan apa yang
menyalahinya maka itulah kebatilan"
Habib bin Syahid rahimahullah
berkata kepada anaknya, "Wahai anakku, bersahabatlah dengan para ahli
fiqih dan para ulama, belajarlah dari mereka, ambillah adab mereka, karena
sesungguhnya hal itu lebih aku sukai daripada banyaknya hadits"
Sebagian mereka berkata kepada
anaknya, "Wahai anakku, Engkau mempelajari satu bab dari adab lebih aku
sukai daripada engkau mempelajari 70 bab ilmu"
Makhlad bin Husain rahimahullah
berkata kepada Ibnu Mubarok, "Kami lebih butuh kepada banyaknya adab
daripada banyaknya ilmu"
Dikatakan kepada imam Syafi'i
rahimahullah, "Bagaimanakah syahwat (ambisi)mu kepada adab?” Beliau
menjawab, "Aku mendengarkan satu huruf dari belajar adab sesuatu yang
belum pernah aku dengar, seluruh anggota badanku sangat ingin memiliki
pendengaran agar dapat menikmatinya (tidak hanya telinga)." “Lalu
bagaimana pencarianmu terhadapnya?” Ia menjawab : "Seperti seorang
perempuan mencari anaknya yang hilang dan dia tidak memiliki anak yang
lain"
Mengapa di majelis ilmu memiliki adab yang berbeda
dibanding di tempat-tempat yang lainnya?
Pertama, Karena Allah mengangkat derajat orang beriman yang berilmu. Baik di dunia
maupun di akhirat. Bayangkan, Allah yang meninggikan derajat, memuliakannya,
menempatkannya di tempat terhormat. Oleh Allah sudah dimuliakan, masa oleh kita
mau dihinakan? Memuliakan ahli ilmu, artinya memuliakan juga segala sesuatu
yang berkaitan dengannya
"Allah mengangkat
derajat-derajat orang-orang beriman diantara kalian dan orang-orang yang diberi
ilmu" (QS. Al-Mujadilah : 11)
Kedua, yang bersaksi atas keesaan Allah adalah Allah sendiri, lalu para malaikat,
lalu para ahli ilmu. Dengan ilmul yaqin yang dimiliki oleh ahli ilmu ia mampu
bersaksi atas keesaan Allah. Tentu saja sebagai saksi, memiliki posisi yang
khusus di sisi Allah.
"Allah bersaksi bahwa tiada
tuhan selain Dia, dan para malaikat, dan para ahli ilmu..." (QS. Ali Imron : 18)
Ketiga, orang yang berilmu tentu saja berbeda dari orang yang tidak berilmu dalam
segala halnya.
"Katakanlah, apakah sama
orang-orang yang berilmu dengan orang-orang yang tidak berilmu?" (QS. Az-Zumar : 9)
Keempat, yang layak ditanya tentang berbagai hal
"Maka bertanyalah kepada ahli
dzikir (ahli ilmu) jika kamu tidak tahu" (QS. Al-Anbiya : 7, An-Nahl : 43)
Kelima, yang mampu memahami dan mengambil pelajaran dari perumpamaan-perumpamaan
yang dibuat oleh Allah SWT adalah orang yang berilmu
"Tidak ada yang mampu
memahami/mengambil pelajaran darinya (perumpamaan-perumpamaan) kecuali
orang-orang yang berilmu" (QS. Al-'Ankabut : 43)
Keenam, di dalam dada para ahli ilmu ada ayat-ayat Al-Qur'an (sebagai Al-Qur'an
berjalan).
"Sebenarnya, dia adalah
ayat-ayat yang jelas di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu" (QS. Al-'Ankabut : 49)
Ketujuh, yang paling takut kepada Allah adalah orang yang berilmu. Karena dengan
ilmunya akan sampai kepada perasaan takut kepada Allah melebihi orang-orang
yang tidak berilmu
"Hanyalah orang yang sangat
takut kepada Allah adalah para ulama" (QS. Fathir : 28)
Kedelapan, orang yang berilmu adalah sebaik-baik makhluk.
Dalam surat Al-Bayyinah disebutkan
bahwa makhluk yang terbaik adalah yang sangat takut (khosyyah) kepada Allah.
Sedangkan dalam surat Fathir disebutkan bahwa yang sangat takut kepada Allah
adalah para ulama. Maka kesimpulannya, sebaik-baik makhluk adalah para ulama.
Itulah ayat-ayat tentang keutamaan
ilmu dan para ahlinya, yang secara otomatis menuntut sikap dan adab di
majelisnya harus berbeda dari yang lainnya
Tiga Peran Ulama
Di dalam muqaddimah kitabnya juga,
imam Ibnu Jama'ah menyebutkan satu hadits yang berisi tiga peran inti dari
ulama atau para pemegang amanah ilmu Islam.
Hadits tersebut dikeluarkan oleh
Imam Baihaqi dalam Sunannya, Abu Umar Ibnu Abdil Bar dalam muqaddimah kitab
Tamhidnya, Al-Hafizh Al-Baghdadi dalam kitab Syarof Ashabil
Hadits dengan 11 jalur, dan diriwayatkan dari imam Ahmad bahwa ia
menshahihkannya, dari Ibnu Mas’ud ra,
يَحْمِلَ هذَا الْعِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلْفٍ عُدُوْلُهُ
يَنْفُوْنَ عَنْهُ تَحْرِيْفَ الْغَالِيْنَ وَانْتِحَالَ الْمُبْطِلِيْنَ
وَتَأْوِيْلَ الْجَاهِلِيْنَ
“Membawa ilmu ini dari setiap
generasi, orang-orang yang dipercaya darinya, mereka melenyapkan dari ilmu itu
penyelewengan orang-orang yang ghuluw (melampau batas), klaim para pendusta dan
ta’wil orang-orang yang jahil.”
Dengan ilmu Islam yang kokoh yang
dibawa oleh pemegangnya yang amanah, ia berusaha menyingkirkan tiga
penyimpangan yang merusak agama
1. Penyelewengan orang-orang yang melampaui batas. Mereka
adalah para ahli bid'ah baik dalam akidah maupun ibadah. Yang merubah-rubah
ajaran, menambah dan mengurangi yang sudah ditetapkan.
2. Klaim para pendusta yang memalsukan hadits, membawa
riwayat dan ajaran yang palsu
3. Penafsiran orang-orang bodoh terhadap nash-nash syariat,
memahami ayat-ayat Al-Qur'an dan hadits tanpa dasar ilmu.
Ulama seperti apakah yang berhak menyandang berbagai
keutamaan tersebut?
Penulis menyebutkan bahwa semua
kemuliaan ilmu dan ahli ilmu yang disebutkan dalam berbagai ayat dan hadits
hanyalah diperuntukkan bagi orang yang ikhlas berharap keridhoan dan wajah
Allah baik dalam belajar atau mengajarkan ilmu, yang menjadikan akhirat sebagai
tujuannya, dan mengamalkan ilmunya.
Bukan bagi mereka yang menjadikan
ilmunya untuk keuntungan dunia. Maka berhati-hatilah dalam belajar, periksa
lagi niatnya, apakah dengan belajar hanya ingin dapat ijazah, sanad, pekerjaan,
harta, kedudukan, jabatan, naik pangkat, popularitas, dsb.. Dalam hadits shahih
diperingatkan secara keras, jika untuk semua itu ilmu dipelajari maka ia tidak
akan dapat mencium aroma surga. Bayangkan, jangan masuk ke dalam surga, mencium
aromanya saja tidak dapat! Na'udzu billah..
Ini juga yang membedakan antara
ulama akhirat dan ulama dunia. Ulama akhirat tidak pernah memiliki rasa dengki
terhadap yang lain, tidak pernah merasa kiprah, peran dan amalnya diambil
orang, karena Allah telah membaginya. Dan tidak pernah berkelahi dan berebut,
karena surga itu terlalu luas untuk diperebutkan. Tidak perlu berebut, karena
setiap orang mendapat bagian yang sangat banyak.
Berbeda dengan ulama dunia yang
selalu berkelahi dan berebut, karena mereka memperebutkan dunia yang sempit.
Sebagaimana dijelaskan oleh iman Ibnul Jauzi dalam kitab beliau, Shaidul
Khotir.
Bagi yang ingin mengikuti audio
kajiannya silahkan di sini
saya ucapkan jazakallah khairan (semoga Allah membalas atas kebaikanmu)...saya bisa ikut belajar dalam kitab "Tadzkiratus Sami wal Mutakallimi adab Alim wa Muta'alim ini...
BalasHapus