SYARAH
NAZHAM USHUL FIQIH
AL-KAUKAB AS-SATHI'
KATA PENGANTAR
KATA PENGANTAR
Oleh : Muhammad Atim
Al-Kaukab As-Sathi’ adalah diantara
matan ilmu Ushul Fiqih yang direkomendasikan. Ia berbentuk nazham (susunannya
sesuai sastra sya'ir) yang ditulis oleh Abdurrahman Abu Bakar Jalaluddin
As-Suyuthi yang dikenal dengan imam As-Suyuthi (849-911 H). Matan ini berisi
seribuan bait, sehingga bisa disebut juga dengan alfiyah. Beliau menazhamkan
matan ushul fiqih "Jam'ul jawami'" yang ditulis oleh Tajuddin
As-Subki (727-771 H).
Seperti namanya "Jam'ul Jawami'
(kumpulan dari kumpulan-kumpulan), matannya ini mengumpulkan ilmu ushul fiqih
dari berbagai karya ulama, yaitu lebih dari 100 karya yang beliau ringkaskan.
Maka matan ini menggabungkan antara metode Jumhur yang pembahasannya mengakar
pada hal-hal dasar termasuk mewarnainya dengan permasalahan ilmu aqidah yang
menjadi konsep dasar lahirnya ilmu ushul fiqih. Sehingga karyanya ini berisi Ushul
Fiqih sekaligus Ushuluddin. Beserta metode Hanafiyyah yang lebih menekankan
pada banyaknya contoh penerapan pada fiqih. Tidak hanya menazhamkan, imam
As-Suyuthi -seperti kebiasaannya- beliau juga mengoreksi yang menurut beliau
kurang tepat, serta memberi tambahan-tambahan. Sehingga nama panjang nazhamnya
ini adalah :
الكَوْكَبُ السَّاطِعُ نَظْمُ جَمْعِ الْجَوَامِعِ
"Al-Kaukab As-Sathi' Nazhm
Jam'il Jawami"
Kalau diterjemahkan, maknanya adalah
: "Bintang yang bersinar terang, nazham dari Jam'ul Jawami'"
Dalam muqaddimah beliau mengatakan :
بِسْمِ اللهِ الرَّحمٰنِ الرَّحِيْمِ
[١]
للهِ حَمْدٌ لَا يَزَالُ سَرْمَدَا يُؤْذِنُ بِازْدِيَادِ مَنٍّ أَبَدَا
“Bagi
Allah segala pujian yang terus menerus selamanya
Mengumumkan
dengan tambahan ni’mat selamanya”
Lafazh Allah didahulukan memberi
makna pengkhususan, bahwa hanya Allah lah yang berhak mendapat pujian. Lafazh
"hamd" dengan tanwin sebagai nakirah, dan ia memberi makna
ketidakterbatasan. Artinya pujian milik Allah itu tidak terbatas, sangat luas
dan banyak. Pujian itu juga tidak ada hentinya selama-lamanya.
Yu'dzinu maknanya yu'linu
(mengumumkan, memberitahukan). Artinya, Dia (Allah) mengumumkan, memberitahukan
dengan adanya tambahan ni'mat selama-lamanya. Artinya, jika kita bersyukur,
ni'mat itu akan terus bertambah dan tiada henti, sebagaimana firman-Nya,
لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيْدَنَّكُمْ
"Jika kalian benar-benar
bersyukur, niscaya benar-benar akan Aku tambahkan untuk kalian" (QS. Ibrahim : 7).
Kata izdiyad lebih kuat daripada
ziyadah, karena memang ada tambahan huruf. Ini untuk menjaga makna bahwa dalam
ayat di atas juga diberi penguatan (taukid) pada kata "tambahan"
tersebut.
[۲]
ثُمَّ عَلَى نَبِيِّهِ وَحِبِّهِ صَلَاتُهُ وَآلِهِ وَصْحِبِهِ
“Kemudian atas
Nabi-Nya dan kekasih-Nya
Shalawat-Nya (dilimpahkan), dan kepada
keluarganya dan para sahabatnya”
Selanjutnya bershalawat kepada Nabi
Muhammad ﷺ. Shalawat dari Allah maknanya adalah
rahmat/kasih sayang. Dan tentu saja beliau adalah kekasih Allah, manusia yang
paling dicintai oleh Allah. Kata "hibb" sama dengan "habib"
bermakna kekekasih.
Keluarga dan sahabat yang mengikuti
beliau juga mendapatkan bagian doa shalawat ini. Inilah ni'matnya menjadi
pengikut Nabi, akan mendapat bagian dari kemuliaan Nabi. Karena beliau sangat
memperhatikan umat yang mengikutinya. Penuh kasih dan sayang kepada mereka.
[۳]
وَهٰذِهِ أُرْجُوْزَةٌ مُحَرَّرَةٌ أَبْيَاتُهَا مِثْلُ النُّجُوْمِ
الْمُزْهِرَةِ
“Ini adalah
Urjuzah yang disusun dengan teliti
Bait-batinya seperti bintang-bintang yang
bersinar”
Urjuzah itu adalah suatu susunan
pola sya'ir atau disebut juga rojaz. Ia polanya dengan kata :
مُسْتَفْعِلٌ
Sebanyak enam kali. Yaitu :
مُسْتَفْعِلٌ مُسْتَفْعِلٌ مُسْتَفْعِلٌ مُسْتَفْعِلٌ مُسْتَفْعِلٌ مُسْتَفْعِلٌ
Nazhom ini disusun serapih dan
seteliti mungkin. Sehingga, setiap baitnya terasa indah dan ni'mat untuk
dihapalkan dan dipelajari, seperti bintang-bintang yang bersinar yang terlihat
indah di langit sana. Selain dapat memberi manfaat yang maksimal, memberi
kejelasan dan kecerahan pada ilmu yang sedang dibahas.
[٤]
ضَمَّنْتُهَا جَمْعَ الْجَوَامِعِ الَّذِي حَوَى
أُصُوْلَ الْفِقْهِ وَالدِّيْنِ الشَّذِي
“Aku
memasukkan ke dalamnya Jam’ul Jawami’ yang
Berisi Ushul
Fiqih dan (Ushul) agama yang harum semerbak”
Seperti yang telah disebutkan bahwa
imam As-Suyuthi dalam matannya ini menazhamkan matan Jam'ul Jawami' yang ditulis
oleh Al-Qadhi Tajuddin As-Subki yang memang ditulis dalam bentuk natsr (prosa)
bukan nazham, dengan koreksi dan tambahan-tambahan. Yang di dalamnya memuat
ilmu Ushul Fiqih sekaligus ushul agama. Maksudnya agama Islam yang harum
semerbak, indah memberi maslahat dan rahmat bagi seluruh alam. Ajarannya
membawa kedamaian dan ketentraman pada jiwa manusia.
[٥]
إِذْ لَمْ أَجِدْ قَبْلِي مَنْ أَبْدَاهُ نَظْمًا
وَلَا بِعِقْدِهِ حَلَّاهُ
“Karena aku
tidak menemukan sebelumku yang mengumpulkannya
Dalam bentuk
nazham, dan belum ada yang menghiasinya dengan kalung (keindahan irama nazham)”
Ini merupakan alasan ditulisnya
nazham ini, bahwa beliau belum menemukan orang sebelum beliau yang menazhamkan
matan Jam'ul Jawami' disamping ada matan lain yang dinazhamkan seperti
Mukhtashor Ibnu Hajib (570-646 H) dan Minhaj Al-Baidhawi (w.685 H), padahal
Jam'ul Jawami lebih unggul dan memiliki keistimewaan, yaitu memuat banyak ilmu
ushul fiqih yang diramu dari 100 karya lebih, lafazh-lafazhnya yang ringkas
yang tidak mungkin dapat diringkas lagi, terdapat tahqiq-tahqiq yang brilian
dan pembahasan permasalahan yang mendalam (an-nukat).
[٦]
وَلَمْ يَكُنْ مِنْ قَبْلِهِ قَدْ أُلِّفَا كَمِثْلِهِ
وَلَا الَّذِي بَعْدُ اقْتَفَى
“Dan
sungguh belum ditulis sebelumnya
Yang semisal
dengannya, dan tidak pula setelahnya yang mengikutinya”
Ini adalah alasan berikutnya. Bahwa
tidak ada ulama sebelumnya yang mampu menuliskan karya seperti Jam'ul Jawami'
begitu pun dalam masa setelahnya yang mengikutinya dalam keistimewaannya. Tentu
ini menurut penilaian imam As-Suyuthi pada masa beliau. Ini merupakan pujian
untuk menegaskan bahwa memang Jam'ul Jawami adalah karya yang luar biasa.
Dengan mau menazhamkannya saja, menunjukkan bahwa beliau mengakui
keistimewaannya.
[٧]
وَرُبَّمَا غَيَّرْتُ أَوْ أَزِيْدُ مَا كَانَ مَنْقُوْضًا وَمَا يُفِيْدُ
“Dan terkadang
aku merubah atau menambahkan
Apa yang dikritisi dan apa yang bermanfaat”
Imam As-Suyuthi menyebutkan sendiri
dalam syarah beliau terhadap nazham ini, bahwa dalam baitn ini mengandung laff
dan nasyr murottab (suatu gaya bahasa dalam ilmu Balaghah dengan
menyebutkan dua perkara atau lebih lalu setelahnya menyebutkan perkara-perkara
lain yang berkaitan dengan perkara sebelumnya yang dihubungkan secara tertib
susunannya). Dalam hal ini beliau menyebutkan "aku merubah dan
menambahkan" ini dua perkara. Lalu menyebutkan setelahnya "apa yang
dikritisi dan apa yang bermanfaat" ini juga dua perkara yang dihubungkan
kepada sebelumnya secara tertib, maka maknanya "aku merubah apa yang
dikritisi" dan "menambahkan apa yang bermanfaat".
Ini merupakan metodologi dalam
penyusunan nazham ini. Disamping beliau menuliskanya secara sebanding dengan
Jam'ul Jawami' dalam kualitas dan kebagusannya karena memuat seluruh isi yang
ada di dalamnya, beliau juga merubah sesuatu yang beliau kritisi dan
menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik, serta menambahkan sesuatu yang
bermanfaat seperti permasalahan yang belum disebutkan dan narasi adanya
perbedaan pendapat.
[٨]
فَلْيَدْعُهَا قَارِئُهَا وَالسَّامِعُ بِكَوْكَبٍ وَلَوْ يُزَادُ السَّاطِعُ
“Maka hendaklah
pembacanya dan pendengarnya menyebutnya
Al-Kaukab
(bintang/planet), dan alangkah baiknya kalau ditambahkan dengan As-Sathi’ (yang
bersinar)”
Inilah nama yang beliau berikan
untuk nazhamnya ini. Yaitu al-kaukab (bintang/planet) dan ditambahkan dengan
sifat as-sathi' (yang bersinar). Nama ini sebuah isti'aroh (kata pinjaman)
untuk menggambarkan keseluruhan isi dari nazham ini, dengan susunan irama
nazham yang indah, memuat banyak ilmu yang bermanfaat, yang memberikan kepuasan
bagi yang mempelajari ushul fiqih, semua itu disimbolkan dengan bintang/planet
yang bersinar. Dan seperti bintang yang memberi petunjuk di saat kegelapan di
daratan dan lautan, begitu pula nazham ini memberikan petunjuk yang jelas bagi
gelapnya kebodohan. Allah subhanahu wata'ala berfirman, "Dialah yang
menjadikan untuk kalian bintang-bintang agar kalian mendapatkan petunjuk dalam
kegelapan di dararan dan lautan." (QS. Al-A'raf : 97).
[٩]
وَاللهَ فِي كُلِّ أُمُوْرِي أَرْتَجِي وَمَا يَنُوْبُ فَإِلَيْهِ أَلْتَجِي
“Dan
kepada Allahlah dalam setiap urusanku aku berharap
Dan pada setiap
rintangannya, hanya kepada-Nya aku berlindung”
Dalam setiap usaha manusia, hanya
Allahlah yang berhak memberikan hasil. Maka sudah menjadi kemestian, agar hanya
Dialah yang diharapkan, sebelum dan sesudah usaha, di awal, di tengah dan di
akhir, dalam setiap detak usaha kita.
Sembari meyakini, seberapapun besar
kemampuan kita, hanyalah pemberian dari Allah. Tiada daya dan kekuatan
melainkan dari-Nya semata. Ketika menghadapi kesulitan dan rintangan, hanya
kepada-Nya kita berlindung memohon pertolongan. Ini pengingat bagi kita, bahwa
setiap amal shaleh yang dilakukan pasti ada rintangannya, terlebih amal shaleh
itu bernilai tingggi, yang manfaatnya luas dan terus mengalir, rintangannya
tentu lebih besar. Jika mampu melewati rintangan itu, keberhasilan pun akan
didapat. Kita bisa membayangkan bagaimana besarnya rintangan yang dihadapi oleh
para ulama dalam menuliskan karya mereka, hingga kita dapat menikmati
manfaatnya saat ini.
[١٠]
يُحْصَرُ هٰذَا النَّظْمُ فِي مُقَدِّمَةٍ وَبَعْدَهَا سَبْعَةُ كُتْبٍ مُحْكَمَةٍ
“Nazham ini
ruang lingkup pembahasannya terbatas pada muqaddimah
Dan setelahnya tujuh kitab yang pembahasannya
disusun secara mutqin (dengan usaha maksimal dan totalitas)”
Dalam bait ini beliau menyebutkan
isi nazhamnya secara umum. Yaitu diawali dengan muqaddimah, maksudnya
muqaddimah ilmu. Sedangkan dari bait awal hingga bait terakhir ini adalah
muqaddimah kitab. Dimana muqaddimah itu ada dua; muqaddimah kitab yang berisi
pengantar penulis tentang maksud, latar belakang dan alasan ditulisnya
kitab/nazham ini, dan muqaddimah ilmu yang berisi pendahuluan atau hal-hal yang
menjadi landasan bagi disiplin ilmu yang dibahas (mabadi al-fann).
Dalam muqaddimah ilmunya beliau
menjelaskan tentang pengertian Ushul Fiqih serta makna-makna turunan darinya,
serta beliau memasukkan pembahasan hukum ke dalam muqaddimahnya ini. Meskipun
sebetulnya pembahasan hukum itu merupakan bagian isi dari ilmu Ushul Fiqih, dan
ia merupakan buahnya. Seperti yang digambarkan oleh Al-Ghazali bahwa ushul
fiqih itu ibarat sebuah pohon, hukum/fiqih sebagai buahnya, dalil-dalil sebagai
pohonnya, cara memetik buah sebagai usaha untuk menyimpulkan hukum
(istinbath/istidlal) dan orang yang memetiknya sebagai mujtahid yang berusaha
melakukan istinbath.
Tujuh kitab itu adalah 5 pembahasan
dalil yaitu : Kitab, Sunnah, Ijma, Qiyas dan Istidlal. Lalu yang keenam Ta'adul
dan Taraju' tentang bagaimana menyikapi perbedaan di antara dalil-dalil
tersebut dan solusinya, dan yang ketujuh tentang Ijtihad, bagaimana prosesnya
dilakukan, siapakah orang yang berhak menjadi mujtahid, tentang fatwa, taqlid
dan seluruh yang berkaitan dengannya.
Pembahasan-pembahasan itu beliau
susun secara ihkam dan itqon, yaitu dengan usaha yang maksimal dan totalitas.
Setelah itu sebetulnya beliau
memberikan penutup yaitu berisi tentang inti-inti ilmu pensucian jiwa,
berkaitan dengan amalan-amalan hati yang dikenal dengan ilmu Tasawuf. Untuk
menegaskan bahwa ilmu ushul fiqih yang bertujuan menghasilkan fiqih, dan fiqih
yang merupakan amalan lahiriah/fisik tidak akan sempurna tanpa memperhatikan
kondisi batin dan usaha pensucian jiwa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar