Minggu, 26 Januari 2020

Syarah Nazham Ushul Fiqih Al-Kaukab As-Sathi' - KATA PENGANTAR

SYARAH 
NAZHAM USHUL FIQIH
AL-KAUKAB AS-SATHI'

KATA PENGANTAR



 Oleh : Muhammad Atim



Al-Kaukab As-Sathi’ adalah diantara matan ilmu Ushul Fiqih yang direkomendasikan. Ia berbentuk nazham (susunannya sesuai sastra sya'ir) yang ditulis oleh Abdurrahman Abu Bakar Jalaluddin As-Suyuthi yang dikenal dengan imam As-Suyuthi (849-911 H). Matan ini berisi seribuan bait, sehingga bisa disebut juga dengan alfiyah. Beliau menazhamkan matan ushul fiqih "Jam'ul jawami'" yang ditulis oleh Tajuddin As-Subki (727-771 H).
Seperti namanya "Jam'ul Jawami' (kumpulan dari kumpulan-kumpulan), matannya ini mengumpulkan ilmu ushul fiqih dari berbagai karya ulama, yaitu lebih dari 100 karya yang beliau ringkaskan. Maka matan ini menggabungkan antara metode Jumhur yang pembahasannya mengakar pada hal-hal dasar termasuk mewarnainya dengan permasalahan ilmu aqidah yang menjadi konsep dasar lahirnya ilmu ushul fiqih. Sehingga karyanya ini berisi Ushul Fiqih sekaligus Ushuluddin. Beserta metode Hanafiyyah yang lebih menekankan pada banyaknya contoh penerapan pada fiqih. Tidak hanya menazhamkan, imam As-Suyuthi -seperti kebiasaannya- beliau juga mengoreksi yang menurut beliau kurang tepat, serta memberi tambahan-tambahan. Sehingga nama panjang nazhamnya ini adalah :
الكَوْكَبُ السَّاطِعُ نَظْمُ جَمْعِ الْجَوَامِعِ
"Al-Kaukab As-Sathi' Nazhm Jam'il Jawami"
Kalau diterjemahkan, maknanya adalah : "Bintang yang bersinar terang, nazham dari Jam'ul Jawami'"
Dalam muqaddimah beliau mengatakan :

بِسْمِ اللهِ الرَّحمٰنِ الرَّحِيْمِ

[١] للهِ حَمْدٌ لَا يَزَالُ سَرْمَدَا          يُؤْذِنُ بِازْدِيَادِ مَنٍّ أَبَدَا
“Bagi Allah segala pujian yang terus menerus selamanya
Mengumumkan dengan tambahan ni’mat selamanya”

Lafazh Allah didahulukan memberi makna pengkhususan, bahwa hanya Allah lah yang berhak mendapat pujian. Lafazh "hamd" dengan tanwin sebagai nakirah, dan ia memberi makna ketidakterbatasan. Artinya pujian milik Allah itu tidak terbatas, sangat luas dan banyak. Pujian itu juga tidak ada hentinya selama-lamanya.
Yu'dzinu maknanya yu'linu (mengumumkan, memberitahukan). Artinya, Dia (Allah) mengumumkan, memberitahukan dengan adanya tambahan ni'mat selama-lamanya. Artinya, jika kita bersyukur, ni'mat itu akan terus bertambah dan tiada henti, sebagaimana firman-Nya,
لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيْدَنَّكُمْ
"Jika kalian benar-benar bersyukur, niscaya benar-benar akan Aku tambahkan untuk kalian" (QS. Ibrahim : 7).
Kata izdiyad lebih kuat daripada ziyadah, karena memang ada tambahan huruf. Ini untuk menjaga makna bahwa dalam ayat di atas juga diberi penguatan (taukid) pada kata "tambahan" tersebut.
[۲] ثُمَّ عَلَى نَبِيِّهِ وَحِبِّهِ             صَلَاتُهُ وَآلِهِ وَصْحِبِهِ
“Kemudian atas Nabi-Nya dan kekasih-Nya
 Shalawat-Nya (dilimpahkan), dan kepada keluarganya dan para sahabatnya”
Selanjutnya bershalawat kepada Nabi Muhammad . Shalawat dari Allah maknanya adalah rahmat/kasih sayang. Dan tentu saja beliau adalah kekasih Allah, manusia yang paling dicintai oleh Allah. Kata "hibb" sama dengan "habib" bermakna kekekasih.
Keluarga dan sahabat yang mengikuti beliau juga mendapatkan bagian doa shalawat ini. Inilah ni'matnya menjadi pengikut Nabi, akan mendapat bagian dari kemuliaan Nabi. Karena beliau sangat memperhatikan umat yang mengikutinya. Penuh kasih dan sayang kepada mereka.

[۳] وَهٰذِهِ أُرْجُوْزَةٌ مُحَرَّرَةٌ             أَبْيَاتُهَا مِثْلُ النُّجُوْمِ الْمُزْهِرَةِ
“Ini adalah Urjuzah yang disusun dengan teliti
 Bait-batinya seperti bintang-bintang yang bersinar”

Urjuzah itu adalah suatu susunan pola sya'ir atau disebut juga rojaz. Ia polanya dengan kata :
مُسْتَفْعِلٌ
Sebanyak enam kali. Yaitu :
مُسْتَفْعِلٌ مُسْتَفْعِلٌ مُسْتَفْعِلٌ           مُسْتَفْعِلٌ مُسْتَفْعِلٌ مُسْتَفْعِلٌ
Nazhom ini disusun serapih dan seteliti mungkin. Sehingga, setiap baitnya terasa indah dan ni'mat untuk dihapalkan dan dipelajari, seperti bintang-bintang yang bersinar yang terlihat indah di langit sana. Selain dapat memberi manfaat yang maksimal, memberi kejelasan dan kecerahan pada ilmu yang sedang dibahas.

[٤] ضَمَّنْتُهَا جَمْعَ الْجَوَامِعِ الَّذِي    حَوَى أُصُوْلَ الْفِقْهِ وَالدِّيْنِ الشَّذِي
“Aku memasukkan ke dalamnya Jam’ul Jawami’ yang
Berisi Ushul Fiqih dan (Ushul) agama yang harum semerbak”

Seperti yang telah disebutkan bahwa imam As-Suyuthi dalam matannya ini menazhamkan matan Jam'ul Jawami' yang ditulis oleh Al-Qadhi Tajuddin As-Subki yang memang ditulis dalam bentuk natsr (prosa) bukan nazham, dengan koreksi dan tambahan-tambahan. Yang di dalamnya memuat ilmu Ushul Fiqih sekaligus ushul agama. Maksudnya agama Islam yang harum semerbak, indah memberi maslahat dan rahmat bagi seluruh alam. Ajarannya membawa kedamaian dan ketentraman pada jiwa manusia.

[٥] إِذْ لَمْ أَجِدْ قَبْلِي مَنْ أَبْدَاهُ       نَظْمًا وَلَا بِعِقْدِهِ حَلَّاهُ
“Karena aku tidak menemukan sebelumku yang mengumpulkannya
Dalam bentuk nazham, dan belum ada yang menghiasinya dengan kalung (keindahan irama nazham)”

Ini merupakan alasan ditulisnya nazham ini, bahwa beliau belum menemukan orang sebelum beliau yang menazhamkan matan Jam'ul Jawami' disamping ada matan lain yang dinazhamkan seperti Mukhtashor Ibnu Hajib (570-646 H) dan Minhaj Al-Baidhawi (w.685 H), padahal Jam'ul Jawami lebih unggul dan memiliki keistimewaan, yaitu memuat banyak ilmu ushul fiqih yang diramu dari 100 karya lebih, lafazh-lafazhnya yang ringkas yang tidak mungkin dapat diringkas lagi, terdapat tahqiq-tahqiq yang brilian dan pembahasan permasalahan yang mendalam (an-nukat).
[٦] وَلَمْ يَكُنْ مِنْ قَبْلِهِ قَدْ أُلِّفَا       كَمِثْلِهِ وَلَا الَّذِي بَعْدُ اقْتَفَى
“Dan sungguh belum ditulis sebelumnya
Yang semisal dengannya, dan tidak pula setelahnya yang mengikutinya”

Ini adalah alasan berikutnya. Bahwa tidak ada ulama sebelumnya yang mampu menuliskan karya seperti Jam'ul Jawami' begitu pun dalam masa setelahnya yang mengikutinya dalam keistimewaannya. Tentu ini menurut penilaian imam As-Suyuthi pada masa beliau. Ini merupakan pujian untuk menegaskan bahwa memang Jam'ul Jawami adalah karya yang luar biasa. Dengan mau menazhamkannya saja, menunjukkan bahwa beliau mengakui keistimewaannya.

[٧] وَرُبَّمَا غَيَّرْتُ أَوْ أَزِيْدُ            مَا كَانَ مَنْقُوْضًا وَمَا يُفِيْدُ
“Dan terkadang aku merubah atau menambahkan
 Apa yang dikritisi dan apa yang bermanfaat”

Imam As-Suyuthi menyebutkan sendiri dalam syarah beliau terhadap nazham ini, bahwa dalam baitn ini mengandung laff dan nasyr murottab (suatu gaya bahasa dalam ilmu Balaghah dengan menyebutkan dua perkara atau lebih lalu setelahnya menyebutkan perkara-perkara lain yang berkaitan dengan perkara sebelumnya yang dihubungkan secara tertib susunannya). Dalam hal ini beliau menyebutkan "aku merubah dan menambahkan" ini dua perkara. Lalu menyebutkan setelahnya "apa yang dikritisi dan apa yang bermanfaat" ini juga dua perkara yang dihubungkan kepada sebelumnya secara tertib, maka maknanya "aku merubah apa yang dikritisi" dan "menambahkan apa yang bermanfaat".
Ini merupakan metodologi dalam penyusunan nazham ini. Disamping beliau menuliskanya secara sebanding dengan Jam'ul Jawami' dalam kualitas dan kebagusannya karena memuat seluruh isi yang ada di dalamnya, beliau juga merubah sesuatu yang beliau kritisi dan menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik, serta menambahkan sesuatu yang bermanfaat seperti permasalahan yang belum disebutkan dan narasi adanya perbedaan pendapat.

[٨] فَلْيَدْعُهَا قَارِئُهَا وَالسَّامِعُ         بِكَوْكَبٍ وَلَوْ يُزَادُ السَّاطِعُ
“Maka hendaklah pembacanya dan pendengarnya menyebutnya
Al-Kaukab (bintang/planet), dan alangkah baiknya kalau ditambahkan dengan As-Sathi’ (yang bersinar)”

Inilah nama yang beliau berikan untuk nazhamnya ini. Yaitu al-kaukab (bintang/planet) dan ditambahkan dengan sifat as-sathi' (yang bersinar). Nama ini sebuah isti'aroh (kata pinjaman) untuk menggambarkan keseluruhan isi dari nazham ini, dengan susunan irama nazham yang indah, memuat banyak ilmu yang bermanfaat, yang memberikan kepuasan bagi yang mempelajari ushul fiqih, semua itu disimbolkan dengan bintang/planet yang bersinar. Dan seperti bintang yang memberi petunjuk di saat kegelapan di daratan dan lautan, begitu pula nazham ini memberikan petunjuk yang jelas bagi gelapnya kebodohan. Allah subhanahu wata'ala berfirman, "Dialah yang menjadikan untuk kalian bintang-bintang agar kalian mendapatkan petunjuk dalam kegelapan di dararan dan lautan." (QS. Al-A'raf : 97).

[٩] وَاللهَ فِي كُلِّ أُمُوْرِي أَرْتَجِي             وَمَا يَنُوْبُ فَإِلَيْهِ أَلْتَجِي
“Dan kepada Allahlah dalam setiap urusanku aku berharap
Dan pada setiap rintangannya, hanya kepada-Nya aku berlindung”

Dalam setiap usaha manusia, hanya Allahlah yang berhak memberikan hasil. Maka sudah menjadi kemestian, agar hanya Dialah yang diharapkan, sebelum dan sesudah usaha, di awal, di tengah dan di akhir, dalam setiap detak usaha kita.
Sembari meyakini, seberapapun besar kemampuan kita, hanyalah pemberian dari Allah. Tiada daya dan kekuatan melainkan dari-Nya semata. Ketika menghadapi kesulitan dan rintangan, hanya kepada-Nya kita berlindung memohon pertolongan. Ini pengingat bagi kita, bahwa setiap amal shaleh yang dilakukan pasti ada rintangannya, terlebih amal shaleh itu bernilai tingggi, yang manfaatnya luas dan terus mengalir, rintangannya tentu lebih besar. Jika mampu melewati rintangan itu, keberhasilan pun akan didapat. Kita bisa membayangkan bagaimana besarnya rintangan yang dihadapi oleh para ulama dalam menuliskan karya mereka, hingga kita dapat menikmati manfaatnya saat ini.

[١٠] يُحْصَرُ هٰذَا النَّظْمُ فِي مُقَدِّمَةٍ         وَبَعْدَهَا سَبْعَةُ كُتْبٍ مُحْكَمَةٍ
“Nazham ini ruang lingkup pembahasannya terbatas pada muqaddimah
 Dan setelahnya tujuh kitab yang pembahasannya disusun secara mutqin (dengan usaha maksimal dan totalitas)”

Dalam bait ini beliau menyebutkan isi nazhamnya secara umum. Yaitu diawali dengan muqaddimah, maksudnya muqaddimah ilmu. Sedangkan dari bait awal hingga bait terakhir ini adalah muqaddimah kitab. Dimana muqaddimah itu ada dua; muqaddimah kitab yang berisi pengantar penulis tentang maksud, latar belakang dan alasan ditulisnya kitab/nazham ini, dan muqaddimah ilmu yang berisi pendahuluan atau hal-hal yang menjadi landasan bagi disiplin ilmu yang dibahas (mabadi al-fann).
Dalam muqaddimah ilmunya beliau menjelaskan tentang pengertian Ushul Fiqih serta makna-makna turunan darinya, serta beliau memasukkan pembahasan hukum ke dalam muqaddimahnya ini. Meskipun sebetulnya pembahasan hukum itu merupakan bagian isi dari ilmu Ushul Fiqih, dan ia merupakan buahnya. Seperti yang digambarkan oleh Al-Ghazali bahwa ushul fiqih itu ibarat sebuah pohon, hukum/fiqih sebagai buahnya, dalil-dalil sebagai pohonnya, cara memetik buah sebagai usaha untuk menyimpulkan hukum (istinbath/istidlal) dan orang yang memetiknya sebagai mujtahid yang berusaha melakukan istinbath.
Tujuh kitab itu adalah 5 pembahasan dalil yaitu : Kitab, Sunnah, Ijma, Qiyas dan Istidlal. Lalu yang keenam Ta'adul dan Taraju' tentang bagaimana menyikapi perbedaan di antara dalil-dalil tersebut dan solusinya, dan yang ketujuh tentang Ijtihad, bagaimana prosesnya dilakukan, siapakah orang yang berhak menjadi mujtahid, tentang fatwa, taqlid dan seluruh yang berkaitan dengannya.
Pembahasan-pembahasan itu beliau susun secara ihkam dan itqon, yaitu dengan usaha yang maksimal dan totalitas.
Setelah itu sebetulnya beliau memberikan penutup yaitu berisi tentang inti-inti ilmu pensucian jiwa, berkaitan dengan amalan-amalan hati yang dikenal dengan ilmu Tasawuf. Untuk menegaskan bahwa ilmu ushul fiqih yang bertujuan menghasilkan fiqih, dan fiqih yang merupakan amalan lahiriah/fisik tidak akan sempurna tanpa memperhatikan kondisi batin dan usaha pensucian jiwa.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar