Rabu, 22 Januari 2020

Perbuatan Nabi Penjelas Kewajiban

Oleh : Muhammad Atim

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam yang telah menurunkan syariat-Nya untuk kita. Shalawat dan salam terlimpah selalu untuk nabi dan rasul kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang diutus untuk menjelaskan syariat-Nya dan memberikan contoh pengamalannya sebagai teladan bagi kita.
Di antara cara penjelasan syariat atau khususnya hukum-hukum yang bersifat amaliah adalah melalui perbuatan (fi'il) yang dilakukan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam selain melalui perkataan (qaul) dan persetujuan (taqrir) dari beliau.
Para ulama ushul fiqih telah membahasnya secara khusus tentang perbuatan Nabi ini, baik dari segi pengklasifikasiannya maupun dari segi petunjuk makna (dilalah)nya terhadap hukum syariat.
Ada beberapa kategori perbuatan Nabi yang memberikan implikasi hukum yang berbeda-beda. Dalam tulisan kali ini, saya akan fokuskan pembahasan pada perbuatan Nabi yang menjadi perinci atau penjelas (tafshil atau bayan) bagi kewajiban yang bersifat global (mujmal). Dan secara khusus akan dikaji contoh penerapannya pada masalah yang wajib di dalam shalat.
Sebagaimana diketahui bahwa dalil syariat itu (Al-Qur'an dan Hadits), ada yang petunjuk maknanya jelas (wadhih ad-dilalah) dan ada yang tidak jelas (ghair wadhih ad-dilalah). Diantara yang tidak jelas itu adalah mujmal (global).
Mujmal menurut bahasa adalah sesuatu yang belum jelas (mubham). Sedangkan menurut istilah, para ulama ushul fiqih mendefinisikan, “Lafazh yang belum dipahami/masih tersembunyi maksudnya kecuali dengan penjelasan dari yang berbicara.”
Dalil yang mujmal tersebut baik terletak pada lafazhnya yang musytarok (satu lafazh memiliki banyak arti) tanpa ada keterangan pendukung (qarinah) yang menunjukkan kepada makna tertentu dari makna-makna tersebut, atau pada lafazh yang memang maknanya asing, tidak diketahui sebelumnya sama sekali sampai Allah dan rasul-Nya yang menjelaskannya, atau juga pada pengalihan makna secara bahasa kepada makna secara istilah.
Perintah kewajiban shalat di dalam Al-Qur’an bersifat mujmal dari segi pengalihan makna secara bahasa kepada makna secara istilah. Ketika Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَأَقِيْمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ
Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat.” (QS. Al-Baqarah : 43).
Makna shalat dalam ayat di atas tidaklah dipahami secara bahasa yang berarti doa. Tetapi terkesan, syariat memaksudkan pemaknaan lain dari kata “shalat” tersebut. Sehingga, ia menjadi mujmal yang belum dapat kita pahami maksud maknanya sampai syariat sendiri memberikan penjelasan. Maka segeralah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan melalui perbuatan beliau secara langsung. Beliau memberikan contoh pelaksanaan shalat sebagai penjelasan dan rincian dari kewajiban yang bersifat global tersebut. Di sinilah titik permasalahan yang menjadi pembahasan kita, yaitu perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menjadi rincian bagi kewajiban yang global, apakah juga menjadi wajib?
Para ulama mentahqiq permasalahan ini, bahwa hukumnya adalah wajib. Seperti Ibnu Rusyd Al-Qurthubi menyebutkan dalam muqaddimah kitab Bidayatul Mujtahid, “Dan yang dipilih menurut para ulama pentahqiq bahwa perbuatan Nabi itu jika datang sebagai penjelasan bagi sesuatu yang mujmal yang hukumnya wajib maka menunjukkan hukum wajib, jika datang sebagai penjelasan bagi sesuatu yang mujmal yang hukumnya mandub maka menunjukkan hukum mandub, jika tidak berupa penjelasan dari yang mujmal, apabila termasuk jenis qurbah (mendekatkan diri kepada Allah) maka menunjukkan mandub, dan apabila termasuk jenis yang mubah maka menunjukkan mubah.” (Bidayatul Mujtahid, hal.9).
Begitu pula Asy-Syaukani mengatakan, Maka jika ia (perbuatan Nabi) datang sebagai penjelasan, seperti sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat” dan “Ambillah dariku manasik haji kalian”, dan seperti memotong dari pergelangan tangan sebagai penjelasan untuk ayat pencurian, maka tidak ada perselisihan bahwa ia menjadi dalil bagi kami, dan ia wajib bagi kami.” (Irsyadul Fuhul, 1 : 202-203).
Berdasarkan hal di atas, bisa kita katakan bahwa seluruh perbuatan Nabi yang merinci kewajiban yang global itu pada asalnya adalah wajib, kecuali jika ada dalil lain yang mengalihkannya kepada hukum mandub. Berarti, pelaksanaan shalat yang dilakukan oleh beliau secara asal seluruhnya menunjukkan hukum wajib. Lalu mengapa pada sebagian tatacara shalat ada yang dikategorikan ke dalam hukum mandub? Hal ini karena ada dalil lain yang mengalihkannya kepada hukum mandub.
Hadits yang paling populer di kalangan ulama yang membedakan mana yang wajib dan mana yang tidak wajib di dalam shalat adalah hadits yang berisi pengajaran Nabi terhadap seorang Arab gunung yang tidak mengetahui tatacara shalat. Hadits ini dikenal dengan hadits Al-Musi’u Shalatuhu (orang yang shalatnya salah).

 عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ الْمَسْجِدَ فَدَخَلَ رَجُلٌ فَصَلَّى فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَدَّ وَقَالَ ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ فَرَجَعَ يُصَلِّي كَمَا صَلَّى ثُمَّ جَاءَ فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ ثَلَاثًا فَقَالَ وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ مَا أُحْسِنُ غَيْرَهُ فَعَلِّمْنِي فَقَالَ إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلَاةِ فَكَبِّرْ ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْدِلَ قَائِمًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا وَافْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلَاتِكَ كُلِّهَا
  Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke dalam masjid, lalu masuklah seorang lelaki, kemudian ia melaksanakan shalat. Setelah itu, ia datang dan memberi salam pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau menjawab salamnya. Beliau berkata, “Ulangilah shalatmu karena sesungguhnya engkau belum shalat.” Lalu ia pun shalat dan datang lalu memberi salam pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau tetap berkata yang sama seperti sebelumnya, “Ulangilah shalatmu karena sesungguhnya engkau belum shalat.” Sampai diulangi hingga tiga kali. Seorang lelaki tersebut berkata, “Demi yang mengutusmu membawa kebenaran, aku tidak bisa melakukan shalat yang lebih baik lagi dari yang telah kulakukan itu. Oleh karena itu, ajarilah aku!” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika engkau hendak shalat, maka bertakbirlah. Kemudian bacalah ayat Al-Qur’an yang mudah bagimu. Lalu ruku’lah hingga kamu merasa thumaninah di dalam ruku’. Lalu angkatlah hingga kamu tegak berdiri. Kemudian sujudlah hingga kamu merasa thumaninah di dalam sujud. Kemudian angkatlah hingga kamu merasa thumaninah dalam keadaan duduk. Kemudian sujudlah hinggal kamu merasa thumaninah di dalam sujud. Kemudian lakukanlah hal seperti itu dalam shalatmu seluruhnya.” (HR. Bukhari, no. 793 dan Muslim, no. 397).  
 Para ulama memahami bahwa hadits di atas menerangkan hal-hal yang wajib di dalam shalat. Sedangkan pelaksanan shalat Nabi yang lain yang tidak disebutkan di dalam hadits di atas hukumnya beralih menjadi sunnah. Sehingga, hadits inilah yang mengalihkan perbuatan Nabi yang menjadi perinci kewajiban global yang tadinya wajib menjadi sunnah. Alasannya, dalam hadits di atas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang menjelaskan pada waktu dibutuhkan, yaitu agar orang Arab gunung yang belum mengetahui tatacara shalat itu menjadi tahu, dan apa yang dijelaskan oleh beliau adalah ukuran yang cukup untuk membuat shalat menjadi sah. Sehingga, dapat dipahami bahwa bentuk pelaksanaan lain yang tidak disebutkan dalam hadits di atas menunjukkan sunnah. Sebagaimana yang disepakati dalam kaidah fiqih, “Mengakhirkan penjelasan pada saat dibutuhkan itu tidak boleh”. 
  Imam Nawawi berkata : “Ini adalah sebaik-baik dalil. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyebutkan kepada orang tersebut dalam hadits ini selain dari yang wajib.” (Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim, 4 : 265-266). Ibnu Daqiqil ‘id berkata : “Seringkali para ahli fiqih berdalil dengan hadits ini atas wajibnya apa yang disebutkan dan tidak wajibnya yang tidak disebutkan. Adapun wajib karena perintah yang terdapat di dalam hadits tersebut berkaitan erat dengan hukum wajib. Sedangkan yang tidak wajib, bukan semata keadaan asalnya tidak wajib, tetapi karena kondisi pada waktu itu adalah berupa pengajaran dan penjelasan kepada orang yang tidak tahu, hal demikian menuntut pembatasan wajib pada apa yang disebutkan saja.” (Fathul Bari, 3 : 246).

Rukun atau yang wajib dalam shalat dari hadits di atas dapat disimpulkan yaitu : (1) Berdiri disertai dengan kemampuan (2) Takbirotul Ihrom (3) Bacaan Al-Qur’an (Al-Fatihah) (4) Ruku disertai thuma’ninah (5) I’tidal (6) Sujud disertai thuma’ninah (7) Duduk di antara dua sujud disertai thuma’ninah. Secara umum kesimpulan ini disepakati oleh para ulama, hanya pada bagian-bagian tertentu terdapat perbedaan. Misalnya madzhab Hanafi memandang “membaca ayat Al-Qur’an yang mudah bagimu” tidak secara khusus bermakna Al-Fatihah tetapi ayat atau surat apa saja yang mudah untuk dibaca. Abu Hanifah menyebutkan minimalnya adalah satu ayat, sedangkan sahabat-sahabatnya menyebut minimal tiga ayat pendek atau satu ayat panjang. Sedangkan jumhur memandangnya adalah Al-Fatihah saja. (Bidayatul Mubtadi, hal.18, Bidayatul Mujtahid hal.108).
Imam Nawawi menyebutkan ada yang disepakati termasuk wajib yang tidak disebutkan dalam hadits di atas yaitu : (1) Niat, (2) Duduk tasyahud akhir dan (3) Tertib dalam melaksanakan rukun-rukun atau kewajiban-kewajibannya. Mengapa tiga hal ini tidak disebutkan padahal hadits di atas menerangkan yang wajib di dalam shalat? Imam Nawawi memberi asalan bahwa tidak disebutkannya ketiga hal tersebut karena sudah diketahui oleh orang tersebut akan kewajibannya sehingga tidak perlu dijelaskan. Beliau juga menyebutkan ada yang diperseilihkan kewajibannya yaitu : (1) Membaca tasyahud akhir (2) Membaca shalawat dan (3) Salam. Bagi yang meyakini kewajibannya, alasannya sama seperti sebelumnya. (Lihat Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim, 4:107-108). Selain memang kewajibannya ditetapkan di hadits-hadits yang lain.
Madzhab Hanafi tidak mewajibkan ketiga hal yang diperselisihkan di atas. (Bidayatul Mubtadi, hal.15)
Madzhab Maliki tidak mewajibkan shalawat. (Lihat Matan Al-Ahdhari, hal.12)
Madzhab Syafi’i meyakini kewajiban seluruhnya, dengan tambahan wajibnya niat ketika akan keluar dari shalat. (Lihat Matan Abi Syuja’, hal.9)
Adapun Madzhab Hanbali membedakan antara rukun dan wajib. Menurutnya, rukun adalah yang tidak gugur baik dengan sengaja, lupa atau tidak tahu, ia tetap harus dilaksanakan. Jika tidak dilaksanakan maka shalatnya tidak sah. Sedangkan wajib bisa gugur pelaksanaannya dengan lupa, dan setelah itu mesti sujud sahwi. Semua yang disebutkan di atas termasuk rukun menurut mereka. Sedangkan yang dikategorikan sebagai wajib adalah : takbir selain takbirotul ihrom, mengucapkan “sami’allahu liman hamidah”, tahmid dan tasbih ruku dan sujud, memohon ampunan sekali-sekali, tasyahud awal dan duduk padanya, yang pelaksanaannya gugur ketika lupa dan tidak perlu diulangi lagi, dan cukup diganti dengan sujud sahwi. (Lihat Zadul Mustaqni, hal. 47-48).
Demikianlah paparan singkat mengenai kesimpulan yang dirumuskan oleh para ulama khususnya empat madzhab mengenai yang wajib di dalam shalat. Mayoritas ulama menerima kaidah bahwa perbuatan Nabi yang menjadi perinci kewajiban yang global adalah termasuk wajib, sebagaimana telah dipaparkan di atas. Hal-hal yang dikecualikan menjadi sunnah, adalah karena ada dalil lain yang memalingkannya.
Wallahu A’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar