Oleh
: Muhammad Atim
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam yang telah menurunkan
syariat-Nya untuk kita. Shalawat dan salam terlimpah selalu untuk
nabi dan rasul kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam
yang diutus untuk menjelaskan syariat-Nya dan memberikan contoh
pengamalannya sebagai teladan bagi kita.
Di antara cara penjelasan syariat atau khususnya hukum-hukum yang
bersifat amaliah adalah melalui perbuatan (fi'il) yang
dilakukan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam selain
melalui perkataan (qaul) dan persetujuan (taqrir) dari
beliau.
Para ulama ushul fiqih telah membahasnya secara khusus tentang
perbuatan Nabi ini, baik dari segi pengklasifikasiannya maupun dari
segi petunjuk makna (dilalah)nya terhadap hukum syariat.
Ada beberapa kategori perbuatan Nabi yang memberikan implikasi hukum
yang berbeda-beda. Dalam tulisan kali ini, saya akan fokuskan
pembahasan pada perbuatan Nabi yang menjadi perinci atau penjelas
(tafshil atau bayan) bagi kewajiban yang bersifat
global (mujmal). Dan secara khusus akan dikaji contoh
penerapannya pada masalah yang wajib di dalam shalat.
Sebagaimana diketahui bahwa dalil syariat itu (Al-Qur'an dan Hadits),
ada yang petunjuk maknanya jelas (wadhih ad-dilalah) dan ada
yang tidak jelas (ghair wadhih ad-dilalah). Diantara yang
tidak jelas itu adalah mujmal (global).
Mujmal menurut bahasa adalah sesuatu yang belum jelas (mubham).
Sedangkan menurut istilah, para ulama ushul fiqih mendefinisikan,
“Lafazh yang belum dipahami/masih tersembunyi maksudnya kecuali
dengan penjelasan dari yang berbicara.”
Dalil yang mujmal tersebut baik
terletak pada lafazhnya yang musytarok (satu lafazh memiliki banyak
arti) tanpa ada keterangan pendukung (qarinah)
yang menunjukkan kepada makna tertentu dari
makna-makna tersebut, atau
pada lafazh yang memang maknanya asing, tidak diketahui sebelumnya
sama sekali sampai Allah dan rasul-Nya yang menjelaskannya, atau juga
pada pengalihan makna secara bahasa kepada makna secara istilah.
Perintah kewajiban shalat di dalam Al-Qur’an bersifat mujmal dari
segi pengalihan makna secara bahasa kepada makna secara istilah.
Ketika Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَأَقِيْمُوا
الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ
“Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat.” (QS.
Al-Baqarah : 43).
Makna shalat dalam ayat di atas
tidaklah dipahami secara bahasa yang berarti doa. Tetapi
terkesan, syariat memaksudkan pemaknaan lain dari kata “shalat”
tersebut. Sehingga, ia menjadi mujmal yang belum dapat kita pahami
maksud maknanya sampai syariat sendiri memberikan penjelasan. Maka
segeralah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan
melalui perbuatan beliau secara langsung. Beliau
memberikan contoh pelaksanaan shalat sebagai
penjelasan dan rincian dari kewajiban yang bersifat global tersebut.
Di sinilah titik permasalahan yang menjadi pembahasan kita, yaitu
perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang
menjadi rincian bagi
kewajiban yang global, apakah
juga menjadi wajib?
Para ulama mentahqiq permasalahan
ini, bahwa hukumnya adalah wajib. Seperti
Ibnu Rusyd Al-Qurthubi menyebutkan dalam muqaddimah kitab Bidayatul
Mujtahid, “Dan yang dipilih menurut para ulama pentahqiq
bahwa perbuatan Nabi itu jika datang sebagai penjelasan bagi sesuatu
yang mujmal yang hukumnya wajib maka menunjukkan hukum wajib, jika
datang sebagai penjelasan bagi sesuatu yang mujmal yang hukumnya
mandub maka menunjukkan hukum mandub, jika tidak berupa
penjelasan dari yang mujmal, apabila termasuk jenis qurbah
(mendekatkan diri kepada Allah) maka menunjukkan mandub, dan apabila
termasuk jenis yang mubah maka menunjukkan mubah.” (Bidayatul
Mujtahid, hal.9).
Begitu pula Asy-Syaukani mengatakan,
“Maka jika ia (perbuatan Nabi) datang sebagai
penjelasan, seperti sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat”
dan “Ambillah dariku manasik haji kalian”, dan seperti memotong
dari pergelangan tangan sebagai penjelasan untuk ayat pencurian, maka
tidak ada perselisihan bahwa ia menjadi dalil bagi kami, dan ia wajib
bagi kami.” (Irsyadul Fuhul, 1
: 202-203).
Berdasarkan
hal di atas, bisa kita katakan bahwa seluruh perbuatan Nabi yang
merinci kewajiban yang global itu pada asalnya adalah wajib, kecuali
jika ada dalil lain yang mengalihkannya kepada hukum mandub. Berarti,
pelaksanaan shalat yang dilakukan oleh beliau secara asal seluruhnya
menunjukkan hukum wajib. Lalu
mengapa pada sebagian tatacara
shalat ada yang dikategorikan ke dalam hukum mandub? Hal ini karena
ada dalil lain yang mengalihkannya kepada hukum mandub.
Hadits yang paling populer di
kalangan ulama yang membedakan mana yang wajib dan mana yang tidak
wajib di dalam shalat adalah hadits yang berisi pengajaran Nabi
terhadap seorang Arab gunung yang tidak mengetahui tatacara shalat.
Hadits ini dikenal dengan
hadits Al-Musi’u Shalatuhu (orang
yang shalatnya salah).
Para ulama memahami bahwa hadits di atas menerangkan hal-hal yang wajib di dalam shalat. Sedangkan pelaksanan shalat Nabi yang lain yang tidak disebutkan di dalam hadits di atas hukumnya beralih menjadi sunnah. Sehingga, hadits inilah yang mengalihkan perbuatan Nabi yang menjadi perinci kewajiban global yang tadinya wajib menjadi sunnah. Alasannya, dalam hadits di atas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang menjelaskan pada waktu dibutuhkan, yaitu agar orang Arab gunung yang belum mengetahui tatacara shalat itu menjadi tahu, dan apa yang dijelaskan oleh beliau adalah ukuran yang cukup untuk membuat shalat menjadi sah. Sehingga, dapat dipahami bahwa bentuk pelaksanaan lain yang tidak disebutkan dalam hadits di atas menunjukkan sunnah. Sebagaimana yang disepakati dalam kaidah fiqih, “Mengakhirkan penjelasan pada saat dibutuhkan itu tidak boleh”.
Imam Nawawi berkata : “Ini adalah sebaik-baik dalil. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyebutkan kepada orang tersebut dalam hadits ini selain dari yang wajib.” (Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim, 4 : 265-266). Ibnu Daqiqil ‘id berkata : “Seringkali para ahli fiqih berdalil dengan hadits ini atas wajibnya apa yang disebutkan dan tidak wajibnya yang tidak disebutkan. Adapun wajib karena perintah yang terdapat di dalam hadits tersebut berkaitan erat dengan hukum wajib. Sedangkan yang tidak wajib, bukan semata keadaan asalnya tidak wajib, tetapi karena kondisi pada waktu itu adalah berupa pengajaran dan penjelasan kepada orang yang tidak tahu, hal demikian menuntut pembatasan wajib pada apa yang disebutkan saja.” (Fathul Bari, 3 : 246).
Rukun atau yang wajib dalam shalat dari hadits di atas dapat disimpulkan yaitu : (1) Berdiri disertai dengan kemampuan (2) Takbirotul Ihrom (3) Bacaan Al-Qur’an (Al-Fatihah) (4) Ruku disertai thuma’ninah (5) I’tidal (6) Sujud disertai thuma’ninah (7) Duduk di antara dua sujud disertai thuma’ninah. Secara umum kesimpulan ini disepakati oleh para ulama, hanya pada bagian-bagian tertentu terdapat perbedaan. Misalnya madzhab Hanafi memandang “membaca ayat Al-Qur’an yang mudah bagimu” tidak secara khusus bermakna Al-Fatihah tetapi ayat atau surat apa saja yang mudah untuk dibaca. Abu Hanifah menyebutkan minimalnya adalah satu ayat, sedangkan sahabat-sahabatnya menyebut minimal tiga ayat pendek atau satu ayat panjang. Sedangkan jumhur memandangnya adalah Al-Fatihah saja. (Bidayatul Mubtadi, hal.18, Bidayatul Mujtahid hal.108).
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ دَخَلَ الْمَسْجِدَ فَدَخَلَ رَجُلٌ فَصَلَّى فَسَلَّمَ عَلَى
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَدَّ وَقَالَ ارْجِعْ
فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ فَرَجَعَ يُصَلِّي كَمَا صَلَّى ثُمَّ
جَاءَ فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَقَالَ ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ ثَلَاثًا فَقَالَ
وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ مَا أُحْسِنُ غَيْرَهُ فَعَلِّمْنِي فَقَالَ
إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلَاةِ فَكَبِّرْ ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ
مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا ثُمَّ
ارْفَعْ حَتَّى تَعْدِلَ قَائِمًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ
سَاجِدًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا وَافْعَلْ ذَلِكَ فِي
صَلَاتِكَ كُلِّهَا
Diriwayatkan
dari
Abu
Hurairah, bahwa
Nabi
shallallahu
‘alaihi wa sallam masuk
ke
dalam masjid,
lalu
masuklah seorang lelaki,
kemudian
ia melaksanakan shalat. Setelah itu, ia datang dan memberi salam pada
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam,
lalu beliau menjawab salamnya. Beliau berkata, “Ulangilah shalatmu
karena sesungguhnya engkau belum
shalat.” Lalu ia pun shalat dan datang lalu memberi
salam
pada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Beliau tetap berkata yang sama seperti sebelumnya, “Ulangilah
shalatmu karena sesungguhnya engkau belum
shalat.” Sampai diulangi hingga tiga kali. Seorang
lelaki
tersebut berkata, “Demi yang mengutusmu membawa kebenaran, aku
tidak bisa melakukan shalat yang
lebih baik lagi dari yang telah kulakukan itu.
Oleh
karena itu,
ajarilah aku!” Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam
bersabda, “Jika engkau hendak shalat, maka bertakbirlah. Kemudian
bacalah ayat Al-Qur’an
yang mudah bagimu. Lalu ruku’lah hingga
kamu merasa thumaninah di dalam ruku’.
Lalu angkatlah
hingga kamu tegak berdiri. Kemudian sujudlah hingga kamu merasa
thumaninah di dalam sujud. Kemudian angkatlah hingga kamu merasa
thumaninah dalam keadaan duduk. Kemudian sujudlah hinggal kamu merasa
thumaninah di dalam sujud. Kemudian lakukanlah hal seperti itu dalam
shalatmu
seluruhnya.”
(HR. Bukhari, no. 793 dan Muslim, no. 397). Para ulama memahami bahwa hadits di atas menerangkan hal-hal yang wajib di dalam shalat. Sedangkan pelaksanan shalat Nabi yang lain yang tidak disebutkan di dalam hadits di atas hukumnya beralih menjadi sunnah. Sehingga, hadits inilah yang mengalihkan perbuatan Nabi yang menjadi perinci kewajiban global yang tadinya wajib menjadi sunnah. Alasannya, dalam hadits di atas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang menjelaskan pada waktu dibutuhkan, yaitu agar orang Arab gunung yang belum mengetahui tatacara shalat itu menjadi tahu, dan apa yang dijelaskan oleh beliau adalah ukuran yang cukup untuk membuat shalat menjadi sah. Sehingga, dapat dipahami bahwa bentuk pelaksanaan lain yang tidak disebutkan dalam hadits di atas menunjukkan sunnah. Sebagaimana yang disepakati dalam kaidah fiqih, “Mengakhirkan penjelasan pada saat dibutuhkan itu tidak boleh”.
Imam Nawawi berkata : “Ini adalah sebaik-baik dalil. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyebutkan kepada orang tersebut dalam hadits ini selain dari yang wajib.” (Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim, 4 : 265-266). Ibnu Daqiqil ‘id berkata : “Seringkali para ahli fiqih berdalil dengan hadits ini atas wajibnya apa yang disebutkan dan tidak wajibnya yang tidak disebutkan. Adapun wajib karena perintah yang terdapat di dalam hadits tersebut berkaitan erat dengan hukum wajib. Sedangkan yang tidak wajib, bukan semata keadaan asalnya tidak wajib, tetapi karena kondisi pada waktu itu adalah berupa pengajaran dan penjelasan kepada orang yang tidak tahu, hal demikian menuntut pembatasan wajib pada apa yang disebutkan saja.” (Fathul Bari, 3 : 246).
Rukun atau yang wajib dalam shalat dari hadits di atas dapat disimpulkan yaitu : (1) Berdiri disertai dengan kemampuan (2) Takbirotul Ihrom (3) Bacaan Al-Qur’an (Al-Fatihah) (4) Ruku disertai thuma’ninah (5) I’tidal (6) Sujud disertai thuma’ninah (7) Duduk di antara dua sujud disertai thuma’ninah. Secara umum kesimpulan ini disepakati oleh para ulama, hanya pada bagian-bagian tertentu terdapat perbedaan. Misalnya madzhab Hanafi memandang “membaca ayat Al-Qur’an yang mudah bagimu” tidak secara khusus bermakna Al-Fatihah tetapi ayat atau surat apa saja yang mudah untuk dibaca. Abu Hanifah menyebutkan minimalnya adalah satu ayat, sedangkan sahabat-sahabatnya menyebut minimal tiga ayat pendek atau satu ayat panjang. Sedangkan jumhur memandangnya adalah Al-Fatihah saja. (Bidayatul Mubtadi, hal.18, Bidayatul Mujtahid hal.108).
Imam Nawawi menyebutkan ada yang disepakati termasuk wajib yang tidak
disebutkan dalam hadits di atas yaitu : (1) Niat, (2) Duduk tasyahud
akhir dan (3) Tertib dalam melaksanakan rukun-rukun atau
kewajiban-kewajibannya. Mengapa tiga hal ini tidak disebutkan padahal
hadits di atas menerangkan yang wajib di dalam shalat? Imam Nawawi
memberi asalan bahwa tidak disebutkannya ketiga hal tersebut karena
sudah diketahui oleh orang tersebut akan kewajibannya sehingga tidak
perlu dijelaskan. Beliau juga menyebutkan ada yang diperseilihkan
kewajibannya yaitu : (1) Membaca tasyahud akhir (2) Membaca shalawat
dan (3) Salam. Bagi yang meyakini kewajibannya, alasannya sama
seperti sebelumnya. (Lihat Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim,
4:107-108). Selain memang kewajibannya ditetapkan di hadits-hadits
yang lain.
Madzhab Hanafi tidak mewajibkan ketiga hal yang diperselisihkan di
atas. (Bidayatul Mubtadi, hal.15)
Madzhab Maliki tidak mewajibkan shalawat. (Lihat Matan Al-Ahdhari,
hal.12)
Madzhab Syafi’i meyakini kewajiban seluruhnya, dengan tambahan
wajibnya niat ketika akan keluar dari shalat. (Lihat Matan Abi
Syuja’, hal.9)
Adapun Madzhab Hanbali membedakan antara rukun dan wajib. Menurutnya,
rukun adalah yang tidak gugur baik dengan sengaja, lupa atau tidak
tahu, ia tetap harus dilaksanakan. Jika tidak dilaksanakan maka
shalatnya tidak sah. Sedangkan wajib bisa gugur pelaksanaannya dengan
lupa, dan setelah itu mesti sujud sahwi. Semua yang disebutkan di
atas termasuk rukun menurut mereka. Sedangkan yang dikategorikan
sebagai wajib adalah : takbir selain takbirotul ihrom, mengucapkan
“sami’allahu liman hamidah”,
tahmid dan tasbih ruku dan
sujud, memohon ampunan sekali-sekali,
tasyahud awal dan duduk padanya, yang pelaksanaannya gugur
ketika lupa dan tidak perlu diulangi lagi, dan cukup diganti dengan
sujud sahwi. (Lihat Zadul Mustaqni, hal. 47-48).
Demikianlah paparan singkat mengenai kesimpulan yang dirumuskan oleh
para ulama khususnya empat madzhab mengenai yang wajib di dalam
shalat. Mayoritas ulama menerima kaidah bahwa perbuatan Nabi yang
menjadi perinci kewajiban yang global adalah termasuk wajib,
sebagaimana telah dipaparkan di atas. Hal-hal yang dikecualikan
menjadi sunnah, adalah karena ada dalil lain yang memalingkannya.
Wallahu A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar