Muhammad Atim
Hidup yang sejenak ini terasa begitu melelahkan bagi para penghamba hawa
nafsu. Kucuran keringat, helatan
pikiran dan bara hati yang terus berkobar dalam sekat-sekat ruang ambisi dunia
yang bergemerlapan. Angan-angan yang terus melambung menjerat pikiran dalam
kebingungan, memenjarakan diri, dan terkapar dalam keterlantaran. Langkah yang terus meletih dalam balutan hari-hari yang
terus bergulir menggenapkan bulan dan tahun, namun tidak kunjung menemukan akhir
yang menentramkan jiwa. Ibarat menyusuri belantara hutan yang tak ada ujungnya
dan mengarungi lautan nan luas tak bertepi. Semakin dunia ini kita kejar,
justeru ia semakin menjauh. Mencicipi rinai hawa nafsu yang terpandang indah
dari luar tak ubahnya bagaikan menenggak air laut, yang semakin diminum malah
semakin menambah haus. “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan
hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya
dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan
atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah
(membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (QS.
Al-Jatsiyah : 23).
Suatu perbuatan dosa
terlihat indah dan menyenangkan, karena itulah ia menjadi daya tarik bagi
siapapun. Meski pada hakikatnya dosa itu sangat menjijikan, tetapi dengan
kreatifitas syetan, yang memang sejak awal telah bersumpah untuk menggoda
manusia, ia menyulapnya menjadi indah dan menyenangkan. Maka jadilah jalan
kedurhakaan itu lebih memukau dibanding jalan ketakwaan. Ibnul Jauzi rahimahullah
menguraikan, “Mungkin orang yang tidak berilmu menganggap bahwa daya tarik
akhirat itu lebih kuat, oleh sebab seringnya mendengar ancaman di dalam
Al-Qur’an. Tidaklah demikian. Sesungguhnya perumpamaan tabiat yang condong
kepada dunia bagaikan air yang mengalir yang mencari jalan menurun. Sedangkan
untuk mengangkatnya ke atas membutuhkan kesungguh-sungguhan.” Dan beliau
menegaskan, “Bukanlah suatu yang mengherankan seseorang itu dikalahkan oleh
hawa nafsu, tetapi yang mengherankan adalah jika ia dapat mengalahkannya!”
(Shaidul Khatir, hal.14-15).
Dengan daya tarik yang
memukau itu, tak sedikit manusia yang terjerumus dalam kubangan dosa.
Selesainya suatu dosa dilakukan, ternyata tidak habis perkara. Zat adiktifnya
memintanya untuk mengulangi. Jika seorang hamba itu lupa untuk kembali, ia akan
terus terjerat dalam lingkarannya. Dorongan pun semakin bertambah kuat untuk
terus mengguyur dahaga hawa nafsu. Namun, malangnya dahaga itu tak kunjung
hilang. Setelah itu yang tersisa adalah kegersangan jiwa. Seperti kata Ibnul
Qoyyim Al-Jauziyyah rahimahullah, “Di antara siksaan dosa adalah ia
memalingkan hati dari kesehatan dan keistiqomahannya kepada sakit dan
ketergelinciran. Hati terus menerus sakit dan terluka. Berbagai gizi untuk
kehidupan dan perbaikannya menjadi tidak bermanfaat. Karena efek dosa terhadap
hati bagaikan efek penyakit pada badan. Bahkan dosa adalah penyakit dan luka
hati itu sendiri. Tidak ada obat baginya kecuali meninggalkannya.” “Maka adakah
yang lebih keras siksaannya, kata beliau, di banding rasa takut, kegelisahan,
kesedihan, sempitnya dada dan dipalingkannya ia dari Allah dan negeri akhirat,
ketergantungannya kepada selain Allah dan terputusnya ia dari Allah dari segala
penjuru? Segala sesuatu yang bergantung dan mencinta kepada selain Allah, akan
menggiringnya kepada seburuk-buruk siksaan. Bahkan, tegasnya, ia akan beroleh
siksaan tiga kali; di dunia, di alam barzakh, dan negeri tempat kembali.”
(Ad-Da wad Dawa, hal.184-185). Memang, ada canda bahagia yang merekah di wajah,
bahkan tawa terbahak-bahak yang terlampiaskan dari ekspresi suatu dosa itu.
Tapi sesungguhnya, hati tak pernah bisa dibohongi. Jika nurani itu diberikan
haknya berbicara, ia akan menjerit histeris melebihi erangan rasa sakit mana
pun. Karena sesungguhnya batin itulah yang menjadi inti dari kehidupan manusia.
Apa yang didapat oleh Fir’aun
di puncak kekuasaannya dengan kesombongan tiada tandingan, ketika ia berani
mengatakan, “Aku tidak mengetahui tuhan selain aku!”, dan di kali keduanya ia
menyerukan, “Akulah tuhan kalian yang paling tinggi!”? Di tengah kemegahan
bangunan yang ia bangun, kekayaan yang melimpah dan bala tentara yang besar
jumlahnya, hatinya keras membatu, tiada ketentraman. Bahkan saat ini
diperlihatkan kepadanya neraka di pagi dan petang hari. “Kepada mereka
diperlihatkan neraka pada pagi dan petang, dan pada hari terjadinya kiamat,
(lalu kepada Malaikat diperintahkan), “masukkanlah Fir’aun dan kaumnya ke dalam
adzab yang sangat keras.” (QS. Ghafir : 46). Harta yang berlimpah ruah dan
terus bertambah pun, jika tidak ada keberkahan akibat dosa yang dilakukan, sama
sekali tidak membuat nyaman bagi jiwa. Lihatlah Qarun, apa kenyamanan yang ia
dapat dari harta yang kunci gudang-gudangnya saja terasa berat dipikul oleh
orang-orang yang kuat. Hatinya dipenuhi kezhaliman dan keangkuhan. Kebersamaannya
dengan harta tak membuatnya selamat, hingga akhirnya ditelan bumi dalam keadaan
hina. Dimana kepuasan hati dari kedurhakaan kaum Nabi Nuh as, kaum ‘Ad, Tsamud,
dan kaum Nabi Luth, yang justeru berujung pada kebinasaan?
Menumpuk dosa demi dosa,
yang terasa indah dan menyenangkan sesaat, tetapi menyisakan kegersangan jiwa
yang panjang. Godaan-godaannya selalu membuat terbuai, namun selanjutnya menipu
dan menyengsarakan. Daya tariknya memang begitu kuat. Bahkan orang yang telah
terbuai diumpamakan seperti anjing yang terus menerus menjulurkan lidahnya. “...tetapi
ia cenderung kepada dunia dan memperturutkan hawa nafsunya yang rendah, maka
perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya dijulurkannya lidahnya dan
jika kamu membiarkannya dia menjulurkan lidahnya (juga)...” (QS. Al-A’rof :
176). Orang-orang yang telah terjerat di lingkaran dosa itu selalu dalam
keadaan lapar dan kehausan. Aneka suguhan dosa yang mereka cicipi dan teguk,
ternyata tak pernah memberikan kepuasan. Perbuatan yang mereka lakukan, yang
diharapkan mendatangkan ketentraman dan balasan kebaikan, ternyata hanya
harapan kosong bak fatamorgana. “Dan orang-orang kafir, amal-amal mereka
adalah laksanan fatamorgana di tanah yang datar, yang di sangka air oleh
orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak
mendapatinya sesuatu apapun. Dan didapatinya (ketetapan) Allah di sisinya, lalu
Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat
cepat perhitungan-Nya.” (QS. An-Nuur : 39).
Seperti sebuah kesaksian
yang disampaikan oleh Ibnul Jauzi rahimahullah, “Saya melihat banyak
sekali manusia yang selalu melampaui batas dan selalu bergumul dengan dosa-dosa
dan kezhaliman, baik yang terang-terangan maupun yang sifatnya rahasia. Pada akhirnya,
tanpa pernah mereka duga, mereka kelelahan sendiri dengan perilaku mereka,
hingga tercerabutlah akar-akar prinsip hidupnya. Mereka telah meruntuhkan
pondasi yang telah mereka bangun dengan kokoh pada keluarga mereka. Itu semua
karena mereka melalaikan sisi kewajiban mereka kepada Allah. Mereka menyangka
bahwa amal baik yang mereka lakukan akan melebihi maksiat yang mereka perbuat,
namun perhitungan mereka keliru. Mereka kemudian terhempas gelombang tipu daya
syetan yang menenggelamkannya.” (Shaidul Khatir, 135-136).
Atau seperti pengakuan
sederhana dari pengalaman salafush-shaleh terhadap suatu perbuatan dosa, karena
bagi mereka kecilnya suatu dosa terasa sangat berat bagaikan gunung yang hendak
menimpanya, dan sesegera mungkin mereka dapat mendeteksi akibatnya. Fudhail bin
Iyadh di antaranya mengatakan, “Jika aku melakukan suatu maksiat, maka aku
melihat akibatnya dalam perilaku pembantu dan hewan tungganganku.” Bahkan Ibnu
Sirin, seorang tabi’in, mengetahui dosa yang membuatnya menjadi terlilit
hutang, yaitu karena sejak empat puluh tahun lalu ia mengatakan kepada
seseorang, “Wahai orang yang bangkrut!”. Inilah yang membuat Abu Sulaiman
Ad-Daroni berkata kepada Ahmad bin Abil Hiwari, “Dosa-dosa mereka sedikit tetapi
mereka mengetahui dari arah mana mereka dibalas. Sedangkan dosa-dosaku dan
dosa-dosamu banyak, tetapi kita tidak mengetahui dari arah mana kita akan
dibalas!” Begitulah orang-orang shaleh mengajarkan kita untuk segera mendeteksi
dosa sekecil apapun, dan segera pula untuk memohon ampun dan bertobat kepada
Allah. Dan ternyata, sekecil apapun dosa itu bisa mendatangkan dampak buruk.
Kegersangan jiwa itu
diakibatkan oleh kelamnya hati yang ternoda oleh dosa. Sebuah hadits
menjelaskan makna “ron” yang berarti “menutupi” dalam ayat “Sekali-kali
tidak demikian, sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati
mereka.” (QS. Al-Muthaffifin : 14), diriwayatkan dari Abu Hurairah ra dari
Nabi saw, beliau bersabda : “Sesungguhnya seorang hamba apabila melakukan
suatu dosa maka ia menjadi satu titik hitam di dalam hatinya, jika ia bertobat
darinya, dibersihkanlah hatinya, namun jika ia menambah maka bertambah pula
titik hitam itu. Itulah yang dimaksud firman Allah SWT, “Sekali-kali tidak
demikian, sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka.”
(HR. Tirmidzi).
[Tulisan-tulisan berseri
Membangun Motivasi Ruhiyah ini adalah calon BUKU yang semoga saja bisa tampil
lebih luas manfaatnya, untuk menyuburkan kembali ruhiyah yang tandus oleh
panasnya godaan dunia. Membangkitkan motivasi yang layu tetapi berakarkan keimanan
yang kokoh. Bukan sebatas motivasi duniawi yang rapuh. Mohon doanya!]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar