Jumat, 09 Desember 2016

Kegersangan Jiwa



Muhammad Atim

Hidup yang sejenak ini terasa begitu melelahkan bagi para penghamba hawa nafsu. Kucuran keringat, helatan pikiran dan bara hati yang terus berkobar dalam sekat-sekat ruang ambisi dunia yang bergemerlapan. Angan-angan yang terus melambung menjerat pikiran dalam kebingungan, memenjarakan diri, dan terkapar dalam keterlantaran. Langkah yang terus meletih dalam balutan hari-hari yang terus bergulir menggenapkan bulan dan tahun, namun tidak kunjung menemukan akhir yang menentramkan jiwa. Ibarat menyusuri belantara hutan yang tak ada ujungnya dan mengarungi lautan nan luas tak bertepi. Semakin dunia ini kita kejar, justeru ia semakin menjauh. Mencicipi rinai hawa nafsu yang terpandang indah dari luar tak ubahnya bagaikan menenggak air laut, yang semakin diminum malah semakin menambah haus. “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (QS. Al-Jatsiyah : 23).

Suatu perbuatan dosa terlihat indah dan menyenangkan, karena itulah ia menjadi daya tarik bagi siapapun. Meski pada hakikatnya dosa itu sangat menjijikan, tetapi dengan kreatifitas syetan, yang memang sejak awal telah bersumpah untuk menggoda manusia, ia menyulapnya menjadi indah dan menyenangkan. Maka jadilah jalan kedurhakaan itu lebih memukau dibanding jalan ketakwaan. Ibnul Jauzi rahimahullah menguraikan, “Mungkin orang yang tidak berilmu menganggap bahwa daya tarik akhirat itu lebih kuat, oleh sebab seringnya mendengar ancaman di dalam Al-Qur’an. Tidaklah demikian. Sesungguhnya perumpamaan tabiat yang condong kepada dunia bagaikan air yang mengalir yang mencari jalan menurun. Sedangkan untuk mengangkatnya ke atas membutuhkan kesungguh-sungguhan.” Dan beliau menegaskan, “Bukanlah suatu yang mengherankan seseorang itu dikalahkan oleh hawa nafsu, tetapi yang mengherankan adalah jika ia dapat mengalahkannya!” (Shaidul Khatir, hal.14-15).

Dengan daya tarik yang memukau itu, tak sedikit manusia yang terjerumus dalam kubangan dosa. Selesainya suatu dosa dilakukan, ternyata tidak habis perkara. Zat adiktifnya memintanya untuk mengulangi. Jika seorang hamba itu lupa untuk kembali, ia akan terus terjerat dalam lingkarannya. Dorongan pun semakin bertambah kuat untuk terus mengguyur dahaga hawa nafsu. Namun, malangnya dahaga itu tak kunjung hilang. Setelah itu yang tersisa adalah kegersangan jiwa. Seperti kata Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah rahimahullah, “Di antara siksaan dosa adalah ia memalingkan hati dari kesehatan dan keistiqomahannya kepada sakit dan ketergelinciran. Hati terus menerus sakit dan terluka. Berbagai gizi untuk kehidupan dan perbaikannya menjadi tidak bermanfaat. Karena efek dosa terhadap hati bagaikan efek penyakit pada badan. Bahkan dosa adalah penyakit dan luka hati itu sendiri. Tidak ada obat baginya kecuali meninggalkannya.” “Maka adakah yang lebih keras siksaannya, kata beliau, di banding rasa takut, kegelisahan, kesedihan, sempitnya dada dan dipalingkannya ia dari Allah dan negeri akhirat, ketergantungannya kepada selain Allah dan terputusnya ia dari Allah dari segala penjuru? Segala sesuatu yang bergantung dan mencinta kepada selain Allah, akan menggiringnya kepada seburuk-buruk siksaan. Bahkan, tegasnya, ia akan beroleh siksaan tiga kali; di dunia, di alam barzakh, dan negeri tempat kembali.” (Ad-Da wad Dawa, hal.184-185). Memang, ada canda bahagia yang merekah di wajah, bahkan tawa terbahak-bahak yang terlampiaskan dari ekspresi suatu dosa itu. Tapi sesungguhnya, hati tak pernah bisa dibohongi. Jika nurani itu diberikan haknya berbicara, ia akan menjerit histeris melebihi erangan rasa sakit mana pun. Karena sesungguhnya batin itulah yang menjadi inti dari kehidupan manusia.

Apa yang didapat oleh Fir’aun di puncak kekuasaannya dengan kesombongan tiada tandingan, ketika ia berani mengatakan, “Aku tidak mengetahui tuhan selain aku!”, dan di kali keduanya ia menyerukan, “Akulah tuhan kalian yang paling tinggi!”? Di tengah kemegahan bangunan yang ia bangun, kekayaan yang melimpah dan bala tentara yang besar jumlahnya, hatinya keras membatu, tiada ketentraman. Bahkan saat ini diperlihatkan kepadanya neraka di pagi dan petang hari. “Kepada mereka diperlihatkan neraka pada pagi dan petang, dan pada hari terjadinya kiamat, (lalu kepada Malaikat diperintahkan), “masukkanlah Fir’aun dan kaumnya ke dalam adzab yang sangat keras.” (QS. Ghafir : 46). Harta yang berlimpah ruah dan terus bertambah pun, jika tidak ada keberkahan akibat dosa yang dilakukan, sama sekali tidak membuat nyaman bagi jiwa. Lihatlah Qarun, apa kenyamanan yang ia dapat dari harta yang kunci gudang-gudangnya saja terasa berat dipikul oleh orang-orang yang kuat. Hatinya dipenuhi kezhaliman dan keangkuhan. Kebersamaannya dengan harta tak membuatnya selamat, hingga akhirnya ditelan bumi dalam keadaan hina. Dimana kepuasan hati dari kedurhakaan kaum Nabi Nuh as, kaum ‘Ad, Tsamud, dan kaum Nabi Luth, yang justeru berujung pada kebinasaan?

Menumpuk dosa demi dosa, yang terasa indah dan menyenangkan sesaat, tetapi menyisakan kegersangan jiwa yang panjang. Godaan-godaannya selalu membuat terbuai, namun selanjutnya menipu dan menyengsarakan. Daya tariknya memang begitu kuat. Bahkan orang yang telah terbuai diumpamakan seperti anjing yang terus menerus menjulurkan lidahnya. “...tetapi ia cenderung kepada dunia dan memperturutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya dijulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia menjulurkan lidahnya (juga)...” (QS. Al-A’rof : 176). Orang-orang yang telah terjerat di lingkaran dosa itu selalu dalam keadaan lapar dan kehausan. Aneka suguhan dosa yang mereka cicipi dan teguk, ternyata tak pernah memberikan kepuasan. Perbuatan yang mereka lakukan, yang diharapkan mendatangkan ketentraman dan balasan kebaikan, ternyata hanya harapan kosong bak fatamorgana. “Dan orang-orang kafir, amal-amal mereka adalah laksanan fatamorgana di tanah yang datar, yang di sangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. Dan didapatinya (ketetapan) Allah di sisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya.” (QS. An-Nuur : 39).

Seperti sebuah kesaksian yang disampaikan oleh Ibnul Jauzi rahimahullah, “Saya melihat banyak sekali manusia yang selalu melampaui batas dan selalu bergumul dengan dosa-dosa dan kezhaliman, baik yang terang-terangan maupun yang sifatnya rahasia. Pada akhirnya, tanpa pernah mereka duga, mereka kelelahan sendiri dengan perilaku mereka, hingga tercerabutlah akar-akar prinsip hidupnya. Mereka telah meruntuhkan pondasi yang telah mereka bangun dengan kokoh pada keluarga mereka. Itu semua karena mereka melalaikan sisi kewajiban mereka kepada Allah. Mereka menyangka bahwa amal baik yang mereka lakukan akan melebihi maksiat yang mereka perbuat, namun perhitungan mereka keliru. Mereka kemudian terhempas gelombang tipu daya syetan yang menenggelamkannya.” (Shaidul Khatir, 135-136).

Atau seperti pengakuan sederhana dari pengalaman salafush-shaleh terhadap suatu perbuatan dosa, karena bagi mereka kecilnya suatu dosa terasa sangat berat bagaikan gunung yang hendak menimpanya, dan sesegera mungkin mereka dapat mendeteksi akibatnya. Fudhail bin Iyadh di antaranya mengatakan, “Jika aku melakukan suatu maksiat, maka aku melihat akibatnya dalam perilaku pembantu dan hewan tungganganku.” Bahkan Ibnu Sirin, seorang tabi’in, mengetahui dosa yang membuatnya menjadi terlilit hutang, yaitu karena sejak empat puluh tahun lalu ia mengatakan kepada seseorang, “Wahai orang yang bangkrut!”. Inilah yang membuat Abu Sulaiman Ad-Daroni berkata kepada Ahmad bin Abil Hiwari, “Dosa-dosa mereka sedikit tetapi mereka mengetahui dari arah mana mereka dibalas. Sedangkan dosa-dosaku dan dosa-dosamu banyak, tetapi kita tidak mengetahui dari arah mana kita akan dibalas!” Begitulah orang-orang shaleh mengajarkan kita untuk segera mendeteksi dosa sekecil apapun, dan segera pula untuk memohon ampun dan bertobat kepada Allah. Dan ternyata, sekecil apapun dosa itu bisa mendatangkan dampak buruk.   

Kegersangan jiwa itu diakibatkan oleh kelamnya hati yang ternoda oleh dosa. Sebuah hadits menjelaskan makna “ron” yang berarti “menutupi” dalam ayat “Sekali-kali tidak demikian, sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka.” (QS. Al-Muthaffifin : 14), diriwayatkan dari Abu Hurairah ra dari Nabi saw, beliau bersabda : “Sesungguhnya seorang hamba apabila melakukan suatu dosa maka ia menjadi satu titik hitam di dalam hatinya, jika ia bertobat darinya, dibersihkanlah hatinya, namun jika ia menambah maka bertambah pula titik hitam itu. Itulah yang dimaksud firman Allah SWT, “Sekali-kali tidak demikian, sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka.” (HR. Tirmidzi).  


[Tulisan-tulisan berseri Membangun Motivasi Ruhiyah ini adalah calon BUKU yang semoga saja bisa tampil lebih luas manfaatnya, untuk menyuburkan kembali ruhiyah yang tandus oleh panasnya godaan dunia. Membangkitkan motivasi yang layu tetapi berakarkan keimanan yang kokoh. Bukan sebatas motivasi duniawi yang rapuh. Mohon doanya!]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar