Muhammad Atim
Tak mudah bagi jiwa yang telah terhanyut dalam keternodaan untuk kembali kepada kejernihannya. Sejak awal kita dihadirkan, di sebuah pentas kehidupan yang sarat tantangan, sebagai seonggok bayi suci yang dicintai dan disenangi oleh siapa pun. Dengan bekal fitrah untuk meniti jalan keselamatan. Hidup perlahan berubah dan mengubah diri kita. Waktu berjalan dengan pasti. Kertas putih diri kita dengan guratan-guratan fitrah dahulu, kini sudah tidak karuan lagi, penuh dengan noda yang berceceran. Kita tidak tahu kapan terakhir kali membersihkannya. Dan sesekali muncul tanya, bisakah ia kembali jernih seperti dulu? Wahai diri, kau begitu berbeda saat ini. Tangismu yang membuat riang gembira, senyum tawamu yang menawan menghiasi seisi rumah, tingkahmu yang menggemaskan, keberadaanmu yang selalu dirindukan. Kini semuanya telah lenyap. Kau telah banyak diubah oleh zaman yang kau pilih sendiri.
Ini adalah keniscayaan hidup yang dialami setiap
orang. Dalam setiap fasenya, ada nuansa yang berbeda-beda. Bukanlah kehidupan
manusia jika tidak ada tantangan. Tantanganlah yang mengklasifikasi manusia
menjadi berhasil, kurang berhasil dan tidak berhasil. Yang jelas semuanya
mengalami jatuh-bangun dalam meniti jalannya. Tidak ada manusia yang terbebas
dari kesalahan, hanya saja tingkat kesalahannya yang berbeda-beda. Untuk itulah
Alloh sejak sapaan pertama memaklumkan bahwa Dialah Sang Maha Pengasih, yang
kasih-Nya senantiasa memberi maaf tanpa batas.
Luas kasih-Nya itu, masih saja menyisakan ragu
pada sang hamba untuk kembali. Ataupun selalu tertipu oleh nafsu diri. Bisikan
nurani sering tak didengar. Cahaya pun tertutup. Jika diri telah terperangkap
oleh jeratan dosa (ahathot bihi khothiatuhu), maka sulit untuk keluar. Namun bukan
berarti tidak mungkin. Hanya saja butuh perjuangan berat. Daya tariknya lebih
kuat daripada orang yang mampu menjaga diri. Ini karena dalam dosa ada zat
adiktif yang selalu membuat ketagihan. Satu dosa akan mendorong anda kepada
dosa berikutnya. Maka sebenarnya, menjaga diri dari dosa sejak awal dapat
memperingan langkah anda untuk selamat.
Hidayah yang datang dari Alloh memang mesti
diawali oleh usaha manusia. Seringkali suatu ketergelinciran begitu terasa
ringan bagi orang yang telah membiasakannya. Padahal jika imannya bicara,
kecilnya dosa adalah gunung yang siap menimpanya. Apalagi besar dan
bertumpuk-tumpuk. Tragedi-tragedi mengoyak hati yang menimpa dirinya atau
sekitarnya memang seringkali menyadarkan dirinya. Tapi saat pahitnya hilang,
lenyap pula kesadaran itu. Pahit bencana pun tak lagi hinggap saat mengecap
manisnya dosa. "Dan apabila Kami memberikan suatu rahmat kepada manusia,
setelah mereka ditimpa bencana, mereka segera melakukan segala tipu daya
menentang ayat-ayat Kami..." (QS. Yunus: 21).
Jika kekuatan pengindra (quwwatul his) kita yang
selalu mengalami perbedaan kondisi tak mampu membuat kita konsisten dalam
kesadaran. Sesungguhnya ada kekuatan lain yang bisa kita optimalkan, yaitu
kekuatan membayangkan atau berimajinasi. Kekuatan ini dibagi kepada tiga macam.
Kekuatan membayangkan sesuatu yang pernah kita alami disebut quwwatut
takhoyyul. Kekuatan membayangkan beberapa hal yang pernah kita alami dengan
menginovasi rangkaiannya disebut quwwatut tafkir. Misalnya kita pernah
merasakan sakit gigi di satu waktu dan sakit kepala di waktu lain. Lalu kita
membayangkan bagaimana kalau keduanya terjadi dalam satu waktu. Dan ketiga
kekuatan membayangkan sesuatu yang belum pernah kita alami, ini disebut
quwwatul 'aql.
Dengan membayangkan peristiwa pahit yang pernah
dialami saja, kita akan terbawa sadar untuk tidak mengulangi kesalahan. Apalagi
jika kita berhasil menghadirkan kekuatan membayangkan yang belum pernah kita
alami. Di sinilah peran besar Al-Qur'an mendidik jiwa kita. Ketika Alloh SWT
menjelaskan di dalamnya suatu kejadian, atau keni'matan surga dan siksaan
neraka, begitu gamblang seakan-akan hadir di hadapan kita. Di sinilah kekuatan
akal kita seberapa jauh mampu mengimajinasikannya, dan selalu menghadirkannya
dalam benak kita di setiap jenak kehidupan. Inilah yang disebut dengan Tadabur.
Jika Rasulullah saw sampai kepada derajat 'ainul
yaqin karena telah menyaksikan langsung surga dan neraka, adapun kita bisa
sampai kepada derajat ilmul yaqin, menyaksikan dengan ilmu. Ayat-ayat Qouliyah
sebagai tanda pendorong bagi akal kita untuk bertadabur, dan ayat-ayat Kauniyah
yang terhampar di alam semesta adalah tanda pengingat agar kita mampu
mengaitkannya.
Inilah jalan yang membuat kita mampu kembali.
Seberat apapun dosa kita. Untuk memulai lembaran baru. Agar dosa itu terasa
sebagai beban berat. Agar kekuatan mengingat Alloh, membayangkan ni'mat dan
siksa-Nya dapat selalu kita hadirkan untuk selalu menyadarkan kita. Namun tetap
membutuhkan perjuangan berat, karena syetan akan selalu membuat akal kita
melupakannya. Dan perjuangan itu akan berbuah keistiqomahan dalam meniti tangga
demi tangga kesuksesan sejati.
Inilah jalan yang mesti selalu dijaga. Dan ia
telah dijaga oleh orang-orang sholeh pendahulu kita. Kehidupan mereka selalu
tak luput dari kesadaran akan sementaranya hidup di dunia dan abadinya hidup
akhirat. Jika mereka lupa, mereka senang jika saudaranya mengingatkannya
meskipun dengan acungan pedang.
Rasulullah saw bisa saja mendapat kesenangan
dunia, tetapi beliau memilih akhirat. Itulah yang membuat sahabat menangis
melihat tempat tinggalnya yang sangat sederhana. Tak ada waktu terlewat tanpa
mengingat Alloh, surga dan neraka selalu hadir dalam benak beliau. Pernah suatu
ketika beliau bersabda kepada para sahabatnya, "Sungguh, telah diperlihatkan
kepadaku surga dan neraka, kalaulah kalian mengetahui apa yang aku tahu,
niscaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis". Para sahabat pun
menangis sesenggukan membayangkan dahsyatnya kehidupan akhirat.
Bayang-bayang yang dapat menyadarkan mesti selalu
kita dengungkan. Seperti Aisyah ra yang menyadari betapa beratnya tanggung
jawab hidup, ia berkata: "Alangkah inginnya aku menjadi sesuatu yang
dilupakan (bukan manusia)." Begitu pula Umar ra berkata, "Andaikan
aku menjadi jerami ini. Andaikan aku tidak tercipta. Andaikan ibuku tidak
melahirkanku. Andaikan aku tidak menjadi apa-apa. Andaikan aku sesuatu yang
dilupakan!". (Ibnu Jauzi, Shifatush-Shofwah, 108).
Begitu pula bayang-bayang yang begitu kuat
mengingat akhirat. Utsman ra berkata, "Kalau aku berada di persimpangan
antara surga dan neraka, sedangkan aku tidak tahu kemana aku akan diperintah,
pastilah aku memilih menjadi asap sebelum aku tahu akan kembali kemana."
Sejak tiga puluh tahun lebih Abdullah bin Mas'ud rajin melewati tukang besi
yang sedang meniup ubunan api, ia berhenti sambil memandanginya lalu menangis,
dan ia pun pernah terjatuh ketika memandanginya. (Dari kitab Ibnu Rajab,
At-Takhwif minannaar). Ibnu Umar pernah meminum air dingin, tiba-tiba setelah
itu ia menangis. Ia menangis semakin keras. Ketika ditanya, "Apa yang
membuatmu menangis?" Ia menjawab, "Aku teringat sebuah ayat di dalam
kitab Alloh, "Dan dihalangi antara mereka dengan apa yang mereka
inginkan." (QS. Saba: 54). Maka aku tahu bahwa penghuni neraka tidak
menginginkan sesuatu selain air, sesungguhnya Alloh berfirman, "(penghuni
neraka berkata) : tuangkanlah kepada kami sedikit air atau apa saja dari rezeki
yang telah Alloh berikan kepada kalian". (QS. Al-A'rof: 50). (Ibnu Jauzi,
Sifatush-Shofwah, hal.209).
Maka kita perlu menghadirkan bayang-bayang itu.
Bagaimana kalau Alloh tidak mengampuni kita? Sudah cukupkah usaha kita memohon
ampun dan bertaubat? Ataukah kita hanya bermain-main saja? Belum cukupkah kasih
sayang Alloh yang tiada henti agar kita segera kembali? Alloh betapa Maha
Penyabar menyaksikan kedurhakaan kita. Sudah siapkah kita merasakan siksaan
yang satu harinya sama dengan seribu tahun dunia? Kulit yang ditebalkan
setebal-tebalnya agar merasa sebenar-benarnya, hingga semuanya telah hangus,
dibentuk seperti semula untuk diulanginya terus menerus tiada henti. Asapnya
mengepung dari tiga penjuru, tidak menjadi penaung apalagi penghilang panasnya.
Justeru menyemburkan bunga api yang sangat panas sebesar dan setinggi istana.
Bagaikan iring-iringan unta kuning. Panas api neraka yang berlipat tujuh puluh
kali dari api dunia. Yang bahan bakarnya manusia dan batu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar