Rabu, 28 Maret 2018

Bagaimanakah tatacara Ta’aruf?


Ta’aruf artinya saling mengenal. Terdapat dalam Al-Qur’an,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurot : 13).

Kaitannya dengan dua insan; laki-laki dan perempuan yang akan menikah, memang satu sama lain sebelum memutuskan untuk menikah, dianjurkan terlebih dahulu mengenal calon pasangannya. Hal itu sebagai jalan agar kita dapat melaksanakan perintah Rasulullah saw agar menikahi calon pasangan karena agamanya, atau karena keshalehannya. Karena, bagaimana mungkin kita dapat menikahi pasangan yang shaleh/shalehah kalau kita tidak mengenalnya?

Sebagaimana seorang laki-laki diperintahkan untuk menikahi perempuan karena agamanya,

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
“Dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Wanita itu dinikahi karena empat hal, karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya dan karena agamanya. Maka pilihlah karena agamanya, niscaya kamu akan beruntung."

(Shahih Bukhari no. 5090, Shahih Muslim no. 715, Shahih Ibnu Hibban no.4036, Sunan Kubro Nasai no.5318, Sunan Daruquthni no.3760, Sunan Shugra Baihaqi, no.1453).

Begitupun seorang perempuan diperintahkan untuk menikahi laki-laki karena agamanya,

عَنْ أَبِي حَاتِمٍ الْمُزَنِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا جَاءَكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ فَأَنْكِحُوهُ إِلَّا تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَإِنْ كَانَ فِيهِ قَالَ إِذَا جَاءَكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ فَأَنْكِحُوهُ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ. قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ وَأَبُو حَاتِمٍ الْمُزَنِيُّ لَهُ صُحْبَةٌ وَلَا نَعْرِفُ لَهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَيْرَ هَذَا الْحَدِيثِ

Dari Abu Hatim Al Muzani berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jika seseorang datang melamar (anak perempuan dan kerabat) kalian, sedang kalian ridha pada agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia. Jika tidak kalian lakukan, niscaya akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan." Para shahabat bertanya; "Meskipun dia tidak kaya." Beliau bersabda: "Jika seseorang datang melamar (anak perempuan) kalian, kalian ridha pada agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia." Beliau mengatakannya tiga kali. Abu Isa berkata; "Ini merupakan hadits hasan gharib. Abu Hatim Al Muzani adalah seorang sahabat, namun tidak kami ketahui dia meriwayatkan hadits dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam selain hadits ini." 

(Jami At-Tirmidzi no.1084, Sunan Shugro Baihaqi no.1456, Al-Mu’jam Al-Ausath Thabrani no.446, Al-Mu’jam Al-Kabir Thabrani no. 762)

Lalu bagaimanakah cara melakukan ta’aruf tersebut? Tentu saja dengan cara-cara yang tidak dilarang. Banyak cara yang dibolehkan untuk melakukan ta’aruf, setiap orang harus memilih cara yang lebih tepat sesuai kondisinya. Kalau saya poinkan, mungkin bisa dijabarkan seberti berikut,

Dengan menguji langsung calon tersebut tanpa disadarinya. Misalnya dengan cara kita datang pada waktu shalat di masjid dekat rumahnya, apakah dia ke masjid atau tidak pada saat waktu shalat, apabila calon tersebut lelaki. Jika tidak hadir, perlu dicek mungkin dia sedang sakit, bisa dengan menanyakan kepada jama’ahnya. Atau dengan menguji sikap amanahnya. Dan lebih baik lagi jika memang kita telah benar-benar mengenalnya sebagai orang yang baik agamanya karena orang tersebut ada di lingkungan aktifitas kita misalnya. Atau jika kita telah mengenal keluarganya, dengan mengenali lingkungan keluarganya dan juga menggali informasi dari pihak keluarganya.

Seperti halnya Rasulullah saw ketika menikahi Aisyah dan Hafshah. Beliau tidak terlalu repot mengenali keduanya, karena beliau telah mengenali ayahnya, yaitu Abu Bakar dan Umar. Jika pendidikan di keluarganya berjalan, biasanya karakter ayah akan turun kepada anak-anaknya. Dengan mengenali Abu Bakar, Rasulullah saw menikahi Aisyah karena karakternya tidak akan jauh beda. Begitu pula dengan mengenali Umar, Rasulullah saw menikahi Hafshah karena karakternya tidak akan jauh berbeda.

Bisa juga karena mereka adalah murid-murid kita di dalam suatu majlis ilmu yang sudah kita ketahui keshalehan dan keilmuan agamanya. Seperti halnya para ulama yang menikahkan putrinya kepada murid-muridnya.

Atau bisa jadi kita baru sebentar mengenalinya, tetapi keshalehan dan akhlaqnya membuat kita kagum. Ini juga bisa dilakukan. Seperti halnya Umar bin Khattab ketika beliau kagum terhadap seorang putri penjual susu, yang tidak mau berbuat curang meski tidak dilihat Umar yang saat itu sebagai khalifah dan meski disuruh oleh ibunya untuk mencampurkan susu dengan air. Umar yang mendengarnya dari balik dinding rumahnya, merasa sangat kagum lalu menyuruh anaknya (Ashim) untuk menikahi gadis tersebut. Dari pernikahan mereka ternyata melahirkan keturunan yang baik yang kemudian dikenal dengan khalifah Umar bin Abdul Aziz.

Selain mengenali lingkungan keluarganya, kita juga mesti mengenali lingkungan pergaulannnya, lingkungan pendidikannya, dan juga lingkungan aktifitas kerjanya. Karena lingkungan itu sangat mempengaruhi karakter diri seseorang. Hal itu bisa dilakukan dengan melihat terlebih dahulu biodatanya, dan juga menggali informasinya baik dari ustadz atau ustadzahnya, gurunya, teman-temannya, atau siapapun yang dimungkinkan dapat mengenalinya. 

Dan perlu diingat bahwa mengenal seseorang itu tidak mungkin dalam satu waktu mengenalinya secara keseluruhan. Ada saja hal-hal yang tidak kita ketahui dari seseorang. Oleh karena itu, ta’aruf untuk menuju ke jenjang pernikahan itu, bukan berarti kita telah benar-benar mengenalinya seratus persen, tetapi kita punya keyakinan dan menurut prasangka kita yang kuat (ghalabatu zhan) kita menganggap bahwa orang tersebut baik agama dan akhlaqnya serta layak untuk dijadikan pasangan. Dan selebihnya adalah tawakal.

Usaha mengenal untuk ke jenjang pernikahan itu puncaknya dengan dilakukan khitbah. Dalam khitbah itu calon laki-laki dianjurkan untuk melihat (nazhor) calon perempuan, agar dapat mengetahui langsung secara fisik. Juga saat itu adalah waktu untuk saling mengenal secara terbuka antara kedua belah pihak, dengan menanyakan informasi apapun yang diperlukan, tanpa ada yang ditutup-tutupi. Karena dengan khitbah inilah calon perempuan menjadi terikat, tidak boleh lagi dikhitbah oleh lelaki lain. Jika memang kedua belah pihak telah menerima dan siap untuk menikah, maka saat itulah ditentukan tanggal pernikahan. 

Karena ta’aruf menuju ke jenjang pernikahan itu tujuannya untuk memunculkan dugaan kuat saja agar yakin untuk melaksanakan pernikahan, maka sesungguhnya ta’aruf itu tidak pernah berhenti. Setelah menikah pun, sepasang suami istri, tetap saja mereka berdua terus melakukan ta’aruf. Bahkan mungkin sepanjang hayat. Agar dapat mengenal pasangan lebih jauh. Dengan saling mengenal tersebut, tujuannya adalah masing-masing dapat menyesuaikan diri dalam satu kesatuan rumah tangga, dan juga dapat saling melengkapi.

Wallahu A’lam.

(Muhammad Atim)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar