Sabtu, 26 Februari 2022

KEUTAMAAN ADAB

 


Oleh : Muhammad Atim, Lc

 

Apa itu adab?

Kata adab secara bahasa bermakna ad-du’a (undangan/ajakan). Maka ada kata ma’dubah (الْمَأْدُبَة) artinya undangan kepada hidangan makanan. Maka adab dinamakan adab karena ia adalah sesuatu yang orang diajak kepadanya. Mengajak orang kepada hal-hal yang terpuji dan melarang mereka dari hal-hal yang buruk. (Lihat Lisanul ‘Arab, Ibnu Manzhur, 1/206, Fathul Bari, Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, 13/433).

Sedangkan secara istilah, ada definisi-definisi yang diungkapkan oleh para ulama. Diantaranya Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah (w.751 H) mendefinisikan :

الأَدَبُ : اِجْتِمَاعُ خِصَالِ الْخَيْرِ فِي الْعَبْدِ

“Adab adalah berkumpulnya sifat-sifat baik pada seorang hamba” (Madarijus Salikin, 2/100)

Ibnu Hajar Al-‘Asqalani (w.852 H) mendefinisikan  :

الأَدَبُ : اِسْتِعْمَالُ مَا يُحْمَدُ قَوْلًا وَفِعْلًا

“Adab adalah menerapkan segala sesuatu yang terpuji baik berupa perkataan maupun perbuatan”.

Lalu Ibnu Hajar menyebutkan definisi lainnya :

الأَخْذُ بِمَكَارِمِ الْأَخْلَاقِ

“Melaksanakan akhlaq-akhlaq yang mulia”.

الوُقُوْفُ مَعَ الْمُسْتَحْسَنَاتِ

“Berpegang kepada hal-hal yang baik/bagus”. (Fathul Bari, 13/433).

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa adab adalah kumpulan sifat-sifat terpuji yang dilaksanakan oleh seorang hamba baik berupa perkataan maupun perbuatan. Sifat-sifat tersebut merupakan akhlaq yang mulia, yang baik, bagus dan indah.

Adab menempati posisi yang tinggi di dalam Islam. Seseorang yang melaksanakan adab-adab Islam artinya dia mengamalkan ajaran Islam secara keseluruhannya. Oleh karena itu Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah mengatakan : “Adab adalah agama Islam secara keseluruhannya”. (Madarijus Salikin, 2/107).

Syariat Islam itu memiliki tiga dimensi, yaitu dimensi aqidah (keyakinan), dimensi fiqih (amalan secara fisik) dan dimensi akhlaq atau adab (amalan hati yang tercermin dalam sifat-sifat terpuji). Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam hadits Jibril as yang terkenal yang menerangkan tentang tiga rukun agama, yaitu iman, islam dan ihsan. Pokok dari aqidah adalah 6 rukun iman, pokok dari fiqih adalah 5 rukun islam, dan pokok dari akhlaq atau adab adalah 1 rukun ihsan. Rukun ihsan itu sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah adalah “engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat Allah, jika tidak mampu melakukannya maka (yakinilah) bahwa sesungguhnya Allah melihatmu”. Inilah yang disebut dengan muroqobah, yaitu meyakini dan merasakan, melihat dengan mata batin, kehadiran Allah SWT dalam setiap gerak-gerik kita, sehingga menjadikan seluruh gerak-gerik hidup kita sebagai ibadah kepada-Nya dengan kualitas yang terbaik, dan selalu merasa bahwa Allah mengawasi dan memperhatikan kita.

Pelaksanaan adab itu merupakan puncak dari pengamalan ajaran Islam. Aqidah adalah standar seseorang menjadi muslim, fiqih merupakan standar seseorang beramal shaleh secara benar, sedangkan dengan akhlaq atau adab seseorang dapat sampai kepada kesempurnaan, kualitas terbaik dan keindahan dalam beramal shaleh.

Untuk itu Rasulullah bersabda dalam hadits :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا

“Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, ia berkata, Rasulullah bersabda : “Orang beriman yang paling sempurna imannya adalah yang paling bagus akhlaqnya”. (HR. Abu Dawud no.4682, At-Tirmidzi no.1162).

Al-Jalajili Al-Bashri berkata :

التَّوْحِيْدُ يُوْجِبُ الْإِيْمَانَ فَمَنْ لَا إِيْمَانَ لَهُ لَا تَوْحِيْدَ لَهُ، وَالْإِيْمَانُ يُوْجِبُ الشَّرِيْعَةَ فَمَنْ لَا شَرِيْعَةَ لَهُ لَا إِيْمَانَ لَهُ وَلَا تَوْحِيْدَ لَهُ، وَالشَّرِيْعَةُ تُوْجِبُ الْأَدَبَ فَمَنْ لَا أَدَبَ لَهُ لَا شَرِيْعَةَ لَهُ وَلَا إِيْمَانَ لَهُ وَلَا تَوْحِيْدَ لَهُ

“Tauhid itu mengharuskan adanya iman, siapa yang tidak beriman maka tidak ada tauhid baginya, iman itu mengharuskan adanya syariah, siapa yang tidak melaksanakan syariat maka tidak ada iman dan tidak ada tauhid baginya, dan syariat itu mengharuskan adanya adab, siapa yang tidak melaksanakan adab maka tidak ada syariat, tidak ada iman dan tidak ada tauhid baginya”. (Ar-Risalah Al-Qusyairiyyah, hal.316-317, Nukhbatul Mathlub min syarhi Muthahharatil Qulub, Muhammad Hasan bin Ahmad Khadim Al-Ya’qubi, hal.19).

Abu Bakar Ad-Dainuri berkata : “Tidaklah orang sampai kepada derajat yang tinggi dengan banyak shalat, shaum dan shadaqah, tetapi ia sampai kepada derajat yang tinggi hanyalah dengan adab.” Ibnu Abi Al-‘Asyair berkata : “Tidaklah sampai para wali kepada apa yang telah mereka capai kecuali dengan adab.” (Nukhbatul Mathlub min syarhi Muthahharatil Qulub, Muhammad Hasan bin Ahmad Khadim Al-Ya’qubi, hal.19).

Adab itu menyempurnakan dan memperindah setiap amal yang kita lakukan. Secara umum ia terbagi kepada tiga, yaitu adab kepada Allah, adab kepada sesama makhluk dan adab kepada diri sendiri. Dalam surat Al-Hujurat, yang disebut sebagai surat akhlaq atau adab, terangkum adab-adab ini. Dalam adab kepada makhluk khususnya kepada sesama manusia lebih dirinci dari mulai adab kepada Rasulullah , adab kepada sesama orang beriman, baik yang taat maupun yang fasiknya, baik ketika ia hadir di hadapan ataupun saat ia tidak ada, dan adab kepada sesama manusia secara umum. Karena adab ini untuk menyempurnakan dan memperindah amal, maka ia masuk ke dalam seluruh pelaksanaan syariat. Maka secara hukum, adab ini ada yang bersifat wajib dan ada yang sunnah. Jika berkaitan dengan larangan, ada yang termasuk haram dan ada yang termasuk makruh. Bahkan ada di antara adab jika seseorang tidak mengamalkannya ia bisa terjerumus kepada kemurtadan. Misalnya menghina Allah dan Rasul-Nya, atau melecehkan diantara syiar-syiar dan hal-hal yang sakral/disucikan dalam Islam. Inilah yang diperingatkan dalam surat Al-Hujurat, bahwa tidak beradab kepada Rasulullah misalnya mengeraskan suara di hadapannya bisa menyebabkan gugurnya pahala amalan, artinya bisa terjerumus kepada kemurtadan karena kemurtadan itu menghapus seluruh amal shaleh yang telah dilakukan.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلَا تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَنْ تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian meninggikan suara kalian melebihi suara Nabi, dan janganlah kalian berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalan kalian, sedangkan kalian tidak menyadari.” (QS. Al-Hujurat : 2).

Karena pelaksanaan adab merupakan puncak dari pelaksanaan ajaran Islam, maka pengamalan dan pembiasaannya harus dimulai sejak dini. Tidak seperti aqidah yang bisa saja dalam waktu yang sebentar seseorang dapat beriman menyakini aqidah Islam, atau ilmu yang bisa dengan cepat ditangkap oleh akal, karena adab itu karakter yang tertanam di dalam diri, ia membutuhkan proses yang tidak sebentar. Maka belajar untuk mengamalkan dan membiasakan adab itu mesti didahulukan daripada mempelajari ilmu secara kognitif.

Dalam tafsir ayat :

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا قُوْا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيْكُمْ نَارًا

“Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS. At-Tahrim: 6).

Ali radhiyallahu ‘anhu berkata :

أَدِّبُوهُمْ، عَلِّمُوْهُمْ

“Ajarkanlah mereka adab, ajarkanlah mereka ilmu.” (Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 8 hal.167)

Imam Malik rahimahullah berkata kepada seorang pemuda Quraisy :

يَا بْنَ أَخِي، تَعَلَّمِ الْأَدَبَ قَبْلَ أَنْ تَتَعَلَّمَ الْعِلْمَ

“Wahai anak saudaraku, pelajarilah adab sebelum engkau belajar ilmu”. (Hilyatul Aulia, Abu Nu’aim Al-Asfahani, 6/330).

Abdullah bin Mubarok berkata :

طَلَبْتُ الْأَدَبَ ثَلَاثِيْنَ سَنَةً وَطَلَبْتُ الْعِلْمَ عِشْرِيْنَ سَنَةً

“Aku mempelajari adab selama tiga puluh tahun dan aku mempelajari ilmu selama dua puluh tahun”. (Ghayatun Nihayah fi Thabaqatil Qurra, Ibnul Jazari, 1/399).

Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata :

إِنْ كَانَ الرَّجُلُ لَيَخْرُجُ فِي أَدَبٍ يَكْسِبُهُ السِّنِيْنَ ثُمَّ السِّنِيْنَ

“Jika seseorang keluar untuk belajar adab, maka ia akan memperolehnya selama bertahun-tahun”.

Habib bin Syahid berkata kepada anaknya :

يَا بُنَيَّ! اِصْحَبِ الْفُقَهَاءَ وَالْعُلَمَاءَ، وَتَعَلَّمْ مِنْهُمْ، وَخُذْ مِنْ أَدَبِهِمْ، فَإِنَّ ذَلِكَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ كَثِيْرٍ مِنَ الْحَدِيْثِ

“Wahai anakku! Bergaulah bersama para ahli fiqih dan para ulama, belajarlah dari mereka, dan ambillah adab mereka, karena sesungguhnya hal itu lebih aku sukai daripada banyak meriwayatkan hadits”.

 Makhlad bin Husain berkata kepada Abdullah bin Mubarok :

نَحْنُ إِلَى كَثِيْرٍ مِنَ الْأَدَبِ أَحْوَجُ مِنَّا إِلَى كَثِيْرٍ مِنَ الْحَدِيْثِ

“Kita lebih membutuhkan kepada banyak adab daripada kepada banyak meriwayatkan hadits”.

وَقِيْلَ لِلشَّافِعِي رَحِمَهُ اللهُ : كَيْفَ شَهْوَتُكَ لِلْأَدَبِ؟ قَالَ : أَسْمَعُ بِالْحَرْفِ مِنْهُ مِمَّا لَمْ أَسْمَعْهُ فَتَوَدُّ أَعْضَائِي أَنَّ لَهَا أَسْمَاعًا تَتَنَعَّمُ بِهِ، وَقِيْلَ : وَكَيْفَ طَلَبُكَ لَهُ ؟ قَالَ : طَلَبُ الْمَرْأَةِ الْمُضِلَّةِ وَلَدَهَا وَلَيْسَ لَهَا غَيْرُهُ

Dikatakan kepada imam Syafi'i rahimahullah, "Bagaimanakah syahwat (ambisi)mu kepada adab?” Beliau menjawab, "Aku mendengarkan satu huruf dari belajar adab sesuatu yang belum pernah aku dengar, seluruh anggota badanku sangat ingin memiliki pendengaran agar dapat menikmatinya (tidak hanya telinga)." “Lalu bagaimana pencarianmu terhadapnya?” Ia menjawab : "Seperti seorang perempuan mencari anaknya yang hilang dan dia tidak memiliki anak yang lain"

(Perkataan para ulama di atas terdapat dalam kitab Tadzkirotus Sami wal Mutakallim, Ibnu Jama’ah, hal.31-33).

Saking pentingnya adab, jika kita mengamati Al-Qur’an dan Hadits, kita akan dapati keduanya sangat penuh dengan pengajaran adab baik dalam perkataan maupun perbuatan.

Dalam Al-Fatihah saja kita sudah diajari adab bagaimana berbicara atau berdoa kepada Allah. Yaitu ketika kita berdoa,

اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ. صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّيْنَ

“Tunjukilah kami jalan yang lurus. Yaitu jalan orang-orang yang Engkau beri ni’mat kepada mereka, bukan jalan mereka yang dimurkai, bukan pula jalan mereka yang sesat”.

Ketika kita menyebut ni’mat, kita sandarkan kepada Allah “Engkau beri ni’mat”, tapi ketika kita menyebut tentang kemurkaan dan kesesatan, kita tidak menyandarkannya kepada Allah, kita mengatakan “mereka yang dimurkai dan mereka yang sesat”, kita tidak mengatakan “Engkau murkai dan Engkau sesatkan”, ini merupakan adab kepada Allah, bahwa segala kebaikan itu disandarkan kepada Allah, sedangkan segala keburukan tidak disandarkan kepada Allah.

Iblis adalah contoh dalam bersikap tidak beradab kepada Allah, yaitu ketika ia sendiri memilih jalan kesesatan dengan membangkang kepada perintah Allah, ia malah menuduh bahwa Allahlah yang telah menyesatkannya,

فَبِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيْمَ

“Karena Engkau telah menyesatkan aku, maka pasti aku akan selalu menghalangi mereka dari jalan-Mu yang lurus.” (QS. Al-A’raf : 16).

Akhirnya Iblis pun menjadi makhluk yang terlaknat dan divonis menjadi penghuni neraka.

Dalam hal adab kepada sesama muslim misalnya, selain dirinci di dalam surat Al-Hujurat, Rasulullah juga menjelaskan :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَحَاسَدُوا وَلَا تَنَاجَشُوا وَلَا تَبَاغَضُوا وَلَا تَدَابَرُوا وَلَا يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا، الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يَخْذُلُهُ وَلَا يَحْقِرُهُ، التَّقْوَى هَاهُنَا وَيُشِيرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنْ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ

Dari Abu Hurairah dia berkata; Rasulullah bersabda, "Janganlah kalian saling mendengki, saling memfitnah, saling membenci, dan saling memusuhi. Janganlah ada seseorang di antara kalian yang berjual beli sesuatu yang masih dalam penawaran muslim lainnya dan jadilah kalian hamba-hamba Allah yang saling bersaudara. Muslim yang satu dengan muslim yang lainnya adalah bersaudara tidak boleh menyakiti, merendahkan, ataupun menghina. Takwa itu ada di sini (Rasulullah menunjuk dadanya), beliau mengucapkannya sebanyak tiga kali. Seseorang telah dianggap berbuat jahat apabila ia menghina saudaranya sesama muslim. Muslim yang satu dengan yang Iainnya haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya." (HR. Muslim no.2564).

Semoga Allah SWT memberikan hidayah dan taufiq-Nya kepada kita semua agar dapat mengamalkan dan berpegang teguh kepada adab-adab Islam.

4 komentar:

  1. بارك الله فيك وجزاك الله خيرا

    BalasHapus
  2. Jazakallaahu khoiran katsiira ustadz

    BalasHapus
  3. Assalaamu'alaikum... Mohon idzin copast Pak Ustadz... Semoga bermanfaat...

    BalasHapus