Senin, 08 Maret 2021

Tegasnya Kewajiban Jilbab


  

Oleh : Muhammad Atim

 

وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖ وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ

“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada mereka”

 (QS. An-Nuur : 31)

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ۚ

ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

“Wahai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan ke atas mereka jilbab-jilbab mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

(QS. Al-Ahzab : 59).

 

Kewajiban berjilbab bagi wanita muslimah masih saja ada yang mempersoalkan. Baik datang dari orang di luar Islam yang tidak senang kepada identitas orang Islam dan bentuk ketaatan kepada agamanya. Atau bahkan, yang lebih miris, datang dari mulut-mulut orang yang mengaku beragama Islam. Mereka begitu alergi dan antipati terhadap syariat yang satu ini. Dengan berbagai tuduhan dan cap negatif. Bahkan tanpa malu-malu, mereka menggunakan dalil-dalil syariat sekehendak mereka, tanpa ada pertanggungjawaban secara keilmuan Islam.

Makna Jilbab

  Di antara dalih orang yang mengatakan jilbab tidak wajib adalah adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang makna jilbab. Lalu berkesimpulan bahwa memakai jilbab tidak wajib, dan yang wajib menurutnya adalah memakai pakaian terhormat. Tanpa ada kejelasan batasan terhormat itu, karena tradisi antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya tentu berbeda. Sehingga implikasinya, wanita muslimah yang tidak memakai kerudung, terbuka rambut, leher dan tangannya dianggap sah-sah saja tidak melanggar syariat. Ini adalah kesimpulan keliru dan ngawur.

Jilbab menurut bahasa berasal dari kata al-jalbu yang berarti suqusy-syai’i min maudhi’in ila akhor (mendorong/memindahkan sesuatu dari satu tempat ke tempat lain). (Lisanul ‘Arob, 1/268).

Sedangkan menurut istilah, memang terjadi perbedaan redaksi dari para ulama, tetapi secara makna berdekatan dan mengarah kepada inti maksud yang sama.

Al-Qurthubi dalam tafsirnya mengatakan : “Al-Jalabib adalah bentuk jama dari jilbab, dia adalah pakaian yang lebih besar dari kerudung. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud bahwa dia adalah rida (kain atasan yang diapakai oleh laki-laki saat ihrom), dan ada juga yang berpendapat dia adalah qina (penutup kepala). Yang benar bahwa ia adalah pakaian yang menutup seluruh badan. Dalam shahih muslim dari Ummu Athiyyah : saya berkata : “Wahai Rasulullah! Salah seorang dari kami tidak memiliki jilbab? Beliau menjawab : “Hendaklah saudarinya memakaikannya jilbabnya.”

Untuk itu Ibnul ‘Arobi mengatakan dalam tafsir Ahkamnya, “Orang-orang (para ulama) berbeda pendapat tentang jilbab dengan lafazh-lafazh yang berdekatan. Intinya adalah pakaian yang menutupi badan. Tetapi mereka menyebutkannya secara bervariasi. Ada yang mengatakan bahwa ia adalah rida, dan ada yang mengatakan ia adalah qina (penutup kepala)”. (Ahkamul Qur’an, 3/625).

Muhammad Thahir bin Asyur mengatakan : “Jalabib adalah jama dari jilbab, ia adalah pakaian yang lebih kecil dari rida dan lebih besar dari kerudung dan penutup kepala, yang diletakkan oleh perempuan di atas kepalanya lalu dua pinggirnya terulur diatas ‘idzar (batas antara telinga dan pipi) dan keseluruhannya terulur di atas kedua pundak dan punggungnya, yang ia pakai ketika keluar dan safar. Cara-cara pemakaian jilbab berbeda-beda sesuai dengan perbedaan kondisi perempuan yang diperjelas oleh tradisinya. Dan maksudnya adalah apa yang ditunjukki oleh firman Allah SWT : “Hal itu lebih mudah agar mereka dikenali, lalu mereka tidak diganggu.” (At-Tahrir wat Tanwir, 22/106-107).

Abu Hayyan dalam kitab tafsirnya Al-Bahrul Muhith menukil satu pendapat, yang pendapat ini layak menjadi kesimpulan akhir dari makna jilbab, yaitu : “Jilbab adalah setiap pakaian yang dipakai oleh perempuan di atas pakaian rumahannya. Dan ada juga yang mengatakan, “setiap apa yang dipakai oleh perempuan untuk menutupi dirinya baik berupa pakaian ataupun yang lainnya.” (Al-Bahrul Muhith, 7/240).

Dari pemaparan makna jilbab di atas, tidak satu pun makna yang mengarah kepada bolehnya terlihat kepala atau leher. Makna jilbab itu mulai dari kerudung, atau lebih besar dari kerudung dan lebih kecil dari rida (selendang atasan pakaian ihrom laki-laki), atau rida itu sendiri, atau pakaian besar yang menutupi seluruh tubuhnya. Pada intinya ia adalah pakaian di atas pakaian yang biasa dipakai di dalam rumah, untuk menutupi seluruh auratnya. Kesimpulannya, pakaian apapun yang dipakai oleh perempuan untuk menutupi seluruh auratnya adalah jilbab. Makna jilbab yang seperti ini disebut juga dengan istilah hijab.

Ketegasan wajibnya jilbab

Pertama, bisa kita pahami dari ayat, “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (QS. An-Nuur : 31).

Para ulama menjelaskan bahwa perhiasan itu ada yang bersifat khilqiyyah dan ada yang bersifat mushthaniah. Ibnu Asyur mengutip dari Ibnu ‘Arobi yang mengatakan : “Perhiasan itu ada dua macam. Kholqiyyah (yang diciptakan) dan mushthaniah (yang dibuat oleh manusia). Adapun khilqiyyah adalah sebagian besar badan perempuan dan khususnya : wajah, dua pergelangan, dua lengan atas, dua payudara, dua betis dan rambut. Dan adapun musthaniah adalah apa yang sudah menjadi tradisi bagi perempuan seperti perhiasan, menghias pakaian dan mewarnainya, dan juga seperti celak mata, mewarnai dengan pacar (henna) dan siwak.”

Dalam ayat di atas terdapat larangan, dan larangan secara asal menunjukkan kepada hukum haram. Yaitu larangan menampakkan perhiasan baik itu khilqiyyah yaitu seluruh tubuhnya maupun mushthaniah yaitu pakaian, perhiasan dan hiasannya. Lalu setelah itu dikecualikan dengan perkataan “kecuali apa yang biasa tampak.”

Apa yang biasa nampak itu, sebagaimana dijelaskan oleh An-Nasafi, “yang telah berlaku dalam kebiasaan (‘adah) dan tuntutan fitrah sebagai manusia (jibillah) atas tampaknya”. (Tafsir An-Nasafi, 2/500). Ibnu Katsir juga menjelaskan, “yaitu maksudnya janganlah mereka menampakkan sesuatu pun dari perhiasan itu kepada para lelaki yang bukan mahram kecuali yang tidak mungkin dapat disembunyikan.” (Tafsir Ibnu Katsir, 6/45).

Di sini kita tidak boleh sembarangan memaknai yang biasa tampak itu, misalnya dengan dikembalikan kepada tradisi masyarakatnya. Jika begitu, hukum menjadi tidak jelas, karena tradisi masyarakat sangat beragam. Lalu bagaimana dengan masyarakat yang hanya memakai beberapa lembar kain saja untuk menutupi tubuhnya? Padahal, yang namanya pengecualian ukurannya mesti lebih sedikit daripada hukum asalnya. Maka, yang biasa tampak itu dipastikan mengandung makna tertentu yang telah jelas. Yaitu yang menjadi tuntutan kebutuhan hidup sebagai manusia yang tidak mungkin untuk disembunyikan. Dalam hal ini, para ulama terbagi kepada dua pendapat dalam memaknainya.

Ibnu Abdil Bar menyebutkan : “Para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan firman Allah azza wa jalla : “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak dari padanya.” Diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Ibnu Umar  “kecuali apa yang biasa tampak” adalah wajah dan kedua telapak tangan. Dan diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud “apa yang biasa tampak” adalah pakaian. Ia berkata : janganlah mereka menampakkan anting, kalung, gelang dan gelang kaki, kecuali apa yang biasa nampak dari pakaian.” Lalu ia melanjutkan, “Dan para tabi’in juga berbeda pendapat kepada dua pendapat ini, dan para ahli fiqih banyak yang berpegang kepada pendapat Ibnu Abbas dan Ibnu Umar.” (At-Tamhid, 7/368-369).

Dari dua pendapat itu, pendapat pertama mengecualikan dari perhiasan khilqiyyah yaitu wajah dan kedua telapak tangan, juga perhiasan mushthaniah yaitu pakaian dan perhiasan yang ada pada wajah dan telapak tangan seperti cicin dan celak mata. Sedangkan pendapat kedua, hanya mengecualikan dari perhiasan mushthaniah saja yaitu pakaian luar yang biasa tampak.

Wajah dan kedua telapak tangan adalah perhiasan yang sulit untuk disembunyikan karena tuntutan kebutuhan hidup memaksanya untuk menampakkannya. Asy-Syirozi menerangkan dalam kitab Al-Muhadzabnya : “Kalaulah wajah dan telapak tangan itu aurat, tentu tidak akan diharamkan menutupinya pada saat ihram. Dan karena kebutuhan menuntut kepada menampakkan wajah untuk melakukan transaksi jual beli, dan menampakkan tangan untuk mengambil dan memberi. Maka, ia tidak menjadikan hal itu sebagai aurat.” (Al-Muhadzab, 2/220).

Ini adalah pendapat jumhur ulama. Hanya saja ulama hanafi menambahkan yang boleh tampak itu adalah kaki bagian bawah (qadam). Mereka beralasan bahwa kaki itu dibutuhkan secara mendesak untuk berjalan, khususnya yang fakir di antara mereka, sebagaimana disebutkan oleh An-Nasafi dalam tafsirnya.

Sedangkan pendapat kedua berpandangan bahwa wajah pun mesti ditutup. Sehingga inilah menjadi alasan wajibnya memakai cadar.

Jadi, kalau kita telusuri pendapat para ulama, mereka hanya berselisih tentang wajah, kedua telapak tangan dan kedua kaki bagian bawah, tidak ada yang memperselisihkan apakah kepala atau leher itu aurat apakah tidak. Artinya, sudah menjadi ijma para ulama bahwa selain itu adalah aurat.

Bahkan, penyebutan kata perhiasan, tanpa menyebutkan anggota badan yang menjadi tempat dipakainya perhiasan tersebut menunjukkan mubalagah (makna yang dilebih-lebihkan) dalam hal menutup aurat, sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Alusi dalam tafsirnya. (Lihat Ruhul Ma’ani, 7/335).

Kedua, ayat “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya” sangat jelas menunjukkan kepada hukum wajibnya berjilbab. Karena dalam ayat ini mengandung perintah dan perintah secara asal menunjukkan kepada hukum wajib. As-Suyuthi menafsirkan “hendaklah mereka menutupi kepala-kepala, leher-leher dan dada-dada mereka.” (Tafsir Jalalain, hal. 353). Al-Alusi menguraikan, “Ini adalah tuntunan kepada tatacara menyembunyikan sebagian tempat-tempat perhiasan setelah adanya larangan dari menampakkannya. Al-Khumur adalah bentuk jama dari Al-Khimar, yaitu kain penutup yang dipakaikan ke atas kepalanya (kerudung). Al-Juyub bentuk jama dari jaib yaitu lubang yang terbuka di bagian atas gamis yang dapat menampakkan sebagaian tubuh. Yang dimaksud dalam ayat ini sebagaimana Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu Jubair yaitu Allah memerintahkan mereka untuk menutupi leher-leher mereka dan dada-dada mereka dengan kerudung agar tidak terlihat darinya sedikit pun. Dahulu para perempuan menutup kepala mereka dengan kerudung dan mengulurkannya seperti kebiasaan jahiliyyah dari belakang punggungnya lalu nampaklah leher-leher mereka dan sebagian dada mereka.” (Lihat Ruhul Ma’ani, 7/336-337).

Ketiga, ayat yang berbunyi “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya” diulang lagi dalam lanjutan ayatnya sebagai penguatan (taukid).

Keempat, ayat "Hendaklah mereka mengulurkan ke atas mereka jilbab-jilbab mereka" (QS. Al-Ahzab : 59). Kata yudnina meskipun dalam bentuk khobar, tetapi yang dimaksudkan di sini adalah bermakna perintah, sebagaimana hal itu maklum dalam ilmu Ushul Fiqih. Coba perhatikan pada kata ‘alaihinna (ke atas mereka), ini menunjukkan jilbab itu mesti diulurkan ke seluruh tubuh mereka, tentu dikecualikan wajah dan telapak tangan sebagaimana menurut jumhur ulama. Lalu Allah menyebutkan “Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”  Ini merupakan hikmah yang Allah berikan melalui perintah wajibnya memakai jilbab. Bahwa memakai jilbab itu, bagaimana pun cara memakaikannya dan bentuk kainnya, yang menutupi seluruh tubuh sebagaimana telah dijelaskan, adalah identitas seorang muslimah yang dengan itu ia mudah dikenali, juga untuk membedakan wanita muslimah merdeka dengan para budak wanita pada masa awal Islam. Selain itu, jilbab juga sebagai alat untuk menjaga diri dari gangguan orang-orang munafik yang suka menggoda perempuan.

Dengan berbagai redaksi dalam ayat-ayat di atas yang menunjukkan kepada wajibnya wanita muslimah menutup seluruh auratnya yang diistilahkan dengan berjilbab atau berhijab, menunjukkan syariat ini tidak main-main, harus dilakukan secara sungguh-sungguh. Jika kita renungkan juga hadits-hadits Nabi tentang hal ini, maka kita akan dapati ketegasan syariat ini, bahkan dengan syarat-syaratnya yang mesti dipenuhi, yaitu : mesti menutupi seluruh badan, tidak tipis yang membuat tembus pandang, tidak ketat sehingga menampilkan bentuk-bentuk tubuh, selain itu jenis pakaiannya tidak mencolok sehingga menarik perhatian kaum lelaki, atau bahkan memakai pakain untuk popularitas yang disebut dengan syuhroh, tidak pula disertai dengan parfum yang semerbak sehingga dapat menggoda kaum lelaki. Selain itu, pakaian yang dipakai juga tidak boleh menyerupai pakaian lelaki, juga bukan pakaian khusus penganut agama lain.

Dengan tegasnya kewajiban jilbab ini, bukanlah untuk merendahkan perempuan, justeru sebaliknya, untuk memuliakannya dan menjaga kehormatannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar