Jumat, 05 Maret 2021

Ilmu itu didatangi, tidak mendatangi

 


Inilah prinsip menuntut ilmu di dalam Islam. Islam sangat memuliakan ilmu, menempatkannya pada posisi yang sangat tinggi. Seseorang tidak dikatakan berislam dengan benar kecuali dengan landasan ilmu. Untuk itulah, sesuatu yang sangat diperintahkan untuk dicari adalah ilmu. Karena ia lebih berharga dari apapun juga. Ilmulah yang dapat menyelamatkan hidup manusia. Itulah mengapa ketika Bani Israil meminta penjelasan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang Dzul Qarnain yang menjelajah bumi dalam rangka dakwah dan ekspansi kekuasaan, justru Allah subhanahu wa ta’ala lebih dahulu mengingatkan mereka dengan sebuah perjalanan yang lebih penting dari itu, perjalanan dalam menuntut ilmu dari kisah nabi Musa ‘alahis salam yang hendak belajar kepada nabi Khadir ‘alahis salam, yang justru merupakan nabi dari kalangan mereka sendiri. Hal itu tiada lain, karena Allah sendiri yang telah menyatakan bahwa, "Allah mengangkat derajat orang-orang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu." (Al-Mujadalah : 11). Jika Allah telah memuliakan ilmu dan mengangkat derajat para ahlinya, lalu mengapa kita sebagai makhluk-Nya yang hina tak berdaya tidak berusaha untuk memuliakannya? Maka jika ada orang yang merendahkan ilmu, sebenarnya dia sedang merendahkan dirinya sendiri. Karena ilmulah sumber kemuliaan.

Marilah kita belajar kepada orang yang telah memuliakan ilmu, lalu ilmu memuliakannya.

Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhu merupakan lautan ilmu para sahabat, meriwayatkan 1660 hadits dan menjadi staf ahli di pemerintahan Umar bin Khottob padahal umurnya baru 15 tahun. Bagaimanakah caranya ia menuntut ilmu? Mari kita ikuti kisahnya.

رَوَى الحَاكِمُ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : لَمَّا قُبِضَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُلْتُ لِرَجُلٍ مِنَ الْأََنْصَارِ : هَلُمَّ فَلْنَسْأَلْ أَصْحَابَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِنَّهُمْ اليَوْمَ كَثِيْرٌ فَقَالَ : عَجَبًاً لَكَ يَا ابْنَ عَبَّاسٍ، أَتَرَى النَّاسَ يَفْتَقِرُوْنَ إِلَيْكَ وَفِي النَّاسِ مِنْ أَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ فِيْهِمْ ؟ قَالَ : فَتَرَكْتُ ذَاكَ وَ أَقْبَلْتُ أَسْأَلُ أَصْحَابَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وََإِِنْ كَانَ يَبْلُغُنِي الْحَدِيْثُ عَنِ الرَّجُلِ فَآتِي بَابَهُ وَ هُوَ قَائِلٌ فَأَتَوَسَّدُ رِدَائِي عَلَى بَابِهِ يَسْفِي الرِّيْحُ عَلَيَّ مِنَ التُّرَابِ فَيَخْرُجُ فَيَرَانِي فَيَقُوْلُ : يَا ابْنَ عَمِّ رَسُوْلِ اللهِ صَلََّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا جَاءَ بِكَ ؟ هَلَّا أَرْسَلْتَ إِلَيَّ فَآتِيْكَ ؟ فَأَقُوْلُ : لَا أَنَا أَحَقُّ أَنْ آتِيَكَ، قَالَ : فَأَسْأَلُهُ عَنِ الْحَدِيْثِ فَعَاشَ هَذَا الرَّجُلُ الأَنْصَارِي حَتَّى رَآنِي وَ قَدِ اجْتَمَعَ النَّاسُ حَوْلِي يَسْأَلُوْنِي فَيَقُوْلُ هذَا الْفَتَى كََانَ أَعْقَلَ مِنِّي (مستدرك الحاكم جـزء ١ ص ١٨٨ إسناده صحيح). قَالَ عَبْدُ اللهِ بْنُ عَبَّاسٍ : كُنْتُ أَسْأَلُ عَنِ الْأَمْرِ الْوَاحِدِ ثَلَاثِيْنَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ  صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ .(انظر أيضا : سير أعلام النبلاء للذهبي جـ ٣ص٣٤٤)

 

Al-Hakim meriwayatkan dari Abdulah bin Abbas, ia berkata, “Ketika Rosululloh shallahu ‘alaihi wasallam telah wafat, aku berkata kepada seorang lelaki dari Anshor, “Mari kita bertanya kepada para sahabat Rosululloh shallahu ‘alaihi wasallam. Karena sesungguhnya mereka hari ini banyak.” Orang itu berkata, “Mengherankan kau ini wahai Ibnu Abbas, apakah kau anggap orang-orang memperhatikanmu, sedangkan di antara mereka ada para sahabat Nabi shallahu ‘alaihi wasallam dan siapakah engkau di antara mereka?” Aku pun meninggalkannya dan bertanya kepada para sahabat. Jika aku mendengar ada sebuah hadits yang dimiliki oleh salah seorang sahabat Nabi Shallahu ‘alaihi wasallam, maka aku akan mendatangi pintu rumahnya pada waktu qoilulah (waktu tidur siang) dan aku akan duduk di atas selendangku di dekat pintu rumahnya. Lalu debu pun beterbangan di atas tubuhku. Lalu ia keluar dari rumahnya dan melihatku dan berkata: “Wahai sepupu Rasulullah, apa yang membuatmu datang ke sini?! Apakah engkau tidak berkirim surat saja sehingga aku datang kepadamu?” Maka aku menjawab: “Aku yang lebih pantas untuk datang kepadamu.” Ibnu Abbas berkata, maka aku menanyakan kepadanya tentang hadits Rasulullah Shallahu ‘alaihi wasallam.” Kemudian hiduplah orang Anshor tersebut hingga ia melihatku, orang-orang berkumpul di sekelilingku mereka bertanya kepadaku. Ia berkata, “Anak muda ini lebih cerdas dariku.” (Mustadrok Hakim, 1/188). Ibnu Abbas juga berkata, “Aku menanyakan satu permasalahan kepada 30 sahabat Nabi shallahu ‘alaihi wasallam.” (lihat juga Siyar A’lam An-Nubala, 3/344).

Perhatikan perkataan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu ketika dikatakan kepadanya mengapa tidak mengirim orang saja untuk memintanya datang, Ibnu Abbas menjawab, “Aku yang lebih pantas untuk datang kepadamu.” Perkataan ini mirip yang diucapkan oleh Imam Malik bin Anas rohimahulloh ketika diminta untuk datang ke istana mengajarkan anak khalifah :

إِنَّ العِلْمَ يُؤْتَى لَا يَأْتِي

“Sesungguhnya ilmu itu didatangi, tidak mendatangi.”

Berikut ini kisahnya,

كَانَ هَارُوْنُ الرَّشِيْدُ بَعَثَ إِلَى مَالِكِ بْنِ أَنَسٍ رَحِمَهُ اللهُ يَسْتَحْضِرُهُ لِيَسْمَعَ مِنْهُ اِبْنَاهُ الأَمِيْنُ وَالْمَأْمُوْنُ، فَأَبَى عَلَيْهِ وَقَالَ : إِنَّ العِلْمَ يُؤْتَى لَا يَأْتِي. فَبَعَثَ إِلَيْهِ ثَانِيًا فَقَالَ : أَبْعَثُهُمَا إِلَيْكَ يَسْمَعَانِ مَعَ أَصْحَابِكَ. فَقَالَ مَالِكٌ : بِشَرِيْطَةِ أَنَّهُمَا لَا يَتَخَطَّيَانِ رِقَابَ النَّاسِ، وَيَجْلِسَانِ حَيْثُ يَنْتَهِي بِهِمَا الْمَجْلِسُ، فَحَضَرَاهُ بِهٰذَا الشَّرْطِ. (اِبْنُ عَسَاكِرَ تَارِيْخُ مَدِيْنَةِ دِمَشْقَ ٧٤/٢١٩)

Harun Ar-Rasyid (seorang khalifah dari pemerintahan Abbasiyah -pent) pernah mengirimkan utusan kepada Malik bin Anas rahimahullah memintanya untuk datang agar kedua anaknya, Al-Amin dan Al-Ma’mun dapat mendengar darinya, tetapi beliau menolak. Ia berkata, “Sesungguhnya ilmu itu didatangi tidak mendatangi”. Lalu sang khalifah mengirim utusan kepadanya kedua kalinya dengan berkata, “Aku akan kirimkan kedua anakku kepadamu agar mareka mendengarkan bersama sahabat-sahabatmu. Lalu Malik berkata, “Dengan syarat keduanya tidak melangkahi pundak orang-orang, hendaklah mereka duduk dimana saja mereka mendapatkan tempat dalam majelis. Maka mereka berdua hadir dengan melaksanakan syarat tersebut.” (Ibnu Asakir, Tarikh Madinah Damaskus, jilid 74 hal.219).

 Begitulah tradisi para ulama dalam memuliakan ilmu. Bahkan diantara mereka ada yang mengatakan, “Siapapun orang yang aku belajar kepadanya, maka aku siap menjadi budaknya.” Ini menjadi suatu adab di dalam menuntut ilmu. Siapapun yang ingin mendapatkan kemuliaan dan manfaat dari ilmu, ia mesti menjungjung tinggi adab ini terlebih dahulu. Beradab sebelum berilmu. Karena ilmu tanpa adab bagaikan jasad tanpa ruh.

Jika hari ini, ilmu dan para ahlinya tidak lagi dimuliakan, guru diposisikan sebagai buruh oleh para orang tua untuk mengajari anak-anaknya, lalu murid-murid telah kehilangan sikap hormat dan sopan santun kepada gurunya, ditambah lagi dengan sikap guru yang orientasinya menumpuk keuntungan duniawi, lengkap sudah kerusakan yang terjadi. Hilanglah keberkahan dan manfaat dari ilmu. Terlebih ilmu-ilmu syar’i, yang berkaitan langsung dalam memahami ajaran Islam, yang posisinya lebih tinggi dibanding dengan ilmu apapun. Sudah seharusnya diposisikan lebih tinggi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar