Kajian Dasar
dalam Ilmu Ushul Fiqih – 01
الأَسَاسُ فِي
أُصُوْلِ الْفِقْهِ
Oleh :
Muhammad Atim
Ushul
Fiqih adalah salah satu ilmu di dalam ilmu-ilmu syar'i. Untuk mengetahui
hakikat dan kedudukannya, maka perlu diuraikan sepuluh muqoddimah ilmu
sebagaimana sudah maklum bahwa kokohnya sebuah disiplin ilmu adalah dengan
memenuhi sepuluh muqoddimah ilmu tersebut.
Sebagaimana
disebutkan oleh Ash-Shabban,
إِنَّ مَبَادِئَ كُلِّ فَنٍّ
عَشْرَة الحَدُّ
وَالْمَوْضُوْعُ ثُمُّ الثَّمَرَة
وَنِسْبَةٌ وَفَضْلُهُ
وَالْوَاضِع وَالإِسْمُ
الإِسْتِمْدَادُ حُكْمُ الشَّارِع
مَسَائِلٌ وَالْبَعْضُ بِالْبَعْضِ
اكْتَفَى وَمَنْ دَرَى الْجَمِيْعَ حَازَ
الشَّرَفَ
“Sesungguhnya permulaan-permulaan
setiap disiplin ilmu itu ada sepuluh
Definisi, objek ilmunya, kemudian
buahnya (manfaatnya)
Penisbatannya kepada ilmu lain,
keutamaannya, dan peletaknya
Namanya, istimdadnya (asal
pengambilan ilmunya), hukumnya secara syariat
Pembahasannya. Satu dengan lainnya
telah tercukupi
Siapa yang dapat menempuh semuanya
itu, layaklah ia menyandang kemuliaan”
Definisi
Ushul
Fiqih didefinisikan dengan dua tinjauan definisi. Yaitu definisi secara idhofi,
dengan melihat makna satu persatu kata dari dua kata yang diidhofatkan
(dinisbatkan), yaitu ushul dan fiqih. Dan definisi secara laqobi, artinya
dengan melihat kata Ushul Fiqih secara menyatu yang sudah menjadi suatu
istilah.
Secara
idhofi, Ushul Fiqih terdiri dari dua kata yaitu ushul dan fiqih.
الأُصُوْلُ جَمْعُ
أَصْلٍ، وَالْأَصْلُ لُغَةً : مَا يَنْبَنِي عَلَيْهِ غَيْرُهُ أَوْ مَا يَنْبُتُ
عَلَيْهِ
Ushul
adalah jama' (bentuk majemuk) dari kata "Ashl". Dan Ashl secara
bahasa adalah : "Yang dibangun diatasnya yang lainnya atau yang tumbuh di
atasnya".
Artinya
ia adalah pondasi yang dibangun di atasnya suatu bangunan, ataupun akar yang
tumbuh di atasnya suatu tanaman.
“Ashl” adalah lawan kata dari “Far’u” yang
berarti cabang. Oleh karena itu, Ushul Fiqih adalah dasar bagi fiqih, sedangkan
fiqih merupakan cabang.
Sedangkan
secara istilah, kata "Ashl" digunakan untuk beberapa makna,
diantaranya :
1.
Dalil
Misalnya
dikatakan, "Asal dari permasalahan ini adalah Al-Qur'an dan Sunnah",
maksudnya adalah dalilnya.
2.
Ar-Rajih (Yang lebih kuat)
Misalnya
dikatakan, "Asal dari suatu perkataan adalah hakikat", artinya yang
lebih kuat untuk dipahami dari suatu perkataan adalah maknanya secara hakikat,
bukan dipahami secara majaz (kiasan), karena hakikat lebih kuat dari majaz.
3.
Kaidah
Maksudnya
kaidah yang ada di berbagai disiplin ilmu. Misalnya dalam ilmu kaidah fiqih
jika dikatakan "Membolehkan bangkai bagi orang yang sedang dalam keadaan
darurat adalah menyalahi asal". Asal tersebut maksudnya kaidah bahwa
"Bangkai itu haram".
4.
Asal dalam qiyas
Dalam
pembahasan qiyas, ada rukun yang dikenal dengan Ashl (asal) dan Far'u (cabang).
Asal itu yang disebutkan di dalam Nash Al-Qur'an atau hadits, misalnya larangan
mengucapkan "ah" sebagai ucapan menggerutu kepada kedua orang tua,
itu adalah asal. Sedangkan yang tidak disebutkan yang bisa diqiyaskan kepadanya
yaitu memukulnya, mencelanya, dan lain sebagainya, itu disebut cabang. Lebih
jauhnya ini akan dibahas di pembahasan qiyas.
5.
Istishhab
Yaitu
hukum asal dari segala sesuatu. Misalnya dikatakan, "Asal dari segala
sesuatu adalah mubah", maksudnya istishhab. Ini akan dibahas dalam
pembahasan khusus salah satu dalil yang digunakan adalah dalil istishhab.
Dari
kelima definisi ashl secara istilah di atas, makna yang dimaksud di dalam kata
ushul fiqih adalah makna pertama, yaitu bahwa ushul fiqih maknanya adalah
dalil-dalil fiqih.
الفِقْهُ
لُغَةً : الفَهْمُ
وَاصْطِلَاحًا
: العِلْمُ بِالْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ العَمَلِيَّةِ المُكْتَسَبُ مِنْ أَدِلَّتِهَا
التَّفْصِيْلِيَّةِ
Fiqih
menurut bahasa adalah paham. Dan menurut istilah adalah : "Ilmu tentang
hukum-hukum syariat yang bersifat amalan (praktek) yang dihasilkan dari dalil-dalilnya
yang terperinci".
Misalnya
kata fiqih di dalam Al-Qur'an digunakan untuk makna paham,
قَالُوا يَا شُعَيْبُ
مَا نَفْقَهُ كَثِيْرًا مِمَّا تَقُوْلُ
"Mereka
berkata : Wahai Syu'aib, kami tidak terlalu memahami apa yang kamu
katakan" (QS. Hud : 91).
Sedangkan
sebagian ulama memandang, kata fiqih itu tidak sekedar paham, tetapi bermakna
pemahaman yang mendalam. Misalnya Abu Ishaq Asy-Syirozi mendefinisikan,
فَهْمُ الْأَشْيَاءِ
الدَّقِيْقَةِ
"Memahami
berbagai perkara secara mendalam"
Imam
Fakhruddin Ar-Razi mendefinisikan,
فَهْمُ غَرْضِ
الْمُتَكَلِّمِ مِنْ كَلَامِهِ
"Memahami
maksud seorang pembicara dari perkataannya.
Namun
disini perlu dipahami bahwa kata fiqih memiliki tiga akar kata yang berbeda
yang tentu saja mengandung makna yang berbeda.
Pertama,
berasal dari kata "faqiha-yafqohu" artinya paham
Kedua,
berasal dari kata "faqoha-yafqohu" artinya orang lain telah lebih
dulu paham dari padanya
Ketiga,
berasal dari kata "faquha-yafquhu" artinya seseorang telah menjadi
pakar (sajiyyah) dalam ilmu fiqih.
Makna
pertama dan kedua adalah makna secara bahasa, sedangkan makna ketiga adalah
makna istilah yaitu dalam disiplin ilmu fiqih. Seperti dikenal dalam ilmu
tashrif, bahwa penggunaan huruf dhommah di 'ain fi'il itu biasanya digunakan
untuk suatu disiplin ilmu, seperti contoh lain kata "balugho" artinya
seseorang telah menjadi ahli dalam ilmu balaghah.
Kata
"ilmu" dalam definisi fiqih merupakan "jins", artinya fiqih
adalah salah satu jenis ilmu. Sedangkan kata-kata berikutnya adalah
"fashl" yaitu pembeda dari ilmu-ilmu yang lain, sebagaimana hal itu
diketahui dalam ilmu mantiq yang merupakan syarat disusunnya suatu definisi.
Ilmu
di sini maknanya adalah yang mencakup sesuatu yang yakin dan juga zhan rajih
(dugaan yang kuat), bukan dalam arti makna ilmu secara hakiki, tetapi makna
ilmu yang sudah menjadi disiplin ilmu tertentu hasil pemikiran manusia.
Hukum-hukum
syari'at artinya hukum-hukum yang berasal dari Allah sebagai pembuat syari'at.
Ini untuk membedakan dari hukum-hukum yang lain, misalnya hukum akal, yaitu
yang dihasilkan dari pemahaman akal, misalnya "seluruhnya" itu lebih
besar daripada "sebagian", atau hukum al-'adi at-tajribi (hukum alam
hasil eksperimen), misalnya api itu membakar.
Kata
"al-'amaliyyah" yang bersifat amalan fisik, ini untuk membedakan
hukum syariat yang bersifat keyakinan karena itu termasuk ilmu aqidah, atau
yang bersifat perbuatan hati yang termasuk wilayah ilmu akhlaq atau disebut
juga ilmu tasawuf.
Kata
"al-muktasab" sebagai sifat dari ilmu, yaitu ilmu yang dihasilkan oleh
manusia, untuk membedakan dari ilmu wahyu yang langsung diberikan oleh Allah
kepada para rasul atau malaikat.
Kata
"dari dalil-dalilnya yang terperinci" ini untuk membedakan dari ilmu
orang yang taqlid (muqollid), bahwa mereka mengetahuinya bukan dari dalil, tapi
dari fatwa ulama, atau mereka mengetahuinya dari dalil global bukan dalil yang
terperinci.
Kata
"terperinci" juga untuk membedakan pembahasan ilmu fiqih yang
berkaitan dengan dalil-dalil yang terperinci dengan ilmu ushul fiqih yang
membahas dalil-dalil yang bersifat global, sebagaimana akan diuraikan dalam
pembahasan definisi ushul fiqih secara makna laqobi.
Dari
makna ushul dan fiqih secara idhofi, kita memahami bahwa ushul fiqih itu
berarti "dalil-dalil yang menjadi landasan bagi ilmu tentang hukum-hukum
syariat yang bersifat amalan fisik yang dihasilkan dari dalil-dalilnya yang
terperinci", atau lebih ringkasnya "dalil-dalil yang menjadi landasan
bagi ilmu fiqih".
Namun
dalam definisi secara idhofi ini belum nampak jelas bagaimanakah sifat dalil-dalil
tersebut, dan apa titik penting yang dibahas darinya. Hal itu akan nampak jelas
dalam pembahasan definisi secara laqobi.
Secara
makna laqobi, Ushul Fiqih didefinisikan,
العِلْمُ بِأَدِلَّةِ
الْفِقْهِ الْإِجْمَالِيَّةِ وَطُرُقِ اسْتِفَادَةٍ مِنْهَا وَحَالِ الْمُسْتَفِيْدِ
"Ilmu
tentang dalil-dalil fiqih secara global, cara-cara mengambil faidah dari
dalil-dalil tersebut dan keadaan orang yang mengambil faidah".
Para
ulama berbeda pendapat apakah dalam definisi ini menggunakan kata ilmu atau
ma'rifah (pengetahuan) ataukah tidak. Yang jelas, jika kita melihat istilah
Ushul Fiqih dari segi hakikatnya, tidak perlu disebutkan kata "ilmu"
sebelumnya, tetapi dikatakan ia sebagai "dalil-dalil fiqih..." Tetapi
jika kita memaksudkan dengan Ushul Fiqih adalah sebuah disiplin ilmu tentu saja
merupakan suatu hal yang bagus kita mendefinisikannya dengan menyebutkan kata
"ilmu" di awalnya.
Adapun
yang lebih mengutamakan kata "ma'rifah" (pengetahuan) daripada ilmu,
hal itu karena memandang bahwa di dalam pembahasannya tidak semua berupa hal
yang qath'i, yang diyakini seratus persen kebenarannya, tetapi mencakup juga
sesuatu yang zhan. Tentu saja tidak begitu, karena yang dimaksud ilmu di sini
adalah suatu disiplin ilmu (fan / shina'ah) yang dihasilkan dari pemikiran manusia,
yang mencakup hal yang yakin dan juga zhan, tidak berdasarkan makna ilmu secara
hakiki, sebagaimana akan dijelaskan tentang makna ilmu dan
tingkatan-tingkatannya.
Ada
juga yang mendefinisikan ushul fiqih dengan kaidah, tidak dengan dalil-dalil, sebegaimana
yang dilakukan oleh Ibnu Hajib,
القَوَاعِدُ الَّتِي
يُتَوَصَّلُ بِهَا إِلَى اسْتِنْبَاطِ الْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ الْفَرْعِيَّةِ
مِنْ أَدِلَّتِهَا التَّفْصِيْلِيَّةِ
"Kaidah-kaidah
yang bisa sampai dengannya kepada kesimpulan hukum-hukum syariat yang bersifat
cabang dari dalil-dalilnya yang terperinci."
Dalam
definisi tersebut titik tekan pendefinisiannya ada pada kata
"kaidah-kaidah istinbath" adapun kata-kata selanjutnya hanyalah
merupakan definisi dari fiqih.
Definisi
ini tidak lebih bagus dari definisi pertama, karena inti yang dibahas dalam
ilmu ushul fiqih justru adalah dalil-dalil. Adapun kaidah-kaidah istinbath
hanyalah sesuatu yang lazim untuk memahami dalil-dalil tersebut, dan hal itu
sudah disebutkan di dalam definisi pertama yaitu "cara-cara mengambil
faidah dari dalil-dalil" yanh tiada lain merupakan kaidah-kaidah
istinbath.
Kata
"dalil-dalil fiqih yang bersifat global", adalah kebalikan dari yang
bersifat terperinci. Yaitu misalnya dalil Al-Qur'an, sunnah, ijma, qiyas, dll.
Tanpa disebutkan rinciannya, karena hal itu merupakan pembahasan ilmu fiqih.
Dalil terperinci itu sedikit disebutkan hanya sebagai contoh saja. Karena dalil
global dan rinci itu bukanlah sesuatu yang terpisah, karena tidak akan dapat
tergambar dalil global tanpa disebutkan contoh dari dalil rincinya.
الدَّلِيْلُ
لُغَةً المُرْشِدُ
وَاصْطِلَاحًا
: مَا يُمْكِنُ التَّوَصُّلُ بِصَحِيْحِ النَّظَرِ فِيْهِ إِلَى مَطْلُوْبٍ خَبَرِي
Dalil
menurut bahasa adalah "petunjuk"
Dan
menurut istilah adalah "Apa yang memungkinkan dengan benarnya pengamatan
terhadapnya untuk sampai kepada hasil pernyataan (kesimpulan)."
Dengan
kata lain dalil adalah petunjuk yang bisa menyampaikan kepada sebuah kesimpulan
ilmu. Tentu saja ilmu yang memerlukan dalil sebagai wasilahnya adalah ilmu
nazhori (yang butuh pengamatan) bukan ilmu dharuri (yang tidak butuh
pengamatan).
النّظَرُ هُوَ
الْفِكْرُ الْمُفِيْدُ لِلْعِلْمِ
Nazhar
(pengamatan) adalah sebuah pemikiran yang menghasilkan ilmu.
Kata
"mathlub" artinya sesuatu yang dicari atau hasil yang diinginkan.
Maksudnya kesimpulan ilmu yang dihasilkan dari pengamatan terhadap dalil
tersebut.
Kesimpulan
tersebut berupa "khobari" (pernyataan) bukan berupa insya,
sebagaimana dikenal dalam ilmu balaghah yang mencakup perintah, larangan,
pertanyaan, panggilan, dsb.
Dari
dalil yang diamati di dalam Al-Qur'an misalnya dapat disimpulkan bahwa
"babi itu haram".
Pernyataan
kesimpulan itu pada saat belum ditemukan dalilnya disebut "da'wa"
(klaim), pada saat sedang diamati disebut "mathlub" dan pada saat
telah diamati dalilnya disebut "natijah" (kesimpulan).
Benar
tidaknya, dan bagaimana bobot pengetahuannya akan sangat tergantung kepada
dalil yang digunakan dan juga seberapa tepat
menggunakan dalil tersebut.
Tingkatan
pengetahuan
Para
ulama Ushul Fiqih sudah lazim bagi mereka membahas tingkatan pengetahuan di
dalam pendahuluan ilmu Ushul Fiqih, karena memang ilmu Ushul Fiqih merupakan
ilmu untuk memahami dalil yang dari dalil itu dihasilkan ilmu, maka sangat
penting untuk disebutkan tingkatan pengetahuan, seperti berikut ini,
1. العِلْمُ
إِدْرَاكُ الشَّيْءِ
عَلَى مَا هُوَ عَلَيْهِ إِدْرَاكًا جَازِمًا
Ilmu
adalah "mengetahui sesuatu sebagaimana hakikat sebenarnya dengan
pengetahuan yang yakin"
Tingkat
pengetahuannya adalah 100%
2. الظَّنُّ
إِدْرَاكُ الرَّاجِحِ
بَيْنَ الْأَمْرَيْنِ
Zhan
(dugaan kuat) adalah "mengetahui yang lebih kuat dari dua perkara"
Tingkat
pengetahuannya antara 51 sd 99 %
3. الوَهْمُ
إِدْرَاكُ الْمَرْجُوْحِ
بَيْنَ الْأَمْرَيْنِ
Wahm
(sangkaan yang lemah) adalah "mengetahui yang lemah dari dua perkara"
Tingkat
pengetahuannya antara 1 sd 49 %
4. الشَّكُّ
إِدْرَاكُ الْمُتَسَاوِي
بَيْنَ الْأَمْرَيْنِ
Syak
(ragu) adalah "mengetahui secara seimbang antara dua perkara"
Tingkat
pengetahuannya 50 %
5. الجَهْلُ
الجَهْلُ الْبَسِيْطُ
: عَدَمُ الْإِدْرَاكِ بِالْكُلِّيَّةِ
الجَهْلُ الْمُرَكَّبُ
: إِدْرَاكُ الشَّيْءِ عَلَى وَجْهٍ يُخَالِفُهُ
Jahl
(bodoh) ada dua, yaitu :
Jahl
basith (bodoh sederhana) : "Tidak ada pengetahuan sama sekali terhadap
sesuatu"
Jahl
murokkab (bodoh bertingkat) : "Mengetahui sesuatu dalam bentuk yang
menyalahi hakikatnya"
Tingkat
pengetahuannya 0 %
"Dan
cara-cara mengambil faidah dari dalil tersebut". Ini merupakan metode dan
seperangkat kaidah untuk memahami dalil-dalil tersebut sehingga dapat
dihasilkan sebuah kesimpulan fiqih.
"Dan
keadaan orang yang mengambil faidah"
Ini
berkaitan dengan seseorang yang sedang memahami dalil dengan menggunakan
kaidah-kaidahnya yang disebut dengan mujtahid.
Dari
definisi tersebut dapat disimpulkan empat pembahasan dalam ilmu Ushul Fiqih,
dan imam Ghazali sangat indah dalam memberi perumpamaannya seperti sebuah pohon
1.
Hukum fiqih sebagai buah yang dihasilkan
2.
Dalil-dalil sebagai pohonnya
3.
Metode istinbath sebagai cara memetik buah tersebut
4.
Mujtahid sebagai orang yang memetik buah tersebut
Maudhu'
(objek ilmu)
Dalam
setiap disiplin ilmu mesti diketahui apa objek yang dibahas di dalam ilmu
tersebut, agar kita dapat fokus terhadap apa yang dibicarakan di dalam ilmu
tersebut dan tidak keluar dari ruang lingkup pembahasannya. Misalnya objek ilmu
tajwid adalah huruf-huruf dan kata-kata dalam Al-Qur'an dari segi membaguskan
pengucapan huruf-huruf dan pembacaannya. Ilmu nahwu adalah kata-kata dalam
bahasa Arab dari segi i'rob dan bina di dalam susunan kalimat.
Para
ulama berbeda pendapat tentang objek ilmu Ushul Fiqih kepada tiga pendapat.
Pertama, dalil-dalil syariat secara global. Kedua, hukum-hukum syari'at. Dan
yang lebih tepat adalah pendapat ketiga, yaitu dua-duanya; dalil-dalil syariat
secara global dan hukum-hukum syariat. Karena yang dibahas dalam Ushul Fiqih
adalah dalil-dalil syariat secara global yaitu baik dalil-dalil yang disepakati
berupa Al-Qur'an, Hadits, Ijma' dan Qiyas, ataupun yang diperselisihkan seperti
Istihsan, Istishlah, Istishhab, Sad Adz-Dzaro'i, dll, serta tatacara memahami
dalil-dalil tersebut, dan juga hukum-hukum syariat secara global yang mencakup
hukum-hukum taklifi dan hukum-hukum wadh'i.
Buah
(manfaat)
Muqaddimah
ilmu yang mesti diketahui selanjutnya adalah tsamaroh (buah atau manfaat) dari
ilmu Ushul Fiqih. Dengan mengetahui manfaatnya, menjadi jelaslah aktifitas kita
dalam mempelajarinya, karena mengarah kepada manfaat yang akan kita dapatkan.
Ilmu
Ushul Fiqih adalah ilmu yang sangat penting di dalam memahami syariat Islam.
Ilmu inilah yang menjadi alat utama para ulama untuk dapat menyimpulkan
hukum-hukum yang dipahami dari dalil-dalil. Oleh karena itu sangat banyak
manfaatnya. Jika kita rumuskan ke dalam poin-poin, diantaranya sebagai berikut
:
1.
Memahami pesan-pesan dari Allah dan Rasul-Nya dan dengannyalah kita dapat
beribadah dengan benar
2.
Mengetahui dalil-dalil yang menjadi landasan dan cara memahami dalil-dalil
tersebut sehingga disimpulkanlah hukum-hukum syariat
3.
Mengetahui berbagai bentuk bayan (penjelasan) yang disampaikan oleh Allah dan
Rasul-Nya di dalam syariat Islam ini.
4.
Sebagai perangkat untuk menjadi ulama yang mampu berijtihad, atau paling tidak
memahami cara kerja ulama dalam berijtihad. Dari sini kita bisa beralih secara
bertahap dari seorang yang awam yang hanya bertaklid kepada pendapat atau fatwa
ulama, menjadi seorang pembelajar yang memahami cara kerja ijtihad, lalu lebih
jauh lagi dengan penguasaan ilmu yang lebih luas dan me dalam, banyak
pengalaman dalam praktek dan penerapan yang tentu saja belajar dari pengalaman
yang telah dilakukan oleh para ulama sehingga mampu merasakan dzauq (cita rasa)
dalam berijtihad, serta tentu dibimbing oleh ketakwaan kepada Allah, yang
dengannya Allah memberikan ilmu mauhibah (ilmu anugrah langsung dari Allah),
menjadi seseorang yang mampu berijtihad, walaupun tentu saja dalam berijtihad
itu ada tingkatan-tingkatannya, insya Allah akan dibahas secara khusus dalam
pembahasan Ijtihad.
5.
Mengetahui dan memahami cara menjawab persoalan baru yang tidak terbatas, yang
tidak ada habisnya dengan ayat-ayat Al-Qur'an dan hadits-hadits yang terbatas,
dalam arti dilalah-dilalah yang terdapat pada keduanya mampu menjawab persoalan
baru dan menentukan hukum bagi segala sesuatu. Ini adalah pekerjaan ijtihad
yang tidak bisa tidak kecuali melalui perangkat ilmu Ushul Fiqih.
Nisbat
(hubungan dengan ilmu-ilmu lain)
Muqaddimah
yang penting diketahui selanjutnya adalah nisbat (hubungan dengan ilmu-ilmu
lain). Dengan mengetahui nisbat, kita akan mengetahui posisi ilmu yang sedang
kita bahas, sejauh mana saling keterkaitan dan saling membutuhkan dengan ilmu
lainnya. Di sini kita menjadi tahu bahwa ilmu itu satu sama lain memiliki
keterkaitan.
Ilmu
Ushul Fiqih adalah termasuk bagian dari ilmu syar'i. Jika dikaitkan dengan ilmu
non-syar'i atau ilmu duniawi, tentu tidak memiliki kaitan secara langsung,
nisbatnya disebut "tabayun" التباين (berbeda), dalam tataran teoritisnya.
Sedangkan dalam tataran paktisnya, tentu saja akan saling membutuhkan. Misalnya
seorang ulama mujtahid yang akan berijtihad dengan perangkat ilmu Ushul Fiqih
terhadap suatu kasus, jika kasus itu berhubungan dengan kedokteran misalnya,
maka seorang mujtahid membutuhkan keterangan dari ilmu kedokteran untuk
mengidentifikasi kasus tersebut. Setelah diketahui hakikat perkara tersebut, barulah
diberikan dalil yang tepat dan disimpulkanlah hukumnya.
Adapun
kaitannya dengan ilmu-ilmu syar'i yang lain, nisbatnya adalah "al-'umum
wal khusus min wajhin" (umum-khusus dari segi-segi tertentu). Artinya di
dalam ilmu Ushul Fiqih ada bagian ilmu-ilmu yang lain, seperti ilmu Al-Qur'an,
ilmu hadits, ilmu fiqih, ilmu bahasa Arab, dll, dan ada pula yang menjadi
kekhususan ilmu Ushul Fiqih yang tidak ada di ilmu yang lain, misalnya
pembahasan muthlaq-muqoyyad, manthuq-mafhum, dll.
Dengan
mengetahui kaitan seperti ini, kita akan tahu bahwa untuk dapat memahami ilmu
Ushul Fiqih secara utuh dan memiliki kemahiran terhadapnya, mesti menguasai
juga ilmu-ilmu syar'i yang lainnya.
Keutamaan
Dengan
mengetahui manfaat ilmu Ushul Fiqih, dari sana kita sudah bisa mengukur
keutamaannya. Dengan ilmu inilah kita bisa memahami Al-Qur'an dan hadits,
memahami hukum-hukum yang terkandung di dalamnya dan selanjutnya dapat
mengamalkannya, dan menjadikan seorang ulama bisa berijtihad dengannya. Untuk
itu, ilmu Ushul Fiqih memiliki keutamaan yang agung di dalam berkhidmat kepada
agama Allah ini.
Peletak
Ilmu-ilmu
yang objeknya adalah syariat Islam, tidak bisa disebutkan seseorang sebagai
peletaknya. Karena sejak wahyu diturunkan, proses memahaminya dengan
kaidah-kaidah ushul telah berjalan. Berbeda misalnya dengan ilmu-ilmu bahasa
Arab yang objeknya adalah perkataan orang-orang, bisa diketahui siapa peletak
ilmu Nahwu, ilmu Tashrif, ilmu Balaghah, dll, begitu pula ilmu-ilmu alam dan
ilmu-ilmu sosial.
Namun,
bisa kita katakan bukan sebagai peletak awal tetap sebagai orang yang pertama
kali menyusun karya dalam bidang ilmu Ushul Fiqih secara terpisah dari
ilmu-ilmu lain yaitu Abu Abdillah Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i Al-Muththalibi
Al-Qurasyi (150-204 H) yang dikenal dengan imam Asy-Syafi'i dalam karya beliau
yang beliau namakan dengan "Ar-Risalah".
Dalam
kitab Ar-Risalah tersebut belum semua permasalahan ushul fiqih di bahas, hanya
bagian-bagian pentingnya saja, dan secara khusus beliau memperpanjang
pembahasan tentang bayan (penjelasan) di dalam syariat. Belum tersusun dengan
urutan-urutan logika keilmuan (tartib mantiqi), sebagaimana telah maklum bahwa
seperti itulah karya-karya awal dalam suatu disiplin ilmu.
Nama
Nama
untuk ilmu ini adalah Ushul Fiqih أصول الففه, namun terkadang para ulama
menyingkatnya dengan sebutan ilmu Ushul.
Istimdad
(sumber pengambilannya)
Yang
dimaksud dengan istimdad (sumber pengambilannya) adalah ilmu-ilmu lain yang
menjadi bahan dasar disusunnya suatu disiplin ilmu.
Istimdad
dari ilmu Ushul Fiqih adalah ilmu fiqih karena ilmu fiqih telah lebih dulu
mapan ketimbang ilmu ushul fiqih, dari ilmu fiqih yang digeluti oleh para ulama
itu dapat diketahui ushulnya. Selanjutnya ilmu-ilmu bahasa Arab untuk memahami
teks-teks wahyu yang berbahasa Arab itu. Dan terakhir ilmu-ilmu logika
khususnya ilmu kalam, karena untuk memahami teks-teks wahyu dan merumuskan
kaidah-kaidah dalam memahaminya dan menyimpulkannya hingga melahirkan hukum itu
diperlukan pengamatan akal yang mendalam.
Hukum
Hukum
mempelajari ilmu Ushul Fiqih adalah fardu kifayah. Jika tidak ada seorang pun
yang mempelajarinya, maka berdosalah semuanya karena hal itu membuat wahyu yang
Allah turunkan tidak bisa dipahami dan diamalkan. Jika ada sebagian orang yang
telah mempelajarinya dan orang-orang tersebut melaksanakan amanah ilmunya, maka
gugurlah kewajiban yang lainnya.
Namun
hukum fardhu kifayah ini bisa berubah menjadi fardhu 'ain jika di suatu tempat
hanya ada seseorang yang memiliki potensi untuk dapat mempelajarinya sedangkan
orang-orang sangat membutuhkannya, maka hukumnya menjadi fardhu 'ain baginya.
Permasalahannya
Permasalahan
yang dibahas dalam ilmu Ushul Fiqih di dalam karya-karya klasik secara
keumumannya mencakup :
Muqaddimah
yang didalamnya sudah dibahas tentang hukum-hukum syariat, dan setelahnya
dibahas tujuh pembahasan, yaitu
1.
Al-Qur'an dan pembahasan lafazh
2.
Sunnah
3.
Ijma
4.
Qiyas
5.
Istidlal, maksudnya adalah dalil lain yang diperselisihkan
6.
Ta'arudh wat Tarjih (hal-hal yang bertentangan dan cara penyelesaiannya)
7.
Ijtihad dan dibahas kebalikannya yaitu taqlid
Adapun
sistematika pembahasan dalam karya-karya kontemporer biasanya meliputi :
Muqaddimah,
dan setelahnya
1.
Hukum-hukum syariat
2.
Dalil-dalil hukum baik yang disepakati maupun yang diperselisihkan
3.
Metode istinbath yang meliputi
a. kaidah ushul dan kebahasaan
b. Maqashid syariat
c. Ta'arudh dan tarjih
4.
Ijtihad dan Taqlid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar