Ijma itu secara istilah didefinisikan, “Kesepakatan para ahli ijtihad umat
Nabi Muhammad ﷺ setelah beliau wafat pada suatu zaman terhadap suatu hukum
syariat”
Secara realita, sangat sulit terjadinya ijma’ sebagaimana yang disebutkan
di dalam definisi, karena memang sulitnya mengetahui seluruh ahli ijtihad di
suatu zaman, yang mereka sepakat pada suatu permasalahan hukum syariat.
Pada kenyataannya, ijma sharih yang menyelisihinya diancam dengan neraka
sebagaimana ditunjukkan dari dalil-dalil yang menjadi landasan adanya ijma, hanyalah
dapat diterapkan pada permasalahan-permasalahan yang diketahui oleh kaum
muslimin secara mendesak (ma’lum minaddiin bidh-dharurah) seperti
wajibnya shalat lima waktu, wajibnya zakat, haramnya khamer, mencuri, dll.
Adapun yang banyak dinukil oleh para ulama tentang ijma, seperti oleh Ibnu
Qudamah dalam Al-Mughni, Ibnu Mundzir di dalam Al-Ijma, imam Nawawi, Ibnu Abdil
Bar, Ibnu Hazm, dll, adalah termasuk ijma’ sukuti, karena mereka menelusuri
riwayat-riwayat dari para ulama mujtahid di suatu zaman yang didapati mereka
bersepakat, tetapi jumlahnya hanya terbatas, lalu bagaimanakah dengan
ulama-ulama lain yang tidak dinukil pendapatnya. Ini menjadi bukti bahwa ijma’
sukuti bukanlah hujjah yang qath’i. Disamping bisa saja seorang ulama
mengatakan ‘ijma pada suatu zaman, tapi ternyata ada ulama lain yang
menelaahnya bahwa di dalampermasalahan yang diklaim ijma tersebut ternyata
ditemukan adanya perbedaan pendapat.
Hal tersebut sebagaimana dikemukakan oleh penulis kitab ini, Taisir Ilmi
Ushul Fiqih, DR. Abdullah bin Yusuf Al-Judayyi’.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar