Ngaji Alfiyah Ibnu Malik 4
MU'ROB & MABNI
[١٥] وَالاسْمُ مِنْهُ مُعْرَبٌ وَمَبْنِي ۞ لِشَبَهٍ مِنَ الحُرُوفِ مُدْنِي
Diantara isim ada yang mu’rab dan yang mabni karena kemiripan yang dekat dengan huruf
[١٦] كَالشَّبَهِ الوَضْعِيِّ فِي اسْمَي جِئْتَنَا ۞ وَالمَعْنَوِيّ فِي مَتَى وَفِي هُنا
Seperti kemiripan wadh’i (peletakan) seperti dua isim pada lafadz ji’tana, dan kemiripan maknawi (makna) pada lafadz mata dan huna
[١٧] وَكَنِيَابَةٍ عَنْ الفِعْلِ بِلاَ ۞ تَأَثُّرٍ وَكَافْتِقَارٍ أُصّلا
Dan seperti mengganti dari fi’il tanpa terpegaruh (amil), dan seperti membutuhkan yang lain secara asal
[١٨] وَمُعْرَبِ الأسْمَاءِ مَا قَدْ سَلِمَا ۞ مِنْ شَبَهِ الحَرْفِ كَأَرْضٍ وَسُمَا
Isim mu’rab ialah isim yang terbebas dari keserupaan dengan huruf, seperti ardin (bumi) dan suma (nama)
[١٩] وَفِعْلُ أَمْرٍ وَمُضِيِّ بُنِيَا ۞ وَأَعْرَبُوا مُضَارِعًا إنْ عَرِيَا
Fi’il amr dan fi’il madhi itu di mabnikan, dan mereka mengi'robkan fi’il mudhari apabila bebas
[٢٠] مِنْ نُونِ تَوْكِيدٍ مُبَاشِرٍ وَمِنْ ۞ نُونِ إِنَاثٍ كَيَرُعْنَ مَنْ فُتِن
Dari nun taukid yang langsung, dan dari nun inats seperti yaru’na man futin (mereka pr sedang merawat orang yang sedang terkena musibah)
SYARAH RINGKAS
Dalam bait-bait ini penulis menjelaskan tentang dua macam isim dari segi berubah dan tidaknya kondisi akhirnya, yaitu isim Mu'rob (kondisi akhirnya bisa berubah) dan isim Mabni (kondisi akhirnya tetap dalam satu keadaan). Definisinya :
الإِعْرَابُ : تَغْيِيْرُ أَوَاخِرِ الْكَلِمِ بِسَبَبِ دُخُوْلِ الْعَامِلِ
I’rob : “perubahan akhiran kata disebabkan masuknya ‘amil (kata lain yang mempengaruhinya)”
البِنَاءُ : لُزُوْمُ أَوَاخِرِ الْكَلِمِ حَالَةً وَاحِدَةً
Bina : “tetapnya akhiran kata dalam satu keadaan”
Pembahasan mu’rob dan mabni sangat berkaitan erat dengan ilmu Nahwu, karena sebelum diketahui posisi setiap kata dalam struktur kalimat yang mempengaruhi keadaan akhirnya, mesti diketahui terlebih dahulu apakah kondisi akhir kata tersebut dapat berubah ataukah tidak.
Isim dan fi’il ada yang mu’rob dan ada yang mabni. Sedangkan huruf seluruhnya mabni. Pada isim dan fi’il, manakah yang menjadi asal, apakah i’rob atau bina? Para ulama berbeda pendapat. Menurut madzhab Bashrah, i’rob adalah asal dalam isim dan cabang dalam fi’il. Sedangkan menurut madzhab Kufah, i’rob adalah asal dalam isim dan fi’il. Menurut Dhiyauddin bin Al-‘Ilj dalam kitab “Al-Basith” ada juga sebagian ahli Nahwu yang berpendapat bahwa i’rob adalah asal dalam fi’il dan cabang dalam isim. Tentu pendapat pertama yang lebih kuat, sebagaimana ditegaskan oleh Ibnu “Aqil.
Karena secara asal isim itu mu'rob, maka ketika ada isim yang mabni, mesti ditanyakan, apa alasannya, karena menyalahi asal. Menurut penulis, juga Abu Ali Al-Farisi, begitu pula Sibawaih menyebutkan dalam nashnya, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Abi Rabi', bahwa alasan isim itu mabni karena ada kemiripan dengan huruf (kata bantu). Penulis dalam baitnya menyebutkan ada kemiripan yang dekat dengan huruf. Lalu merinci macam-macam kemiripan tersebut.
1. Syabah Wadh'i (kemiripan dalam peletakannya) (dhamir)
Maksudnya dari sisi peletakan atau pembentukannya mirip dengan huruf yaitu terbentuk dari satu atau dua huruf hijaiyyah. Yang dimaksud di sini adalah dhamir. Penulis memberi contoh dua isim yang terdapat dalam kalimat : جِئْتَنَا
Pertama : تَ (kamu seorang lk) ini hanya terdiri dari satu huruf hijaiyyah
Kedua : نَا (kami) ini hanya terdiri dari dua huruf hijaiyyah
Ini mirip dengan huruf misalnya بِ (dengan) dan ْمِن (dari).
2. Syabah Ma'nawi (kemiripan dalam maknanya) (isim istifham, isim syarat dan isim isyaroh)
Pertama, istifham (pertanyaan). Makna pertanyaan ini secara asal ditunjukkan oleh huruf. Misalnya ada huruf yang bermakna pertanyaan yaitu ْأَ/هَل (apakah). Penulis memberi contoh : مَتَى (kapan), ia adalah isim mabni, mirip dengan huruf karena menunjukkan makna pertanyaan.
Kedua, syarat. Makna syarat secara asal ditunjukkan oleh huruf. Misalnya ada huruf yang bermakna syarat yaitu ْإِن (jika). Penulis memberi contoh untuk syarat dengan kata yang sama dengan pertanyaan yaitu مَتَى (kapan saja). Artinya متى bisa dianggap sebagai pertanyaan, bisa juga dianggap sebagai syarat tergantung makna mana yang kita gunakan.
Contoh pertanyaan :
مَتَى تَذْهَبُ ؟
Kapan kamu pergi ?
Contoh syarat :
مَتَى تَذْهَبْ أَذْهَبْ
Kapan saja kamu pergi, aku pun pergi
Ketiga, isim isyaroh (kata tunjuk). Makna kata tunjuk ini selayaknya merupakan makna yang ditunjukkan oleh huruf. Tetapi dalam faktanya tidak ada. Sehingga isim isyaroh ini tetap dikatakan mirip dengan huruf dari segi maknanya, karena seharusnya isyaroh merupakan makna dari huruf. Penulis memberi contoh dengan kata هُنَا (di sini). Ini adalah kata tunjuk untuk tempat yang dekat.
3. Syabah Niyabi (kemiripan dari segi mengganti dari fi'il dan tidak terpengaruh oleh 'amil) (isim fi'il)
Syabah niyabi dan yang berikutnya syabah iftiqori termasuk syabah isti’mali, artinya kemiripan dari sisi penggunaannya. Seperti halnya huruf ada yang digunakan untuk mengganti fi’il dan tidak terpengaruh oleh amil, seperti huruf nida (panggilan) sebagai pengganti dari fi’il ad’u (saya memanggil), dan tentu semua huruf itu tidak dapat dipengaruhi oleh kata lain (‘amil). Kemiripan seperti ini ada pada isim fi’il (bentuknya isim tetapi bermakna fi’il). Karena isim fi’il sebagai pengganti dari fi’il, misalnya dalam contoh yang lalu kata shoh (diamlah), pengganti dari fi’il uskut, hayyahal (menghadaplah), pengganti dari fi’il aqbil. Contoh lainnya دَرَاكِ زَيْدًا (ketahuilah Zaid). Kata daroki pengganti dari fi’il أَدْرِكْ. Semua isim-isim fi’il tersebut mabni, tidak dipengaruhi oleh amil. Berbeda dengan contoh ضَرْبًا زَيْدًا (pukullah Zaid). Kata dharban adalah pengganti dari fi’il idhrib. Namun ia tidak termasuk dalam contoh ini karena ia mu’rob, dipengaruhi oleh amil.
4. Syabah Iftiqori yang lazim (kemiripan dari segi membutuhkan kata yang lain agar dapat dipahami) (isim maushul)
Sebagaimana halnya huruf yang tidak dapat dipahami maknanya kecuali bersama yang lainnya, maka ada pula isim mabni yang seperti itu, yaitu isim maushul. Isim maushul itu maknanya tidak dapat dipahami kecuali ada kalimat lain yang memperjelasnya, kalimat tersebut disebut sillah maushul. Contoh :
ذَهَبَ الَّذِي قَامَ
Telah pergi orang yang berdiri
Kata alladzi adalah isim maushul, jika tidak disertai dengan kata qoma (berdiri) sebagai sillah maushulnya, maka maknanya belum dapat dipahami, yaitu “telah pergi orang yang…”.
Ringkasnya, isim mabni itu ada pada enam macam, yaitu : dhamir, isim istifham, isim syarat, isim isyaroh, isim fi’il dan isim maushul.
Selanjutnya penulis menyebutkan tentang isim mu’rob. Yaitu bahwa isim mu’rob adalah yang terbebas dari kemiripan dengan huruf. Dari contoh yang beliau sebutkan mengisyaratkan pembagian macam isim mu’rob. Yaitu ada yang shahih, yaitu yang huruf terakhirnya bukan huruf ‘illat seperti kata أَرْضٍ (bumi). Dan ada yang mu’tal, yaitu yang huruf terakhirnya adalah huruf ‘illat seperti kata سُمَا (nama). Kata isim (nama) dalam bahasa Arab memiliki enam penyebutan, yaitu :
اِسْمٌ – اُسْمٌ – سِمٌ – سُمٌ – سِمَا - سُمَا
Selain itu, isim mu’rob juga terbagi kepada :
1. Mutamakkin Amkan. Yaitu isim mu’rob yang menerima tanwin seperti : رَجُلٌ
2. Mutamakkin Ghair Amkan. Yaitu isim mu’rob yang tidak menerima tanwin seperti : أَحْمَدُ (isim ghair munsharif). Nanti akan dibahas pada babnya.
Selanjutnya penulis membahas tentang fi’il mabni dan fi’il mu’rob.
Beliau menyebutkan bahwa fi’il madhi dan fi’il amr seluruhnya mabni. Yang mu’rob hanya fi’il mudhari, itupun dengan syarat tidak bersambung dengan nun taukid secara langsung dan nun inats.
Mabninya fi’il madhi disepakati oleh seluruh ulama Nahwu. Sedangkan fi’il amr, menurut madzhab Bashrah itu mabni. Sedangkan menurut madzhab Kufah, fi’il amr adalah mu’rob. Karena menurut mereka fi’il amr termasuk macam dari fi’il mudhari. Mereka membagi fi’il hanya kepada dua: fi’il madhi dan fi’il mudhari. Fi’il mudhari itu ada yang khobari dan ada yang thalabi, yang thalabi ini maksudnya adalah fi’il amr. Tentu yang paling kuat adalah pendapat madhzab Bashrah, sebagaimana ditegaskan oleh Ibnu Malik.
Jika fi’il mudhari bersambung dengan nun taukid secara langsung maka ia menjadi mabni. Mabninya dengan fathah, sama saja baik bersambung dengan nun taukid tsaqilah maupun khafifah.
تَضْرِبَنَّ - تَضْرِبَنْ
Adapun jika bersambung dengan nun taukid tetapi tidak secara langsung, artinya terselang oleh huruf lain seperti alif itsnain, wawu jama’ah dan ya mukhatabah, maka ia tetap mu’rob. Ini menurut pendapat mayoritas ulama. Adapun menurut Akhfasy, baik bersambung secara langsung ataupun tidak tetap dianggap mabni.
تَضْرِبَانِّ – تَضْرِبُنَّ - تَضْرِبِنَّ
Ketiga kata tersebut asalnya :
تَضْرِبَانِنَّ – تَضْرِبُونَنَّ - تَضْرِبِيْنَنَّ
Nun yang pertamanya dibuang karena supaya tidak berturut-turut tiga nun sekaligus. Kemudian huruf alif, wawu dan ya nya dibuang untuk menghindari bertemunya dua sukun.
Begitu pula apabila bersambung dengan nun inats, fi’il mudhari menjadi mabni, dan mabninya dengan sukun. Contoh :
يَضْرِبْنَ - تَضْرِبْنَ
Menurut Ibnu Malik di sebagian kitabnya, tidak ada perbedaan para ulama dalam mabninya fi’il mudhari yang bersambung dengan nun inats. Namun menurut Ibnu ‘Aqil, justru perbedaan itu ada sebagaimana dinukil oleh Abul Hasan bin Usfur dalam syarah Al-Idhah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar