SYARAH
ALFIYAH IBNU MALIK
الكَلَامُ وَمَا يَتَأَلَّفُ مِنْهُ
KALAM
& SUSUNANNYA
KALAM,
KALIM DAN KALIMAH
Oleh :
Muhammad Atim
Apa
itu Kalam ?
[٨] كَلَامُنَا لَفْظٌ مُفِيْدٌ كَاسْتَقِمْ وَاسْمٌ
وَفِعْلٌ ثُمَّ حَرْفٌ الْكَلِمُ
“Kalam
menurut kita (ahli Nahwu) adalah lafazh yang memberi faidah seperti “istaqim”
(istiqomahlah kamu)
Dan isim, fi’il kemudian huruf adalah Al-Kalim”
Pembahasan ilmu Nahwu selalu
didahulu dengan penyebutan “Kalam”. Dengan menyebutkan definisinya, unsur-unsur
yang menyusunnya, pembagiannya dan ciri-cirinya. Hal itu karena objek kajian (maudhu)
ilmu Nahwu adalah kalam, dalam arti perkataan orang-orang Arab yang sudah
tersusun menjadi suatu kalimat sempurna. Dimana ia berperan untuk menjaga lisan
dari kesalahan dalam menyusunnya.
Penulis menyebutkan, “Kalam menurut
kita”, yaitu para ulama ahli ilmu Nahwu, adalah untuk membedakan dengan
pengertian “kalam” menurut para ahli bahasa Arab secara umum (lughawiyyin).
Dimana menurut mereka kalam adalah setiap perkataan, baik memberi faidah
ataupun tidak. Baik mencerminkan suatu kejadian (hadats), qaul (lafazh yang
digunakan), yang memberi petunjuk dari dirinya sendiri seperti tulisan dan
isyarat, perkataan dalam hati (haditsun nafsi) atau suatu kondisi yang
dapat memberikan pemahaman (hal asy-syai al-mufhimah). Sedangkan menurut para ahli Nahwu kalam adalah
“Lafazh yang memberi faidah seperti istaqim (istiqamahlah kamu).”
Beliau menyebutkan definisinya
secara ringkas, dimana diantara keutamaan membuat definisi adalah dengan
membuatnya seringkas mungkin. Beliau hanya menyebut dua kata yaitu “lafzh”
(lafazh) dan “mufid” (yang memberi faidah), selebihnya beliau melengkapi dengan
memberi contoh dengan kata “istaqim” (istiqamahlah kamu). Dimana diakui oleh
para ulama, bahwa memberi contoh merupakan salah satu cara dalam membuat
definisi. Dari contoh yang beliau sebutkan menunjukkan bahwa yang beliau maksud
adalah “Lafazh yang memberi faidah yang sempurna.” Untuk itu para pensyarah
lebih memperjelas lagi definisinya, diantaranya Ibnu Aqil menyebut :
اللَّفْظُ المُفِيْدُ فَائِدَةً يَحْسُنُ السُّكُوْتُ عَلَيْهِ
“Lafazh yang memberi
faidah dengan faidah yang layak untuk diam darinya”
Redaksi seperti ini juga
disebutkan oleh Ibnu Malik sendiri di dalam karyanya yaitu Syarah nazham
Al-Kafiyah Asy-Syafiyah, dimana nazham ini merupakan asal dari nazham alfiyah
ini. Karena alfiyah adalah ringkasan yang berisi 1002 bait, sedangkan nazham
Al-Kafiyah Asy-Syafiyah yang dikenal dengan manzhumah kubra berisi sekitar 3000
bait.
Faidah yang layak untuk diam
darinya, maksudnya adalah kalimat sempurna, yang membuat orang yang mendegarnya
paham. Baik yang mendengarnya itu pembicara sendiri yang mengucapkan ataupun
lawan bicaranya, yang membuatnya layak untuk diam, artinya tidak perlu lagi
bertanya. Seperti kalimat “istaqim” (istiqamahlah kamu), ini adalah kalimat
sempurna yang sudah dapat dipahami, tanpa menimbulkan pertanyaan. Contoh yang
beliau sebutkan ini mengandung nasihat yang sangat bagus, agar kita istiqomah
di dalam keimanan dan ketaatan kepada Allah, sebagai bekal bagi perjalanan awal
dalam menuntut ilmu, agar kemudian ilmu yang didapat itu memberi manfaat dan
menghasilkan keberkahan.
Beliau lebih memilih menggunakan kata “lafzh”
tidak dengan “qaul” sebagaimana digunakan oleh Ibnu Hisyam. Sebagian mereka
mengkritik bahwa “lafzh” adalah jenis jauh (jins ba’id) karena bermakna
lafazh yang digunakan ataupun yang tidak digunakan, sedangkan “qaul” adalah
jenis dekat (jins qarib) karena bermakna lafazh yang digunakan, dan
membuat definisi itu harus dengan jins qarib. Namun hal ini dijawab, bahwa
kata “qaul” justru maknanya lebih umum, ia bisa tertuju kepada berbagai makna
(musytarok), dimana kata yang musytarok itu kurang cocok untuk digunakan dalam
definisi, sebagaimana oleh beliau akan disebutkan pada bait berikutnya bahwa
“qaul” itu lebih umum. Namun bukan berarti tidak boleh mendefinisikan kalam
dengan “qaul”, ini hanya yang dipilih oleh beliau dalam nazham alfiyahnya ini,
karena justru dalam nazham Al-Kafiyah Asy-Syafiyah beliau menggunakan kata
“qaul” ketika mendefinisikan kalam.
Lafazh itu adalah :
صَوْتٌ يَخْرُجُ مِنَ الْفَمِ مُشْتَمِلٌ عَلَى بَعْضِ
الْحُرُوْفِ الْهِجَائِيَّةِ
“Suara yang keluar dari mulut yang
mencakup sebagian huruf-huruf hijaiyyah”.
Ini untuk membedakan dengan tulisan,
isyarat, perkataan dalam hati dan suatu kondisi yang dapat memberi pemahaman.
Hal semacam itu tidak disebut kalam dalam istilah ilmu Nahwu. Selama hal-hal
itu tidak diucapkan di oleh lisan, dengan suara yang keluar dari mulut, ia
tidak disebut sebagai kalam. Juga untuk membedakan dengan suara lain yang tidak
keluar dari mulut seperti suara angin.
Lafazh itu mencakup yang memberi
faidah dan yang tidak memberi faidah, maka berikutnya beliau lebih memperjelas
dengan kata “mufid” (memberi faidah). Dan faidah ini diperjelas lagi dengan
kata “istaqim”, yang maksudnya adalah faidah yang sempurna.
Beliau tidak menggunakan kata
“murokkab” (susunan beberapa kata) seperti di dalam Ajurrumiyyah misalnya,
karena beliau mencukupkan dengan kata “mufid”, karena memberi faidah itu memestikan
bahwa ia adalah murokkab, sebagaimana disebutkan oleh Asymuni dan Asy-Syathibi.
Beliau juga tidak menyebutkan kata “bil-wadh’i” (sesuai dengan yang diletakkan
oleh bahasa Arab), hal itu karena beliau mencukupkan dengan contoh yang beliau
berikan, bahwa contoh “istaqim” itu menunjukkan ia adalah yang diletakkan oleh
bahasa Arab, sebagaimana hal ini dijelaskan oleh Asy-Syathibi dan Ash-Shabban.
Sedangkan dalam karya beliau yang
lain, yaitu kitab At-Tashil (Tashilul Fawaid wa Takmilul Maqashid),
beliau menyebut kata “bil-wadhi” ketika mendefinisikan “al-kalimah”. Lalu
beliau mendefinisikan kalam dengan :
وًالْكَلَامُ مَا تَضَمَّنَ مِنَ الْكَلِمِ إِسْنَادًا
مُفِيْدًا مَقْصُوْدًا بِذَاتِهِ
“Kalam adalah apa yang terdiri dari
kalim sebagai isnad yang memberi faidah, yang terkandung maksud secara zatnya.”
Dalam definisi tersebut beliau
menambahkan kata “yang terkandung maksud secara zatnya”. Kata “yang terkandung
maksud”, ini untuk membedakan dengan ngigaunya orang yang tidur atau perkataan
orang yang lupa, karena mereka mengucapkannya tanpa disengaja dan tanpa ada
maksud. Dan kata “secara zatnya” disebut juga dengan “mustaqil”, artinya
memberi maksud dengan sendirinya, ini untuk membedakan dengan jumlah shillah
(penyempurna makna maushul) dan al-jaza (jawab syarat), yang tidak mengandung
maksud secara zatnya, tetapi maksudnya ada pada yang lainnya. Sebagaimana hal
ini dijelaskan oleh As-Suyuthi dan Ash-Shabban. Selain syarat “mengandung
maksud secara zatnya”, Asymuni menambahkan syarat lainnya yaitu bukan kalimat
yang ilmunya diketahui secara dharuri/tanpa berfikir (al-ma’lum madluluhu
dharuratan) seperti “Api itu membakar”. Ia menyebutkan bahwa syarat ini
dinukil dari Sibawaih. Namun kedua syarat ini ditolak oleh Ash-Shabban. Juga
oleh Abu Hayyan dan yang lainnya, sebagaimana dituturkan oleh Ash-Shabban.
Kemudian beliau menyebutkan bahwa
kalam susunannya adalah terdiri dari “kalim”, dan kalim itu mencakup isim,
fi’il dan huruf. Beliau menyebut ketiga hal ini secara tersusun dengan kata
“kemudian”, ini menunjukkan susunan ini berdasarkan kemuliaannya. Artinya, isim
lebih mulia daripada fi’il dan huruf, dan fi’il lebih mulia dari huruf.
“Al-Kalim” itu adalah isim jenis
jama’ (ismu jinsin jam’i). Maknanya adalah yang terdiri dari tiga kata
atau lebih. Bentuk mufrodnya kata “al-kalimah”.
الكَلِمُ : الكَلِمَةُ
Sebagaimana diketahui bahwa
perbedaan antara isim jenis jama’ dengan murfrodnya terdapat dalam dua bentuk.
Pertama, dengan menambahkan huruf ta
ta’nits marbuthah sebagaimana dalam kata “al-kalim” diatas. Contoh lainnya :
بَقَرٌ : بَقَرَةٌ (sapi betina)
شَجَرٌ : شَجَرَةٌ (pohon)
تَمْرٌ : تَمْرَةٌ (kurma)
Kedua, dengan menambahkan huruf ya
nisbah. Contohnya :
عَرَبٌ : عَرَبِيٌّ (orang Arab)
رُوْمٌ : رُوْمِيٌّ (orang Romawi)
جُنْدٌ : جُنْدِيٌّ (tentara)
Sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Malik
dalam nazham Al-Kafiyah Asy-Syafiyah :
وَمَا بِتَاءٍ أَوْ بِيَاءٍ أُفْرِدَا فَهُوَ اسْمُ جِنْسٍ كَمَجُوْسٍ وَحِدَا
“Dan apa yang dengan tambahan ta
(ta’nits) dan ya (nisbah) dimufrodkan
Maka dia adalah isim jenis seperti
majus (orang majusi) dan hida (nama burung)”
Nisbat antara kalam dengan kalim ini
adalah nisbat umum-khusus dari segi tertentu (al-umum wal khusus al-wajhi).
Dalam arti ada contoh yang bersifat umum mencakup kedua-duanya, dan ada juga
contoh yang menjadi kekhususannya masing-masing. Hal itu karena, kalam adalah
lafazh yang memberi faidah yang sempurna meskipun terdiri dari dua kata.
Sedangkan kalim adalah yang terdiri dari tiga kata atau lebih baik memberi
faidah yang sempurna ataupun tidak.
Contoh yang termasuk kalam dan
sekaligus kalim.
قَدْ قَامَ زَيْدٌ (Sungguh
Zaid telah berdiri)
Termasuk kalam karena memberi
faidah yang sempurna, dan termasuk kalim
karena terdiri dari tiga kata.
Contoh yang termasuk kalim, tetapi
bukan kalam.
إِنْ قَامَ زَيْدٌ (Jika
Zaid telah berdiri)
Termasuk kalim karena terdiri dari
tiga kata, dan tidak termasuk kalam karena tidak memberi faidah yang sempurna.
Karena kalimat tersebut masih membutuhkan jawab syarat sebagai penyempurna
maknanya.
Contoh yang termasuk kalam, tetapi
bukan kalim.
زَيْدٌ قَائِمٌ (Zaid
berdiri)
Termasuk kalam karena memberi
faidah yang sempurna, dan tidak termasuk
kalim karena kurang dari tiga kata.
Kalam itu minimal terdiri dari dua
kata, baik berupa dua isim, misalnya زَيْدٌ قَائِمٌ
(Zaid berdiri) maupun isim dan fi’il,
misalnya قَامَ زَيْدٌ (Zaid
telah berdiri), ataupun sebagaimana contoh penulis yaitu اِسْتَقِمْ
(istiqamahlah). Meskipun terlihat
satu kata tetapi sebenarnya ada dua kata, yaitu fi’il amr tersebut yang nampak
dengan dhamir tersembunyi yang menjadi fa’ilnya, asalnya أَنْتَ.
Dengan demikian, tidak benar jika dikatakan bahwa kalam bisa terdiri dari isim
dan huruf atau fi’il dan huruf, sebagaimana tertulis dalam buku ushul fiqih
semisal Al-Waraqat. Ibnu Malik dalam nazham Al-Kafiyah Asy-Syafiyah berkata :
وَهُوَ مِنْ اِسْمَيْنِ كَــ (زَيْدٌ ذَاهِبٌ) وَاسْمٍ وَفِعْلٍ نَحْوَ (فَازَ
التَّائِبُ)
“Dan dia (kalam) terdiri dari dua
isim, seperti (Zaid pergi)
Serta isim dan fi’il seperti (telah
beruntung orang yang bertaubat).
Al-Kalim yang bentuk mufrodnya
adalah Al-Kalimah, itu mencakup tiga macam, yaitu isim, fi’il dan huruf. Jadi,
bisa dikatakan tiga macam ini merupakan pembagian kalim ataupun pembagian
kalimah. Pembagian kepada tiga macam ini, sebenarnya telah ada sejak dulu,
yaitu sejak awal mula ilmu bahasa Arab ini disusun kaidah-kaidahnya. Yaitu yang
ditulis oleh Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, saat beliau mencoba
meletakkan dasar kaidah ilmu bahasa Arab yang kemudian dilanjutkan oleh Abul
Aswad Ad-Duali. Ali bin Abi Thalib menulis :
الكَلَامُ كُلُّهُ : اِسْمٌ وَفِعْلٌ وَحَرْفٌ؛ فَالْاِسْمُ :
مَا أَنْبَأَ عَنْ مُسَمَّى، وَالْفِعْلُ : مَا أَنْبَأَ عَنْ حَرَكَةِ الْمُسَمَّى،
وَالْحَرْفُ : مَا أَنْبَأَ عَنْ مَعْنًى لَيْسَ بِاسْمٍ وَلَا فِعْلٍ
“Kalam itu seluruhnya adalah : isim,
fi’il dan huruf. Isim adalah yang memberitahukan tentang yang dinamai. Fi’il
adalah yang memberitahukan tentang aktifitas yang dinamai. Dan huruf adalah
yang memberitahukan tentang makna yang bukan isim dan fi’il.” (Lihat Adz-Dzahabi, Siyar A’lam An-Nubala, 4/84, Tarikh
Al-Islam, 5/279).
Perbedaan antara isim, fi’il dan
huruf kemudian diperjelas lagi, setahu saya, pertama kali oleh Ibnu Hajib
(570-646 H), dalam kitabnya Al-Kafiyah. Beliau berkata : “Al-Kalimah adalah
lafazh yang diletakkan untuk makna mufrad. Dan dia adalah : isim, fi’il dan huruf.
Karena ia ada yang menunjukkan kepada makna pada dirinya sendiri, dan ada yang
tidak. Yang kedua (yang tidak) adalah huruf. Adapun yang pertama (pada dirinya
sendiri), ada yang bisa disertai dengan salah satu dari tiga waktu dan ada yang
tidak. Yang pertama adalah fi’il, sedangkan yang kedua adalah isim. Dan sungguh
dengan hal itu telah diketahui pengertian masing-masingnya.”
Definisi di atas bisa kita susunkan
kembali seperti berikut ini :
الإِسْمُ هُوَ كَلِمَةٌ دَلَّتْ عَلَى مَعْنًى فِي نَفْسِهَا
غَيْرُ مُقْتَرِنَةٍ بِزَمَانٍ
“Isim adalah kata yang menunjukkan
arti pada dirinya sendiri tanpa disertai dengan waktu”.
Misalnya زَيْد
(Zaid). Ketika disebutkan kata “Zaid”, maka akan tergambar di dalam pikiran
kita sosok seorang laki-laki yang bernama Zaid. Ini artinya memberi makna pada
dirinya sendiri. Namun tidak bisa disertakan dengan waktu, tidak bisa dikatakan
“telah Zaid”, “sedang Zaid”, atau “akan Zaid”.
الفِعْلُ هُوَ كَلِمَةٌ دَلَّتْ عَلَى مَعْنًى فِي نَفْسِهَا
وَاقْتُرِنَتْ بِزَمَانٍ
“Fi’il adalah kata yang menunjukkan
arti pada dirinya sendiri dan dapat disertai dengan waktu”.
Misalnya قَامَ
(berdiri). Ketika disebutkan kata “berdiri”, maka akan tergambar di dalam
pikiran kita suatu pekerjaan, aktifitas, atau keadaan dari “berdiri”, tergambar
di dalam pikiran kita misalnya sosok seseorang yang sedang berdiri. Ini artinya
memberi makna pada dirinya sendiri. Dan bedanya dengan isim, fi’il bisa diserta
dengan waktu, maka bisa dikatakan “telah berdiri”, “sedang berdiri” dan “akan
berdiri”.
الحَرْفُ هُوَ كَلِمَةٌ دَلَّتْ عَلَى مَعْنًى فِي غَيْرِهَا
“Huruf adalah kata yang menunjukkan
makna pada yang lainnya”.
Misalnya مِنْ
(dari). Ketika disebutkan kata “dari”, tidak tergambar apa-apa dalam pikiran
kita. Inilah yang dimaksud dengan memberi makna pada yang lainnya. Ia baru akan
jelas tergambar maknanya ketika disandingkan dengan kata lain (isim atau
fi’il). Misalnya “dari masjid”, atau “saya mengambil dari”.
[٩] وَاحِدُهُ كَلِمَةٌ وَالْقَوْلُ عَمّ وَكِلْمَةٌ
بِهَا كَلَامٌ قَدْ يُؤَمُّ
“Bentuk mufrod
(makna satu)nya (dari al-kalim) adalah kalimah. Sedangkan kata “qaul” lebih
umum
Sedangkan
kilmah (sebutan lain dari kalimah) kadang-kadang dimaksudkan sebagai kalam
Sebagaimana telah disebutkan
sebelumnya bahwa bentuk mufrod dari kalim adalah kalimah. Pengucapan bahasa
dalam kata kalimah bisa dalam tiga bentuk : كَلِمَةٌ – كِلْمَةٌ - كَلْمَةٌ
Sedangkan
“qaul” itu lebih umum. Ia bermakna setiap lafazh yang memberi makna. Dengan
demikian, qaul itu mencakup kalam, kalim dan kalimah.
Kata عَمّ
di atas, yang berarti “lebih umum”, bisa dianggap sebagai isim yang asalnya أَعَمُّ
(isim tafdhil bermakna lebih umum). Bisa juga dianggap sebagai fi’il madhi
mudha’af (عَمَّ
يَعُمُّ) yang artinya bersifat umum/mencakup.
Kata kalimah secara makna hakikinya
adalah yang menunjukkan makna mufrod. Namun terkadang digunakan juga bermakna
kalam. Penggunaan ini adalah secara majazi. Dalam ilmu balaghah disebut sebagai
majaz mursal yang ‘alaqahnya juz’iyyah, artinya menyebutkan sesuatu dengan
salah satu bagiannya. Karena kalimah adalah sebagian dari kalam. Misalnya dalam
Al-Qur’an :
لَعَلِّي
أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ ۚ كَلَّا ۚ إِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ قَائِلُهَا
ۖ وَمِن وَرَائِهِم بَرْزَخٌ إِلَىٰ يَوْمِ يُبْعَثُونَ
“Agar aku beramal
shaleh pada apa yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak bisa! Sesungguhnya
itu hanyalah “kalimah” yang ia ucapkan saja. Dan di belakang mereka ada
barzah sampai hari mereka dibangkitkan.” (QS.
Al-Mu’minun : 100).
Dalam ayat di atas, menyebut kalimat
di bawah ini sebagai kalimah :
لَعَلِّي
أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ
Padahal itu adalah kalam bukan
kalimah secara hakikatnya. Penyebutan kata kalimah ini hanya sebagai majaz
saja, karena yang dimaksud sebenarnya adalah kalam.
Seperti juga penyebutan :
كَلِمَةُ
الْإِخْلَاصِ / كَلِمَةُ التَّوْحِيْدِ : لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ
Maksudnya adalah kalam.
izin copi dan dibagikan untuk orang lain
BalasHapus