Kaya dan miskin adalah dua kondisi yang ada di luar kemampuan manusia. Maka tidak bisa dikatakan, kamu jangan miskin, kamu harus kaya! Sebagai orang beriman, tentu kita harus meyakini bahwa keduanya terjadi tiada lain melainkan atas kehendak Allah. Ini merupakan bagian dari iman kepada takdir.
اِنَّ رَبَّكَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَّشَاۤءُ وَيَقْدِرُ ۗاِنَّهُ كَانَ بِعِبَادِهِ خَبِيْرًاۢ بَصِيْرًا
Sungguh, Tuhanmu melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dan membatasi (bagi siapa yang Dia kehendaki); sungguh, Dia Maha Mengetahui, Maha Melihat hamba-hamba-Nya. (QS. Al-Isra : 30).
Rezeki yang Allah berikan di dunia tentu tidak turun dari langit begitu saja, tetapi diperoleh melalui usaha. Ada sunnatullah sebab akibat. Untuk itu dalam banyak ayat dan hadits ada dorongan untuk berusaha, berjalan dan bertebaran di muka bumi untuk mengais rezeki, serta adanya peringatan dari tercelanya berpangku tangan bermalas-malasan tanpa mau bekerja, terlebih meminta-minta.
Namun, yang menjadi wilayah tanggung jawab manusia itu adalah usahanya, bukan hasilnya. Kaya dan miskin itu hasil. Dan dia mutlak pemberian Allah. Jadi, tidak serta merta kaya itu terpuji dan miskin itu tercela. Kalaulah ukurannya seperti itu, bisakah diterapkan kepada para Nabi dan orang-orang shaleh yang diuji dengan kemiskinan, bisakah mereka disebut sebagai orang-orang yang tercela karena miskin? Bahkan Nabi kita diuji dengan kemiskinan, pernah dua bulan berturut-turut tidak ada nyala api di rumahnya, hanya mengkonsumsi air dan kurma saja, pernah dilanda kelaparan yang hebat. Bahkan Umar menangis ketika melihat guratan-guratan di punggung beliau karena tikar kasar yang beliau tiduri seraya berkata, “Wahai Rasulullah, Kisra (raja Persia) dan Kaisar (raja Romawi) mereka berada dalam (kekayaan) yang ada pada mereka, sedangkan engkau ini Rasulullah? Lalu beliau menjawab, “Tidakkah engkau ridha, biarlah bagian mereka di dunia sedangkan bagian kita di akhirat?! (Muttafaq ‘Alaih).
Kaya dan miskin adalah ujian. Terpuji ataupun tercelanya bukanlah terletak pada keduanya, tetapi pada sikap terhadap keduanya. Orang kaya bisa menjadi mulia, seperti halnya juga orang miskin bisa mulia. Makanya di dalam Islam ada ilmunya bagaimana menjadikan kekayaan itu menjadi berlimpah keberkahan, yaitu dengan sikap bersyukur dan menginfakkan harta kekayaannya di jalan Allah. Begitu juga orang miskin, memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi mulia, yaitu dengan sikap bersabar, bahkan bisa jadi kesempatan untuk beribadah dan beramal shalehnya lebih banyak karena tidak tersibukkan oleh kekayaan, bahkan bisa masuk surga lebih dulu karena penghisaban hartanya sedikit.
Sebaliknya, baik orang kaya maupun orang miskin, sama-sama bisa menjadi tercela ketika mereka memilih sikap yang salah. Orang kaya menjadi tercela ketika ia sombong dengan kekayaannya, senang memamerkan kekayaan dan tidak pandai bersyukur. Dan orang miskin menjadi tercela ketika ia tidak bersabar, menyalahkan dan mencela takdir, bahkan menjadikan kefakirannya sebagai alasan untuk keingkaran dan kekafiran.
Hati-hati bersikap terhadap kekayaan. Jangan merasa bahwa mendapat kekayaan adalah sebagai hasil usaha jerih payah dan kepandaian ilmu sendiri, lalu berbangga diri dan memamerkannya. Apalagi sambil merendahkan orang-orang miskin dengan kemiskinannya, itu akan sangat membuat hati mereka miris. Hati-hati dalam berkata-kata, meskipun itu untuk tujuan memotivasi. Karena kata-kata adalah cerminan mainset dan apa yang ada di dalam hati. Motivasi mesti dibangun dengan mainset dan keyakinan yang benar. Allah telah memberi pelajaran kepada kita tentang sikap terhadap kekayaan. Yaitu dengan teladan Nabi Sulaiman ‘alaihissalam dan contoh buruk Qarun. Justeru dengan mengabadikan perkataan mereka. Silahkan ukur sikap kita terhadap kekayaan, apakah meneladani perkataan Nabi Sulaiman ‘alaihissalam :
هٰذَا مِنْ فَضْلِ رَبِّيْۗ لِيَبْلُوَنِيْٓ ءَاَشْكُرُ اَمْ اَكْفُرُۗ
“Ini termasuk karunia Tuhanku untuk mengujiku, apakah aku bersyukur atau mengingkari (nikmat-Nya)” (QS. An-Naml : 40).
Ataukah mencontoh perkataan buruk Qarun :
اِنَّمَآ اُوْتِيْتُهُ عَلٰى عِلْمٍ عِنْدِيْۗ
“Sesungguhnya aku diberi (harta itu), semata-mata karena ilmu yang ada padaku.” (QS. Al-Qashash : 78).
Juga, karena kaya dan miskin itu pemberian Allah, tidak perlu menjadikan tujuan apalagi ambisi dalam berusaha itu untuk menjadi kaya. Karena jika ternyata hasilnya tidak sesuai dengan yang diinginkan, malah akan menjadi kecewa. Akhirnya bersikap tidak ridha terhadap takdir Allah. Cukuplah tujuan dalam berusaha itu untuk mencari ridha Allah dalam rangka menjalani sebab meraih rezeki Allah, dan tentu usahanya dilakukan dengan semaksimal mungkin, maka berapapun hasilnya, hati akan dipenuhi dengan keridhoan.
Semoga Allah memberi hidayah kepada kita semua.
(Muhammad Atim)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar