Oleh : Muhammad Atim
أَيَّامًا
مَعْدُوْدَاتٍ، فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيْضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ
أَيَّامٍ أُخَرَ، وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍ،
فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُوْمُوا خَيْرٌ لَكُمْ
إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
"(Yaitu)
beberapa hari yang terhitung. Maka barangsiapa di antara kalian yang keadaannya
sakit atau sedang dalam perjalanan (lalu tidak shaum), maka (wajib mengganti)
sebanyak hari (yang ia tidak shaum) pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang
yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang
miskin. Tetapi barangsiapa dengan kerelaan hati melakukan kebaikan (ibadah
tambahan), maka itu lebih baik baginya, dan shaum itu baik/lebih baik bagi
kalian jika kalian mengetahui. " (QS. Al-Baqarah : 184).
Selanjutnya Allah ﷻ menjelaskan
waktu dan beberapa hukum berkenaan dengan shaum yang diwajibkan. Kapankah waktu
dilaksanakan shaum yang diwajibkan itu? Allah memberi keterangan waktunya
dengan kalimat “beberapa hari yang terhitung”. Ini suatu bentuk kesan
kemudahan lain dari Allah tentang shaum ini, yaitu bahwa shaum ini dilakukan
hanya beberapa hari yang terhitung saja, tidak lama. Kata “ma’dudat” (terhitung)
adalah kinayah dari sedikit, karena yang sedikit itu terhitung, sedangkan
banyak tidak terhitung. Namun meskipun terhitung, bentuk kata (مَعْدُوْدَاتٍ) di sini
menggunakan jama’ muannats salim yang menunjukkan bilangan tiga ke atas,
berbeda di ayat lain yang menggunakan bentuk mufrod (tunggal) misalnya,
وَقَالُوا لَنْ
تَمَسَّنَا النَّارُ إِلَّا أَيَّامًا مَعْدُوْدَةً
“Dan mereka
(orang-orang Yahudi) berkata, “Neraka tidak akan menyentuh kami melainkan hanya
beberapa hari yang terhitung saja.” (QS. Al-Baqarah : 80).
Karena memang hari yang terhitung menurut orang Yahudi
dalam ayat ini jumlahnya lebih sedikit.
Sedangkan hari-hari yang terhitung untuk pelaksanaan
shaum ini maksudnya adalah 30 atau 29 hari, yaitu selama satu bulan Ramadhan
sebagaimana akan dipertegas pada ayat selanjutnya. Mengapa hari-hari selama
satu bulan Ramadhan ini dianggap sedikit? Karena memang hari-harinya akan
berjalan tanpa terasa, tidak akan terasa lama. Juga karena saking besar pahala
dan keistimewaan yang Allah berikan pada hari-hari di bulan Ramadhan ini, ia
dianggap sedikit agar kita dapat benar-benar memaksimalkannya, jangan sampai
lalai untuk mendapatkan keutamaannya, kesempatannya sangat terbatas. Betapa
tidak sedikit orang yang berleha-leha di hari-hari bulan Ramadhan, lalu
Ramadhan lewat begitu saja dan akhirnya dia pun menyesal.
Itulah kewajiban shaum yang bersifat azimah, yang mesti
dilakukan oleh orang-orang yang beriman. Selanjutnya Allah ﷻ menjelaskan suatu hukum rukhsah (keringanan) pada kondisi
tertentu. Yaitu bagi orang yang sakit atau sedang dalam perjalanan dibolehkan
untuk tidak melaksanakan shaum, maka ia wajib untuk mengqadha sejumlah hari
yang ia tidak shaum pada hari-hari yang lain.
Para ulama berbeda pendapat tentang sakit yang
membolehkan untuk berbuka. Imam Malik, imam Abu Hanifah dan imam Syafi’i serta
para pengikutnya berpendapat, meski dengan pengungkapan yang berbeda-beda,
bahwa sakit tersebut yang dimaksud adalah jika ia tetap melaksanakan shaum akan
memberi pengaruh dan kesulitan padanya baik sakitnya menjadi semakin parah,
membuatnya semakin lemah, atau memperlambat penyembuhan.
Sedangkan imam Ibnu Sirin, imam Atha bin Abi Rabah dan
imam Bukhari berpendapat bahwa sakit apapun dapat membolehkan seseorang untuk
berbuka meskipun tidak membuatnya parah atau sakitnya bertambah. Karena Allah
menjadikan sakit secara mutlak sebagai sebab bolehnya berbuka sebagaimana
menjadikan safar sebagai sebab bolehnya berbuka. Hingga diriwayatkan ada
seseorang yang datang kepada imam Ibnu Sirin pada siang hari Ramadhan dan dia
sedang makan, ketika selesai ia berkata, “Sesungguhnya jariku membuatku sakit
maka aku pun berbuka”. Imam Bukhari berkata, “Aku sakit ringan di Naisabur pada
saat Ramadhan, lalu Ishak bin Rohawaih menjengukku bersama sekelompok
sahabatnya lalu ia berkata, “Engkau berbuka wahai Abu Abdillah?” Aku pun
menjawab, “Ya”. Diriwayatkan Ibnu Juraij bertanya kepada imam Atha, “Dari sakit
yang bagaimana aku boleh berbuka?” Ia menjawab, “Dari sakit yang bagaimana saja,
sebagaimana Allah berfirman, “Maka barangsiapa di antara kalian keadaannya
sakit.”
Berkenaan dengan safar, selama suatu perjalanan disebut
safar secara kebiasaan, maka diperbolehkan untuk berbuka, sebagaimana juga
diperbolehkan mengqashar shalat dan hukum lainnya. Dalam keadaan safar, apakah
lebih baik shaum ataukah berbuka? Para ulama berbeda pendapat, ada yang
mengatakan shaum itu lebih baik seperti pendapat imam Malik dan Abu Hanifah,
ada yang mengatakan berbuka lebih baik seperti pendapat imam Ahmad dan kelompok
ulama lainnya, dan ada juga yang mengatakan keduanya adalah pilihan, tidak ada
yang dianggap lebih afdhal salah satunya. Namun yang jelas perlu diperhatikan
kondisi orang yang safar tersebut, jika ia merasa berat dengan shaum maka lebih
baik untuk berbuka, bahkan dalam suatu kondisi yang menuntut dia untuk berbuka
tetapi ia tetap memaksakan shaum, ia dianggap berdosa. Dan jika shaum itu
terasa ringan baginya, maka bisa dianggap shaum lebih baik. Atau bisa dikatakan
juga sebagai pilihan, tidak ada yang lebih baik jika kondisinya pertengahan. Dan
dalam berbagai kondisi tersebut, secara prinsip tetap saja orang yang sedang
safar dibolehkan untuk berbuka. Wallahu A’lam.
Selain karena sakit dan safar, orang yang wajib qadha
karena meninggalkan shaum adalah wanita yang haid dan nifas. Hanya saja bagi
mereka berdua sama sekali tidak boleh melaksanakan shaum. Sebagaimana hadits dari
Abu Sa’id Al-Khudri, ia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda :
أَلَيْسَتْ إِذَا
حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ، فَذلِكَ نُقْصَانُ دِيْنِهَا
“Bukankah apabila perempuan itu haid ia tidak shalat dan
tidak shaum? Maka itulah suatu kekurangan dalam agamanya.” (HR. Bukhari,
no. 1951).
عَنْ مُعَاذَةَ قَالَتْ سَأَلْتُ عَائِشَةَ فَقُلْتُ مَا بَالُ الْحَائِضِ تَقْضِي
الصَّوْمَ وَلَا تَقْضِي الصَّلَاةَ فَقَالَتْ أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ قُلْتُ
لَسْتُ بِحَرُورِيَّةٍ وَلَكِنِّي أَسْأَلُ قَالَتْ كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ
فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلَا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ
Dari Mu'adzah dia berkata, "Saya bertanya kepada
Aisyah seraya berkata; 'Kenapa wanita haid mengqadha puasa dan tidak mengqadha'
shalat?’ Aisyah menjawab; ‘Apakah kamu dari golongan Haruriyah?’ Aku menjawab;
‘Aku bukan Haruriyah, akan tetapi aku hanya bertanya.' Dia menjawab; ‘Kami
dahulu mengalami haid, kami diperintahkan untuk mengqadha' puasa dan tidak
diperintahkan mengqadha' shalat'. (HR. Muslim, no. 335).
Kedua hadits di atas berkenaan dengan wanita yang haid,
sedangkan wanita yang nifas diqiyaskan kepadanya karena terdapat persamaan di
antara keduanya.
Selanjutnya adalah ayat,
وَعَلَى
الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍ
Para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan kata “yuthiqunahu”.
Pertama, ada yang menafsirkan dengan makna “al-jahdu” yang berarti merasa berat atau adanya
kesulitan. Berdasarkan tafsir ini maka maknanya, “Dan terhadap orang-orang
yang merasa berat melaksanakan shaum, maka wajib membayar fidyah, yaitu memberi
makan seorang miskin.” Huruf “wawu” dalam ayat diatas adalah ‘athaf
(penghubung) kepada ayat sebelumnya yaitu “‘alaikumush shiyam” , maka di
sini juga dimaknai wajib membayar fidyah.
Orang-orang yang termasuk kategori berat dalam
melaksanakan shaum ini adalah orang yang telah lanjut usia. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu
‘anhu tentang tafsir ayat ini, “Yaitu berkenaan dengan orang yang lanjut
usia yang tidak mampu shaum, kemudian ia lemah, maka ia diberi keringanan untuk
memberi makan setiap harinya seorang miskin.”[1]
Selain orang tua yang telah lanjut usia, yang dapat
dikategorikan orang yang boleh tidak shaum karena berat melakukannya dan wajib membayar
fidyah adalah orang yang sakit tetapi tidak bisa diharapkan untuk sembuh,
begitu pula orang sebagai pekerja berat. Jika diperhatikan, mereka memiliki
kesamaan sifat yaitu berat melaksanakan shaum dan tidak memiliki kesempatan
untuk mengqadhanya.
Adapun wanita yang hamil dan menyusui, jika mereka kuat
untuk melaksanakan shaum, maka mereka terkena hukum asal wajibnya shaum. Namun jika
tidak kuat, mereka boleh untuk berbuka. Lalu apakah mereka wajib qadha ataukan
fidyah? Para ulama berbeda pendapat. Pertama, wajib fidyah tidak wajib qadha, pendapat
ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma. Kedua,
wajib qadha tidak wajib fidyah, ini pendapat imam Abu Hanifah dan para
sahabatnya, Abu Ubaid dan Abu Tsaur. Ketiga, wajib qadha dan fidyah, ini
pendapat imam Syafi’i. Keempat, wanita hamil wajib qadha tidak wajib fidyah,
dan wanita menyusui wajib qadha dan fidyah.
Sebab perbedaan pendapat mereka adalah apakah wanita
hamil dan menyusui itu lebih tepat disamakan kepada orang yang sakit ataukah
kepada orang yang berat melaksanakan shaum. Jika lebih disamakan kepada orang
yang sakit berarti wajib qadha, tidak wajib fidyah, dan jika lebih disamakan
kepada orang yang berat melaksanakannya berarti wajib fidyah, tidak wajib
qadha. Ulama yang memandang bahwa mereka berdua memiliki segi kesamaan dengan
keduanya maka mereka wajib qadha dan fidyah. Dan ada juga yang membedakan di
antara keduanya.
Yang jelas, hamil dan menyusui bukanlah sebab
dibolehkannya berbuka karena tidak ada ayat Al-Qur’an ataupun hadits yang
menyebutkan hal itu. Mereka dibolehkan berbuka itu karena suatu alasan, bisa
karena ada rasa sakit, atau khawatir sakit baik bagi dirinya maupun bagi
janinnya, atau khawatir bertambah sakit, maka alasan-alasan ini masuk kepada
kategori orang yang sakit, sehingga hukumnya termasuk orang yang wajib qadha,
tidak wajib fidyah. Adapun jika disamakan seperti orang tua lanjut usia yang tidak
mampu shaum, tentu berbeda, karena mereka tidak memiliki kesempatan untuk
mengqadha shaum, sedangkan wanita hamil dan menyusui memiliki kesempatan untuk
mengqadhanya. Wallahu A’lam.
Kedua, ada yang menafsirkan kata “yuthiqunahu” dengan
makna “al-qudrah” (kemampuan). Berarti, “Dan terhadap orang-orang mampu
melaksanakan shaum, maka wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang
miskin.” Ini maksudnya adalah pada tahap awal kewajiban shaum Ramadhan yaitu
dengan diberikan pilihan bagi orang yang mampu melaksanakan shaum untuk
melaksanakan shaum ataupun tidak melaksanakannya, jika tidak melaksanakannya
maka wajib membayar fidyah. Ketentuan ini berlaku di tahap awal saja, dan
kemudian dinasakh (dihapus) hukumnya dengan ayat berikutnya bahwa siapapun yang
mampu untuk shaum pada bulan Ramadhan maka wajib baginya shaum, tidak ada
pilihan.
Sebagaimana diketahui bahwa tahap syariat shaum itu
pertama kali kaum muslimin melaksanakan shaum tiga hari pertengahan bulan
hijriyah yaitu tanggal 13,14 dan 15 yang disebut shaum ayyamul bidh (أَيَّامُ
الْبِيْضِ), dan ini hukumnya sunnah. Dan juga shaum tanggal 10 Muharram
yang disebut shaum ‘Asyura yang hukumnya wajib sejak tiba di Madinah. Ini tahap
pertama. Lalu tahap kedua turunlah kewajiban shaum Ramadhan pada bulan Sya’ban
tahun 2 Hijriyah sekaligus menasakh kewajiban shaum Asyura dan berubah menjadi
sunnah. Namun di tahap kedua ini, kewajiban shaumnya masih diberi pilihan
apakah melaksanakan shaum atau membayar fidyah. Lalu tahap ketiga, turunlah
ayat berikutnya “Syahru Ramadhanaladzi...dst” yang menyebutkan kewajiban
shaum Ramadhan tanpa ada pilihan. Shaum pada tahap ini ketentuannya ketika tiba
waktu maghrib maka bolehlah makan, minum dan berhubungan suami istri, tetapi
ketika telah tidur maka tidak boleh lagi sampai datangnya waktu maghrib
berikutnya. Di sini terdapat kesulitan sehingga turunlah ayat berikutnya “Uhilla
laum lailatash shiyamir rofatsu...dst” dan ini merupakan tahap terakhir
maka sempurnalah syariat shaum dengan bolehnya makan, minum dan berhubungan
suami istri pada waktu malam lalu disunnahkannya makan sahur.
Selanjutnya kalimat,
فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ
“Tetapi barangsiapa dengan kerelaan
hati melakukan kebaikan (ibadah tambahan), maka itu lebih baik baginya”
Tathawwu’
artinya melakukan sesuatu dengan kerelaan hati tanpa ada paksaan. Kata tathawwu’
ini menjadi istilah lain dari sunnah menurut para ulama Ushul Fiqih. Ibadah tambahan
yang dimaksud dalam ayat di atas adalah berkenaan dengan orang yang membayar
fidyah untuk satu orang miskin, jika ia membayarnya untuk lebih dari satu orang
miskin maka itu lebih baik, seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abbas. Atau juga
bisa dimaknai, pada kewajiban shaum Ramadhan di tahap awal yang masih berupa
pilihan, jika seseorang melaksanakan shaum lalu dibarengi dengan membayar
fidyah, maka itu lebih baik, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Syihab Az-Zuhri. Adapun
pendapat Mujahid yang memaknai dengan memberikan fidyah lebih dari satu mud,
ini pendapat yang jauh karena ukuran mud itu sendiri tidak ditetapkan dalam
ayat tersebut.[2]
Kalimat,
وَأَنْ تَصُوْمُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ
تَعْلَمُوْنَ
“dan shaum itu baik/lebih baik bagi
kalian jika kalian mengetahui. "
Kata “khair” di
atas bisa ditafsirkan kepada dua makna, yaitu pertama diartikan “baik” maka
maknanya “Shaum itu baik bagi kalian jika kalian mengetahui”. Ini dalam
posisi tidak dibandingkan, tetapi hanya menyatakan bahwa shaum itu baik bagi
diri kita jika kita tahu ilmunya, maksudnya mengetahui keutamaan dan manfaat
dari shaum itu sendiri.
Kedua, diartikan
“lebih baik” maka ini dalam posisi dibandingkan, dan huruf “wawu” menjadi athaf
(penghubung) kepada kalimat sebelumnya. Bisa dimaknai bagi orang yang sakit
atau dalam perjalanan yang tidak merasa sulit untuk shaum maka shaum itu lebih
baik bagi mereka. Bisa juga pada tahap awal kewajiban shaum Ramadhan yang masih
berupa pilihan antara shaum dan membayar fidyah, maka dalam ayat ini dinyatakan
bahwa shaum itu lebih baik.
Wallahu A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar