Tadabur Ayat-ayat Shaum - 2
Oleh : Muhammad Atim
Allah ﷻ memberikan
kewajiban shaum dengan bahasa yang ringan agar ibadah yang “cukup berat” ini
terasa ringan. Perhatikanlah, bahasa yang digunakan “Telah dituliskan/ditetapkan
atas kalian puasa”, dan makna “dituliskan/ditetapkan” adalah “diwajibkan”
sebagaimana telah maklum di kalangan ulama, tidak dengan kata perintah secara
langsung misalnya “Puasalah!”, atau dengan menyebutkan, “Allah telah
mewajibkan kepada kalian puasa”, tetapi dengan bahasa yang pasif, meskipun
tentu kita tahu bahwa yang mewajibkan adalah Allah ﷻ. Meringankan bahasa
seperti ini, secara psikologis tentu akan memberikan dampak kepada jiwa agar
dapat menerimanya secara ringan sehingga siap dan mampu untuk melakukannya, dan
tentu Allah tidak akan memberikan beban syariat di luar kemampuan kita, semua
syariat yang Allah turunkan pasti kita mampu untuk melakukannya.
Allah ﷻ memilih kata
shiyam (الصِّيَامُ) dibanding
kata shaum (الصَّوْمُ) meskipun
keduanya adalah sinonim yang menunjukkan makna yang sama dan sama-sama
merupakan bentuk mashdar dari kata shoma-yashumu, tetapi pada kata
shiyam terdapat tambahan huruf “alif” sedangkan huruf “ya” asalnya adalah huruf
“wawu” yang berubah karena sebelumnya berharokat kasroh untuk penyesuaian,
sebagaimana telah maklum di kalangan para ulama bahasa bahwa adanya tambahan
bentuk menunjukkan adanya tambahan makna (ziyadatul mabna tadullu ‘ala
ziyadatil ma’na). Kata “shiyam”, yang dari segi ilmu tashrif bisa
dikategorikan sebagai bentuk mubalaghah, memiliki makna yang lebih yaitu adanya
makna mubalaghah itu sendiri yang berarti kesungguhan, dan makna musyarokah,
adanya keikutsertaan. Artinya, puasa yang diwajibkan tidak sekedar menahan lapar,
dahaga dan berhubungan suami istri saja, tetapi dilakukan dengan penuh
kesungguhan dan adanya keikutsertaan antara fisik dan jiwa, sesuai target yang
ingin dicapai yang menjadi orang yang bertakwa.
Kata shiyam atau shaum secara bahasa biasa digunakan oleh
orang-orang Arab untuk makna menahan (al-imsak). Sedangkan secara
istilah yaitu menahan dari makan, minum dan berhubungan suami istri, dengan
niat mendekatkan diri kepada Allah. Shaum dengan makna ini telah dikenal dan
telah disyariatkan sejak zaman Nabi Adam ‘alaihissalam, hanya tatacara
dan waktunya yang berbeda-beda di setiap zaman. Shiyam yang disebutkan dalam
ayat ini tentu yang dimaksud adalah sesuai dengan ketentuan syariat Islam yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ, sebagaimana
akan dirinci pada ayat-ayat berikutnya. Jika didefinisikan secara lebih khusus
di dalam syariat Islam, maka shaum adalah “menahan dari makan, minum dan
berhubungan suami istri dengan niat mendekatkan diri kepada Allah dari sejak
terbit fajar (waktu shubuh) hingga terbenam matahari (waktu maghrib).
Nuansa keringanan dan kemudahan yang Allah tampilkan
dalam syariat shaum ini, sejak redaksi pertama yang digunakan lalu kandungan
ayat-ayat berikutnya dan tahapan-tahapan pensyariatannya, bahkan secara tegas
dalam ayat yang akan datang disebutkan “Allah menghendaki kemudahan bagi kalian
dan tidak menghendaki kesulitan bagi kalian” adalah cerminan kasih sayang Allah
yang begitu besar kepada umat Nabi Muhammad ﷺ ini serta
keistimewaan-keistimewaan yang diberikan kepada mereka, meski syariat shaum ini
telah diberikan juga kepada umat-umat terdahulu sejak zaman Nabi Adam ‘alaihissalam,
sebagaimana terkandung di dalam ayat “sebagaimana telah
dituliskan/ditetapkan (diwajibkan) kepada orang-orang sebelum kalian.”
Perumpamaan yang terdapat di dalam ayat di atas tidaklah
menunjukkan sama persis dalam segala halnya, tetapi sama secara asal syariatnya
yaitu shaum, namun berbeda dari segi kaifiyat dan waktunya, dan ini menjadi
ciri khas dan keistimewaan bagi umat Nabi Muhammad ﷺ. Perumpamaan tersebut
dikemukakan, paling tidak memiliki tiga tujuan :
Pertama, memberikan perhatian akan
pentingnya ibadah shaum ini yang dapat memberikan kemaslahatan kepada diri
seorang mu’min karena sejak dahulu juga telah disyariatkan. Orang-orang beriman
ini memiliki jiwa kompetitif yang tinggi, sebagaimana hal itu tercermin dalam
sikap saling berlomba-lomba di antara mereka dan juga sikap ingin mengungguli
umat lain, dan faktanya memang umat Islam adalah umat paling unggul dibanding
umat lain, seperti ketika diketahui bahwa orang-orang Yahudi melaksanakan shaum
Asyuro (10 Muharram) karena hari tersebut adalah hari diselamatkannya Nabi Musa
‘alaihis salam, Rasulullah ﷺ bersabda : “Kami
lebih berhak terhadap Musa daripada kalian” dan beliau memerintahkan umatnya
untuk shaum Asyura. Orang-orang beriman sebenarnya tidak puas dengan shaum
Asyura tersebut yang sama dengan orang-orang Yahudi, mereka mengharapkan shaum
lain yang lebih istimewa dan turunlah syariat shaum Ramadhan, dan shaum Asyura
pun pada saat berikutnya karena tidak ingin sama dengan orang-orang Yahudi,
Rasulullah ﷺ berencana menambahnya dengan tanggal
sembilannya sehingga dikenal dengan shaum tasu’a asyura (9-10 Muharram).
Kedua, memberikan dorongan yang kuat agar orang-orang yang merasa
berat terhadap shaum merasa kerdil/hina karena orang-orang terdahulupun melaksanakan
shaum.
Ketiga, memberikan suntikan tekad yang kuat agar
orang-orang beriman ini dapat maksimal melaksanakan ibadah shaum dan menjadi
lebih baik dari umat-umat terdahulu.
Kalimat “agar kalian bertakwa” adalah target yang
ingin dicapai dari ibadah shaum. Bertakwa dalam arti menjaga diri agar
terhindar dari perbuatan maksiat. Shaum adalah sarana yang paling kuat yang
dapat membuat seorang mu’min menahan dirinya dari perbuatan maksiat. Ia marupakan
suatu riyadhah (latihan) bagi jiwa. Di dalam hadits dikatakan,
الصَّوْمُ جُنَّةٌ
“Shaum adalah tameng.” (HR. Bukhari,
no. 7492).
يَا مَعْشَرَ
الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ
لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ
فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Wahai kawula muda! Siapa di antara kalian yang telah
memperoleh kemampuan berumah tangga, maka menikahlah. Karena sesungguhnya
pernikahan itu lebih dapat menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Dan
barangsiapa yang belum memiliki kemampuan, hendaklah ia melaksanakan shaum,
karena sesungguhnya shaum itu adalah pengekang gejolak syahwat. ” (HR. Muslim,
no. 1400).
Hal itu karena perbuatan maksiat itu ada yang dapat
dihindari hanya dengan tafakur, memikirkan manfaat dari meninggalkannya dan
madharot dari melakukannya misalnya meminum khamer, judi dan mencuri, dan ada
juga yang tidak dapat dihindari hanya dengan tafakur karena maksiat tersebut muncul
dari dorongan tabiat yang ada di dalam diri manusia misalnya marah, dua syahwat
yaitu perut dan kemaluan. Menghindarinya mesti dengan riyadhah (latihan)
dan latihan tersebut adalah shaum. Dengan melaksanakan shaum, kita akan menjadi
terlatih menjadi orang yang sabar menahan gejolak syahwat, baik syahwat perut,
kemaluan maupun kemarahan. Karena di dalam diri manusia terdapat dua kekuatan,
yaitu kekuatan hewani (القُوَّةُ الْحَيَوَانِيَّة) yang
memunculkan syahwat-syahwat tersebut, dan kekuatan ruhani (القُوَّةُ
الرُّوْحَانِيَّة) yang membuat orang bisa bersabar. Dengan mengurangi asupan
terhadap kekuatan hewani tersebut, maka muncullah gejolak kekuatan ruhani yang
besar yang akan membuat orang menjadi semakin dekat dan taat kepada Allah dan
mampu menjadi orang yang bertakwa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar