Minggu, 11 September 2022

Rihlah dalam Menuntut Ilmu

 



Oleh : Muhammad Atim

 

Dalam shahihnya, imam Bukhari (194-256 H) membuat satu judul dalam kitab ilmu, al-khuruj fi thalab al-‘ilmu (keluar dalam menuntut ilmu). Beliau menyebutkan salah satu contoh dari kalangan sahabat yang melakukan perjalanan dalam menuntut ilmu, yaitu Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu melakukan perjalanan selama satu bulan kepada Abdullah bin Unais radhiyallahu ‘anhu untuk mendapatkan satu hadits. Lalu beliau mengemukakan hadits tentang perjalanan Nabi Musa ‘alaihissalam dalam menuntut ilmu kepada Nabi Khidir ‘alaihissalam, yang juga dikisahkan di dalam Al-Qur’an (lihat QS. Al-Kahfi ayat 60-82).

Lebih luas lagi tentang pembahasan ini, Al-Khatib Al-Baghdadi (392-463 H) menulis satu kitab khusus berjudul ar-rihlah fi thalab al-hadits (rihlah dalam mencari hadits). Di dalamnya dibahas hadits-hadits tentang keutamaan menuntut ilmu dan juga kisah tentang rihlah dalam mencari hadits, yaitu rihlah beberapa sahabat, serta para tabi’in dan para ulama setelah mereka. Di antaranya menyebutkan kisah perjalanan Jabir bin Abdillah sebagaimana disebutkan oleh imam Al-Bukhari di atas, dengan berbagai jalur sanad darinya.

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مُحَمَّدٍ بْنِ عَقِيْلِ بْنِ أَبِي طَالِبٍ أَنَّ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللهِ حَدَّثَهُ قَالَ : بَلَغَنِي عَنْ رَجُلٍ مِنْ أَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم حَدِيْثٌ سَمِعَهُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم لَمْ أَسْمَعْهُ مِنْهُ، قَالَ : فَابْتَعْتُ بَعِيْرًا، فَشَدَدْتُ عَلِيْهِ رَحْلِي، فَسِرْتُ إِلَيْهِ شَهْرًا حَتَّى أَتَيْتُ الشَّامَ، فَإِذَا هُوَ عَبْدُ اللهِ بْنُ أُنَيْسٍ الأَنْصَارِي، قَالَ : فَأَرْسَلْتُ إِلَيْهِ أَنَّ جَابِرًا عَلَى الْبَابِ، قَالَ : فَرَجَعَ إِلَيَّ الرَّسُوْلُ، فَقَالَ : جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللهِ؟ فَقُلْتُ : نَعَمْ، قَالَ : فَرَجَعَ الرَّسُوْلُ إِلَيْهِ فَخَرَجَ إِلَيَّ فَاعْتَنَقَنِي وَاعْتَنَقْتُهُ، قَالَ : قُلْتُ : حَدِيْثٌ بَلَغَنِي أَنَّكَ سَمِعْتَهُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم لَمْ أَسْمَعْهُ، فَخَشِيْتُ أَنْ أَمُوْتَ أَوْ تَمُوْتُ قَبْلَ أَنْ أَسْمَعَهُ، فَقَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ : يَحْشُرُ اللهُ الْعِبَادَ أَوْ قَالَ : يَحْشُرُ اللهُ النَّاسَ- قَالَ : وَأَوْمَأَ بِيَدِهِ إِلَى الشَّامِ - عُرَاةً غُرَلًا بُهْمًا، قُلْتُ : مَا بُهْمًا؟ قَالَ : لَيْسَ مَعَهُمْ شَيْءٌ، قَالَ : فَيُنَادِيْهِمْ بِصَوْتٍ يَسْمَعُهُ مَنْ بَعُدَ كَمَا يَسْمَعُهُ مَنْ قَرُبَ : أَنَا الْمَلِكُ أَنَا الدَّيَّانُ، لَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ أَنْ يَدْخُلَ الْجَنَّةَ وَأَحَدٌ مِنْ أَهْلِ النَّارِ يَطْلُبُهُ بِمَظْلَمَةٍ، وَلَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ مِنْ أَهْلِ النَّارِ يَدْخُلُ النَّارَ وَأَحَدٌ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ يَطْلُبُهُ بِمَظْلَمَةٍ حَتَّى اللَّطَمَةِ، قَالَ : قُلْنَا : كَيْفَ هُو، وَإِنَّمَا نَأْتِي اللهَ تَعَالَى عُرَاةً غُرَلًا بُهْمًا؟ قَالَ : بِالْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ.

Dari Abdullah bin Muhammad bin Aqil bin Abi Thalib bahwa Jabir bin Abdillah menceritakan kepadanya, ia berkata : “Telah sampai kepadaku sebuah hadits dari seseorang yang langsung mendengar dari Rasulullah , sedangkan aku tidak mendengarnya dari beliau. Jabir berkata, “Aku pun bersegera membeli seekor unta. Aku persiapkan bekal perjalananku dan aku tempuh perjalanan satu bulan untuk menemuinya, hingga sampailah aku ke Syam. Ternyata orang tersebut adalah Abdullah bin Unais. Aku berkata kepada penjaga pintu rumahnya, “Sampaikan kepada tuanmu bahwa Jabir sedang menunggu di pintu.” Jabir berkata, “Penjaga itu kembali lagi kepadaku dan bertanya, “Jabir bin Abdillah?” Aku jawab, “Ya, benar”. Jabir berkata, “Penjaga itu kembali kepadanya, lalu Abdullah bin Unais bergegas keluar, lalu dia merangkulku dan aku pun merangkulnya.” Aku berkata kepadanya, “Telah sampai kepadaku sebuah hadits, dikabarkan bahwa engkau mendengarnya langsung dari Rasulullah , sedangkan aku tidak mendengarnya. Saya khawatir aku meninggal atau engkau meninggal sementara aku belum sempat mendengarnya.” Abdullah bin Unais berkata, “Saya telah mendengar Rasulullah bersabda : “Allah akan mengumpulkan para hamba –atau beliau bersabda- “Allah akan mengumpulkan manusia” –Abdullah bin Unais berkata, “Beliau berisyarat dengan tangannya ke arah Syam”- dalam keadaan telanjang, tidak berkhitan, dan buhma.” Kami bertanya, ‘Apa itu buhma?’. Beliau menjawab, ‘Tidak membawa apa pun. Kemudian Allah ‘azza wa jalla menyeru mereka dengan suara yang didengar oleh yang jauh sebagaimana didengar oleh yang dekat, ‘Aku adalah al-Malik (Maharaja)! Aku adalah ad-Dayyan (Yang Maha Membalas amalan hamba)! Tidaklah pantas bagi siapa pun dari kalangan penghuni surga untuk masuk ke dalam surga sementara masih ada penghuni neraka yang menuntutnya dengan suatu kezaliman. Dan tidak pantas bagi siapa pun dari kalangan penghuni neraka untuk masuk ke dalam neraka sementara masih ada penghuni surga yang menuntutnya dengan suatu kezaliman, meskipun hanya sebuah tamparan.” Kami bertanya, “Bagaimana caranya menunaikan hak mereka sedangkan kita menemui Allah dalam keadaan tidak berpakaian, tidak berkhitan, dan tidak memiliki apa pun?” Nabi menjawab, “Diselesaikan dengan kebaikan dan kejelekan.”

(Al-Khatib Al-Baghdadi, Ar-Rihlah fi Thalab Al-Hadits, hal. 110-111, diriwayatkan pula oleh imam Ahmad dalam musnadnya no. 16042, imam Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad no.970, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (4/574), dan Al-Baihaqi dalam Al-Asma, hal.78-79).

Selain itu, syekh Abdul Fattah Abu Ghuddah (1336-1417 H/1917-1997 M), salah seorang ulama ahli hadits kontemporer, menulis satu kitab yang berjudul Shafahat min Shabril ‘Ulama (Lembaran-lembaran dari kesabaran para ulama) yang di dalamnya cukup banyak diulas tentang rihlah para ulama dalam menuntut ilmu.

Kita sebutkan contoh lain, misalnya dari kalangan tabi’in, yaitu Sa’id bin Al-Musayyib (15-94 H), pemimpin ulama tabi’in. Nama ayahnya bisa disebut Al-Musayyib bisa pula Al-Musayyab. Yang pertama lebih disukai penduduk Madinah, dan yang kedua lebih disukai penduduk Irak. Imam Malik berkata, dari Yahya bin Sa’id, dari Sa’id bin Al-Musayyib, ia berkata :

كُنْتُ أَرْحَلُ الْأَيَّامَ وَاللَّيَالِي فِي طَلَبِ الْحَدِيْثِ الْوَاحِدِ

“Aku pernah melakukan perjalanan berhari-hari dan bermalam-malam dalam mencari satu hadits.” (Ibnu Katsir, Al-Bidayah wan Nihayah, 9/100).

Imam Ahmad bin Hanbal (164-241 H) rahimahullah, seorang ahli hadits sekaligus ahli fiqih, ahli wara’ dan zuhud. Bagaimana bisa terkumpul ilmu di dalam dirinya dan menghapal begitu banyak hadits? Di antaranya adalah dengan banyak melakukan perjalanan mencari ilmu dan menghimpun hadits, bahkan mengelilingi dunia.

Ibnu Katsir (701-774 H) menyebutkan :

وَقَدْ طَافَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ فِي الْبِلَادِ وَالْآفَاقِ، وَسَمِعَ مِنْ مَشَايِيْخِ الْعَصْرِ، وَكَانُوا يُجِلُّوْنَهُ وَيَحْتَرِمُوْنَهُ فِي حَالِ سَمَاعِهِ مِنْهُمْ 

“Sungguh Ahmad bin Hanbal telah mengelilingi negeri-negeri dan penjuru dunia, dan mendengar dari para syekh di zamannya, mereka memuliakan dan menghormatinya pada saat ia mendengar dari mereka.” (Ibnu Katsir, Al-Bidayah wan Nihayah, 14/383).

Ibnul Jauzi (510-597 H) menyebutkan :

وَقَدْ طَافَ الدُّنْيَا مَرَّتَيْنِ حَتَّى حَصَلَهُ، وَهُوَ أَرْبَعُوْنَ أَلْفَ حَدِيْثٍ، مِنْهَا عَشْرَةُ آلَافٍ مُكَرَّرَةٍ

“Sungguh dia (imam Ahmad) mengelilingi dunia sebanyak dua kali hingga ia menghasilkannya (musnadnya), ia sebanyak empat puluh ribu hadits, sepuluh ribu diantaranya berulang.” (Ibnul Jauzi, Shaidul Khatir, hal. 259)

Imam Bukhari (194-256 H) rahimahullah, sang Amirul Mu’minin dalam ilmu hadits, dapat mencapai pada posisinya, tiada lain dengan melakukan banyak rihlah dalam menghimpun dan menyeleksi hadits. Ia mengatakan :

لَقِيتُ أَكْثَرَ مِنْ أَلْفِ رَجُلٍ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ أَهْلِ الْحِجَازِ وَمَكَّةَ وَالْمَدِينَةِ وَالْكُوفَةِ وَالْبَصْرَةِ وَوَاسِطَ وَبَغْدَادَ وَالشَّامِ وَمِصْرَ لَقِيتُهُمْ كَرَّاتٍ قَرْنًا بَعْدَ قَرْنٍ ثُمَّ قَرْنًا بَعْدَ قَرْنٍ، أَدْرَكْتُهُمْ وَهُمْ مُتَوَافِرُونَ مُنْذُ أَكْثَرَ مِنْ سِتٍّ وَأَرْبَعِينَ سَنَةً، أَهْلَ الشَّامِ وَمِصْرَ وَالْجَزِيرَةِ مَرَّتَيْنِ وَالْبَصْرَةِ أَرْبَعَ مَرَّاتٍ فِي سِنِينَ ذَوِي عَدَدٍ بِالْحِجَازِ سِتَّةَ أَعْوَامٍ، وَلَا أُحْصِي كَمْ دَخَلْتُ الْكُوفَةَ وَبَغْدَادَ مَعَ مُحَدِّثِي أَهْلِ خُرَاسَانَ

“Aku telah menemui lebih dari seribu orang dari ahli ilmu penduduk Hijaz, Mekkah dan Madinah, Kufah, Bashrah, Wasith, Baghdad, Syam dan Mesir. Aku menemui mereka beberakali, dari tahun ke tahun, kemudian dari tahun ke tahun. Aku menemui mereka, dan mereka memiliki banyak ilmu sejak empat puluh enam tahun. Kepada penduduk Syam, Mesir dan Jazirah sebanyak dua kali, ke Bashrah empat kali, beberapa tahun yaitu enam tahun di Hijaz. Dan aku tidak dapat menghitung berapa kali aku masuk ke Kufah dan Baghdad bersama para ahli hadits penduduk Khurasan.” (Al-Lalikai, Syarh I'tiqad Ahlis Sunnah, 1/193).

Bahkan, pernah ia ingin menemui Abdur Razzaq bin Himam Ash-Shan’ani (126- 211 H) untuk meriwayatkan hadits secara langsung darinya. Namun ketika telah melalui cukup jauh perjalanan, dikabarkan bahwa Abdur Razzaq telah meninggal. Akhirnya ia tidak lagi melanjutkan perjalanan. Tetapi kemudian dikabarkan lagi bahwa sebenarnya ia masih hidup. Ia pun hendak menemuinya, namun kemudian dikabarkan lagi akan kewafatan Abdur Razzaq yang sebenarnya. Akhirnya ditakdirkan ia tidak dapat menemuninya. Ibnu Hajar Al-‘Asqalani (773-852 H) menyebutkan,  

وَقَدْ أَدْرَكَ عَبْدَ الرَّزَّاقَ وَأَرَادَ أَنْ يَرْحَلَ إِلَيْهِ وَكَانَ يُمْكِنُهُ ذَلِكَ فَقِيْلَ لَهُ إِنَّهُ مَاتَ فَتَأَخَّرَ عَنِ التَّوَجُّهِ إِلَى الْيَمَنِ، ثُمَّ تَبَيَّنَ أَنَّ عَبْدَ الرَّزَّاقِ كَانَ حَيًّا فَصَارَ يَرْوِي عَنْهُ بِوَاسِطَةٍ.

“Dia (imam Bukhari) sezaman dengan Abdur Razaq dan hendak melakukan perjalanan menemuinya. Hal itu memungkinkan baginya, namun dikatakan bahwa ia telah meninggal hingga ia terlambat untuk menuju ke Yaman. Kemudian nyatalah bahwa Abdur Razzaq sebenarnya masih hidup. Akhirnya, jadilah ia meriwayatkan darinya melalui perantara.” (Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, Al-Hadyus Sari Muqaddimah Fathil Bari, hal. 745).

Di tempat lain Ibnu Hajar juga menjelaskan :

وَقَالَ أَبُو الْفَضْلِ مُحَمَّدُ بْنُ طَاهِرٍ :  قَدِمَ الْبُخَارِي بِبَغْدَادَ سَنَةَ عَشْرٍ وَمِائَتَيْنِ وَعَزَمَ عَلْى الْمُضِيِّ إِلَى عَبْدِ الرَّزَّاقِ بِالْيَمَنِ فَالْتَقَى بِيَحْيَى بْنِ جَعْفَرٍ البَيْكَنْدِي فَاسْتَخْبَرَهُ فَقَالَ مَاتَ عَبْدُ الرَّزَّاقِ ثُمَّ تَبَيَّنَ أَنَّهُ لَمْ يَمُتْ فَسَمِعَ الْبُخَارِي حَدِيْثَ عَبْدِ الرَّزَّاقِ مِنْ يَحْيَى بْنِ جَعْفَرٍ. قُلْتُ : وَيَحْيَى بْنُ جَعْفَرٍ مِنَ الثِّقَاتِ الْأَثْبَاتِ وَمَا أَعْتَقِدُ أَنَّهُ افْتَرَى وَفَاةَ عَبْدِ الرَّزَّاقِ بَلْ لَعَلَّهُ حَكَاهُ لِإِشَاعَةٍ لَمْ تَصِحَّ وَكَانَ يَحْيَى بْنُ جَعْفَرٍ بَعْدَ ذَلِكَ يَدْعُو لِمُحَمَّدِ بْنِ إِسْمَاعِيْلَ وَيُفْرِطُ فِي مَدْحِهِ

“Abul Fadh Muhammad bin Thahir berkata : “Al-Bukhari datang ke Baghdad tahun 210 H dan berazam untuk melakukan perjalanan untuk menemui Abdur Razzaq di Yaman. Lalu ia bertemu dengan Yahya bin Ja’far Al-Baikandi. Lalu ia (Yahya) memberitahukan bahwa Abdur Razzaq telah meninggal. Kemudian nyatalah bahwa sebenarnya ia belum meninggal. Maka Al-Bukhari mendengar hadits Abdur Razzaq dari Yahya bin Ja’far.” Aku (Ibnu Hajar) berkata : “Yahya bin Ja’far termasuk rawi yang tsiqoh (terpercaya) dan atsbat (kuat). Aku tidak meyakini bahwa dia berbohong tentang kewafatan Abdur Razzaq, kemungkinan hal itu karena isu tidak benar yang tersebar. Yahya bin Ja’far setelah itu mendoakan Muhammad bin Isma’iI (Al-Bukhari) dan berlebihan dalam memujinya.” (Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, Taghliqut Ta'liq ‘ala Shahih Al-Bukhari, 5/390).

Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah ditemani oleh Yahya bin Ma’in (158-233 H) melakukan perjalanan dari Baghdad ke Shan’a Yaman dengan berjalan kaki tanpa menunggangi kendaraan untuk belajar kepada gurunya yaitu Abdur Razzaq Ash-Shan’ani dan menetap di sana selama dua tahun dalam keadaan hidup serba kekurangan. (Lihat Adz-Dzahabi, Tarikh Al-Islam, 14/66, Bakr Abu Zaid, Al-Madkhal Al-Mufashal ila Fiqhi Al-Imam Ahmad, 1/344). Begitupun sejumlah besar para ulama lainnya melakukan hal yang sama.

Imam Asy-Syafi’i (150-204 H) telah menulis syair tentang pentingnya merantau untuk menuntut ilmu :

مَا فِي الْمُقَامِ لِذِي عَقْلٍ وَذِي أَدَبِ      مِنْ رَاحَةٍ فَدَعِ الأَوْطَانَ وَاِغتَرِبِ

سَافِرْ تَجِدْ عِوَضاً عَمَّنْ تُفارِقُهُ            وَانْصَبْ فَإِنَّ لَذِيْذَ العَيْشِ فِي النَّصَبِ

إِنّي رَأَيْتُ وُقُوْفَ الْمَاءِ يُفسِدُهُ           إِنْ سَاحَ طَابَ وَإِن لَمْ يَجرِ لَم يَطِبِ

وَالأُسْدُ لَوْلَا فِرَاقُ الْغَابِ مَا افتَرَسَتْ    وَالسَّهْمُ لَولَا فِرَاقُ القَوْسِ لَم يُصِبِ

وَالشَّمْسُ لَوْ وَقَفَتْ فِي الفُلْكِ دَائِمَةً     لَمَلَّهَا النَّاسُ مِنْ عُجْمٍ وَمِنْ عَرَبِ

وَالتِّبْرُ كَالتُرْبِ مُلْقًى في أَماكِنِهِ           وَالْعُوْدُ في أَرْضِهِ نَوْعٌ مِنَ الحَطَبِ

فَإِنْ تَغَرَّبَ هَذَا عَزَّ مَطْلَبُهُ               وَإِن تَغَرَّبَ ذَاكَ عَزَّ كَالذَّهَبِ

"Bukanlah diam di tempat tinggal itu bagi orang yang berakal dan beradab

Suatu ketentraman, maka tinggalkanlah negerimu dan jadilah orang asing

Lakukanlah safar, kau akan dapatkan pengganti dari orang-orang yang kau tinggalkan

Berlelah-lelahlah karena kelezatan hidup itu ada pada kelelahan

Sungguh, aku melihat diamnya air dapat merusaknya

Jika mengalir, ia akan baik dan jika tidak mengalir menjadi tidak baik

Singa itu jika tidak meninggalkan hutan, ia tidak menjadi buas

Dan anak panah jika tidak meninggalkan busurnya tidak akan mengena

Matahari jika diam saja di orbitnya selamanya

Niscaya manusia akan bosan baik orang Arab maupun orang Ajam (non-Arab)

Biji emas seperti tanah saat dibiarkan di tempatnya

Kayu gaharu di tempatnya tak ada bedanya dengan kayu biasa

Jika biji emas itu memisahkan diri, maka menjadi tinggilah harganya

Dan jika kayu gaharu itu dikeluarkan dari tempatnya, ia menjadi parfum yang bernilai tinggi seperti emas"

(Diwan Imam Asy-Syafi’i, hal.25-26)

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar