Sabtu, 10 September 2022

Aqidah Madzhab Salaf Tidak Hanya Dibawa Oleh Ibnu Taimiyyah Dan Pengikutnya

 


Oleh : Muhammad Atim

 

Ibnu Taimiyyah rahimahullah dan para ulama Hanbali lainnya, serta Syekh Muhammad bin Abdul Wahab dan madrasahnya (wahabi), tiada lain sejatinya mereka mengusung aqidah madzhab Salaf. Namun bukan berarti saya harus setuju dalam segala hal, saya tidak taklid apalagi fanatik. Banyak hal yang tidak saya setujui dari mereka. Terutama sikap keras dan berlebih-lebihan dalam memposisikan madzhab Asy'ari dan Maturidi. Saya sejauh ini masih mengkategorikan mereka termasuk madzhab ahlus sunnah. Juga para pengikutnya yang sempit dalam memahami agama dan memahami salaf, gampang membid'ahkan dan mengkafirkan, bahkan karena kebodohan mereka, akhirnya terjerumus juga kepada aqidah tajsim, disamping selalu dipancing-pancing oleh pihak asy'ari. Oleh karena ulah sebagian oknum wahabi itu, maka menjadi buruklah citra aqidah salaf. Di samping kalangan ahli kalam asy'ari pun membuat citra buruk aqidah madzhab salaf ini dengan label wahabi.

Padahal, sebenarnya mereka membawa pemahaman yang benar tentang aqidah madzhab salaf, atau dengan kata lain membawa ijtihad yang dapat diterima. Apakah itu? Yaitu menetapkan setiap apa yang Allah sifatkan untuk Dirinya dalam berbagai nash, sesuai dengan zahirnya, baik lafazh maupun maknanya. Tidak perlu memaksakan diri untuk menta'wil, karena zahir yang dimaksud adalah yang layak bagi Allah, bukan zahir yang serupa dengan makhluk.

Menetapkan makna zahir itu adalah yang lebih tepat dipahami dari madzhab salaf, dan yang dimaksud dengan salaf di sini adalah generasi tabi'ut tabi'in karena perkataan-perkataan merekalah yang dinukil dalam perkara ini, bukan tafwidh. Walaupun tafwidh itu sendiri sebenarnya dekat. Tidak terlalu jauh pertentangannya. Di sini saya tidak sepakat dengan Ibnu Taimiyyah yang menyebut tafwidh itu adalah tajhil (pembodohan), sebenarnya ia bukan tajhil.

Itsbat makna zahir ini tidak hanya dibawa oleh Ibnu Taimiyyah (w.728 H) dan pengikutnya. Ibnu Taimiyyah hanya menampilkan kembali dari pendahulunya, dan dari para ulama salaf, dan memperkuat dari sisi hujjah-hujjahnya. Jauh sebelum Ibnu Taimiyyah, banyak para ulama lain yang membawa pemahaman yang serupa, misalnya para ulama dari kalangan madzhab Maliki seperti Ibnu Abi Zaid Al-Qairowani (w.386 H) dan Ibnu Abdil Bar (w.463 H). Misalnya Ibnu Abi Zaid Al-Qairawani berkata dalam muqaddimah risalahnya :

وأنه فوق عرشه المجيد بذاته

"Dan bahwasannya Dia di atas arsy-Nya yang mulia dengan Dzatnya"

Ibnu Abdil Bar mengatakan :

أهل السنة مجمعون على الإقرار بالصفات الواردة كلها في القرآن والسنة والإيمان بها وحملها على الحقيقة لا على المجاز إلا أنهم لا يكيفون شيئا من ذلك ولا يحدون فيه صفة محصورة وأما أهل البدع والجهمية والمعتزلة كلها والخوارج فكلهم ينكرها ولا يحمل شيئا منها على الحقيقة ويزعمون أن من أقر بها مشبه وهم عند من أثبتها نافون للمعبود والحق فيما قاله القائلون بما نطق به كتاب الله وسنة رسوله وهم أئمة الجماعة والحمد لله

"Ahlus Sunnah sepakat untuk menerima semua sifat-sifat yang datang di dalam Al-Qur'an dan Sunnah, mengimaninya dan mengarahkannya kepada makna hakikat, tidak kepada majaz, hanya mereka tidak menerangkan kaifiyyatnya sedikitpun dari hal itu dan tidak menentukan batasan sifatnya. Adapun ahli bid'ah, jahmiyyah dan mu'tazilah, seluruhnya, dan juga Khowarij, semuanya mengingkarinya. Mereka tidak membawanya sedikit pun kepada hakikatnya, mereka menganggap orang yang menetapkannya adalah musyabbih (yang menyerupakan Allah dengan makhluk), sedang mereka menurut orang yang menetapkannya justru menafikan (sifat) Allah Al-Ma'bud (Yang Disembah). Kebenaran ada pada orang yang berkata sebagaimana dikatakan oleh kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya, mereka adalah para imam (ulama) kelompok (ahlus sunnah) ini. Alhamdulillah." (At-Tamhid, 7/145).

Karena pemahaman menetapkan makna zahir inilah pemahaman salaf, yaitu makna zahir yang layak bagi Allah. Mereka tidak terpengaruh oleh metode ilmu kalam.

Lalu datanglah orang-orang yang menggunakan metode ilmu kalam mengatakan bahwa "menetapkan makna zahirnya berarti menyerupakan Allah dengan makhluk, sehingga tidak boleh dimaknai dengan makna zahir". Ini adalah pemahaman baru yang berbeda dari sebelumnya, atau kalau digunakan oleh para ulamanya, bisa disebut sebagai ijtihad baru dari mereka. Ini sebagaimana diinformasikan oleh Adz-Dzahabi berikut ini :

المتأخرون من أهل النظر قالوا مقالة مولدة ما علمت أحدا سبقهم بها، قالوا: هذه الصفات تمر كما جاءت، ولا تأول مع اعتقاد أن ظاهرها غير مراد، فتفرع من هذا أن الظاهر يعني به أمران:

أحدهما: أنه لا تأويل لها غير دلالة الخطاب، كما قال السلف: الاستواء معلوم، وكما قال سفيان وغيره قراءتها تفسيرها، يعني أنها بينة واضحة في اللغة لا يبتغى بها مضائق التأويل والتحريف، وهذا هو مذهب السلف، مع اتفاقهم أيضا أنها لا تشبه صفات البشر بوجه، إذ الباري لا مثل له لا في ذاته ولا في صفاته.

الثاني: أن ظاهرها هو الذي يتشكل في الخيال من الصفة كما يتشكل في الذهن من وصف البشر فهذا غير مراد

“Kalangan muta’akhkhirin dari ahli kalam mengatakan suatu perkataan baru yang aku tidak mengetahui ada seorang pun yang mendahului mereka dengan perkataan tersebut. Mereka berkata; “Sifat-sifat ini dibiarkan sebagaimana datangnya dan tidak dita'wil dengan meyakini bahwa zhahirnya bukanlah yang dimaksud. Maka dari hal ini melahirkan cabang, yaitu bahwa zahir itu menjadi dua perkara :

 

Pertama; yang tidak ada takwilnya selain petunjuk makna dari khithabnya sebagaimana yang dikatakan salaf: “istiwa itu maklum” dan sebagaimana dikatakan Sufyan dan selainnya bahwa “Bacaannya adalah tafsirannya” Yaitu sifat-sifat ini terang dan jelas pada lughah dan tidak perlu dicari kesempitan takwil dan tahrifnya, dan ini adalah mazhab salaf, dengan kesepakatan mereka juga tidak mentasybih Allah dengan sifat manusia pada satu sisi pun, kerana Allah tidak ada sesuatu pun yang menyerupai-Nya, tidak pada dzat-Nya dan tidak pula pada sifat-Nya.

Dan yang kedua adalah: “Bahwa zhahirnya adalah yang terbayang dalam imajinasi sebagaimana terbayang pada fikiran berupa sifat manusia. Maka ini bukanlah makna yang dimaksud". (Al-‘Uluw lil 'Ali Al-Ghaffar, hal. 251).

Syekh Sa'id Al-Kamli hafizhahullah menyebutkan dalam salah satu kajiannya, bahwa para penduduk Maroko yang bermadzhab Maliki sudah lama berada di atas aqidah madzhab Salaf ini jauh sebelum tersebar kepada mereka buku-buku Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Justru kemudian yang terkenal seakan hanya dari madrasah wahabi ini. Dan seringkali aqidah madzhab salaf ini dicitrakan buruk dengan label wahabi. Beliau membuat satu ilustrasi tentang kenyataan mengapa yang terkenal membawa aqidah salaf ini dari saudi bukan dari Maroko, karena Saudi itu timur sedangkan Maroko barat, dan matahari itu terbit di timur bukan di barat. Hal itu seperti yang dikatakan oleh Ibnu Hazm. (Lihat video beliau di kolom komentar).

Wallahu A'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar