Kamis, 16 Juni 2022

Ilmu Tasawuf, antara urgensi dan berhati-hati dari fitnahnya

Oleh : Muhammad Atim

 

 Pentingnya ilmu Tasawuf di zaman ini, adalah ketika godaan-godaan dunia semakin besar dan deras. Memang di zaman Rasulullah saw dan para sahabat godaan itu telah ada, tapi dari waktu ke waktu godaan/fitnah semakin bertambah berat, hingga manusia menjumpai fitnah terbesar akhir zaman menjelang kiamat, di antaranya fitnah dajjal.

Ilmu Tasawuf, sebagaimana maksud dari ilmu ini, adalah untuk menguatkan dan memperbaharui keimanan, membersihkan hati dari berbagai penyakitnya, dan menggapai ridha Allah dengan amal shaleh terbaik. Kadar fardhu 'ainnya adalah dengan ilmu ini mampu menjaga keimanan, menghindari penyakit hati yang membuat celaka seperti sombong, zalim, riya, dusta, dsb, menjaga tercapainya pahala ibadah, yang disertai dengan kesadaran ruhiyyah. Kadar fardhu kifayahnya adalah mampu membimbing orang lain dengan ilmu ini, dan meluruskan kekeliruan-kekeliruan/syubhat-syubhat yang terjadi di dalamnya. Sedangkan kadar kesunnahannya, seseorang dapat beribadah, berakhlaq dan beradab dengan kualitas yang lebih baik.

Hanya saja, fakta sejarahnya berbicara kepada kita, justru dalam ilmu tasawuf itu sendiri ada yang menjadi fitnah. Alih-alih dapat menguatkan keimanan, justru malah terjerumus kepada penyimpangan aqidah yang mendalam. Misalnya keyakinan wihdatul wujud (menyatunya wujud Tuhan dengan makhluk) -na'udzu billah- Keyakinan seperti ini berasal dari kristen yang menyakini menyatunya unsur ketuhanan (lahut) dengan manusia/nabi Isa (nasut). Konsep ini pertama kali dilontarkan oleh Al-Hallaj yang ia dihukum mati karenanya. Lalu diteruskan oleh Ibnu Arobi Al-Hatimi, dll. Lalu keyakinan kemampuan mengurus alam (tashorruf) bagi orang yang telah mencapai maqom tertentu. Diyakinilah adanya wali quthub, yaitu ghouts satu-satunya di bumi, wali awtad dan abdal. Yang menjadi penyebab dijadikan adanya tandingan bagi Allah. Terjadilah kemusyrikan yang besar, memohon pertolongan (istighotsah) kepada selain Allah. Bahkan, seorang murid di awal perjalanan suluknya agar jangan memohon kepada Allah, tapi memohon kepada gurunya, karena gurunya telah mengenal Allah, sedangkan muridnya baru mengenal gurunya. Tentu ini adalah kesesatan yang nyata. Menganggap kewalian melebihi kenabian. Kultus terhadap guru yang mengharuskan kepasrahan total kepadanya, memberikan apapun yang dimintanya, hingga menghalalkan yang haram. Bahkan menjadi alat pemuas syahwat gila hormat, "pemerasan" harta untuk memperkaya diri, dan pembodohan. Belum lagi kebid'ahan dalam cara ibadah yang dibuat-buat, seperti tari-tarian, hingga seperti mabuk dan kegila-gilaan. Menganggap dzikir dan shalawat tertentu lebih baik dari Al-Qur'an dan shalat. Sampainya kepada hakikat dan ma'rifat dianggap boleh melampaui syariat. Hakikatnya mereka tidak sampai kepada Allah, tapi sampai kepada tipuan iblis. Akhirnya sibuk dengan menerka-nerka yang ghaib atas dasar kasyaf yang halu, klaim karomah yang sulit dibedakan dari sihir dan perdukunan, yang justru dengan itulah fitnah terbesar dajjal menipu manusia. Bukannya sibuk dengan mujahadah menjalankan syariat, menetapi maqom-maqom pensucian jiwa seperti keikhlasan, kejujuran dan ketawadhuan. Karena tidak ada hakikat dan ma'rifat yang digapai tanpa iltizam dan istiqomah dalam syariat.

 Besarnya fitnah ini, hingga hampir tidak ada tarekat-tarekat shufi pada zaman ini yang terlepas dari penyimpangan dan kebid'ahan ini. Karena justru hal seperti itulah yang dijadikan jalan pintas menuju klaim sampai pada maqom tertinggi, pembodohan dan digandrungi masyarakat awam.

Sebenarnya, penyimpang-penyimpangan atas nama tasawuf di atas telah diperingatkan oleh para ulama besarnya, para ulama tasawuf yang ahlus sunnah. Sejak Junaid Al-Baghdadi, Al-Qusyairi, Al-Ghazali, hingga Ahmad Zarruq dan seterusnya. Sehingga, kalau kita ingin selamat dalam bertasawuf, maka ikutiah ulama-ulama yang lurus di dalamnya, yaitu dengan mengkaji dan mengamalkan kitab-kitab karya mereka.

Terhadap tasawuf dan segala problematikanya ini, ada kelompok yang tertipu dengan penyimpangannya. Sebaliknya, ada kelompok yang menolak secara mutlak tanpa mau membedakan mana tasawuf yang haq dan mana yang batil, hingga keras dan kakulah jiwa mereka karena tidak mau melakukan proses pensucian jiwa melalui ilmu tasawuf yang haq ini. Yang ketiga, ada kelompok yang mau membedakan mana tasawuf yang haq dan mana yang batil. Mengambil yang haq dan membuang yang batil. Meneruskan peran para ulama dalam membersihkan penyimpangan dan syubhat-syubhatnya. Kelompok inilah, saya kira jelas tak diragukan lagi, yang layak diikuti. Karena karakter kebenaran Islam itu selalu pertengahan (wasathiyyah). Pertengahan di antara dua kebatilan.

Wallahu A'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar