Kamis, 16 Juni 2022

Tafwidh, Ta'wil dan Monopoli Manhaj Salaf



Oleh: Muhammad Atim

 

Ibnu Taimiyyah itu tidak bisa dilepaskan dari madzhab Hanbali. Ia ulama besarnya yang berpengaruh. Soal tafwidh, sejauh pengamatan saya -jika ada penjelasan yang lebih diterima, bisa saja saya rujuk- ini hanya khilaf lafzhi (perbedaan dalam redaksi) saja. Ibnu Taimiyyah tidak mau menggunakan istilah tafwidh seperti para ulama Hanbali lainnya, tetapi dengan istilah itsbat makna zhahir. Apakah keduanya berbeda? Secara esensi menurut saya sama saja. Apa makna tafwidh menurut Hanbali? Maknanya adalah menyerahkan makna hakikinya kepada Allah. Dan itsbat makna zahir adalah menetapkan makna zahirnya, yaitu zahir yang sesuai dengan keagungan Allah, bukan zahir yang sama dengan makluk. Men-tafwidh menurut Hanbali, pada saat yang sama menetapkan makna zahir juga, sekali lagi, zahir yang sesuai dengan keagungan Allah, bukan zahir yang sama dengan makhluk. Itsbat makna zahir menurut Ibnu Taimiyyah, apakah diketahui secara rinci makna zahir tersebut? Ternyata tidak. Inilah tafwidh. Tapi Ibnu Taimiyyah tidak menyebutnya sebagai tafwidh makna, tapi dengan menyebut tafwidh kaifiyyah. Kaifiyyah tersebut bukan shuroh seperti dituduhkan sebagian Asy'ari, tetapi kaifiyyah bermakna haqiqah. Jadi, sebenarnya esensinya sama. Karena baik Ibnu Taimiyyah maupun ulama Hanbali lainnya menempuh metode yang sama, yaitu mengharamkan ta'wil. Baik tafwidh maupun itsbat makna zahir, adalah dalam rangka lari dari ta'wil. Inilah yang dipegang oleh madzhab Hanbali, yang mesti dihormati.

Lalu apakah tafwidh Hanbali dengan tafwidh Asy'ari sama saja? Tentu berbeda. Karena Asy'ari menempuh metode ta'wil sedangkan Hanbali tidak. Lalu bagaimana tafwidh menurut Asy'ari? Asy'ari itu meyakini makna zahir itu (tentu bagi sifat-sifat yang ada kemungkinan seperti sifat makhluk) hanya makna zahir yang sama dengan makhluk, tidak meyakini ada makna zahir yang sesuai dengan keagungan Allah. Sehingga tidak boleh dimaknai dengan makna zahir. Maka solusinya dengan ta'wil, yaitu menentukan salah satu makna ta'wilnya yang sesuai. Atau tafwidh dalam arti tidak memaknai dengan makna zahir, tapi tidak juga menentukan salah satu makna ta'wilnya, diantara berbagai makna ta'wil itu diserahkan maknanya kepada Allah. Inilah bedanya tafwidh Asy'ari dengan Hanbali.

Jadi, jelaslah ini khilafiyyah dalam masalah aqidah yang mu'tabar (diakui). Tidak perlu bersemangat dan terburu-buru mengkafirkan dan mengeluarkan dari Ahlus Sunnah. Dipahami dulu pelan-pelan.

Diskusi dalam masalah yang mendalam seperti ini mesti fokus pada argumen dan penjelasan. Lepaskan dulu pelabelan dan klaim-klaim. Lepaskan dulu pelabelan "wahabi" atau "ahli bid'ah".

Jangan juga memonopoli manhaj Salaf. Karena manhaj yang ditempuh oleh para Salafushaleh itu juga bisa jadi multi-interpretasi, bisa ditafsirkan secara berbeda. Apakah manhaj salaf itu men-tafwid seperti Hanbali ataukah seperi Asy'ari, ataukah seperti konsep itsbat makna zahirnya Ibnu Taimiyyah. Dalam penerapan metode ta'wil juga ada salafnya. Ada sebagian sifat yang ditakwil oleh salaf. Kalaulah salaf itu menghadapi penyimpangan-penyimpangan aqidah yang dihadapi oleh kholaf, tidak mungkinkah mereka juga akan lebih memperluas penerapan ta'wil itu? Jadi semuanya ini sama-sama bersandar kepada salaf.

Jadi, akuilah ini adalah masalah khilafiyyah ijtihadiyyah, setelah itu bertoleransi. Apakah tidak lelah terus bertikai sesama muslim?

Wallahu A'lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar