Jumat, 20 Agustus 2021

Kemunculan Ilmu-ilmu Syar’i

 



Oleh : Muhammad Atim*

 

 Sebagaimana diketahui bahwa Al-Qur'an dan Sunnah adalah sumber munculnya ilmu-ilmu syar'i. Kemunculan ilmu-ilmu syar'i adalah bukti kebenaran janji Allah yang akan selalu menjaga wahyu-Nya. Juga menunjukkan betapa luasnya ilmu-ilmu yang terkandung di dalam wahyu tersebut. Dari zaman ke zaman tidak pernah habis untuk terus digali.

Al-Qur'an dan Sunnah itu dikaji dari dua segi. Yaitu dari segi periwayatannya yang membuat sampai kepada kita (wurud), dan dari segi petunjuk-petunjuknya terhadap makna (dalalah).

Kodifikasi dan spesialisasi bidang-bidang keilmuan belum dibutuhkan pada zaman sahabat radhiyallahu 'anhum. Dari segi wurud, karena mereka mendengar langsung dari Rasulullah yang ma'shum. Dan dari segi dalalah, karena mereka adalah orang-orang Arab yang ahli dalam bahasa Arab secara murni dan alami (saliqah). Mereka dengan mudah memahami maksud dari ayat-ayat Al-Qur'an dan hadits-hadits yang disampaikan oleh Rasulullah . Kalaupun ada ayat atau hadits yang sulit mereka pahami, mereka bisa langsung menanyakannya kepada Rasulullah .

Begitupun pada zaman tabi'in, belum ada kebutuhan mendesak dari mereka terhadap hal itu. Dari segi riwayat, karena mereka mendengar dari para sahabat yang keseluruhan mereka dinilai adil (amanah) dalam menyampaikan riwayat. Sehingga ini menjadi kaidah para ahli ilmu riwayat,

الصَّحَابَةُ كُلُّهُمْ عُدُوْلٌ

"Para sahabat itu seluruhnya adil (amanah)"

Hal itu karena Allah langsung yang menyatakan keamanahan mereka dengan firman-Nya :

وَالسّٰبِقُوْنَ الْاَوَّلُوْنَ مِنَ الْمُهٰجِرِيْنَ وَالْاَنْصَارِ وَالَّذِيْنَ اتَّبَعُوْهُمْ بِاِحْسَانٍۙ رَّضِيَ اللّٰهُ عَنْهُمْ وَرَضُوْا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنّٰتٍ تَجْرِيْ تَحْتَهَا الْاَنْهٰرُ خٰلِدِيْنَ فِيْهَآ اَبَدًا ۗذٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيْمُ

"Dan orang-orang yang lebih dulu dan lebih awal (masuk Islam) dari kalangan orang-orang Muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan kebaikan, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah. Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang agung." (QS. At-Taubah : 100).

فَاِنَّ اللّٰهَ لَا يَرْضٰى عَنِ الْقَوْمِ الْفٰسِقِيْنَ

“Sesungguhnya Allah tidak akan rida kepada orang-orang yang fasik.” (QS. At-Taubah : 96).

Dalam ayat di atas Allah menegaskan bahwa Dia ridha kepada para sahabat. Dalam ayat lain, Allah menyebutkan bahwa Dia tidak ridha kepada orang yang fasik. Sedangkan fasik itu lawannya adalah adil (bertaqwa dan amanah). Maka konsekwensinya kalau Allah ridha kepada para sahabat, maka para sahabat dipastikan adalah orang-orang yang adil (bertaqwa dan amanah).

Dan dari segi dalalah, karena para tabi’in masih terhitung sebagai orang-orang yang ahli dalam bahasa Arab secara murni dan alami (saliqah). Mereka masih mampu memahami maksud-maksud Al-Qur’an dan Sunnah dengan mudah, karena malakah (kemampuan) untuk memahaminya masih melekat dalam diri mereka, juga karena mereka mendapatkan pendidikan langsung dari para sahabat. Meskipun pada zaman mereka sudah mulai muncul peletakkan dasar-dasar bagi ilmu-ilmu syar’i.

Barulah kemudian pada zaman tabi’ut tabi’in, karena kondisi yang telah berubah dari sebelumnya, mereka membutuhkan kodifikasi dan spesialisasi bidang-bidang keilmuan. Dari segi riwayat, karena mereka tidak bertemu dengan Rasulullah yang ma’shum, tidak juga bertemu dengan para sahabat yang adil, tetapi mereka bertemu dengan tabi’in, yang di kalangan tabi’in itu ada yang adil dan ada pula yang tidak adil. Tidak sedikit orang-orang di zaman tabi’in itu yang membuat hadits-hadits palsu. Sehingga, generasi tabi’ut tabi’in ini memerlukan penelitian yang mendalam dalam menentukan apakah suatu hadits itu sah atau tidak dinisbatkan kepada Nabi . Begitu pula dari segi dalalah, banyak orang-orang non-Arab (‘ajam) yang telah bercampur baur dengan orang-orang Arab yang dapat mengakibatkan kerusakan pada bahasa Arab. Banyak orang-orang yang tidak lagi memiliki malakah secara alami untuk memahami maksud-maksud dari Al-Qur’an dan Sunnah. Maka mereka membutuhkan kodifikasi dan spesialisasi keilmuan untuk dapat memiliki malakah tersebut.    

Kodifikasi paling awal yang dilakukan oleh kaum muslimin adalah terhadap Al-Qur’an dan Hadits itu sendiri sebagai panduan hidup kaum muslimin, sebagai bukti penjagaan terhadap wahyu, belum terhadap bidang-bidang keilmuannya. Yaitu sejak masa khalifah Abu Bakar Shiddiq radhiyallahu ‘anhu Al-Qur’an mulai dikodifikasi. Abu Bakarlah yang menyandang kemuliaan sebagai penjaga Al-Qur’an ini dengan perannya melakukan kodifikasi pertama terhadap Al-Qur’an. Yaitu atas usulan Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu yang dilatarbelakangi dengan banyaknya para penghapal Al-Qur’an yang meninggal dunia, dikhawatirkan banyak Al-Qur’an yang hilang. Yang dimaksud dengan kodifikasi di sini adalah mengumpulkan tulisan Al-Qur’an dalam satu mushaf, adapun penulisan seluruh Al-Qur’an telah dilakukan di zaman Rasulullah oleh para penulis wahyu yang disaksikan langsung oleh beliau, hanya tulisan-tulisan itu masih berceceran. Penyusunan ini dilakukan dengan dua bukti, yaitu dengan tulisan-tulisan yang ada pada sahabat dan dengan hapalan mereka. Tulisan itu pun harus disaksikan oleh dua orang saksi, bahwa ia benar-benar ditulis di hadapan Rasululah . Karena para penghapal Al-Qur’an saat itu tentu saja masih banyak, termasuk empat khufaur Rasyidin juga adalah penghapal Al-Qur’an.

Kodifikasi ini kemudian dilanjutkan di zaman khalifah Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu dengan latar belakang adanya orang-orang yang berselisih tentang pembacaan Al-Qur’an dengan perselisihan yang cukup keras pada saat penaklukan Armenia dan Azerbejan atas laporan dari Hudzaifah bin Al-Yaman radhiyallahu ‘anhu. Utsman meminjam mushaf yang telah dikumpulkan oleh Abu Bakar Shiddiq yang ada pada Hafshah radhiyallahu ‘anha, untuk disalin dan disebarkan ke berbagai kota. Perbedaan kodifikasi pada masa Utsman dengan masa Abu Bakar adalah bahwa pada masa Utsman mushaf tersebut disusun urutan surat-suratnya seperti sekarang ini, yang sebelumnya belum tersusun surat-suratnya. Adapun susunan ayat, itu telah menjadi ketentuan dari Rasulullah berdasarkan wahyu (tauqifi). Juga menuliskan yang dengan riwayat mutawatir saja, adapun yang ahad (perorangan) itu berkemungkinan bercampur antara ayat Al-Qur’an dan tafsiran maknanya, juga tidak menuliskan ayat-ayat yang memang sudah dimansukh (dihapus) pembacaannya. Riwayat mutawatir tersebut tentu di dalamnya mengandung perbedaan qira’at, sebagaimana dikenal dalam ilmu Qiro’at saat ini. Mushaf yang disusun Utsman tersebut memungkinkan untuk dibaca dengan berbagai riwayat mutawatir, sehingga meskipun ada perbedaan bacaan, selama sesuai dengan mushaf tersebut maka bacaan tersebut dibenarkan. Sehingga hilanglah  perselihan yang menyebabkan perpecahan dalam masalah bacaan Al-Qur’an karena ada telah mushaf Utsman yang disebut sebagai mushaf imam, yaitu sebagai induk bacaan Al-Qur’an. Mushaf yang menyatukan umat Islam hingga saat ini. Mushaf ini disalin sebanyak tujuh salinan. Satu mushaf dikirim ke Mekkah, satu ke Syam, satu ke Yaman, satu ke Bahrain, satu ke Bashrah, satu ke Kufah dan satu lagi ditahan di Madinah.

Adapun kodifikasi hadits, dimulai di masa tabi’in. Yaitu oleh peran dua imam besar pada generasi tabi’in; Umar bin Abdul Aziz (61-101 H) dan Ibnu Syihab Az-Zuhri (49-123 H). Dimana Umar bin Abdul Aziz sebagai khalifah pada masa Daulah Umayyah saat itu memerintahkan untuk menulis dan mengumpulkan hadits karena khawatir akan hilang, dan peran itu banyak dilakukan oleh Ibnu Syihab Az-Zuhri. Di zaman Rasul memang telah ada penulisan hadits, tapi sifatnya masih sedikit dan perorangan. Di samping ada larangan umum untuk menulis hadits dengan maksud agar tidak bercampur dengan penulisan Al-Qur’an, dan disamping itu beliau mengizinkan kepada orang-orang tertentu untuk menuliskan hadits. Sedangkan di zaman Umar bin Abdul Aziz adalah bentuk pengumpulan banyak hadits. Ibnu Abdil Bar meriwayatkan dengan sanadnya dari imam Malik, bahwa ia berkata : “Orang yang pertama kali mengkodifikasi ilmu (maksudnya hadits) adalah Ibnu Syihab Az-Zuhri”. Ibnu Syihab Az-Zuhri mengatakan : “Umar bin Abdul Aziz memerintahkan kami untuk mengumpulkan sunnah-sunnah. Maka kami menuliskannya satu buku satu buku, lalu ia mengirimkan satu buku kepada setiap negeri yang ada pemimpinnya.” (Jami Bayanil ‘Ilmi wa Fadlihi, 1/76). Namun, kodifikasi pada masa ini barulah sebatas pengumpulan, belum berupa penyusunan yang dibedakan berdasarkan bab. Barulah di masa berikutnya, pada awal abad kedua hijriyyah, yaitu masa tabi’ut tabi’in, mulai banyak disusun kitab-kitab hadits yang disusun berdasarkan bab. Yang paling masyhur dan sampai kepada kita adalah Muwatha imam Malik (93-179 H), beliau adalah murid Ibnu Syuhab Az-Zuhri. Sebenarnya banyak para ulama lain yang menuliskan kitab hadits sebelum imam Malik, yaitu seperti Ibnu Juraij (w.150 H), Auza’i (w.165 H), Syu’bah bin Al-Hajjaj (w.160 H), Sufyan Ats-Tsauri (w.161 H), Laits bin Sa’ad (w.175 H) dll, hanya kitab-kitab mereka hilang dan tidak sampai kepada kita, sehingga Muwatha imam Malik dianggap sebagai kitab hadits paling awal. Setelah itu bermunculanlah kitab-kitab hadits yang ditulis yang kita kenal saat ini, seperti Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Musnad Ahmad, empat kitab Sunan (Abu Dawud, Tirmidzi, Nasai dan Ibnu Majah), dan lain-lain.  

 

Ragam Ilmu Syar’i

Setelah kokoh kodifikasi Al-Qur’an dan Sunnah, sebagai dua kitab sumber, maka berikutnya muncullah kodifikasi ilmu-ilmu syar’i yang merupakan ilmu-ilmu yang dihasilkan dari keduanya dan sebagai bentuk khidmat kepada keduanya, serta lahir berdasarkan kebutuhan-kebutuhan yang muncul pada diri kaum muslimin. Di dalam kitab-kitab hadits yang disusun berdasarkan bab-bab tersebut, sebetulnya mencerminkan ragam ilmu syar’i yang kemudian mengalami pemisahan sesuai bidang-bidangnya dan menjadi spesialisasi keilmuan. Misalnya di dalamnya ada kitab tafsir, kitab tauhid, kitab-kitab fiqih, kitab adab, dan lain sebagainya. Berikut ini penulis akan paparkan secara ringkas kemunculan ilmu-ilmu syar’i beserta fungsinya.

Secara garis besar, ilmu syar’i dapat dibagi kepada dua bagian, yaitu ilmu maqashid (tujuan) dan ilmu wasail (alat). Ilmu maqashid dapat kita bagi lagi menjadi tiga bagian yaitu ilmu ushul (sumber), ilmu furu (cabang) dan ilmu mutammimat (pelengkap). Ilmu sumber mencakup Al-Qur’an dan Sunnah, serta masuk di dalamnya atsar para sahabat dan ijma. Ilmu cabang adalah ilmu intisari yang dihasilkan darinya, sebagaimana intisari dari ajaran Islam adalah mencakup tiga hal: iman, islam dan ihsan, maka lahir tiga ilmu inti yaitu Aqidah, Fiqih dan Suluk. Dan ilmu pelengkapnya dapat kita masukkan yaitu ilmu sejarah Islam dan ilmu Da’wah. Sedangkan ilmu alat dapat kita bagi dua yaitu alat yang terkait langsung dengan ilmu-ilmu sebelumnya, yaitu dalam ilmu Al-Qur’an ada ilmu ushul tafsir, dalam ilmu hadits ada ilmu ushul hadits, dalam ilmu fiqih ada ilmu ushul fiqih, dll. Dan ilmu alat yang terpisah secara menyendiri. Ini mencakup dua bagian, yaitu ilmu bahasa Arab dan ilmu logika.

Dalam rumpun ilmu Al-Qur’an, dari segi riwayat dan berkaitan dengan pembacaannya, lahirlah ilmu tentang kaidah dan cara membaca yang disebut ilmu Tajwid, dan tentang macam-macam bacaan yang diriwayatkan dari Rasulullah saw yang disebut ilmu Qiroat. Yang berkaitan dengan tulisannya lahirlah ilmu tentang keadaan huruf-hurufnya yang disebut ilmu Rosm, dan tentang titik dan syakal yang disebut ilmu Dobt. Dari segi dalalah, yaitu berkaitan dengan memahami maknanya lahirlah ilmu Tafsir. Dalam ilmu tafsir sendiri ada yang metodenya menggunakan riwayat dan adapula dengan diroyah. Dari ilmu tafsir ini, berikutnya akan terpisah secara tersendiri tema-tema khusus darinya, terutama yang kebutuhannya lebih besar yaitu berkenaan dengan hukum-hukum yang disebut ilmu Tafsir Ahkam. Untuk dapat memahami ilmu tafsir, diperlukan ilmu alat untuk memahaminya maka lahirlah ilmu ushul Tafsir dan juga yang berkaitan dengan berbagai wawasan tentang Al-Qur’an lahirlah ilmu yang disebut ilmu Ulumul Qur’an.

Dalam rumpun ilmu Hadits, dari segi riwayat, muncullah ilmu yang berkaitan dengan penyusunan matannya beserta para perowinya yang disebut ilmu Mutun Al-Hadits, baik berdasarkan tema maupun nama sahabat dan perowinya. Dari tema-tema tersebut, kemudian memisah secara tersendiri yang berkaitan dengan hukum-hukum yang disebut ilmu Ahadits Al-Ahkam. Dari segi dalalah, yaitu untuk memahami matan-matan hadits tersebut disusunlah penjelasannya yang disebut ilmu Syuruh Al-Hadits (ilmu syarah hadits). Dari segi riwayat juga dibutuhkan ilmu untuk mengetahui apakah suatu hadits itu dapat diterima ataukah tidak dengan menelusuri keadaan sanad dan matannya, lahirlah ilmu yang disebut ilmu Mushthalah Hadits. Dari ilmu Musthalah tersebut, lahirlah kemudian bagian-bagiannya yang memiliki peran khusus. Yang berperan untuk menelusuri suatu hadits siapa saja para perowi yang meriwayatkannya dan mengkaji sanad-sanadnya disebut dengan ilmu At-Takhrij wa Dirasatul Asanid. Yang berperan untuk mengetahui kecacatan tersebunyi dari suatu sanad ataupun matan disebut Ilmu ‘Ilal Al-Hadits. Dan yang berperan khusus dalam mengetahui keadaan orang-orang yang meriwayatkan hadits dan apakah diterima atau tidak periwayatannya disebut ilmu Ar-Rijal wal Jarhu wat Ta’dil.

Kaitannya dengan rukun agama yang pertama yaitu iman lahirlah ilmu Aqidah atau jamanya Aqaid, yang berkaitan dengan keyakinan. Dasarnya adalah rukun iman yang kemudian melahirkan cabang-cabang pembahasannya. Ilmu ini disebut juga ilmu Kalam ditinjau dari salah satu pembahasannya yaitu kalamullah, salah satu sifat Allah, juga ilmu Tauhid dan Ushuluddin. Dalam realita pembahasannya tidak seluruh dalil-dalil itu memberi makna yang qath’i, ada juga yang zhanni sehingga menimbulkan kesimpulan yang berbeda. Juga terkadang diperlukan hujjah-hujjah akal untuk menangkal aliran-aliran yang menyimpang dan membela akidah Islam. Maka dikenallah tiga madzhab aqidah ahlus sunnah yaitu Hanbali, Asy’ari dan Maturidi. Selain itu, masih terkait dengan ilmu aqidah dipelajari pula aliran-aliran yang menyimpang yang disebut dengan ilmu Al-Firaq wan Nihal.

Rukun agama yang kedua yaitu Islam melahirkan ilmu fiqih. Ilmi fiqih ini adalah ilmu yang sangat luas karena merupakan ilmu tentang hukum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia. Ilmu ini semakin matang dengan munculnya madzhab-madzhab, sehingga masa berikutnya seseorang tidak akan dapat belajar fiqih secara lengkap dan sistematis kecuali melalui madzhab ini. Inilah kemudian disebut dengan ilmu Fiqih Madzhab. Dan yang terus berkembang hingga saat ini adalah empat madzhab yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Adapula madzhab Zhahiri, namun tidak berkembang seperti empat madzhab tersebut. Selanjutnya, untuk lebih memperluas, seseorang tidak cukup menekuni suatu madzhab saja, tetapi berusaha untuk membandingkan dengan madzhab yang lain dan dengan itu semakin jelas pilihan-pilihan fiqih yang rajih, ini disebut dengan ilmu Fiqih Muqarin. Untuk dapat memahami dalil-dalil sehingga dihasilkan dan disimpulkan suatu hukum dalam fiqih diperlukan seperangkat kaidah, maka lahirlah ilmu Ushul Fiqih. Dalam perjalanannya, dari ilmu Ushul Fiqih tersebut ada bagian yang pembahasannya cukup luas sehingga menjadi ilmu tersendiri yaitu ilmu tentang maksud-maksud syariat yang disebut dengan ilmu Al-Maqashid As-Syar’iyyah. Juga dengan memahami langsung dari masalah-masalah fiqih (furu’) lalu dikeluarkanlah kaidah-kaidah ushul darinya yang disebut dengan ilmu Takhrij Al-Furu’ ‘ala Al-Ushul. Dari ilmu fiqih yang luas itu, selanjutnya ditelusuri hal-hal yang mirip dalam permasalahannya lalu dibuatlah kaidah-kaidah fiqih untuk memudahkan memahami banyak permasalahan fiqih yang disebut dengan ilmu Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah. Juga ditelusuri hal-hal yang mirip tetapi memiliki perbedaan hukum sehingga lahirlah ilmu yang disebut dengan ilmu Al-Furuq Al-Fiqhiyyah. Selain itu, dari pembahasan-pembahasan fiqih, ada tema-tema yang kemudian memisah secara tersendiri, yaitu tentang bagaimana memberikan fatwa untuk sebuah permasalahan yang muncul disebut ilmu An-Nawazil, tentang bagaimana seorang hakim memutuskan sebuah perkara yang disebut ilmu Al-Qadha, tentang ilmu bagian-bagian yang diperoleh ahli waris dari harta mayit yang disebut ilmu Al-Faraidh, tentang bagaimana memerintahkan yang ma’ruf dan melarang kemungkaran ketika terjadi yang disebut ilmu Hisbah, dan tentang fiqih yang berkaitan dengan politik kenegaraan yang disebut dengan ilmi Fiqih Siyasi. Selain itu juga muncul ilmu yang berkaitan dengan sejarah fiqih yang disebut dengan ilmu Tarikh At-Tasyri’ dan ilmu tentang tingkatan-tingkatan ulama fiqih yang disebut dengan ilmu Thabaqah Al-Fuqaha. 

Sedangkan Ihsan, yang merupakan rukun ketiga dari agama, melahirkan ilmu Akhlaq. Baik berupa kumpulan etika yang diambil dari Al-Qur’an dan hadits yang disebut dengan ilmu Al-Adab Asy-Syar’iyyah, maupun disertai rumusan-rumusan yang dibuat dari pengalaman manusia dalam membentuk kepribadian yang Islami yang disebut dengan ilmu As-Suluq wat Tarbiyah atau dikenal dengan ilmu Tasawuf.

Selanjutnya yang dapat dikategorikan sebagai ilmu pelengkap adalah ilmu sejarah dan ilmu Da’wah. Karena Al-Qur’an dan Hadits cukup banyak berisi sejarah atau kisah. Posisinya sebagai pelengkap karena dengannya dapat diketahui latar belakang dan hikmah dibalik pemberlakukan syariat Islam. Diawali dengan sejarah yang paling mulia yaitu tentang perjanalan hidup Rasulullah saw yang disebut dengan ilmu Sirah Nabawiyah, kemudian sejarah-sejarah Islam dan yang lainnya secara umum yang disebut sebagai ilmu Tarikh. Dalam ilmu sejarah juga ada satu pembahasan khusus yang kemudian menjadi ilmu tersendiri tentang nasab-nasab yang disebut dengan ilmu Al-Ansab. Sedangkan ilmu Dakwah adalah berisi seperangkat metode dalam menyampaikan dakwah Islam. Posisinya sebagai pelengkap karena dengan dakwahlah syariat Islam ini dapat ditegakkan.

Selanjutnya yang termasuk ilmu alat yang terpisah secara menyendiri yaitu ilmu bahasa Arab. Ilmu Bahasa Arab adalah ilmu alat yang tidak bisa diabaikan untuk memahami ilmu-ilmu syar’i. Karena ia adalah syarat untuk bisa dilaksanakan kewajiban, sehingga hukumnya juga menjadi wajib. Sebagaimana kaidah ushul fiqih,

مَا لَايَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلَّا بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ

“Sesuatu yang suatu kewajiban tidak bisa dilakukan tanpanya, maka ia termasuk wajib.”

Dalam rumpun ilmu bahasa Arab, ada ilmu yang berkaitan dengan kosa katanya yang disebut dengan ilmu Mufrodat Al-Lugah. Yang berkaitan dengan pecahan-pecahan kata disebut ilmu At-Tashrif. Yang berkenaan dengan keadaan huruf terakhir dari suatu kata dan kedudukannya dalam sebuah struktur kalimat disebut dengan ilmu Nahwu. Yang berkaitan dengan akar suatu kata yang kemudian memunculkan berbagai kosa kata yang disebut dengan ilmu Al-Isytiqaq. Yang berkaitan dengan kaidah-kaidah untuk membuat suatu kalimat yang indah dan efektif disebut ilmu Balagah. Yang berkaitan dengan sastra disebut dengan ilmu Al-Adab. Yang berkaitan dengan pengungkapan makna-makna yang disumpulkan dengan bahasa yang sesuai konteks disebut ilmu Insya. Yang berkaitan dengan syair disebut ilmu Asy-Syi’r. Yang berkaitan dengan pola-pola penyusunan syair yang dapat diketahui dengannya mana yang benar dan mana yang tidak, serta tentang menyusun akhiran kata dalam syair disebut dengan ilmu Al-‘Urudh wal Qawafi. Yang berkaitan dengan kritik sastra disebut dengan ilmu An-Naqd Al-Adabi. Yang berkaitan dengan tingkatan para ahli bahasa dan Nahwu disebut dengan ilmu Thabaqat An-Nahawiyyin wal Lughawiyyin. Dan yang berkaitan dengan tulisan-tulisan Arab yang disebut dengan ilmu Al-Khath Al-‘Arabi.

Selain bahasa Arab, ilmu logika juga merupakan alat penting baik untuk membantu memahami syariat Islam, karena syariat Islam akan selalu sesuai dengan fitrah dan akal sehat manusia, ataupun sebagai alat untuk mendakwahkan Islam melalui logika berpikir manusia secara umum. Selain itu, ia juga sebagai basis untuk memahami ilmu-ilmu syar’i yang lain, karena ilmu-ilmu itu disusun di atas logika-logika berpikir yang benar. Dalam ilmu logika, ada yang merupakan kaidah-kaidah cara berpikir yang benar disebut dengan ilmu Mantiq. Yang berkaitan dengan ilmu cara-cara beradu argumen dan adab-adabnya yang disebut ilmu Al-Jadal wa Adab Al-Munazharah. Dan yang berkaitan dengan pemikiran-pemikiran yang lahir dari cara pandang sebagai seorang muslim berkenaan dengan berbagai realita yang ada baik untuk merumuskan ulang nilai-nilai Islam maupun untuk mengkanter pemikiran-pemikiran luar yang menyerang Islam. Ilmu ini disebut dengan ilmu Al-Fikr Al-Islami (ilmu pemikiran Islam).

Berikut ini adalah daftar ragam ilmu syar’i :

A. Al-Qur'an

1.         Ilmu Tajwid

2.         Ilmu Qiro'at

3.         Ilmu Rosm dan Dhobt

4.         Ilmu Ushul Tafsir

5.         Ilmu Tafsir

6.         Ilmu Tafsir Ahkam

7.         Ilmu Ulumul Qur'an

 

B. Hadits

8.         Ilmu Mutunul Hadits (Matan-matan Hadits)

9.         Ilmu Ahadits Al-Ahkam

10.      Ilmu Syuruh Al-Hadits (Syarah-syarah Hadits)

11.      Ilmu Musthalah Al-Hadits

12.      Ilmu Takhrij wa Dirosatul Asanid

13.      Ilmu 'Ilal Al-Hadits

14.      ilmu Rijal wa Al-Jarhu wat Ta'dil

 

C. Aqidah

15.      Ilmu 'Aqoid wal Kalam

16.      Ilmu Firoq wan Nihal

 

D. Fiqih

17.      Ilmu Ushul Fiqih

18.      Ilmu Al-Maqoshid Asy-Syar'iyyah

19.      Takhrij Al-Furu' 'alal Ushul

20.      Ilmu Al-Qowaidh Al-Fiqhiyyah

21.      Ilmu Al-Furuq Al-Fiqhiyyah

22.      Ilmu Al-Fiqhi Al-Madzhabi

23.      Ilmu Al-Fiqhi Al-Muqorin

24.      Ilmu Tarikh At-Tasyri'

25.      Ilmu An-Nawazil

26.      Ilmu Al-Qodho

27.      Ilmu Al-Faroidh

28.      Ilmu Thobaqot Al-Fuqoha

29.      Ilmu Al-Hisbah

30.      Ilmu Al-Fiqhi As-Siyasi

 

E. Akhlaq

31.      Ilmu Al-Adab Asy-Syar'iyyah

32.      Ilmu As-Suluq wat Tarbiyah (Tasawuf)

 

F. Tarikh

33.      Ilmu Siroh Nabawiyyah

34.      Ilmu Al-Ansab

35.      Ilmu At-Tarikh

 

G. Da'wah

36.      Ilmu Da'wah

 

H. Bahasa Arab

37.      Ilmu Mufrodat Al-Lughoh

38.      Ilmu At-Tashrif

39.      Ilmu Nahwu

40.      Ilmu Al-Isytiqaq

41.      Ilmu Al-Balagah

42.      Ilmu Al-Adab (Sastra)

43.      Ilmu Al-Insya

44.      Ilmu Al-'Urudh wal Qowafi

45.      Ilmu Asy-Syi'r

46.      Ilmu Thobaqot An-Nahawiyyin wal Lughowiyyin

47.      Ilmu An-Naqd Al-Adabi

48.      Ilmu Al-Khot Al-'Arobi

 

I. Logika

49.      Ilmu Mantiq

50.      Ilmu Jadal wa Adab Al-Munazharoh

51.      Ilmu Fikr Islami (pemikiran Islam)

 

Wallahu A’lam.

 

*Penulis adalah mudir MAISY Institute

4 komentar:

  1. Mau pesen buku cepat baca Arab gundul teori tad...masih ada??

    BalasHapus
  2. Soalnya nomer ust.yang ini gak bisa diwathsap Ndak terdaftar 085320759353 sudah hangus mungkin?

    BalasHapus
  3. Order ke sini
    https://chataja.me/ORDERMTK

    BalasHapus
  4. Minta doa nya tadz ..biar diberi kefahaman,,,

    BalasHapus