Rabu, 29 Mei 2019

Kedekatan Allah dan Doa


Tadabur Ayat-ayat Shaum - 6

Oleh : Muhammad Atim

 وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ ۖ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

"Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka sesungguhnya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran." (QS. Al-Baqarah : 186).

Di tengah-tengah ayat-ayat tentang shaum Ramadhan, Allah SWT menyebutkan tentang doa dalam ayat ini. Itu artinya, ada satu hal yang tidak boleh luput dari penghayatan kita dalam rangkaian ibadah Ramadhan ini, yaitu doa. Hal itu karena orang yang shaum doanya diijabah oleh Allah.

 Ibnu Katsir menguraikan, "Dan dalam penyebutan Allah SWT terhadap ayat ini yang mendorong untuk berdoa, yang berada di sela-sela antara hukum-hukum shaum, adalah suatu bimbingan untuk bersungguh-sungguh dalam berdoa ketika telah menyempurnakan bilangan, bahkan pada setiap berbuka, sebagaimana yang diriwayatkan oleh imam Abu Dawud Ath-Thayalisi -dengan sanadnya- dari Abdullah bin Amr ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw bersabda : "Bagi orang yang shaum ketika ia berbuka ada doa yang diijabah". Abdullah bin Amr apabila berbuka ia memanggil istri dan anaknya dan berdoa." (Tafsir Ibnu Katsir, jilid 1, hal. 509).

 عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم ثَلَاثَةٌ لَا تُرَدُّ دَعْوَتُهُمْ الْإِمَامُ الْعَادِلُ وَالصَّائِمُ حِينَ يُفْطِرُ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ يَرْفَعُهَا فَوْقَ الْغَمَامِ وَتُفَتَّحُ لَهَا أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَيَقُولُ الرَّبُّ عَزَّ وَجَلَّ وَعِزَّتِي لَأَنْصُرَنَّكِ وَلَوْ بَعْدَ حِينٍ

 "Dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah saw bersabda : "Tiga orang yang doanya tidak tertolak; imam adil, orang puasa saat berbuka dan doa orang yang terzhalimi, doanya diangkat diatas awan dan pintu-pintu langit dibukakan, Rabb 'azza wajalla berfirman: Demi keperkasaanKu, aku akan menolongmu meski setelah selang berapa lama." (HR. Tirmidzi no. 2449, dll).

Doa sebenarnya merupakan hak bagi seorang hamba dari Allah SWT. Untuk itu, setelah dijelaskan kewajiban shaum Ramadhan dengan beberapa hukumnya, lalu perintah menyempurnakan bilangan, bertakbir dan bersyukur. Maka wajar jika terbersit dalam hati orang-orang beriman, "Apakah saya boleh mengajukan permohonan dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban ini? Apakah saya mendapatkan hak disamping kewajiban ini? Jika memang diperkenankan untuk memohon hak, bagaimanakah caranya, apakah Allah itu dekat sehingga cukup bermunajat saja, ataukah jauh sehingga perlu untuk menyeru-Nya dengan keras?

 Di samping karena memang Ramadhan ini adalah musimnya mendekat kepada Allah dengan berbagai kebaikan, maka ia adalah saat yang tepat bagi seorang hamba untuk mengadukan berbagai permasalahan dan kebutuhannya kepada Allah SWT. Maka, Allah Yang Maha Mengetahui segala isi hati manusia, memberikan jawaban dari pertanyaan yang dimungkinkan muncul dari hati orang-orang beriman tersebut.

 Kata "idza" (apabila) menunjukkan pertanyaan dalam ayat ini adalah suatu kemungkinan yang muncul dari hati orang-orang beriman, tidak benar-benar terjadi secara realita. Untuk itu, riwayat-riwayat tentang asbabun nuzul ayat ini sanadnya lemah, tidak bisa dijadikan sebagai tafsir dari ayat ini.

 Yang dimaksud dengan "ibadi" (hamba-hamba-Ku) adalah orang-orang beriman yang sedang dibicarakan dalam ayat-ayat syariat shaum ini.

 Inilah makna -yang nampak dalam pandangan penulis- dari pertanyaan hamba-hamba Allah tentang Allah itu, apakah saya boleh memohon hak disamping kewajiban yang dilakukan? Lalu jika boleh, bagaimana cara memohonnya, apakah Allah itu dekat sehingga cukup dengan bermunajat (berbisik), ataukah Allah itu jauh sehingga perlu menyeru-Nya dengan keras. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.

 Maka Allah memberikan jawaban,

 فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ ۖ

 "Sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku"

 Jawaban ini Allah tunjukkan langsung kepada hamba-hamba-Nya tanpa melalui perantaraan Rasul dengan mengatakan "qul" (katakanlah), sehingga nuansa kedekatan dengan Allah begitu terasa dalam ayat ini.

 Kata "sesungguhnya" sebagai penegasan bahwa Allah benar-benar dekat, meskipun kita tidak dapat melihat-Nya di dunia ini, tapi Allah Maha Dekat.

 Dekatnya Allah mengharuskan kita berdoa kepada-Nya dengan suara pelan, bahkan Allah Maha Tahu dan Maha Mendengar doa di dalam hati sekalipun.

 Allah bersedia mengabulkan doa yang dipanjatkan seorang hamba kepada-Nya. Namun dalam pengabulan doa tentu saja ada syarat-syaratnya, yaitu kita telah melaksanakan kewajiban kita kepada Allah, setelah itu barulah kita berhak mendapatkan hak berupa pengabulan doa. Ini tercermin dalam pernyataan yang selalu kita baca dalam Al-Fatihah, "Hanya kepada-Mu kami beribadah" ini adalah kewajiban, "Dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan" ini adalah hak. Jadi, tunaikan dulu kewajiban, barulah kita boleh memohon hak. Oleh karena itu, dalam lanjutan ayatnya Allah menyebutkan,

 فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي

 "Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku"

 Ini adalah syarat dikabulkannya doa. Maka kita dapati dalam hadits bahwa orang yang lalai dari kewajibannya tidak akan dikabulkan doanya. Juga orang yang dirinya dipenuhi dengan berbagai keharaman. Selain itu, agar doa kita dikabulkan, kita harus memperhatikan adab-adabnya seperti berdoa dengan hati yakin akan dikabulkan, merendah diri di hadapan Allah, dengan suara pelan, memulai dengan menyebut nama-nama Allah yang baik (asmaul husna), isi doanya tidak mengandung dosa dan pemutusan silaturahmi, memperhatikan waktu dan tempat dikabulkannya doa, dll.

 Juga perlu dipahami bahwa bentuk pengabulan doa itu beragam, tidak mesti secara langsung dikabulkan, sebagaimana dijelaskan dalam hadits,

 عَنْ أَبِي سَعِيدٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو بِدَعْوَةٍ لَيْسَ فِيهَا إِثْمٌ وَلَا قَطِيعَةُ رَحِمٍ إِلَّا أَعْطَاهُ اللَّهُ بِهَا إِحْدَى ثَلَاثٍ إِمَّا أَنْ تُعَجَّلَ لَهُ دَعْوَتُهُ وَإِمَّا أَنْ يَدَّخِرَهَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ وَإِمَّا أَنْ يَصْرِفَ عَنْهُ مِنْ السُّوءِ مِثْلَهَا قَالُوا إِذًا نُكْثِرُ قَالَ اللَّهُ أَكْثَرُ 

"Dari Abu Sa'id berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidaklah seorang muslim yang berdoa dengan doa yang tidak untuk keburukan dan tidak untuk memutus tali kekeluargaan, kecuali Allah akan memberinya tiga kemungkinan; doanya akan segera dibalas, akan ditunda sampai di akhirat, atau ia akan dijauhkan dari keburukan yang semisal, " para sahabat bertanya, "Jika demikian kita minta yang lebih banyak, " beliau bersabda: "Allah memiliki yang lebih banyak." (HR. Ahmad no. 10709). 

Diantara bentuk pengabulan doa secara langsung adalah yang dicontohkan dalam kisah tiga orang yang terjebak dalam gua, yaitu di saat mereka berdoa dalam keadaan terdesak dan dengan wasilah amal shaleh yang mereka lakukan.

 Dari Abu ‘Abdir Rahman, yaitu Abdullah bin Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhuma, katanya: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 انْطَلَقَ ثَلاَثَةُ رَهْطٍ مِمَّنْ كَانَ قَبْلَكُمْ حَتَّى أَوَوُا الْمَبِيتَ إِلَى غَارٍ فَدَخَلُوهُ ، فَانْحَدَرَتْ صَخْرَةٌ مِنَ الْجَبَلِ فَسَدَّتْ عَلَيْهِمُ الْغَارَ فَقَالُوا إِنَّهُ لاَ يُنْجِيكُمْ مِنْ هَذِهِ الصَّخْرَةِ إِلاَّ أَنْ تَدْعُوا اللَّهَ بِصَالِحِ أَعْمَالِكُمْ 

“Ada tiga orang dari orang-orang sebelum kalian berangkat bepergian. Suatu saat mereka terpaksa mereka mampir bermalam di suatu goa kemudian mereka pun memasukinya. Tiba-tiba jatuhlah sebuah batu besar dari gunung lalu menutup gua itu dan mereka di dalamnya. Mereka berkata bahwasanya tidak ada yang dapat menyelamatkan mereka semua dari batu besar tersebut kecuali jika mereka semua berdoa kepada Allah Ta’ala dengan menyebutkan amalan baik mereka.”

 فَقَالَ رَجُلٌ مِنْهُمُ اللَّهُمَّ كَانَ لِى أَبَوَانِ شَيْخَانِ كَبِيرَانِ ، وَكُنْتُ لاَ أَغْبِقُ قَبْلَهُمَا أَهْلاً وَلاَ مَالاً ، فَنَأَى بِى فِى طَلَبِ شَىْءٍ يَوْمًا ، فَلَمْ أُرِحْ عَلَيْهِمَا حَتَّى نَامَا ، فَحَلَبْتُ لَهُمَا غَبُوقَهُمَا فَوَجَدْتُهُمَا نَائِمَيْنِ وَكَرِهْتُ أَنْ أَغْبِقَ قَبْلَهُمَا أَهْلاً أَوْ مَالاً ، فَلَبِثْتُ وَالْقَدَحُ عَلَى يَدَىَّ أَنْتَظِرُ اسْتِيقَاظَهُمَا حَتَّى بَرَقَ الْفَجْرُ ، فَاسْتَيْقَظَا فَشَرِبَا غَبُوقَهُمَا ، اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتُ فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَفَرِّجْ عَنَّا مَا نَحْنُ فِيهِ مِنْ هَذِهِ الصَّخْرَةِ ، فَانْفَرَجَتْ شَيْئًا لاَ يَسْتَطِيعُونَ الْخُرُوجَ

 Salah seorang dari mereka berkata, “Ya Allah, aku mempunyai dua orang tua yang sudah sepuh dan lanjut usia. Dan aku tidak pernah memberi minum susu (di malam hari) kepada siapa pun sebelum memberi minum kepada keduanya. Aku lebih mendahulukan mereka berdua daripada keluarga dan budakku (hartaku). Kemudian pada suatu hari, aku mencari kayu di tempat yang jauh. Ketika aku pulang ternyata mereka berdua telah terlelap tidur. Aku pun memerah susu dan aku dapati mereka sudah tertidur pulas. Aku pun enggan memberikan minuman tersebut kepada keluarga atau pun budakku. Seterusnya aku menunggu hingga mereka bangun dan ternyata mereka barulah bangun ketika Shubuh, dan gelas minuman itu masih terus di tanganku. Selanjutnya setelah keduanya bangun lalu mereka meminum minuman tersebut. Ya Allah, jikalau aku mengerjakan sedemikian itu dengan niat benar-benar mengharapkan wajah-Mu, maka lepaskanlah kesukaran yang sedang kami hadapi dari batu besar yang menutupi kami ini.” Batu besar itu tiba-tiba terbuka sedikit, namun mereka masih belum dapat keluar dari goa.

 قَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « وَقَالَ الآخَرُ اللَّهُمَّ كَانَتْ لِى بِنْتُ عَمٍّ كَانَتْ أَحَبَّ النَّاسِ إِلَىَّ ، فَأَرَدْتُهَا عَنْ نَفْسِهَا ، فَامْتَنَعَتْ مِنِّى حَتَّى أَلَمَّتْ بِهَا سَنَةٌ مِنَ السِّنِينَ ، فَجَاءَتْنِى فَأَعْطَيْتُهَا عِشْرِينَ وَمِائَةَ دِينَارٍ عَلَى أَنْ تُخَلِّىَ بَيْنِى وَبَيْنَ نَفْسِهَا ، فَفَعَلَتْ حَتَّى إِذَا قَدَرْتُ عَلَيْهَا قَالَتْ لاَ أُحِلُّ لَكَ أَنْ تَفُضَّ الْخَاتَمَ إِلاَّ بِحَقِّهِ . فَتَحَرَّجْتُ مِنَ الْوُقُوعِ عَلَيْهَا ، فَانْصَرَفْتُ عَنْهَا وَهْىَ أَحَبُّ النَّاسِ إِلَىَّ وَتَرَكْتُ الذَّهَبَ الَّذِى أَعْطَيْتُهَا ، اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتُ فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَافْرُجْ عَنَّا مَا نَحْنُ فِيهِ . فَانْفَرَجَتِ الصَّخْرَةُ ، غَيْرَ أَنَّهُمْ لاَ يَسْتَطِيعُونَ الْخُرُوجَ مِنْهَا

 “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, lantas orang yang lain pun berdo’a, “Ya Allah, dahulu ada puteri pamanku yang aku sangat menyukainya. Aku pun sangat menginginkannya. Namun ia menolak cintaku. Hingga berlalu beberapa tahun, ia mendatangiku (karena sedang butuh uang). Aku pun memberinya 120 dinar. Namun pemberian itu dengan syarat ia mau tidur denganku (alias: berzina). Ia pun mau. Sampai ketika aku ingin menyetubuhinya, keluarlah dari lisannya, “Tidak halal bagimu membuka cincin kecuali dengan cara yang benar (maksudnya: barulah halal dengan nikah, bukan zina).” Aku pun langsung tercengang kaget dan pergi meninggalkannya padahal dialah yang paling kucintai. Aku pun meninggalkan emas (dinar) yang telah kuberikan untuknya. Ya Allah, jikalau aku mengerjakan sedemikian itu dengan niat benar-benar mengharapkan wajah-Mu, maka lepaskanlah kesukaran yang sedang kami hadapi dari batu besar yang menutupi kami ini.” Batu besar itu tiba-tiba terbuka lagi, namun mereka masih belum dapat keluar dari goa.

 قَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – وَقَالَ الثَّالِثُ اللَّهُمَّ إِنِّى اسْتَأْجَرْتُ أُجَرَاءَ فَأَعْطَيْتُهُمْ أَجْرَهُمْ ، غَيْرَ رَجُلٍ وَاحِدٍ تَرَكَ الَّذِى لَهُ وَذَهَبَ فَثَمَّرْتُ أَجْرَهُ حَتَّى كَثُرَتْ مِنْهُ الأَمْوَالُ ، فَجَاءَنِى بَعْدَ حِينٍ فَقَالَ يَا عَبْدَ اللَّهِ أَدِّ إِلَىَّ أَجْرِى . فَقُلْتُ لَهُ كُلُّ مَا تَرَى مِنْ أَجْرِكَ مِنَ الإِبِلِ وَالْبَقَرِ وَالْغَنَمِ وَالرَّقِيقِ . فَقَالَ يَا عَبْدَ اللَّهِ لاَ تَسْتَهْزِئْ بِى . فَقُلْتُ إِنِّى لاَ أَسْتَهْزِئُ بِكَ . فَأَخَذَهُ كُلَّهُ فَاسْتَاقَهُ فَلَمْ يَتْرُكْ مِنْهُ شَيْئًا ، اللَّهُمَّ فَإِنْ كُنْتُ فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَافْرُجْ عَنَّا مَا نَحْنُ فِيهِ . فَانْفَرَجَتِ الصَّخْرَةُ فَخَرَجُوا يَمْشُونَ »

 “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, lantas orang ketiga berdo’a, “Ya Allah, aku dahulu pernah mempekerjakan beberapa pegawai lantas aku memberikan gaji pada mereka. Namun ada satu yang tertinggal yang tidak aku beri. Malah uangnya aku kembangkan hingga menjadi harta melimpah. Suatu saat ia pun mendatangiku. Ia pun berkata padaku, “Wahai hamba Allah, bagaimana dengan upahku yang dulu?” Aku pun berkata padanya bahwa setiap yang ia lihat itulah hasil upahnya dahulu (yang telah dikembangkan), yaitu ada unta, sapi, kambing dan budak. Ia pun berkata, “Wahai hamba Allah, janganlah engkau bercanda.” Aku pun menjawab bahwa aku tidak sedang bercanda padanya. Aku lantas mengambil semua harta tersebut dan menyerahkan padanya tanpa tersisa sedikit pun. Ya Allah, jikalau aku mengerjakan sedemikian itu dengan niat benar-benar mengharapkan wajah-Mu, maka lepaskanlah kesukaran yang sedang kami hadapi dari batu besar yang menutupi kami ini”. Lantas goa yang tertutup sebelumnya pun terbuka, mereka keluar dan berjalan. (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari no. 2272 dan Muslim no. 2743)

Dengan ketaatan dan doa inilah kita akan tetap berada di dalam petunjuk dan kebenaran, sebagaimana disebutkan dalam lanjutan ayatnya,

لَعَلَّهُم يَرْشُدُون

"Agar mereka selalu berada dalam kebenaran"

Wallahu A'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar