Selasa, 28 Mei 2019

Ramadhan, Bulan Diturunkannya Al-Qur'an 


Tadabur Ayat-ayat Shaum 5

Oleh : Muhammad Atim

 شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ ۚ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۖ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۗ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ "

(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu bertemu dengan bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa padanya, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur." (QS. Al-Baqarah : 185). 

Diantara keistimewaan bulan Ramadhan yang secara khusus disebutkan di dalam ayat ini bahwa ia adalah waktu permulaan diturunkannya Al-Qur'an. Untuk itu, Ramadhan dan Al-Qur'an memiliki kaitan yang sangat kuat. Sebagaimana kita tahu, keresahan Rasulullah saw selama tiga tahun yang beliau iringi dengan menyendiri di gua hiro karena melihat kejahiliyahan masyarakatnya, menemukan jawabannya pada bulan Ramadhan dengan diturunkannya Al-Qur'an, wahyu pertama surat Al-'Alaq 1-5. Tepatnya hari Senin, yang menurut tahqiq ulama jatuh pada tanggal 21 Ramadhan tahun 1 Kenabian. Di usia beliau yang ke-40 tahun. 

Maka, tidak heran jika Ramadhan adalah waktu spesial dalam berinteraksi dengan Al-Qur'an. Sebagaimana hal itu dicontohkan oleh Rasulullah saw,

 عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدَ النَّاسِ وَكَانَ أَجْوَدُ مَا يَكُونُ فِي رَمَضَانَ حِينَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ وَكَانَ يَلْقَاهُ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ فَلَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدُ بِالْخَيْرِ مِنْ الرِّيحِ الْمُرْسَلَةِ 

 "Dari Ibnu 'Abbas berkata, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam adalah manusia yang paling dermawan, dan beliau lebih dermawan pada bulan Ramadlan ketika malaikat Jibril 'Alaihis Salam menemuinya, dan adalah Jibril 'Alaihis Salam mendatanginya setiap malam di bulan Ramadlan, dimana Jibril 'Alaihis Salam "me-mudarosah" / "bertadarus" Al-Qur'an bersama beliau. Sungguh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam jauh lebih dermawan/lembut daripada angin yang berhembus." (HR. Bukhari di lima tempat no. 6, 1902, 3220, 3554, 4997, Muslim no. 2309, dll). 

Dalam hadits di atas disebutkan kata مُدَارَسَة sebagai mashdar dari kata ُدَارَسَ يُدَارِس yang memiliki makna "musyarokah" (berarti saling, ada keaktifan dari kedua belah pihak), yang asal katanya ُدَرَسَ يَدْرُس yang asal maknanya melatih dan merutinkan sesuatu (lihat lisanul 'arob), juga bermakna mempelajari, membaca, mengingat-ingat, dan keseluruhan penggunaannya berkisar pada makna "mendapatkan dan menyisakan atsar (bekas/pengaruh)" "tanawul wa baqo al-atsar" (lihat al-mufrodat fi gharib al-Qur'an). 

Maka "mudarosah al-qur'an" maknanya adalah saling membaca, saling mengingat-ingat agar tetap terjaga hapalannya, saling mempelajari sehingga dapat dihasilkan makna-maknanya, yang dilakukan antara malaikat Jibril as dan Nabi Muhammad saw. 

Dalam redaksi lain dari hadits diatas dengan kata "ya'ridhu" (يعرض) yang berarti Rasulullah saw menyodorkan atau memperdengarkan Al-Qur'an kepada Jibril as, atau dalam bahasa lain "menyetorkan hapalan Al-Qur'an. 

Juga dengan redaksi "yu'aaridhu" (يعارض) yang berarti saling memperdengarkan bacaan Al-Qur'an. 

 Kata "mudarosah" juga semakna dengan kata "tadarus" yang disebutkan dalam hadits, 

 عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ تَعَالَى يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِمْ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمْ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمْ الْمَلَائِكَةُ وَذَكَرَهُمْ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ 

 "Dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda: "Tidaklah suatu kaum berkumpul di dalam rumah diantara rumah-rumah Allah ta'ala, membaca kitab Allah, dan saling mempelajarinya diantara mereka melainkan akan turun kepada mereka ketenangan, mereka diliputi rahmat, serta dikelilingi malaikat, dan Allah menyebut-nyebut mereka diantara malaikat yang ada di sisiNya." (HR. Abu Dawud no. 1455, dll). 

Muhammad Syamsul Haq Al-'Azhim Abadi menjelaskan kata "yatadarosunahu bainahum" (saling mempelajarinya diantara mereka) dengan "mereka berikutserta dalam membaca satu sama lain dan mengingat-ingatnya karena khawatir lupa" (lihat Aunul Ma'bud syarah Sunan Abi Dawud). 

Juga semakna dengan kata "ta'ahud" yang disebutkan dalam hadits, 

 عَنْ أَبِي مُوسَى عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تَعَاهَدُوا الْقُرْآنَ فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَهُوَ أَشَدُّ تَفَصِّيًا مِنْ الْإِبِلِ فِي عُقُلِهَا 

"Dari Abu Musa dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Peliharalah selalu Al-Qur`an, demi Dzat yang jiwaku berada di Tangan-Nya, sungguh ia cepat hilang daripada unta yang terikat." (HR. Bukhari no.5033, Muslim no. 791 dengan lafazh "tafallutan" pengganti dari lafazh "tafashshiyan"). 

Maka, interaksi dengan Al-Qur'an yang spesial pada bulan Ramadhan adalah dengan lebih banyak membaca, menghapal, memperdengarkan bacaan, mengkaji dan mentadaburi isi kandungannya. 

Ibnu Rajab Al-Hanbali mengomentari hadits mudarosah Al-Qur'an di atas, "Hadits ini juga menunjukkan dianjurkannya mengkaji Al-Qur'an pada bulan Ramadhan dan berkumpul untuk itu, dan memperdengarkannya kepada orang yang lebih hapal terhadapnya. Dan juga menjadi dalil dianjurkannya memperbanyak tilawah pada bulan Ramadhan. Di dalam hadits Fatimah ra dari ayahnya saw bahwa beliau mengabarkan kepadanya bahwa "Jibril as saling memperdengarkan bacaan Al-Quran bersama beliau sekali setiap tahun, dan pada tahun wafat beliau sebanyak dua kali". Dan pada hadits Ibnu Abbas bahwa "mudarosah" antara Jibril dengan beliau itu dilakukan pada malam hari. Ini menunjukkan dianjurkannya memperbanyak tilawah Al-Qur'an pada malam hari karena pada malam hari itu terputus berbagai kesibukan, berkumpulnya kesungguhan, hati dan lisan lebih siap untuk bertadabur, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta'ala, "Sesungguhnya bangun di malam hari itu lebih memberi sentuhan pada jiwa dan bacaannya lebih berbekas" (QS. Al-Muzammil : 6). Dan bulan Ramadhan memiliki kekhususan tersendiri dengan Al-Qur'an, sebagaimana firman-Nya, "Bulan Ramadhan yang diturunkan padanya Al-Qur'an" (QS. Al-Baqarah : 185). (Lathaiful Ma'arif, hal. 315) 

Oleh karena itu, salafush shaleh kita telah memberikan contoh dalam berinteraksi dengan Al-Qur'an secara spesial di bulan Ramadhan. Ibnu Rajab menyebutkan, 

"Siapa yang ingin menambah bacaan Al-Qur'an dan memanjangkannya, dalam keadaan ia shalat untuk dirinya maka panjangkanlah sekehendaknya, sebagaimana Nabi saw mengatakannya. Dan begitu juga siapa yang shalat dalam jama'ah yang mereka ridha terhadap shalatnya. Sebagian salaf mengkhatamkan Al-Qur'an dalam qiyam Ramadhan setiap tiga malam. Sebagian mereka dalam tujuh malam, diantaranya Qatadah. Dan sebagian mereka dalam sepuluh malam, diantaranya Abu Roja Al-'Athoridi. Salaf membaca Al-Qur'an pada bulan Ramadhan baik dalam shalat maupun di luar shalat. Al-Aswad membaca khatam Al-Qur'an di setiap dua malam pada Ramadhan. An-Nakho'i melakukan itu (khatam setiap dua malam) khusus pada sepuluh hari terakhir, dan pada hari lainnya di bulan Ramadhan setiap tiga hari. Qatadah khotam biasanya setiap tujuh malam, pada bulan Ramadhan setiap tiga malam, dan pada sepuluh hari terakhir setiap malam. Imam Syaf'i melakukan 60 kali khatam pada Ramadhan yang beliau baca di luar shalat. Dan diriwayatkan bahwa Abu Hanifah pun melakukan semacam itu. Qatadah mempelajari Al-Qur'an pada bulan Ramadhan. Az-Zuhri, apabila masuk Ramadhan ia berkata : "Bulan Ramadhan adalah tilawah Al-Qur'an dan memberi makan". 

Ibnu Abdi Hakam berkata : "Imam Malik apabila masuk Ramadhan beliau meninggalkan pembacaan hadits dan majelis ahli ilmu, beliau menghadap kepada tilawah Al-Qur'an dari mushaf. Abdur Razaq berkata : " Sufyan Ats-Tsauri apabila masuk Ramadhan ia meninggalkan berbagai ibadah dan menghadap kepada tilawah Al-Qur'an." (Lathaiful Ma'arif, hal. 318). 

Interaksi secara spesial dengan Al-Qur'an pada bulan Ramadhan itu adalah untuk lebih menghayati fungsi Al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia, sebagaimana disebutkan dalam lanjutan ayatnya,

 هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ ۚ 

 "Sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)."  

Perhatikanlah, dalam ayat di atas Al-Qur'an memiliki tiga fungsi yaitu: petunjuk, penjelasan-penjelasan dari petunjuk, dan pembeda antara yang haq dan yang batil. 

Ath-Tahabari menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan "al-huda" adalah manhaj yang menunjukkan manusia kepada jalan kebenaran. Dan "bayyinat minal huda" adalah berupa ketentuan-ketentuan Allah, kewajiban, halal dan haramnya." (Tafsir Ath-Thabari, jilid 1, hal.494). 

Ibnu Katsir menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan "al-huda" adalah petunjuk bagi hati hamba-hamba yang beriman, dan "bayyinat minal huda" adalah bukti-bukti dan argumentasi-argumentasi yang jelas bagi orang yang memahami dan mentadaburinya yang menunjukkan kebenaran petunjuk tersebut." (Tafsir Ibnu Katsir, jilid 1, hal. 502). 

Ibnu Asyur menjelaskan bahwa yang dimaksud "al-huda" adalah petunjuk kepada kemaslahatan umum dan kemaslahatan khusus yang tidak menafikan kemaslahatan umum. Sedangkan "bayyinat minal huda" adalah petunjuk tersembunyi yang diingkari oleh kebanyakan manusia seperti dalil-dalil tauhid, kebenaran rasul, dan yang lainnya". (At-Tahrir wat Tanwir, jilid 2, hal. 173). 

Wahbah Zuhaili menjelaskan : "Hikmah dalam penyebutan "wa bayyinatin minal huda wal furqon" setelah firman-Nya "huda linnaas", yaitu menunjukkan bahwa petunjuk itu ada dua macam: petunjuk yang tegas, jelas yang dapat dipahami akal biasa pada saat terbertik pertama kali, dan petunjuk yang tidak diketahui kecuali oleh orang khusus, dan yang pertama faidahnya lebih banyak". (Tafsir Al-Munir, jilid 1, hal. 501). 

Ibnu Juzay menjelaskan bahwa yang dimaksud "al-huda" pertama adalah petunjuk secara mutlak (global), dan "bayyinat minal huda" adalah petunjuk yang diperjelas (diperinci)". (At-Tashil li 'ulum at-tanzil, jilid 1, hal. 98). 

Ini memberi makna kepada kita bahwa Al-Qur'an itu petunjuknya ada yang bersifat global dan ada yang bersifat rinci, karena memang Al-Qur'an itu menjelaskan segala sesuatu (تبيانا لكل شيء) (QS. An-Nahl : 89) dan merinci segala sesuatu (تفصيل كل شيء) (QS. Yusuf : 111). 

Ketika petunjuk Al-Qur'an itu telah merasuk ke dalam diri kita maka ia akan dapat menyinari mata batin kita sehingga kita mampu untuk membedakan mana yang haq dan mana yang batil (al-furqon). 

Kemudian dijelaskan hukum shaum Ramadhan dalam tahap berikutnya yang tidak terdapat pilihan, 

 فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۖ 

"Karena itu, barangsiapa di antara kamu bertemu dengan bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa padanya" 

Artinya, seorang mukallaf (akil-balig) yang sudah layak dikenai kewajiban, yang bertemu dengan bulan Ramadhan, maka wajib baginya berpuasa sebulan penuh. Itulah hukum yang bersifat azimah. Lalu berikutnya kembali dijelaskan tentang rukhshah, supaya tidak menganggap bahwa setelah diwajibkan secara tegas, hukum rukhshah sebelumnya menjadi hilang. Ini untuk menegaskan bahwa hukum rukhshahnya masih tetap ada. Atau bagi yang berpemahaman bahwa ayat-ayat ini turun secara sekaligus tanpa ada tahapan, maka fungsinya ayat rukhshah pertama untuk menyegerakan kemudahan dari Allah bagi para pendengar ketika pertama kali mendengar kewajiban shaum, dan ayat rukhshah kedua adalah penjelasan setelah dijelaskan ketentuan waktunya. 

 وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۗ 

"Dan barangsiapa yang keadaannya sakit atau dalam perjalanan (dibolehkan baginya berbuka, lalu ia berbuka), maka (hendaklah ia mengganti shaum) pada sejumlah hari (yang ia berbuka) dari hari-hari yang lain" 

Lalu Allah menegaskan prinsip dalam pensyariatan ibadah shaum ini diantaranya dengan adanya rukhshah ini, dan juga menjadi prinsip dalam semua syariat, 

 يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ 

"Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesulitan bagi kalian". Dalam hadits juga disebutkan,

 إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ 

"Sesungguhnya agama ini mudah" (HR. Bukhari no. 38) 

Di akhir ayat ini disebutkan 4 hikmah atau alasan pensyariatan shaum bersamaan dengan adanya rukhshah di dalamnya, yaitu :

1. Allah memberi kemudahan 
2. Menyempurnakan bilangan 
3. Mengagungkan Allah atas hidayah yang telah Ia berikan 
4. Bersyukur

 وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ 

"Dan agar kalian menyempurnakan bilangannya" 

Maksudnya bilangan shaum selama sebulan penuh. Artinya, jika kita mengambil rukhshah karena udzur kita tetap harus menyempurnakan bilangannya dengan mengqadhanya di hari-hari yang lain, agar pahala yang kita dapatkan tetap sempurna.

 وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ 

 "Dan agar kalian mengagungkan Allah atas hidayah yang telah Ia berikan kepada kalian" 

Kita dapat melaksanakan shaum di bulan Ramadhan dan ibadah-ibadah lainnya, itu semua oleh sebab hidayah dari Allah, jika Allah tidak memberi hidayah, maka tidak mungkin kita dapat melakukannya, buktinya banyak orang yang menyia-nyiakan kesempatan istimewa Ramadhan ini. 

Karena ini semua adalah hidayah dari Allah, maka kita mesti mengagungkan-Nya, bertakbir kepada-Nya. Juga sebagai bukti bahwa kita melakukan ibadah pada bulan Ramadhan itu semata-mata untuk Allah Yang Maha Besar, bukan untuk hal-hal yang kecil dan sepele. Untuk itu, setelah shaum Ramadhan ini disyariatkan takbir, yaitu sejak keluarnya kita menuju shalat 'Idul Fitri hingga dilaksanakannya shalat 'Idul Fitri, bahkan dalam shalatnya pun bacaan takbirnya diperbanyak yaitu 7 kali di rakaat pertama dan 5 kali di rakaat kedua, sebagaimana dijelaskan di dalam sunnah Rasulullah saw. 

وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ 

 "Dan agar kalian bersyukur" 

Selain bertakbir atas hidayah, kita juga mesti bersyukur, mensyukuri ni'mat hidayah ini. Maka, hari 'Idul Fitri adalah hari yang penuh syukur, kita berbahagia bersama sebagai orang-orang yang beriman atas ketaatan yang dilakukan, membayar zakat fithri dan memberi makanan, memberi bingkisan dan uang tunjangan hari raya, dan memakai pakaian yang paling indah yang kita miliki tidak mesti baru, adalah sebagai ekspresi rasa syukur kita, yang semua itu kita lakukan semata-mata dalam rangka bersyukur kepada Allah, bukan untuk pamer dan membanggakan diri yang justru menghilangkan makna syukur itu sendiri. 

Sebagai bentuk syukur juga, kita menjaga ibadah dan ketakwaan yang telah kita usahakan pada bulan Ramadhan, jangan sampai selesai Ramadhan, selesai juga ibadah dan ketakwaan yang kita lakukan, dan malah kembali bergairah untuk melakukan berbagai kemaksiatan. Semoga Allah menjaga kita semua. Aamiin ya Rabbal 'Alamin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar