Kamis, 30 Mei 2019

Malam Hari Ramadhan


Tadabur Ayat-ayat Shaum - 7 

Oleh : Muhammad Atim

 أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَائِكُمْ ۚ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ ۗ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ ۖ فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ ۚ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ۖ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ ۚ وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ ۗ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ 

"Dihalalkan bagi kalian pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kalian; mereka adalah pakaian bagi kalian, dan kalianpun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kalian berkhianat terhadap diri kalian (tidak dapat menahan nafsumu), karena itu Allah mengampuni kalian dan memberi maaf kepada kalian. Maka sekarang campurilah mereka dan harapkanlah apa yang telah ditetapkan Allah untuk kalian, dan makan minumlah hingga terang bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kalian campuri mereka itu, sedang kalian beri'tikaf di dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kalian mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa." (QS. Al-Baqarah : 187). 

Sebagaimana telah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya bahwa pada tahap awal diwajibkan shaum Ramadhan, setelah berbuka lalu tidur, tidak boleh lagi makan, minum dan berhubugan suami istri sampai tiba waktu berbuka berikutnya. Hal ini terasa sulit dialami oleh para sahabat, hingga turunlah ayat ini sebagai keringanan berikutnya dari Allah SWT. Imam Bukhari meriwayatkan asbabun nuzul ayat ini, 

 عَنْ الْبَرَاءِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ الرَّجُلُ صَائِمًا فَحَضَرَ الْإِفْطَارُ فَنَامَ قَبْلَ أَنْ يُفْطِرَ لَمْ يَأْكُلْ لَيْلَتَهُ وَلَا يَوْمَهُ حَتَّى يُمْسِيَ وَإِنَّ قَيْسَ بْنَ صِرْمَةَ الْأَنْصَارِيَّ كَانَ صَائِمًا فَلَمَّا حَضَرَ الْإِفْطَارُ أَتَى امْرَأَتَهُ فَقَالَ لَهَا أَعِنْدَكِ طَعَامٌ قَالَتْ لَا وَلَكِنْ أَنْطَلِقُ فَأَطْلُبُ لَكَ وَكَانَ يَوْمَهُ يَعْمَلُ فَغَلَبَتْهُ عَيْنَاهُ فَجَاءَتْهُ امْرَأَتُهُ فَلَمَّا رَأَتْهُ قَالَتْ خَيْبَةً لَكَ فَلَمَّا انْتَصَفَ النَّهَارُ غُشِيَ عَلَيْهِ فَذُكِرَ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ { أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ } فَفَرِحُوا بِهَا فَرَحًا شَدِيدًا وَنَزَلَتْ { وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمْ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنْ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ } 

 "Dari Al Bara' radliallahu 'anhu berkata; "Diantara para sahabat Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam ada seseorang apabila sedang shaum lalu tiba waktu berbuka dia pergi tidur sebelum berbuka sehingga dia tidak memakan sesuatu pada malam dan siang hari hingga petang hari. Dan pada suatu ketika Qais bin Shirmah Al Anshariy ketika sedang melaksanakan shaum lalu tiba waktu berbuka dia mendatangi isterinya seraya berkata, kepada isterinya: "Apakah kamu punya makanan?" Isterinya berkata: "Tidak, namun aku akan keluar mencari makanan buatmu". Kemudian di siang harinya dia bekerja keras hingga mengantuk lalu tertidur. Kemudian isterinya datang. Ketika isterinya melihat dia (sedang tertidur), isterinya berkata: "Rugilah kamu". Kemudian pada tengah harinya Qais jatuh pingsan. Lalu persoalan ini diadukan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, maka turunlah firman Allah Ta'ala QS Al Baqarah ayat 197 yang artinya: ("Dihalalkan bagi kalian pada malam bulan puasa bercampur dengan isttri-isteri kalian"). Dengan turunnya ayat ini para sahabat merasa sangat senang, hingga kemudian turun sambungan ayatnya: ("Dan makan minumlah kalian hingga terang bagi kalian benang putih dari benang hitam yaitu di waktu fajar"). (HR. Bukhari no. 1915). 

 Turunnya ayat tersebut berdasarkan kejadian di atas belumlah turun secara utuh, yaitu belum diturunkannya kata "minal fajri" (dari waktu fajar/shubuh), sehingga para sahabat kurang memahami makna dari benang putih dan benang hitam, seperti dikisahkan dalam riwayat berikut ini, 

 عَنْ عَدِيِّ بْنِ حَاتِمٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ لَمَّا نَزَلَتْ { حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمْ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنْ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ } عَمَدْتُ إِلَى عِقَالٍ أَسْوَدَ وَإِلَى عِقَالٍ أَبْيَضَ فَجَعَلْتُهُمَا تَحْتَ وِسَادَتِي فَجَعَلْتُ أَنْظُرُ فِي اللَّيْلِ فَلَا يَسْتَبِينُ لِي فَغَدَوْتُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرْتُ لَهُ ذَلِكَ فَقَالَ إِنَّمَا ذَلِكَ سَوَادُ اللَّيْلِ وَبَيَاضُ النَّهَارِ 

 "Dari 'Adi bin Hatim radliallahu 'anhu berkata: Ketika turun QS Al Baqarah ayat 187 ("… hingga terang bagi kalian benang putih dari benang hitam"), maka aku mengambil benang hitam dan benang putih lalu aku letakkan di bawah bantalku untuk aku lihat pada sebagian malam namun tidak tampak olehku. Maka di pagi harinya aku menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam lalu aku ceritakan hal tadi. Maka Beliau bersabda: "Sesungguhnya yang dimaksud dengan ayat itu adalah gelapnya malam dan terangya siang". (HR. Bukhari no. 1916). 

 عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ قَالَ أُنْزِلَتْ { وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمْ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنْ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ } وَلَمْ يَنْزِلْ { مِنْ الْفَجْرِ } فَكَانَ رِجَالٌ إِذَا أَرَادُوا الصَّوْمَ رَبَطَ أَحَدُهُمْ فِي رِجْلِهِ الْخَيْطَ الْأَبْيَضَ وَالْخَيْطَ الْأَسْوَدَ وَلَمْ يَزَلْ يَأْكُلُ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُ رُؤْيَتُهُمَا فَأَنْزَلَ اللَّهُ بَعْدُ { مِنْ الْفَجْرِ } فَعَلِمُوا أَنَّهُ إِنَّمَا يَعْنِي اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ 

 "Dari Sahal bin Sa'ad berkata: Ketika turun ayat ("Dan makan minumlah kalian hingga terang bagi kalian benang putih dari benang hitam") dan belum diturunkan ayat lanjutannya yaitu ("dari fajar"), ada diantara orang-orang apabila hendak shaum seseorang yang mengikat seutas benang putih dan benang hitam pada kakinya yang dia senantiasa meneruskan makannya hingga jelas terlihat perbedaan benang-benang itu. Maka Allah Ta'ala kemudian menurunkan ayat lanjutannya ("dari fajar"). Dari situ mereka mengetahui bahwa yang dimaksud (dengan benang hitam dan putih) adalah malam dan siang". (HR. Bukhari no. 1917).

 Juga, sebelum turun ayat ini, para sahabat tidak mendekati istrinya sama sekali, dan hal itu terasa berat bagi mereka, maka turunlah ayat ini sebagai keringanan, 

 عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ قَالَ سَمِعْتُ الْبَرَاءَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَمَّا نَزَلَ صَوْمُ رَمَضَانَ كَانُوا لَا يَقْرَبُونَ النِّسَاءَ رَمَضَانَ كُلَّهُ وَكَانَ رِجَالٌ يَخُونُونَ أَنْفُسَهُمْ فَأَنْزَلَ اللَّهُ { عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ } 

 "Dari Abu Ishaq dia berkata; Aku mendengar Al Barra radliallahu 'anhu, -tatkala diperintahkan puasa Ramadlan, orang-orang tidak mau mendekati para wanita sepanjang bulan Ramadlah tersebut. Dan ada beberapa orang yang mengkhianati dirinya sendiri. Maka Allah menurunkan ayat; "Allah mengetahui bahwa kalian tidak dapat menahan diri kalian sendiri. Maka Dia menerima taubat kalian dan memaafkan kalian." (HR. Bukhari no. 4508). 

 Dengan ayat ini jelaslah bahwa malam hari di bulan Ramadhan dihalalkan apa yang diharamkan bagi orang yang shaum, yaitu makan, minum dan berhubungan suami istri. Meskipun para ulama berbeda pendapat tentang diharamkannya hal itu pada malam hari pada ketentuan sebelumnya, apakah hal itu benar-benar syariat dari Allah ataukah inisiatif orang-orang beriman, yaitu mengikuti tatacara shaum orang-orang nashrani? 

 Jika dianggap sebagai syariat dari Allah, hal itu bukanlah suatu kemudahan apalagi di tahap awal diwajibkannya shaum, yaitu shaum selama siang dan malam dan hanya sebentar waktu untuk berbuka, ini bertentangan dengan prinsip kemudahan dalam syariat Allah. Namun jika dianggap bukan syariat dari Allah tapi inisiatif orang-orang beriman saja, dalam ayat ini ada kata-kata yang tegas bahwa memang sebelumnya diharamkan, yaitu dengan kata "dihalalkan" menunjukkan sebelumnya diharamkan, kata "kalian berkhianat" artinya mengkhianati suatu ketentuan dari Allah, lalu kata "Allah menerima taubat dan memaafkan kalian".

 Terlepas dari perbedaan tersebut, yang jelas para sahabat memang telah melewati fase itu dan saat itu mereka melakukan shaum yang sama dengan ahlul kitab yaitu orang-orang nashrani, dan dengan turunnya ayat ini sebagai pembeda dari mereka, bahwa bagi kaum muslimin diberikan kekhususan adanya syariat makan sahur, sebagaimana imam Bukhari mencantumkan dua riwayat pertama di atas sebagai permulaan disyariatkannya sahur. 

 Ibnu Hajar Al-'Asqolani menjelaskan : "Sebagaimana dikeluarkan oleh Ibnu Jarir dari jalur As-Suddi dan lafazhnya, "Telah diwajibkan shaum bagi orang-orang nashrani, diwajibkan atas mereka untuk tidak makan, minum dan berhubungan suami istri setelah tidur, dan diwajibkan atas orang-orang muslim saat pertama kali seperti itu hingga menghadaplah seorang lelaki dari Anshar, lalu ia menyebutkan kisah tersebut. Dan dari jalur Ibrahim At-Taimi "Dahulu orang-orang muslim pada awal Islam mereka melakukan (shaum) seperti yang dilakukan oleh orang-orang ahlul kitab : apabila tidur salah seorang dari kalian ia tidak boleh makan sampai datang malam berikutnya". Ini dikuatkan oleh apa yang dikeluarkan oleh Muslim dari hadits Amr bin 'Ash secara marfu' : "Pembeda antara shaum kita dan shaum ahli kitab adalah makan sahur". (Fathul Bari, jilid 4, hal. 167). 

 Kata "rofats" di sini digunakan secara kinayah untuk makna jima', kata "ila" yang disebutkan setelahnya lebih menunjukkan makna tersebut, yaitu bahwa seorang suami "mendatangi" istrinya. 

 Penyebutan istri adalah pakaian bagi suami dan sebaliknya suami adalah pakaian bagi istri, mengandung makna yang mendalam tentang hakikat hubungan suami istri. Seperti halnya pakaian, ia melekat, menutupi satu sama lain, saling melindugi, saling memberi kenyamanan. Dengan keadaan yang seperti ini, tentu sulit bagi suami istri untuk dipisahkan tanpa berhubungan selama sebulan penuh. Allah Pencipta manusia, tentu Maha Tahu terhadap ciptaan-Nya, maka ia menurunkan syariat yang sesuai dengan fitrah penciptaan-Nya. 

 Oleh karena itu, Allah menyebutkan setelahnya, 

 عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ ۖ فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ ۚ 

 "Allah mengetahui bahwasanya kalian berkhianat terhadap diri kalian (tidak dapat menahan nafsumu), karena itu Allah mengampuni kalian dan memberi maaf kepada kalian. Maka sekarang campurilah mereka dan harapkanlah apa yang telah ditetapkan Allah untuk kalian" 

 Makna yang paling sesuai dari "yang telah ditetapkan Allah untuk kalian" dengan konteks ayat ini adalah keturunan. Jadi, suatu hikmah dari pernikahan dan berhubungan antara suami istri adalah berharap keturunan. Terlebih, ini berkaitan dengan malam-malam di bulan Ramadhan yang ada keberkahan di dalamnya, maka diharapkan didapatkan pula keberkahan dengan lahirnya keturunan. Karena Islam sangat mendorong umatnya untuk memperbanyak keturunan, yang menjadi kebanggaan bagi Rasulullah saw di hari kiamat dengan banyaknya umat beliau.

 Setelahnya disebutkan,

 وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ۖ 

 "Dan makan minumlah hingga terang bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar". 

 Setelah berhubungan suami istri, makan dan minum dihalalkan di sepanjang malam-malam Ramadhan hingga fajar tiba. Dijelaskan tentang penghalalan berhubungan suami istri terlebih dahulu, baru kemudian makan dan minum, ini menunjukkan bahwa tidak berhubungan suami istri di malam hari itu lebih berat daripada tidak makan dan minum. 

Kata "benang hitam" adalah isti'aroh (kata pinjaman) yang bermakna malam, begitu pula "benang putih" yang bermakna siang. Dan kata "yaitu fajar" sebagai penegasan makna tersebut. 

 Makan dan minum sebelum fajar atau berkumandangnya adzan Shubuh adalah syariat sahur sebagaimana dijelaskan dalam hadits. 

 Untuk itu imam Bukhari setelah menyebutkan riwayat-riwayat berkenaan dengan ayat ini, lalu menyebutkan hadits-hadits tentang sahur, diantaranya :

 عَنْ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السَّحُورِ بَرَكَةً

 "Dari Anas bin Malik radliallahu 'anhu berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Bersahurlah kalian, karena didalam sahur ada barakah". (HR. Bukhari no. 1923). 

 Dan merupakan sunnah Rasulullah saw untuk mengakhirkan sahur, agar memang sahur tersebut memberikan kekuatan selama shaum. Diantaranya yang ditunjukkan oleh hadits berikut ini,

 عَنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ تَسَحَّرْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ قُلْتُ كَمْ كَانَ بَيْنَ الْأَذَانِ وَالسَّحُورِ قَالَ قَدْرُ خَمْسِينَ آيَةً

 "Dari Zaid bin Tsabit radliallahu 'anhu berkata: "Kami pernah makan sahur bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kemudian Beliau pergi untuk melaksanakan shalat. Aku bertanya: "Berapa antara adzan (Shubuh) dan sahur?". Dia menjawab: "Sebanyak ukuran bacaan lima puluh ayat". (HR. Bukhari no. 1921). 

 Tibanya waktu shubuh adalah batas dari sahur sekaligus juga awal dimulainya shaum. Maka selanjutnya disebutkan tentang batasan shaum,

 ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ ۚ 

 "Kemudian sempurnakanlah shaum hingga malam" 

 Di sini menggunakan kata "sempurnakanlah" tidak "shaumlah" karena memang sedang menjelaskan tentang batas akhir shaum. Akhir shaum itu adalah dengan datangnya malam, dan awal malam itu dimulai dengan tibanya waktu maghrib. Dalam ayat ini menggunakan kata "ila" sebagai batasan, berbeda dengan sebelumnya menggunakan "hatta", yang menunjukkan makna untuk disegerakannya berbuka, dan hal itu ditegaskan di dalam hadits,

 عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ

 "Dari Sahal bin Sa'ad bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Senantiasa manusia berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka". (HR. Bukhari no. 1957, Muslim no. 1098). 

Selanjutnya dijelaskan tentang syariat I'tikaf,

 وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ ۗ 

 "Dan janganlah kalian campuri mereka sedangkan kalian dalam keadaan beri'tikaf di masjid-masjid". 

 Ayat ini menjadi dasar adanya syariat i'tikaf, dan perinciannya terdapat di dalam hadits-hadits. Sehingga menjadi suatu tradisi para ulama di dalam kitab-kitab hadits dan fiqih yang mereka tulis, di dalam bab shaum selalu diikuti setelahnya dengan bab i'tikaf. I'tikaf maknanya adalah "berdiam diri di dalam masjid dengan niat taqorrub kepada Allah". Pelaksanaannya secara syariat dicontohkan oleh Rasulullah saw di sepuluh hari terakhir, dan pernah juga beliau melakukannya selama dua puluh hari. Dan ketentuan i'tikaf itu tidak boleh keluar masjid kecuali kebutuhan-kebutuhan yang sangat mendesak seperti kencing, buang air besar, mandi, termasuk juga mencuci jika tidak ada yang mencucikan, dan juga mengambil makan jika tidak ada yang mengambilkan, dan tidak boleh menjenguk orang sakit dan mengurus jenazah. Termasuk dalam ayat ini dilarang bercampur (mubasyaroh) maksudnya berhubungan suami istri, karena hal itu adalah yang membatalkan i'tikaf.

 عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ 

 "Dari 'Aisyah radliallahu 'anha, isteri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beri'tikaf pada sepuluh hari yang akhir dari Ramadhan hingga wafatnya kemudian isteri-isteri eliau beri'tikaf setelah kepergian beliau." (HR. Bukhari no. 2026).

 عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ فِي كُلِّ رَمَضَانٍ عَشْرَةَ أَيَّامٍ فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الَّذِي قُبِضَ فِيهِ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا 

 "Dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam selalu beri'tikaf pada bulan Ramadhan selama sepuluh hari. Namun pada tahun wafatnya, Beliau beri'tikaf selama dua puluh hari". (HR. Bukhari no. 2044).

 عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ وَإِنْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيُدْخِلُ عَلَيَّ رَأْسَهُ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ فَأُرَجِّلُهُ وَكَانَ لَا يَدْخُلُ الْبَيْتَ إِلَّا لِحَاجَةٍ إِذَا كَانَ مُعْتَكِفًا 

 "Dari 'Aisyah radliallahu 'anha isteri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkata: "Sungguh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah menjulurkan kepala Beliau kepadaku ketika sedang berada di masjid lalu aku menyisir rambut Beliau. Dan Beliau tidaklah masuk ke rumah kecuali ketika ada keperluan mendesak apabila Beliau sedang beri'tikaf". (HR. Bukhari no. 2029). 

 I'tikaf ini tujuannya adalah untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah, lebih banyak bersimpuh dan bermunajat kepada Allah, berkomunikasi dengan Allah dengan dzikir, doa dan membaca Al-Qur'an yang disertai tadabur, jika kita ingin berbicara kepada Allah, maka bicaralah lewat dzikir dan doa, dan jika kita ingin Allah berbicara kepada kita, bacalah Al-Qur'an karena sesungguhnya Allah sedang berbicara kepada kita melalui ayat-ayat-Nya di dalam Al-Qur'an. Aktifitas ibadah ini dilakukan secara khusus di malam hari, dalam rangka menghidupkan malam-malamnya, dan terkhusus kita mengharapkan agar mendapatkan satu malam yang disebut lailatul Qodar yang ibadah pada malam itu lebih baik dari seribu bulan.

 عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ وَأَحْيَا لَيْلَهُ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ 

 "Dari 'Aisyah radliallahu 'anha berkata: "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bila memasuki sepuluh akhir (dari bulan Ramadhan), Beliau mengencangkan sarung Beliau, menghidupkan malamnya dengan ber'ibadah dan membangunkan keluarga Beliau". (HR. Bukhari no. 2024).

 عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُجَاوِرُ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ وَيَقُولُ تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ 

 "Dari 'Aisyah radliallahu 'anha berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam beri'tikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan dan bersabda: "Carilah Lailatul Qadar pada sepuluh malam yang akhir dari Ramadhan". (HR. Bukhari no. 2019).

 Dengan ayat i'tikaf dan hadits-hadits yang berkaitan dengannya sebagai penjelasannya ini, menjadi pengingat bagi kita agar malam-malam Ramadhan ini jangan hanya dilalui dengan pemenuhan kebutuhan biologis saja, tapi justru ia adalah saat-saat yang istimewa dan penuh berkah untuk lebih bersungguh-sungguh dalam beribadah, dan secara lebih khusus lagi di sepuluh malam terakhirnya.

 Kemudian di akhir ayat Allah menyebutkan,

 تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ 

 "Itulah larangan Allah, maka janganlah kalian mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa." 

 Larangan-larangan yang Allah sebutkan berkenaan dengan shaum dan i'tikaf itu adalah batas-batas dari Allah agar jangan dilabrak, bahkan jangankan dilabrak, didekati saja jangan. Ini mengandung makna, kita harus bersungguh-sungguh dalam menjauhi hal-hal yang dapat membatalkan shaum dan i'tikaf kita. Allah jelaskan ayat-ayat hukum-Nya itu adalah agar kita bertakwa, menjauhi hal-hal yang dilarang oleh-Nya. Karena jika hukum-hukum itu telah dijelaskan sejelas-jelasnya, lalu apalagi alasan untuk melanggarnya? Para sahabat yang saat itu ada yang terjerumus ke dalam kesalahan karena memang masih dalam proses dan tahapan turunnya syariat, sedangkan saat ini syariat itu telah sempurna, maka kita mesti bersungguh-sungguh dalam menjalankannya.

 Wallahu A'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar