Rabu, 26 Juni 2019

Manusia Jika Tanpa Ulama



Allah SWT menurunkan petunjuk yang tertuang di dalam Al-Qur'an dan Sunnah sebagai inti ajaran Islam adalah untuk kemaslahatan manusia. Kemaslahatan tersebut tidak hanya akan dirasakan oleh orang-orang muslim saja, orang-orang non-muslim pun akan merasakannya meskipun terbatas pada urusan duniawinya.
Mushaf Al-Qur'an dan kitab-kitab Hadits tidak akan memberi manfaat bagi manusia jika tanpa ada ulama yang memahamkan makna dan maksud yang terkandung di dalamnya, menyimpulkan hukum-hukumnya dan menerapkannya ke dalam realita. Melalui ulama, petunjuk Allah dapat diterapkan di dalam kehidupan, baik berkenaan dengan urusan pribadi seorang muslim, aturan dalam keluarga, aturan dalam masyarakat, dan aturan dalam negara.
Jika suatu penduduk negeri ingin mendapatkan kemaslahatan dan keberkahan yang datang dari langit dan bumi, hendaklah para pemimpin yang diberi tanggungjawab mengurus negeri tersebut menerapkan petunjuk Allah, sebagai bukti keimanan dan ketakwaan mereka kepada Allah SWT. Maka dalam prakteknya, mereka mesti memiliki perangkat ilmu untuk memahami dan menerapkan petunjuk Allah tersebut. Untuk itu, sudah barang tentu seorang pemimpin itu tidak boleh orang yang bodoh terhadap ajaran Islam. Idealnya ia adalah seseorang yang mampu berijtihad. Selain itu, karena betapa pentingnya ajaran Islam dalam memajukan suatu negeri, maka para ulama yang memiliki ilmu tinggi terhadap ajaran Islam harus ditempatkan pada posisi yang tinggi di dalam negara, baik peran mereka sebagai pengajar, pemberi fatwa atau hakim (qadhi) yang memutuskan hukum berbagai perkara, dan dengan mengacu kepada ilmu merekalah berbagai kebijakan dalam negara ditetapkan. Termasuk penanaman dan pengajaran ilmu-ilmu ajaran Islam harus menjadi prioritas dalam suatu negara, agar lahir para ulama yang menerangi kehidupan manusia tersebut. Karena merekalah yang meneruskan tugas kenabian, pewaris para Nabi.
Jika tidak seperti itu, petunjuk Allah diabaikan dan peran ulama tidak ditegakkan dalam suatu negeri dan dalam kehidupan, maka negeri tersebut tidak akan diberkahi oleh Allah. Sebaliknya, Allah akan mengadzab mereka baik di dunia maupun di akhirat. Bentuk adzab di dunia adalah dengan kesengsaraan yang mereka rasakan, ketidaktentraman hidup, berbagai permasalahan yang tidak pernah selesai, dan kerusakan demi kerusakan yang terjadi di negeri tersebut. Para pemimpinnya tersesat dan membawa rakyatnya ke jurang kesesatan. Mereka mengikuti hawa nafsu mereka, hingga tak ada bedanya dengan binatang. Karena mereka hanya memperhatikan kehidupan fisik mereka saja, sedangkan para ulama itulah dengan ilmu dan ketakwaannya membimbing rohani manusia ke jalan kebenaran.
Imam Bukhari rahimahullah di dalam shahihnya di dalam kitab ilmu mencantumkan bab "Bagaimana dicabutnya Ilmu". Beliau memberi sedikit ulasan tentang apa yang dilakukan oleh khalifah Umar bin Abdul 'Aziz rahimahullah :
باب كيف يقبض العلم وكتب عمر بن عبد العزيز إلى أبي بكر بن حزم انظر ما كان من حديث رسول الله صلى الله عليه وسلم فاكتبه فإني خفت دروس العلم وذهاب العلماء ولا تقبل إلا حديث النبي صلى الله عليه وسلم ولتفشوا العلم ولتجلسوا حتى يعلم من لا يعلم فإن العلم لا يهلك حتى يكون سرا
"Bab bagaimana dicabutnya ilmu". Umar bin Abdul Aziz menulis kepada Abu Bakar bin Hazm : "Lihatlah keberadaan (kumpulkanlah) hadits Rasulullah saw, lalu tulislah ia, sesungguhnya aku khawatir lenyapnya ilmu dan hilangnya para ulama, dan janganlah engkau terima selain hadits Nabi saw. Agar mereka menyebarkan ilmu dan mengadakan majelis agar orang yang tidak tahu dapat diajarkan, karena sesungguhnya ilmu itu tidak akan lenyap kecuali dengan cara perlahan."
Lalu imam Bukhari mengemukakan hadits, ia berkata :
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ أَبِي أُوَيْسٍ قَالَ حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
قَالَ الْفِرَبْرِيُّ حَدَّثَنَا عَبَّاسٌ قَالَ حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ هِشَامٍ نَحْوَهُ
Telah menceritakan kepada kami Isma'il bin Abu Uwais berkata, telah menceritakan kepadaku Malik dari Hisyam bin 'Urwah dari bapaknya dari Abdullah bin 'Amru bin Al 'Ash berkata; aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan". Berkata Al Firabri Telah menceritakan kepada kami 'Abbas berkata, Telah menceritakan kepada kami Qutaibah Telah menceritakan kepada kami Jarir dari Hisyam seperti ini juga. (HR. Bukhari no.100).
Lihatlah, Umar bin Abdul Aziz seorang khalifah yang adil bahkan dinobatkan sebagai khalifah rasyidah yang kelima, ia adalah seorang memimpin yang 'alim, paham terhadap ajaran Islam dan mampu berijtihad. Ia tidak mau memimpin dan membiarkan manusia tersesat tanpa petunjuk Allah, dalam hal ini hadits-hadits Rasulullah saw.
Ketika kondisi manusia tidak lagi seperti zaman sahabat yang senantiasa menjaga hadits-hadits Rasulullah saw dengan hapalan mereka, ia khawatir hadits-hadits tersebut lenyap, maka ia memerintahkan kepada Abu Bakar bin Hazm, salah seorang ulama besar pada saat itu, untuk menuliskan hadits-hadits tersebut. Maka dalam sejarah ilmu hadits, perintah Umar bin Abdul Aziz inilah merupakan awal dibukukannya hadits Nabi saw.
Umar bin Abdul Aziz rahimahullah telah menempatkan posisi ilmu dan para ulama dalam kehidupan dan pemerintahannya di tempat yang tepat, dan menjadikannya sebagai acuan di dalam menjalankan pemerintahannya. Maka lihatlah bagaimana kondisi kehidupan di bawah pemerintahannya? Makmur dan sejahtera luar biasa, penuh dengan keberkahan.
Itulah peran penting ulama yang menyinari kehidupan, tonggak berdirinya suatu negeri. Jika tanpa mereka dan peran mereka yang difungsikan, niscaya manusia tersesat bagaikan binatang.
Benarlah apa yang dikatakan oleh salafushaleh kita, diantaranya Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata :
العلماء سرج الأزمنة فكل عالم مصباح زمانه يستضئ أهل عصره ولولا العلماء لصار الناس كالبهائم
"Para ulama adalah pelita zaman, maka setiap orang 'alim adalah pelita zamannya yang menerangi manusia di zamannya, kalaulah tanpa ulama niscaya manusia menjadi seperti binatang".
(Muhammad Atim, Markaz Ilmu Syar’i)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar