Kamis, 02 Maret 2017

Abdullah bin Abbas ra, Ulama Muda



“Dia adalah Pemuda Pemilik lisan yang senantiasa bertanya dan Hati yang Berakal”. (Umar bin Khattab ra)
Dia adalah tokoh sahabat ternama yang memiliki kemuliaan dari dirinya. Ia tidak pernah ketinggalan untuk mendapatkan kemuliaan. Pada dirinya telah terkumpul kemuliaan menjadi seorang sahabat Rasul, meski ia lahir terlambat namun ia mendapatkan kemuliaan menjadi salah seorang sahabat Nabi Saw.
Ia juga mendapatkan kemuliaan karena masih ada hubungan kerabat dengan Rasulullah saw. Dia adalah sepupu Rasulullah Saw. Ia juga mendapatkan kemuliaan atas ilmunya, sebab ia adalah tinta ummat Muhammad (memiliki ilmu luas), dan lautan ilmu ummat Muhammad Saw. Ia juga mendapatkan kemuliaan atas ketaqwaan yang dimilikinya. Ia adalah orang yang senantiasa puasa di siang hari dan melakukan qiyam pada malam hari. Sering beristighfar pada waktu sahur, menangis karena takut kepada Allah Swt sehingga air mata membasahi kedua pipinya.
Dialah Abdullah bin Abbas sebagai seorang Rabbani (memiliki ilmu dan takut kepada Alloh) ummat Muhammad. Dia adalah orang yang paling mengerti tentang Kitabullah di antara ummat Muhammad. Dia adalah orang yang paling paham tentang ta’wil (tafsir) Al Qur’an, paling mampu menyelaminya dan memahami tujuan dan rahasia Al Qur’an.
Ibnu Abbas dilahirkan 3 tahun sebelum hijrah. Saat Rasulullah Saw wafat, dia baru berusia 13 tahun. Meski demikian ia telah mampu menghapalkan 1660 hadits dari Nabi Saw yang dituliskan oleh Bukhari dan Muslim dalam kitab shahih mereka berdua.
Begitu ibunya melahirkan Abdullah, ia membawanya menghadap Rasulullah Saw untuk ditahniq (dikunyahkan) dengan ludah Beliau. Maka hal yang pertama kali masuk ke dalam perut Ibnu Abbas adalah air liur Rasul Saw yang suci dan penuh berkah. Beserta dengan air liur tersebut, masuk juga ke dalam lambungnya ketaqwaan dan hikmah. “Siapa yang diberi hikmah, maka ia telah diberi kebaikan yang banyak.” (QS. al-Baqarah [2] : 269)
Begitu pemuda berbangsa Hasyimi tumbuh dewasa dan menginjak usia tamyiz (usia 7 tahun, dan ada pendapat yang mengatakan berbeda), ia selalu mendampingi Rasulullah Saw seperti layaknya seorang saudara. Ibnu Abbas menyiapkan air jika Rasulullah Saw hendak berwudhu. Ia melakukan shalat di belakang Rasulullah. Setiap kali Rasulullah Saw bepergian, Ibnu Abbas selalu berada di belakang Rasul dalam kendaraan yang sama. Sehingga ia bagaikan bayangan yang selalu mengikuti Rasul apabila Beliau berjalan. Ia selalu berada di sekeliling Rasul, dimana saja Beliau berada. Dalam semua kondisi tadi, Ibnu Abbas selalu membawa hati yang hidup, pikiran yang jernih dan menghapalkan apa saja sehingga ia dapat mengalahkan semua alat rekam yang dikenal pada zaman modern ini.
Ia bercerita tentang dirinya: “Suatu saat Rasulullah Saw hendak berwudhu. Lalu aku segera menyiapkan air untuk Beliau sehingga Beliau senang dengan apa yang aku lakukan. Tatkala Beliau hendak melakukan shalat, Beliau memberikan isyarat kepadaku supaya aku berdiri di sampingnya, dan aku pun berdiri di belakang Beliau. Begitu shalat usai, Beliau menoleh ke arahku dan bersabda: “Mengapa engkau tidak berdiri di sampingku, ya Abdullah?” Aku menjawab: “Engkau adalah manusia terhormat dalam pandanganku dan aku tidak pantas berdiri di sampingmu.”
Kemudian Beliau mengangkat kedua tangannya ke arah langit seraya berdo’a: “Ya Allah, berikanlah kepadanya hikmah!” (Sumber kisah ini terdapat dalam Bukhari, Muslim dan Musnad Imam Ahmad bin Hanbal). Allah telah mengabulkan do’a Nabi-Nya Saw sehingga Allah memberikan pemuda Al Hasyimi ini sebagian hikmah yang mengalahkan kehebatan para ahli hikmah terbesar. Tidak dipungkiri bahwa Anda ingin mengetahui sebuah kisah hikmah milik Abdullah bin Abbas. Inilah sebagian kisahnya dan Anda akan mendapati apa yang Anda cari:
Tatkala sebagian pendukung Ali meninggalkannya, dan menyalahkan Ali dalam konflik yang terjadi antara dia dan Muawiyah ra. Abdullah bin Abbas berkata kepada Ali ra: “Izinkan aku, wahai Amirul Mukminin untuk mendatangi kaummu dan berbicara kepada mereka!” Ali menjawab: “Aku khawatir terhadap keselamatanmu dari kejahatan mereka.” Ibnu Abbas menjawab: “Insya Allah, tidak.” Kemudian Ibnu Abbas mendatangi mereka dan ia belum pernah melihat kaum yang lebih giat beribadah daripada mereka. Mereka berkata: “Selamat datang kepadamu, ya Ibnu Abbas! Ada apa engkau datang ke sini?!” Ia menjawab: “Aku datang untuk berbicara kepada kalian.” Sebagian mereka berseru: “Jangan kalian berbicara dengannya!” Sebagian lain dari mereka berkata: “Katakanlah, kami akan mendengarkannya darimu!” Ibnu Abbas berkata: “Ceritakanlah kepadaku apa yang kalian tidak sukai dari sepupu Rasulullah, dan suami dari putri Beliau serta orang yang pertama kali beriman kepada Beliau (Ali ra)?!” Mereka menjawab: “Kami tidak menyukai tiga perkara dari dirinya!” Ibnu Abbas bertanya: “Apa saja?” Mereka menjawab: “Pertama: ia telah mengangkat orang untuk memberikan keputusan dalam agama Allah (Maksudnya adalah Ali menerima keputusan antara dirinya dengan Muawiyah yang dilakukan oleh Abu Musa Al Asy’ari dan Amr bin Ash). Kedua: ia telah berperang melawan Aisyah dan Mu’awiyah, dan tidak mengambil ghanimah serta budak. Ketiga: Ia menghapuskan gelar Amirul Mukminin dari dirinya padahal kaum muslimin telah berbaiat kepadanya dan menjadikan dirinya sebagai amir mereka.” Ibnu Abbas menjawab: “Bagaimana pendapat kalian kalau aku membacakan kepada kalian beberapa ayat dari Kitabullah dan hadits dari Rasulullah yang kalian tidak pungkiri kebenarannya. Apakah kalian akan menarik ucapan kalian ini?” Mereka menjawab: “Baiklah!”
Ibnu Abbas berkata: “Perkataan kalian bahwa ia telah mengangkat orang untuk memberikan keputusan dalam agama Allah. Maka Allah Swt berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa diantara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu.” (QS. al-Maidah [5] : 95). Aku bersumpah kepada Allah dihadapan kalian, apakah keputusan orang dalam menjaga darah dan jiwa mereka serta menjaga hubungan baik di antara mereka lebih baik dari keputusan mereka atas kelinci yang hanya seharga 4 dirham saja?” Mereka menjawab: “Yang lebih baik adalah keputusan mereka dalam menjaga tumpahnya darah kaum muslimin dan menjaga hubungan baik diantara mereka.” Ibnu Abbas bertanya: “Apakah kita sudah sepakat dalam masalah ini?” Mereka menjawab: “Ya, kita sepakat!” Ibnu Abbas berkata: “Adapun ucapan kalian: bahwa Ali melakukan perang namun tidak menjadikan Aisyah sebagai budaknya sebagaimana Rasul Saw selalu menangkap wanita milik musuh sebagai budak. Apakah kalian menginginkan untuk menjadikan ibu kalian ‘Aisyah menjadi budak kalian yang dapat kalian pergauli sebagaimana layaknya budak wanita?! Jika kalian mengatakan ‘ya’ maka kalian telah kafir. Jika kalian mengatakan bahwa ia bukanlah ibu kalian, maka kalian juga telah kafir. Allah Swt berfirman: Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mu’min dari diri mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka.” (QS. al-Ahzab [33] : 6) Pilihlah mana yang kalian sukai bagi diri kalian.” Kemudian Ibnu Abbas bertanya: “Apakah kita sepakat mengenai hal ini?” Mereka menjawab: “Ya, kami sepakat!” Ibnu Abbas berkata lagi: “Sedangkan perkataan kalian yang mengatakan bahwa Ali telah menghapuskan gelar Amirul Mukminin, itu disebabkan karena Rasulullah Saw saat Beliau meminta kepada kaum musyrikin pada perjanjian Hudaibiyah untuk menuliskan dalam perjanjian damai yang Beliau adakan bersama mereka “Inilah yang diputuskan oleh Muhammad Rasulullah” Mereka berkata: ‘Kalau kami beriman bahwa engkau adalah Rasulullah, maka kami tidak akan menghalangimu untuk datang ke Baitullah dan kami tidak akan memerangimu, akan tetapi tuliskanlah ‘Muhammad bin Abdullah.’ Maka saat mereka berkata demikian Rasul bersabda: “Demi Allah, saya adalah Rasulullah meski kalian mendustaiku.”
Ibnu Abbas bertanya: “Apakah kita sepakat dalam masalah ini?” Mereka menjawab: “Ya, kami sepakat!”
Maka hasil dari pertemuan itu, dan hasil dari hikmah yang begitu mendalam yang ditampilkan Ibnu Abbas telah membuat 20 ribu orang kembali bergabung dengan pasukan Ali, dan masih ada 4 ribu lagi orang yang bersikeras untuk memusuhi Ali dan berpaling dari kebenaran.
Pemuda bernama Abdullah bin Abbas ini telah menempuh semua jalan untuk mendapatkan ilmu, dan mengeluarkan segala kemampuannya untuk meraihnya. Ia telah meminum air wahyu dari Rasulullah Saw selagi Beliau hidup. Begitu Rasulullah Saw kembali ke pangkuan Tuhannya, maka Ibnu Abbas belajar langsung dengan para ulama sahabat. Ia bercerita tentang dirinya: “Jika aku mendengar ada sebuah hadits yang dimiliki oleh salah seorang sahabat Nabi Saw, maka aku akan mendatangi pintu rumahnya pada waktu qoilulah (waktu tidur siang) dan aku akan membentangkan selendangku digerbang rumahnya. Maka debu pun beterbangan di atas tubuhku. Kalau aku ingin meminta izin agar diperbolehkan masuk, pasti ia akan mengizinkanku… Akan tetapi, aku melakukan hal itu sebagai penghormatan terhadap dirinya. Jika ia keluar dari rumahnya dan melihatku dalam kondisi demikian, ia akan berkata: “Wahai sepupu Rasulullah, apa yang membuatmu datang ke sini?! Apakah engkau tidak berkirim surat saja sehingga aku datang kepadamu?” Maka aku menjawab: “Aku yang lebih pantas untuk datang kepadamu. Ilmu itu didatangi bukan datang sendiri.” Kemudian aku menanyakan kepadanya tentang hadits Rasulullah Saw.”
Sebagaimana Ibnu Abbas menghinakan dirinya saat menuntut ilmu, ia juga memuliakan derajat ulama.
Inilah Zaid bin Tsabit sang penulis wahyu dan pemuka Madinah dalam urusan qadha, fiqih, qira’at dan al-faraidh, yang saat itu hendak menunggangi kendaraannya, lalu berdirilah pemuda Al Hasyimi bernama Abdullah bin Abbas dihadapannya seperti berdirinya seorang budak dihadapan tuannya. Ia memegang kendali tunggangan tuannya. Zaid berkata kepada Ibnu Abbas: “Tidak usah kau lakukan itu, wahai sepupu Rasulullah!” Ibnu Abbas menjawab: “Inilah yang diajarkan kepada kami untuk bersikap kepada para ulama!” Zaid lalu berkata: “Perlihatkan tanganmu kepadaku!” Ibnu Abbas lalu menjulurkan tangannya. Lalu Zaid mendekati tangan tersebut dan menciuminya seraya berkata: “Demikianlah, kami diperintahkan untuk bersikap kepada ahlu bait Nabi kami.”
Ibnu Abbas telah menempuh perjalanan dalam menuntut ilmu yang dapat membuat unta jantan tercengan. Masruq bin Al Ajda’ salah seorang tabi’in ternama berkata tentang diri Ibnu Abbas: “Jika aku melihat Ibnu Abbas, menurutku dia adalah manusia yang paling tampan. Jika ia berkata, maka menurutku ia adalah orang yang paling fasih. Jika ia berbicara, menurutku ia adalah orang yang paling alim.”
Begitu Ibnu Abbas merasa puas dengan obsesi yang dikejarnya sebagai penuntut ilmu, maka ia beralih menjadi seorang muallim yang mengajarkan ilmu kepada manusia. Maka rumah Ibnu Abbas menjadi seperti sebuah universitas bagi kaum muslimin. Benar, bagai sebuah universitas seperti universitas yang ada pada zaman sekarang ini. Perbedaan yang mendasar antara universitas Ibnu Abbas dan universitas masa kini adalah bahwa universitas pada masa kini memiliki puluhan bahkan ratusan dosen. Sedangkan universitas Ibnu Abbas hanya memiliki seorang dosen saja, yaitu Ibnu Abbas sendiri. Salah seorang sahabatnya meriwayatkan: “Aku melihat Ibnu Abbas memiliki sebuah majlis yang dapat membuat bangga seluruh bangsa Quraisy. Aku pernah melihat banyak orang yang berkumpul di jalan menuju rumah Ibnu Abbas sehingga jalan terasa sempit sekali dan mereka hampir menutupi jalan tersebut dari pandangan manusia. Lalu aku masuk ke rumah Ibnu Abbas dan kabarkan padanya bahwa banyak manusia berkumpul di depan pintu rumahnya.” Ia berkata kepadaku: ‘Siapkan air untuk aku berwudhu!’ kemudian ia berwudhu dan duduk. Lalu ia berkata: ‘Keluarlah dan katakan kepada mereka, siapa yang ingin bertanya tentang Al Qur’an dan hurufnya maka masuklah!’ Maka aku pun keluar dan aku katakan hal itu kepada mereka. Mereka pun masuk sehingga memenuhi seluruh isi rumah dan kamar. Tidak ada satu pertanyaan yang mereka lontarkan, kecuali ia jawab. Bahkan ia menambahkan jawaban lebih dari apa yang mereka tanyakan. Kemudian ia berkata kepada mereka: ‘Lapangkanlah jalan untuk sahabat-sahabat kalian!’ Lalu mereka pun keluar semuanya. Kemudian ia berkata kepadaku: ‘Keluarlah dan katakan, Siapa yang hendak bertanya tentang tafsir dan takwil Al Qur’an maka masuklah! Maka aku pun keluar dan aku katakan hal itu kepada mereka. Lalu masuklah orang-orang hingga seluruh rumah dan kamar terisi penuh. Tidak ada pertanyaan yang mereka lontarkan, kecuali ia jawab. Bahkan ia menambahkan jawaban lebih dari apa yang mereka tanyakan. Kemudian ia berkata kepada mereka: ‘Lapangkanlah jalan untuk sahabat-sahabat kalian!’ Lalu mereka pun keluar semuanya. Kemudian ia berkata kepadaku: ‘Keluarlah dan katakan kepada mereka, siapa yang hendak bertanya tentang halal dan haram serta fiqih maka masuklah!’ Maka aku pun keluar dan aku katakan hal itu kepada mereka. Lalu masuklah orang-orang hingga seluruh rumah dan kamar terisi penuh. Tidak ada pertanyaan yang mereka lontarkan, kecuali ia jawab. Bahkan ia menambahkan jawaban lebih dari apa yang mereka tanyakan. Kemudian ia berkata kepada mereka: ‘Lapangkanlah jalan untuk sahabat-sahabat kalian!’ Lalu mereka pun keluar semuanya.” Kemudian ia berkata kepadaku: ‘Keluarlah dan katakan kepada mereka, siapa yang hendak bertanya tentang faraidh dan sebagainya maka masuklah!’ Maka aku pun keluar dan aku katakan hal itu kepada mereka. Lalu masuklah orang-orang hingga seluruh rumah dan kamar terisi penuh. Tidak ada pertanyaan yang mereka lontarkan, kecuali ia jawab. Bahkan ia menambahkan jawaban lebih dari apa yang mereka tanyakan. Kemudian ia berkata kepada mereka: ‘Lapangkanlah jalan untuk sahabat-sahabat kalian!’ Lalu mereka pun keluar semuanya. Kemudian ia berkata kepadaku: ‘Keluarlah dan katakan kepada mereka,siapa yang hendak bertanya tentang bahasa Arab, syair dan ucapan bangsa Arab yang asing maka masuklah!’ Maka aku pun keluar dan aku katakan hal itu kepada mereka. Lalu masuklah orang-orang hingga seluruh rumah dan kamar terisi penuh. Tidak ada pertanyaan yang mereka lontarkan, kecuali ia jawab. Bahkan ia menambahkan jawaban lebih dari apa yang mereka tanyakan.” Periwayat kisah ini berkata: “Jika bangsa Quraisy bangga akan hal ini, sudah sepantasnyalah mereka bangga!”
Ibnu Abbas ra lalu membagi ilmu yang ia miliki pada beberapa hari sehingga hal tersebut tidak terjadi lagi kerumunan manusia di pintu rumahnya. Maka ia kemudian membuka sebuah majlis pada hari tertentu di mana ia hanya mengajarkan tafsir. Satu hari hanya untuk mengajarkan fiqih. Satu hari hanya untuk mengajarkan kisah peperangan Rasul Saw. Satu hari hanya untuk mengajarkan syair. Satu hari hanya untuk mengajarkan sejarah bangsa Arab. Tidak ada seorang berilmu yang menghadiri majlisnya, kecuali tunduk dihadapnnya. Tidak ada orang yang bertanya kepadanya, kecuali mendapatkan jawaban dan ilmu darinya.
Ibnu Abbas dengan keutamaan ilmu dan pemahaman yang ia miliki telah menjadi penasehat Khulafaur Rasyidin meskipun ia masih berusia muda. Jika Umar bin Khattab memiliki masalah yang sulit untuk dipecahkan maka ia akan mengundang para pembesar sahabat termasuk di antara mereka adalah Abdullah bin Abbas. Jika Ibnu Abbas sudah hadir, maka Umar akan memuliakannya dan merendahkan derajat diri Umar dan berkata: “Kami memiliki permasalahan sulit yang hanya dapat dipecahkan oleh orang-orang sepertimu!” Umar suatu saat pernah dikecam karena lebih mendahulukan Ibnu Abbas dan menyamakan Ibnu Abbas dengan orang-orang tua, padahal ia adalah seorang pemuda. Umar pun berkata: “Dia adalah seorang pemuda kahul (Berusia antara 30-50 tahun) yang memiliki lisan senantiasa bertanya dan hati yang berakal.”
Meski Ibnu Abbas sering memberikan pengajaran kepada kalangan khusus, namun ia tidak pernah lupa hak kalangan umum pada dirinya. Ia masih saja membuat majlis untuk memberi nasihat dan peringatan bagi manusia awam. Salah satu dari nasehatnya adalah ucapannya kepada para pelaku kejahatan dan dosa: “Wahai orang yang melakukan dosa, janganlah engkau merasa aman dari hasil perbuatan dosamu. Ketahuilah konsekuensi dari perbuatan dosa itu lebih besar daripada dosa itu sendiri. Ketahuilah ketidak-maluanmu dengan orang yang berada di kanan dan kirimu saat engkau melakukan dosa itu tidak akan mengurangi dosamu. Ketahuilah bahwa tawamu saat melakukan dosa dan engkau tidak tahu apa yang akan Allah perbuat terhadap dirimu itu lebih besar dari dosa yang kau lakukan. Ketahuilah kebahagiaanmu saat berdosa jika kau melakukannya itu lebih besar dari dosa itu sendiri. Ketahuilah kesedihanmu apabila kau tak sempat melakukan dosa itu lebih besar dari dosa itu sendiri. Ketakutanmu terhadap angin yang dapat menyingkapkan rahasiamu saat engkau melakukan perbuatan dosa dan hatimu tidak takut dengan pandangan Allah kepada dirimu, itu lebih besar dari dosa. Wahai pelaku dosa: ‘Apakah engkau tahu dosa apa yang telah diperbuat oleh Ayyub as ketika Allah menguji dirinya dan hartanya? Dosanya adalah saat ada seorang yang miskin meminta tolong kepadanya untuk melawan kezaliman atas dirinya, Ayyub tidak berkenan membantunya.”
Ibnu Abbas bukanlah termasuk orang yang dapat berkata namun tidak mampu melakukannya. Ia juga tidak termasuk orang yang bisa melarang, namun malah mengerjakannya. Dia adalah orang yang senantiasa shaum pada waktu siang, dan melakukan qiyam pada saat malam. Abdullah bin Mulaikah mengisahkan tentang Ibnu Abbas: “Aku menemani Ibnu Abbas dari Mekkah ke Madinah. Jika kami singgah di suatu tempat, tengah malam ia melakukan qiyam dan manusia lain tertidur karena kelelahan. Suatu malam aku melihatnya sedang membaca: “Dan datanglah sakaratul maut yang sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari dari padanya.” (QS. Qaaf [50] : 19). Ia terus mengulangi ayat tersebut dan menangis dengan suara yang keras hingga fajar menjelang. Sejak itu kami tahu bahwa Ibnu Abbas adalah manusia yang paling tampan, manusia yang paling cerah wajahnya. Ia selalu menangis karena takut kepada Allah sehingga air mata selalu membasahi kedua pipinya yang bagus.”
Ibnu Abbas telah mencapai batas kemuliaan ilmu. Hal itu karena pada tahun tertentu khalifatul muslimin Mua’wiyah bin Abi Sufyan hendak melakukan haji. Dan Ibnu Abbas juga hendak melakukan haji juga, akan tetapi ia tidak memiliki kekuatan dan kekuasaan. Mua’wiyah diiringi oleh segerombolan pembantu kenegaraannya. Namun Ibnu Abbas memiliki rombongan yang mengalahkan rombongan khalifah yang terdiri dari para penuntut ilmu.
Ibnu Abbas berusia 71 tahun yang ia hiasi dengan mengisi dunia dengan ilmu, pemahaman, hikmah dan taqwa. Saat ia wafat, Muhammad bin Al Hanafiah memimpin shalat jenazah atasnya dengan diiringi oleh para sahabat Rasul Saw yang tersisa dan parapembesar tabi’in. Saat mereka sedang menguburkan jasadnya, mereka mendengar ada orang yang membacakan ayat: “Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhoi-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. al-Fajr [89] : 27-30). (Diterjemahkan dari kitab Shuwar min Hayatis Shohabah, hal. 173-184)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar