SYARAH
ALFIYAH IBNU MALIK
MUQADDIMAH
Oleh :
Muhammad Atim
[١] قَالَ مُحَمَّدٌ هُوَ ابْنُ مَالِكِ أَحْمَدُ رَبِّي اللهَ خَيْرَ مَالِكِ
“Telah
berkata Muhammad, dia adalah Ibnu Malik
Aku memuji Rabbku, Allah, sebaik-baik penguasa”
Dalam muqoddimahnya ini, beliau
menyebutkan nama diri beliau sendiri dalam rangka untuk memperkenalkan. Beliau
adalah Muhammad bin Malik. Lengkapnya Muhammad bin Abdullah bin Malik Ath-Thai
Al-Jayyani Al-Andalusi, yang dikenal dengan nama Ibnu Malik (600-672 H).
Kepakarannya dalam bidang ilmu bahasa
Arab, baik Nahwu, Tashrif dan lughah, sudah tidak asing lagi.
Imam As-Suyuthi menukil dalam
kitabnya Bughyatul Wu'at fi Thabaqah Al-Lughawiyyin wan Nuhat tentang Ibnu
Malik,
"Beliau adalah imam dalam
qiroat dan ilalnya. Adapun lughah pada beliaulah puncaknya dalam banyaknya
menukil yang asingnya dan menelaah yang anehnya. Adapun Nahwu dan Tashrif
beliau adalah lautan yang tak bisa diselami dan tokoh yang tak ada
tandingannya. Adapun syair-syair Arab yang beliau jadikan syahid (bukti) atas
Lughah dan Nahwu, para imam dan tokoh dibuat kebingungan olehnya, mereka heran
dimana ia mendapatkannya. Beliau menazhamkan syair yang mudah, baik rojaz,
thawil, basith dan lainnya. Ini semua disertai dengan agamanya yang kokoh,
benar dalam berbicara, banyak beribadah sunnah, baik kepribadiannya, lembut
hatinya, sempurna akhlaqnya, berwibawa dan memiliki ketenangan".
Beliau memuji kepada Allah
sebaik-baik penguasa. Penyebutan kata Malik sebagai sifat Allah yang mirip
dengan yang ada dalam nama beliau adalah dalam rangka menyebutkan sesuatu yang
sama untuk keindahan bait (mujanasah), meskipun maknanya sangat berbeda.
Kalau malik sebelumnya adalah ma'rifah karena yang dimaksud adalah nama kakek
beliau. Sedangkan malik yang kedua adalah nakirah yaitu siapa saja yang
dianggap raja tetapi Allah adalah khoiru malik, sebaik-baik raja, raja
dari para raja, penguasa dari para penguasa. Ini juga sebagai isyarat dari
beliau, ketika disebut nama beliau Ibnu Malik, orang akan teringat makna malik
adalah raja, maka segera beliau mengingatkan kepada sebaik-baik raja yaitu
Allah azza wajalla.
[٢]
مُصَلِّيًا عَلَى النَّبِيِّ الْمُصْطَفَى وَآلِهِ الْمُسْتَكْمِلِيْنَ الشَّرَفَا
“Dalam
keadaan bershalawat atas Nabi yang terpilih
Dan keluarganya (pengikutnya) yang mencapai
derajat kemuliaan”
Kata "musholliyan"
kedudukannya sebagai hal dari fail yang terdapat dalam
"ahmadu". Artinya, beliau memuji Allah dalam keadaan bershalawat
kepada nabi Muhammad ﷺ.
وَآلِهِ (beserta
keluarganya), makna آل di sini tidak hanya dimaknai keluarga
tetapi juga bisa bermakna pengikut. Mereka itu yang mencapai derajat kemuliaan.
Tahmid dan shalawat ini selalu
diucapkan oleh para ulama dalam karya mereka, termasuk dalam karya nazham
sekalipun seperti dalam alfiyah ini. Agar menjadi pengingat, pembelajaran ilmu
yang kita lakukan mesti semata-mata karena Allah dan dalam rangka menjadi
pengikut Nabi ﷺ.
I'rob kalimat
المُسْتَكْمِلِيْنَ الشَّرَفَا
Kata “almustakmilina” itu bisa
dianggap sebagai lazim, baik diartikan “berharap kesempurnaan” dengan
menilai tambahan alif-sin-ta sebagai makna thalab (memohon/berharap). Atau
diartikan “benar-benar telah mencapai derajat kesempurnaan” dengan
menilai tambahan alif-sin-ta sebagai bentuk mubalaghoh
Atau dianggap sebagai muta'addi yang
bermakna yang telah menyempurnakan semakna dengan أَكْمَلَ
Jika kata “mustakmilina” dianggap
lazim, lalu apa kedudukannya?
Kedudukannya manshub dengan alasan linaz'il khofidi
karena ada huruf jar yang dibuang asalnya بِالشَّرَفِ
berarti artinya : “berharap
kesempurnaan dengan kemuliaan atau benar-benar telah mencapai derajat
kesempurnaan dengan kemuliaan”.
Jika “mustakmilina” dianggap
muta'addi maka kataالشرفا kedudukannya sebagai maf'ul bih, maka maknanya : “yang
telah menyempurnakan kemuliaan”.
Ada juga diantara para periwayat
alfiyah yang membacaالشرفا
dengan men-dhomah-kan syin sebagai bentuk jama dari الشريف yang
berarti “orang yang mulia”. Jika demikian, maka dianggap sebagai sifat kedua
dariآله sebagaimanaالمستكملين
sebagai sifat pertama darinya. Dengan tinjauan ini, maka
maknanya adalah : “orang-orang yang benar-benar telah mencapai derajat
kesempurnaan dan orang-orang yang mulia”.
[٣]
وَأَسْتَعِيْنُ اللهَ فِي أَلْفِيَّه مَقَاصِدُ النَّحْوِ بِهَا مَحْوِيَّه
“Dan aku
memohon pertolongan kepada Allah dalam Alfiyah
Yang di
dalamnya berisi maksud-maksud (inti-inti) ilmu Nahwu”
Kataاِسْتَعَانَ
harusnya memuta’addikan dengan hurufعَلَى tetapi di sini menggunakan huruf فِي.
Ada dua kemungkinan. Pertama, huruf “fii” di sini bermakna “’alaa”. Kedua,
kemungkinan kataأَسْتَعِيْنُ di sini mengandung makna أَسْتَخِيْرُ yang memuta’addikan dengan فِي,
artinya “aku beristikhoroh (meminta pilihan) kepada Allah”.
Kata “alfiyah” artinya seribuan,
bisa seribu bisa juga dua ribu. Tepatnya, nazham ini berisi 1002 bait, yang
disusun dengan pola kamil ar-rojaz atau masytur ar-rojaz.
Nazham ini berisi maqashid (maksud-maksud
atau tujuan-tujuan, inti-inti, sebagian besar yang terpenting) dari ilmu Nahwu.
Ilmu Nahwu di sini maksudnya adalah,
العِلْمُ الْمُسْتَخْرَجُ بِالْمَقَايِيْسِ الْمُسْتَنْبِطَةِ
مِنْ اِسْتِقْرَاءِ كَلَامِ الْعَرَبِ الْمُوَصِّلَةِ إِلَى مَعْرِفَةِ أَحْكَامِ أَجْزَاءِهِ
الَّتِي ائْتَلَفَ مِنْهَا
“Ilmu yang dihasilkan dengan
qiyas-qiyas (analogi-analogi) yang dapat menyimpulkan dari perkataan
orang-orang Arab yang menyampaikan kepada pengetahuan terhadap hukum-hukum
bagian-bagiannya yang menyatu di dalamnya”
Definisi ini dikemukakan oleh Ibnu
‘Ushfur dalam kitabnya At-Taqrirb (jilid 1 hal.45), yang dikutip oleh
Al-Asymuni dalam syarahnya terhadap Alfiyah Ibnu Malik. Menurut Al-Asymuni,
definisi ini adalah definisi ilmu Nahwu yang bersifat umum yang sama dengan
ilmu Bahasa Arab (‘ilmu al-’arobiyyah), sehingga berdasarkan definisi
ini, ilmu Tashrif pun tercakup di dalamnya. Oleh karena itu, Ibnu Malik di
dalam alfiyahnya ini selain membahas ilmu Nahwu, beliau pun mencantumkan
pembahasan ilmu Tashrif di bagian akhir.
Penyusunan secara menyatu antara
ilmu Nahwu dan ilmu Tashrif, dan ilmu Tashrif dianggap sebagai bagian dari ilmu
Nahwu adalah metode yang ditempuh oleh ulama-ulama awal seperti Sibawaih,
sebagai penyusun kitab pertama dalam ilmu Nahwu, dan ulama-ulama lainnya.
Terjadinya pemisahan ilmu Tashrif dari ilmu Nahwu, bisa dikatakan orang yang
pertama kali melakukannya adalah Al-Mazini (w.247 atau ada yang mengatakan 249
H) dalam kitabnya At-Tashrif. Yang kemudian disyarah dan dikembangkan oleh Abu
Ali Al-Farisi (w.377 H) dan muridnya, Ibnu Jinni (w. 392 H).
Pemisahan ini dengan tinjauan bahwa
kedua ilmu ini memiliki pembahasan yang berbeda, meskipun berasal dari akar
yang sama. Yaitu, ilmu Tashrif berkaitan dengan hukum suatu bentuk kata secara
parsial, sedangkan ilmu Nahwu berkaitan dengan hukum suatu susunan kalimat.
Untuk itu, ilmu Nahwu dan Tashrif didefinisikan,
عِلْمُ النَّحْوِ : عِلْمٌ بِقَوَانِيْنٍ يُعْرَفُ
بِهَا أَحْوَالُ التَّرَاكِيْبِ الْعَرَبِيَّةِ مِنَ الْإِعْرَابِ وَالْبِنَاءِ
وَغَيْرِهِمَا
Ilmu Nahwu : “Ilmu tentang kaidah-kaidah yang diketahui dengannya keadaan susunan kalimat bahasa Arab berupa I’rab dan
Bina, dan yang lainnya.”
عِلْمُ التَّصْرِيْفِ : عِلْمٌ بِأُصُوْلٍ
يُعْرَفُ بِهَا أَحْوَالُ أَبْنِيَةِ الْكَلِمَةِ الَّتِي لَيْسَتْ بِإِعْرَابٍ
Ilmu Tashrif
(atau Sharaf) : “Ilmu tentang dasar-dasar yang diketahui dengannya keadaan
bentuk-bentuk kata, yang bukan I’rob.”
Kata Nahwu secara bahasa
memiliki 5 makna, yaitu :
1. Maksud (القَصْدُ)
Contoh :
نَحَوْتُ نَحْوَك أَيْ :
قَصَدْتُ قَصْدَكَ
“Aku bermaksud
kepadamu”
2. Semisal (الْمِثْلُ)
Contoh :
مَرَرْتُ بِرَجُلٍ نَحْوِكَ أَيْ مِثْلِكَ
“Aku telah melewati
seorang lelaki yang semisal denganmu”
3. Arah (الجِهَةُ)
Contoh :
تَوَجَّهْتُ نَحْوَ الْبَيْتِ أَيْ : جِهَةَ الْبَيْتِ
“Aku menuju ke arah
rumah”
4. Ukuran (الْمِقْدَارُ)
Contoh :
عِنْدِي نَحْوُ أَلْفٍ أَيْ : مِقْدَارُ
أَلْفٍ
“Aku memiliki
seukuran seribu”
5. Bagian (القِسْمُ)
Contoh :
هذَا عَلَى أَرْبَعَةِ أَنْحَاءٍ أَيْ : أَقْسَامٍ
“Ini ada empat
bagian”
Sebab penamaan ilmu ini
dengan ilmu Nahwu adalah apa yang diriwayatkan bahwa Ali bin Abi Thalib radhiyallahu
‘anhu ketika memerintahkan Abul Aswad Ad-Duali untuk meletakkan dasar-dasar
dan kaidah-kaidah ilmu Nahwu, beliau mengajarkannya tentang isim, fi’il, huruf
dan sedikit dari I’rob, lalu beliau mengatakan,
اُنْحُ عَلَى هَذَا النَّحْوِ يَا أَبَا الْأَسْوَدِ
“Buatlah contoh
seperti contoh ini wahai Abul Aswad!”
[٤] تُقَرِّبُ الْأَقْصَى بِلَفْظٍ مُوْجَزِ وَتَبْسُطُ الْبَذْلَ بِوَعْدٍ مُنْجَزِ
“Mendekatkan
yang jauh dengan lafazh yang ringkas
Dan membentangkan
pemberian dengan janji yang cepat terlaksana”
Mendekatkan yang jauh maksudnya
adalah makna-makna yang jauh/luas di dalam ilmu Nahwu. Artinya, alfiyah yang
ditulis oleh penulis, di dalamnya penulis benar-benar berusaha memudahkan
berbagai pembahasan ilmu Nahwu yang luas dan rumit. Berbagai permasalahan dan
faidah berusaha untuk dituangkan. Namun dituangkan dengan lafazh-lafazh yang
ringkas. Huruf “ba” di atas bermakna “ma’a” (bersama), artinya meski
mendekatkan berbagai pemahaman yang luas dan jauh dari ilmu Nahwu, pada saat
yang sama dituliskan secara ringkas. Jika kita telah mempelajari alfiyah ini,
maka kita akan mengetahui bahwa yang beliau sebutkan itu sesuai dengan
faktanya. Sampai imam Abu Ishak Asy-Syatibi (penulis kitab Al-Muwafaqat),
salah seorang ulama yang mensyarah alfiyah, yaitu dalam kitab beliau
Al-Maqashid Asy-Syafiyah, beliau bersumpah bahwa kenyataannya benar-benar
sesuai dengan apa yang beliau katakan. Asy-Syathibi mengatakan bahwa Ibnu Malik
benar-benar telah menemukan kemudahan-kemudahan dalam merumuskan dan
menguraikan ilmu Nahwu yang belum ditemukan oleh ulama-ulama sebelumnya, sesuai
dengan perkataan yang beliau sampaikan dalam muqaddimah kitabnya Tashilul
Fawaid,
وَإِذَا كَانَتِ الْعُلُوْمُ مِنَحًا إِلهِيَّةً، وَمَوَاهِبَ
اِخْتِصَاصِيَّةً، فَغَيْرُ مُسْتَبْعَدٍ أَنْ يُدَّخَرَ لِبَعْضِ
الْمُتَأَخِّرِيْنَ مَا عُسِرَ عَلَى كَثِيْرٍ مِنَ الْمُتَقَدِّمِيْنَ
“Apabila ilmu-ilmu itu adalah pemberian
Allah dan karunia keistemewaan, maka tidak aneh jika disimpan untuk sebagian
orang-orang belakangan apa yang terasa sulit bagi kebanyakan orang-orang
terdahulu.”
Lalu penulis mengatakan, “Dan
membentangkan pemberian dengan janji yang cepat terlaksana". Beliau
mengibaratkan alfiyah ini bagaikan seorang lelaki dermawan yang banyak
memberikan harta. Artinya, alfiyah ini memberikan sangat banyak faidah dari
ilmu Nahwu yang harus diketahui. Hal ini bukan sebatas ungkapan yang menjadi
hiasan bibir belaka, tetapi menjadi sebuah janji bagi penulis, dan janji itu
beliau laksanakan dengan secepat-cepatnya. Dan huruf “ba” di sini juga bermakna
“ma’a” (bersama), artinya meski alfiyah ini memberikan sangat banyak faidah,
pada saat yang sama beliau sebut sebagai sebuah janji yang mesti terlaksana
dengan cepat.
[٥]
وَتَقْتَضِي رِضًا بِغَيْرِ سُخْطِ فَائِقَةً
أَلْفِيَّةَ ابْنِ مُعْطِ
“Dan Alfiyah
ini menuntut adanya keridhoan, tanpa disertai adanya kemarahan
Ia mengungguli
Alfiyah Ibnu Mu’thi”
Artinya, alfiyah yang beliau tulis
ini membuat ridha beliau sendiri sebagai penulis, tanpa disertai dengan adanya
kemarahan. Ada kepuasan yang beliau rasakan dari hasil karyanya ini.
Sebagaimana makna ini disebutkan oleh Asy-Syathibi. Atau, kemungkinan lain maknanya,
sebagaimana disebutkan oleh Ash-Shabban, alfiyah ini ditulis semata-mata untuk
mengharapkan keridhoan Allah, yang tidak disertai adanya kemurkaan dari-Nya.
Atau juga bermakna membuat ridha dari pembacanya, sebagaimana disebutkan oleh
As-Suyuthi di dalam syarahnya.
Bahkan, dari pengakuan jujur menurut
beliau yang memang telah mendalami ilmu Nahwu, bahwa alfiyah yang beliau susun
ini secara kualitas mengungguli alfiyah yang telah ditulis oleh Ibnu Mu’thi.
Dan memang kenyataannya seperti itu, seperti yang ditegaskan juga oleh
Asy-Syathibi.
Tetapi, meskipun alfiyah beliau
mengungguli alfiyah Ibnu Mu’thi, sebagaimana beliau sebutkan sebelumnya, tidak
ada perasaan yang beliau bawa dalam karyanya ini selain keridhoan, tanpa
diiringi dengan kemarahan, kebencian dan sikap merendahkan kepada karya orang
lain. Dan ini adalah sikap mulia dari para ulama.
Ibnu Mu’thi adalah Abul Hasan Yahya
bin Mu’thi bin Abdunnur Az-Zawawi Al-Hanafi, nama gelar yang disematkan
kepadanya adalah Zainuddin (lahir 564 H, wafat 628 H). Beliau secara serius
mempelajari bahasa Arab di Maghrib (Maroko) sampai ia menjadi ahli. Lalu
menetap di Damaskus, Syam dalam waktu yang lama dan ia menjadi pemimpin ilmu
bahasa Arab di sana, dan di sanalah beliau menyusun alfiyahnya. Tetapi kemudian
berpindah ke Mesir, di sana beliau juga mengajarkan ilmu-ilmu Bahasa Arab
sampai beliau wafat di Kairo.
[٦]
وَهْوَ بِسَبْقٍ حَائِزٌ تَفْضِيْلَا مُسْتَوْجِبٌ ثَنَائِيَ الْجَمِيْلَا
“Dan dia
(Alfiyah Ibnu Mu’thi) karena lebih dahulu, layak menyandang kemuliaan
Mengharuskan
sanjungan dariku yang bagus”
Meskipun beliau menyadari secara
keilmuan bahwa alfiyah yang beliau tulis mengungguli alfiyah Ibnu Mu’thi,
beliau tetap harus mengakui keistimewaan alfiyah Ibnu Mu’thi, dan keistimewaan
yang paling nampak adalah karena ia telah lebih dulu ditulis, yang justru Ibnu
Malik sendiri banyak mengambil faidah darinya. Maka menjadi keharusan baginya
untuk memberikan sanjungan yang bagus kepadanya.
[٧]
وَاللهُ يَقْضِي بِهِبَاتٍ وَافِرَةٍ لِي وَلَهُ فِي دَرَجَاتِ الآخِرَةِ
“Dan Allah
menetapkan pemberian-pemberian yang sempurna
Bagiku dan
baginya, di derajat-derajat akhirat”
Tidak hanya sanjungan yang beliau
ungkapkan terhadap alfiyah Ibnu Mu’thi, tetapi juga doa yang dipanjatkan, agar
Allah menetapkan pemberian-pemberian yang sempurna, pahala-pahala yang banyak
sebagai balasan atas karya yang telah mereka berdua tulis yang bermanfaat bagi
umat dalam rangka memahamkan mereka terhadap ajaran agama-Nya melalui
kaidah-kaidah bahasa Arab. Pahala tersebut berupa kedudukan tinggi yang
bertingkat-tingkat di akhirat kelak. Beliau mendahulukan diri beliau sendiri
terlebih dahulu dalam doa, lalu menyebutkan untuk Ibnu Mu’thi adalah sesuai
dengan anjuran Nabi saw agar memulai doa untuk diri sendiri terlebih dahulu,
lalu untuk orang lain.
Syarah ini merujuk kepada
kitab-kitab induk dalam syarah Alfiyah Ibnu Malik, yaitu :
1.
Syarah Ibnu ‘Aqil
2.
Syarah As-Suyuthi
3.
Syarah Asymuni dan Hasyiah Ash-Shabban
4.
Syarah Asy-Syathibi (Al-Maqashid Asy-Syafiyah)
Lanjutannya mana ya...
BalasHapusBelum, sdg berjalan sedikit2
BalasHapus