Kamis, 12 Maret 2020

Memulai dengan Ilmu Inti



Oleh : Muhammad Atim

Ilmu inti di dalam Islam itu adalah yang terkait dengan tiga rukun agama. Yaitu islam, iman dan ihsan. Sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut,
عَنْ عُمَرَ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ بَيْنَمَا نَحْنُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ شَدِيدُ سَوَادِ الشَّعَرِ لَا يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ وَلَا يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ وَقَالَ يَا مُحَمَّدُ أَخْبِرْنِي عَنْ الْإِسْلَامِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْإِسْلَامُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتُقِيمَ الصَّلَاةَ وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ وَتَصُومَ رَمَضَانَ وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنْ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيلًا قَالَ صَدَقْتَ قَالَ فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنْ الْإِيمَانِ قَالَ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ قَالَ صَدَقْتَ قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنْ الْإِحْسَانِ قَالَ أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنْ السَّاعَةِ قَالَ مَا الْمَسْئُولُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنْ السَّائِلِ قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنْ أَمَارَتِهَا قَالَ أَنْ تَلِدَ الْأَمَةُ رَبَّتَهَا وَأَنْ تَرَى الْحُفَاةَ الْعُرَاةَ الْعَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُونَ فِي الْبُنْيَانِ قَالَ ثُمَّ انْطَلَقَ فَلَبِثْتُ مَلِيًّا ثُمَّ قَالَ لِي يَا عُمَرُ أَتَدْرِي مَنْ السَّائِلُ قُلْتُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ فَإِنَّهُ جِبْرِيلُ أَتَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِينَكُمْ
Dari Umar bin al-Khaththab ra, ia berkata, 'Dahulu kami pernah berada di sisi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, lalu datanglah seorang laki-laki yang bajunya sangat putih, rambutnya sangat hitam, tidak tampak padanya bekas-bekas perjalanan. Tidak seorang pun dari kami mengenalnya, hingga dia mendatangi Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasalam lalu menyandarkan lututnya pada lutut Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasalam, kemudian ia berkata, 'Wahai Muhammad, kabarkanlah kepadaku tentang Islam? ' Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasalam menjawab: "Kamu bersaksi bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan puasa Ramadhan, serta haji ke Baitullah jika kamu mampu bepergian kepadanya.' Dia berkata, 'Kamu benar.' Umar berkata, 'Maka kami kaget terhadapnya karena dia menanyakannya dan membenarkannya.' Dia bertanya lagi, 'Kabarkanlah kepadaku tentang iman itu? ' Beliau menjawab: "Kamu beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, hari akhir, dan takdir baik dan buruk." Dia berkata, 'Kamu benar.' Dia bertanya, 'Kabarkanlah kepadaku tentang ihsan itu? ' Beliau menjawab: "Kamu menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, maka jika kamu tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu." Dia bertanya lagi, 'Kapankah hari akhir itu? ' Beliau menjawab: "Tidaklah orang yang ditanya itu lebih mengetahui daripada orang yang bertanya." Dia bertanya, 'Lalu kabarkanlah kepadaku tentang tanda-tandanya? ' Beliau menjawab: "Apabila seorang budak melahirkan (anak) tuan-Nya, dan kamu melihat orang yang tidak beralas kaki, telanjang, miskin, penggembala kambing, namun bermegah-megahan dalam membangun bangunan." Kemudian dia bertolak pergi. Maka aku tetap saja heran kemudian beliau berkata; "Wahai Umar, apakah kamu tahu siapa penanya tersebut?" Aku menjawab, 'Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.' Beliau bersabda: "Itulah jibril, dia mendatangi kalian untuk mengajarkan kepada kalian tentang agama kalian'." (HR. Muslim, no. 8).
Tiga rukun agama ini berhubungan dengan tiga unsur manusia. Islam ditujukan kepada fisik, iman ditujukan kepada akal, dan ihsan ditujukan kepada hati. Hal itu dilihat dari rukun masing-masing. Lima rukun Islam yaitu shadadat, shalat, zakat, shaum dan haji, berkaitan dengan amalan fisik yang zhahir. Enam rukun iman yaitu iman kepada Allah, kepada para malaikat, kepada kitab-kitab, kepada para rasul, kepada hari akhir dan kepada takdir baik dan buruk, berkaitan dengan keyakinan yang terlebih dahulu harus dipahami dan diterima kebenarannya oleh akal, setelah itu baru sampai kepada keyakinan. Dan satu rukun ihsan yaitu beribadah kepada Allah seakan-akan melihat Allah atau minimal merasakan selalu dilihat oleh Allah, berkaitan dengan amalan hati yang selalu tersambung kepada Allah. Maka, islam melahirkan ilmu fiqih, iman melahirkan ilmu Aqidah, dan ihsan melahirkan ilmu Akhlaq. Tiga ilmu ini merupakan inti ajaran Islam yang mesti dipelajari oleh setiap muslim. Meskipun tidak keseluruhan pembahasannya harus dikuasai, tetapi ada kadar yang wajib dipelajari oleh setiap individu muslim berkaitan dengan kewajibannya kepada Allah, yang disebut dengan ilmu fardhu ‘ain. Imam Al-Ghazali rahimahullah telah menjelaskan ilmu fardhu ‘ain ini dengan sangat bagus dalam kitabnya Ihya Ulumuddin, yang beliau sebut sebagai ilmu mu’amalah, artinya ilmu mu’amalah dengan Allah.
Beliau menguraikan,Dan mu’amalah yang dibebankan kepada seorang hamba berakal dan balig itu ada tiga: keyakinan, perbuatan dan yang ditinggalkan. Maka apabila seorang yang berakal telah mencapai balig baik oleh sebab mimpi ataupun usia, ia berada pada waktu menjelang siang misalnya, maka kewajiban pertama atasnya adalah mempelajari dua kalimat syahadat dan memahami maknanya, yaitu perkataan,
لا إِلهَ إِلا اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ
Tiada tuhan (yang berhak disembah) selain Allah. Muhammad adalah rasul (utusan) Allah.”
Tidak wajib baginya untuk mampu menyingkapnya dengan pengamatan, penelitian dan perincian dalil-dalilnya, tetapi cukup baginya membenarkan/mempercayainya dan meyakininya dengan keyakinan yang kuat tanpa ada keraguan dan keguncangan jiwa. Hal itu bisa saja diraih dengan hanya taqlid dan mendengar tanpa penelitian dan pembuktian. Dimana Rasulullah saw pun mencukupkan kepada orang-orang Arab pedalaman untuk membenarkan dan mengakui tanpa harus mempelajari dalil.
Apabila ia telah melakukan itu, sungguh ia telah melaksanakan kewajiban pada waktu tersebut, dan ilmu fardu ‘ain baginya pada saat itu adalah mempelajari dua kalimat syahadat dan memahami maknanya, ia tidak memiliki kewajiban untuk mempelajari yang lainnya. Dalilnya, bahwa kalau ia meninggal setelah itu, ia meninggal dalam keadaan taat kepada Allah ‘azza wajalla bukan sebagai orang yang durhaka kepada-Nya. Hanya saja ia wajib mempelajari yang lainnya oleh sebab faktor-faktor lain yang muncul, dan faktor-faktor tersebut tidak bersifat mendesak ada pada setiap orang, tetapi dimungkinkan ketiadaannya. Faktor-faktor tersebut bisa berkaitan dengan perbuatan, atau yang ditinggalkan, ataupun berkaitan dengan keyakinan.
Adapun yang terkait dengan perbuatan, apabila orang tersebut berkesempatan hidup dari menjelang siang hingga waktu zhuhur, maka dengan masuk waktu zhuhur tersebut mulailah ia wajib mempelajari thaharah dan shalat. Jika ia sehat, dimana kalau ia sabar sampai waktu tergelincirnya matahari (waktu zhuhur), tidak memungkinkan baginya untuk menyelesaikan pembelajaran dan pengamalan pada waktu tersebut, bahkan akan keluar waktu (shalat zhuhur) tersebut kalau ia sibuk dalam belajar, tidak salah kalau dikatakan, pendapat yang kuat hendaklah ia tetap belajar, ia wajib mendahulukan belajar pada waktu tersebut. Dapat pula dikatakan, wajibnya mempelajari ilmu yang menjadi syarat amal setelah wajibnya amal, dan amalan tersebut (shalat zhuhur) belum wajib dilakukan sebelum tergelincirnya matahari. Begitu pula kaitannya dengan shalat-shalat yang lain.
Jika ia hidup sampai Ramadhan, mulailah dengan sebab itu ia wajib mempelajari shaum, yaitu bahwa waktunya dari sejak shubuh sampai terbenam matahari. Dan yang wajib di dalamnya adalah niat dan menahan dari makan, minum dan berhubungan suami istri, dan hal itu terus dilakukan sampai ia melihat hilal (bulan syawal) atau adanya dua orang saksi (yang melihatnya).
Jika ia mulai memiliki harta atau telah memiliki harta pada saat ia balig, ia wajib mempelajari zakat yang wajib baginya. Tetapi tidak wajib pada saat itu juga, ia hanya wajib ketika telah sempurna satu tahun (haul) berdasarkan waktu Islam. Jika ia tidak memiliki harta selain unta, tidak wajib baginya mempelajari zakat selain zakat unta, begitu pula pada seluruh macam-macam (ashnaf) zakat yang lain.
Lalu apabila ia masuk pada bulan-bulan haji, ia tidak wajib untuk bersegera mempelajari ilmu haji, karena mengerjakannya leluasa untuk ditunda sehingga mempelajarinya tidak mesti bersegera. Tetapi selayaknya bagi para ulama Islam untuk memperingatkan hal ini bahwa haji itu adalah kewajiban yang bisa dilakukan secara leluasa waktunya bagi setiap orang yang memiliki perbekalan dan kendaraan, apabila ia benar-benar telah memilikinya hingga barangkali ia memandang ada kemestian bagi dirinya untuk bersegera. Ketika itulah, apabila ia telah bertekad melaksanakannya, ia wajib mempelajari tatacara haji. Tidak ada kewajiban baginya selain mempelajari rukun-rukun dan kewajiban-kewajibannya saja, tidak termasuk yang sunnahnya, karena mengerjakan sesuatu yang sunnah, mempelajari ilmunya juga termasuk sunnah, tidak termasuk fardhu ‘ain. Berkenaan dengan haramnya diam dari memperingatkan atas kewajiban dasar haji pada kondisi ini adalah satu hal yang layak diperhatikan dalam ilmu fiqih. Begitulah tahapan dalam ilmu seluruh perbuatan yang fardhu ‘ain.
Adapun yang ditinggalkan, ia wajib mempelajari ilmu sesuai dengan kondisi yang muncul. Hal itu berbeda-beda kondisinya pada masing-masing individu. Dimana bagi seorang yang bisu tidak wajib mempelajari apa yang diharamkan dalam pembicaraan, bagi seorang yang buta tidak wajib mempelajari apa yang diharamkan dari penglihatan, dan bagi seorang yang tinggal di pedalaman padang pasir, tidak wajib mempelajari tempat-tempat tinggal yang haram ditinggali. Begitulah kewajiban itu sesuai dengan tuntutan kondisi. Apa yang diketahui bahwa ia bisa terlepas darinya, tidak wajib baginya untuk mempelajarinya, dan apa yang menjadi samar-samar baginya, wajib untuk diperingatkan. Seperti kalau diantara umat Islam ada yang memakai sutera, atau tinggal di tempat yang diambil secara gashab, atau melihat kepada yang bukan mahrom, maka wajib menjelaskan hal itu kepadanya. Dan yang tidak samar-samar baginya, tetapi dekat dengan kehidupannya hingga dimungkinkan ia bisa terjerumus ke dalamnya seperti makan dan minum, maka wajib mengajarkannya. Hingga di suatu negeri apabila telah terbiasa minum khomer dan makan daging babi maka wajib mengajarkannya dan memperingatkannya. Dan apa yang wajib diajarkan tentu wajib dipelajari.
Adapun berkenaan dengan keyakinan dan amal-amal hati, ia wajib memiliki ilmu tentangnya sesuai dengan apa yang terbersit di pikirannya. Jika terbersit di pikirannya keraguan tentang makna yang ditunjuki oleh dua kalimat syahadat, maka ia wajib mempelajarinya sampai dapat menghilangkan keraguan tersebut. Namun jika hal itu tidak terbersit di pikirannya dan ia meninggal sebelum ia meyakini bahwa firman Allah itu qadim (terdahulu), dan bahwa Dia itu dapat terlihat (di akhirat), dan Dia tidak terikat dengan peristiwa-peristiwa, dan sebagainya seperti yang disebutkan di dalam permasalahan aqidah, sungguh ia meninggal di atas Islam secara ijma. Tetapi, apa yang terbersit di pikiran ini, yang mengharuskan untuk mencapai keyakinan, sebagiannya muncul secara alami dari tabiat manusia dan sebagiannya lagi karena mendengar dari penduduk negerinya. Jika di negerinya tersebar pembicaraan tentang bid’ah-bid’ah, maka ia mesti dijaga pada awal masa balignya dengan mentalqinkan yang haq kepadanya. Karena jika kebatilan telah merasuk ke dalam dirinya, ia wajib untuk menghilangkannya dan hal itu mungkin akan terasa sulit. Sebagaimana kalau seorang muslim tersebut adalah seorang pedagang, dimana telah tersebar di negerinya transaksi riba, maka ia wajib mempelajari agar berhati-hati dari riba.
Inilah yang benar tentang penjelasan ilmu fardhu ‘ain, dan maknanya adalah mengetahui tatacara pelaksanaan ilmu yang wajib. Siapa yang mengetahui ilmu yang wajib dan waktu pelaksanaan kewajibannya, sungguh ia telah memiliki ilmu tentang fardhu ‘ain.
Apa yang disebutkan oleh para ahli tasawuf berupa memahami bahaya musuh dan bisikan malaikat adalah juga benar, akan tetapi itu bagi orang yang memang berkepentingan terhadapnya. Apabila secara umum manusia tidak dapat terlepas dari pengaruh-pengaruh keburukan, riya dan hasad, maka ia wajib mempelajari ilmu rubu’ al-muhlikat (seperempat dari pembahasan yang beliau tulis dalam bukunya tentang hal-hal yang dapat membinasakan), sesuai dengan yang dipandang perlu bagi dirinya. Bagaimana tidak wajib? Sungguh Rasulullah saw telah bersabda : “Tiga hal yang dapat membinasakan, yaitu kebakhilan yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti dan kekaguman seseorang pada dirinya.” (HR. Bazzar, Ath-Thabrani, Abu Nu’aim dan Al-Baihaqi dalam Asy-Syu’ab, dari hadits Anas dengan sanad yang lemah).
Hal-hal lain yang akan kami sebutkan berupa keadaan-keadaan hati yang tercela seperti sombong, ujub, dan saudari-saudarinya, mengikuti kepada tiga hal yang membinasakan tersebut. Menghilangkannya adalah fardhu ‘ain. Tidak mungkin dapat menghilangkannya kecuali dengan mengetahui batasan-batasannya, sebab-sebabnya, tanda-tandanya, dan cara pengobatannya. Sesungguhnya siapa yang tidak mengetahui keburukan, ia akan terjerumus padanya. Pengobatannya adalah dengan melakukan kebalikan dari sebab tersebut. Bagaimana ini bisa dilakukan tanpa mengetahui sebab dan musababnya? Kebanyakan yang kami sebutkan dalam rubu al-muhlikat adalah termasuk fardhu ‘ain. Sungguh orang-orang telah meninggalkan secara keseluruhannya karena disibukan dengan sesuatu yang tidak bermakna.
Dan diantara yang mesti diajarkan kepadanya adalah hal-hal yang jika tidak ia miliki akan menjadi penyebab ia keluar dari Islam, yaitu : beriman kepada surga, neraka, dikumpulkan di padang mahsyar, dan disebarkannya catatan amal, sampai ia beriman dan membenarkannya, dan itu termasuk penyempurna dari dua kalimat syahadat. Sesungguhnya setelah ia membenarkan bahwa Nabi Muhammad saw itu adalah seorang rasul, ia mesti memahami risalah yang disampaikannya, yaitu : siapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya maka baginya surga, dan siapa yang durhaka kepada keduanya maka baginya neraka.
Jika kamu memperhatikan tahapan ini, kamu akan tahu bahwa madzhab yang benar adalah ini. Dan telah nyata kebenarannya bahwa setiap hamba yang menjalani kondisinya pada siang dan malamnya, realita dalam ibadah dan muamalahnya tidak kosong dari hal-hal baru yang muncul yang berkaitan erat dengan dirinya, maka ia wajib bertanya tentang setiap hal yang asing yang terjadi tersebut. Dan ia wajib bersegera untuk mempelajari sesuatu yang biasanya terjadi dalam waktu yang dekat.
Apabila telah jelas bahwa ilmu yang lafazhnya dima’rifahkan dengan alif lam yang dimaksud oleh Nabi saw dalam sabdanya “Menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim.” adalah ilmu amal yang memiliki sisi kepopuleran bagi umat Islam, bukan yang lainnya, maka sungguh telah jelaslah bentuk tahapan dan waktu kewajibannya. Wallahu A’lam (Ihya Ulumuddin, hal.22-24).
Inilah ilmu fardhu ‘ain yang mesti dipelajari oleh setiap muslim tanpa terkecuali. Seawam-awamnya seorang muslim mesti mengetahui tiga ilmu ini yang berkaitan dengan: apa yang mesti diyakini, dilakukan dan ditinggalkan, yang terkait dengan tiga ilmu: Aqidah, Akhlaq dan Fiqih dalam permasalahannya yang mendasar, seperti telah diuraikan di atas. Dan tentu saja, seiring dengan berbagai kondisi dan keperluan yang ia hadapi yang memunculkan permasalahan baru, ia mesti terus menambah ilmu dalam tiga ilmu ini sesuai dengan kepentingan dirinya.
Oleh karena itu, untuk merealisasikan ini, para ulama telah “berlomba” dalam menyusun karya-karya ringkas yang memuat ilmu dasar dari tiga ilmu ini. Meskipun dalam taraf pendalaman keilmuannya, para ulama itu antara satu sama lain berbeda. Ada yang mendalami satu dari ketiga ilmu tersebut, baik aqidah, akhlaq maupun fiqih, sehingga terkenallah keulamaan mereka. Ada juga yang menggabungkan dua ilmu atau bahkan ketiga-tiganya, sehingga mereka terkenal ahli dalam ketiga-tiga nya, bahkan mencapai derajat imam. Nah, imam Al-Ghazali adalah di antara ulama yang menguasai ketiga-tiga ilmu tersebut. Meskipun ketiga ilmu ini dalam taraf pendalamannya, artinya lebih dari kadar yang hukumnya fardhu ‘ain untuk dipelajari, akan melahirkan madzhab atau thariqah (metode) dalam detail permasalahan keilmuannya. Madzhab dan metode ini ada yang berpijak kuat kepada hal yang qath’i, tidak melenceng darinya, sehingga para penganutnya tetap berada di jalan yang lurus, dan ada pula yang melenceng dari yang qath’i, sehingga mereka menyimpang dari jalan yang lurus. Dalam ilmu aqidah, dikenal ada tiga madzhab Ahlus Sunnah yaitu Asy’ari, Maturidi dan Atsari/Hanbali. Dalam ilmu fiqih, ada empat madzhab yang populer: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbal, dan ada pula yang lainnya selain empat madzhab ini. Begitu pula dalam ilmu akhlaq, atau dinamakan dengan ilmu Tasawuf atau Suluk, ada madzhab atau lebih dikenal dengan istilah thariqah (metode).
Sebelum mempelajari pendalaman ketiga ilmu tersebut melalui berbagai madzhab atau thariqah yang ada beserta dengan perbedaan pendapat dan perdebatannya yang panjang, seyogianya seorang muslim mempelajari ilmu dasarnya terlebih dahulu yang bersifat qath’i, yang sebenarnya disepakati oleh seluruh ulama. Yaitu ilmu yang bersifat aplikatif, karena tujuan sebenarnya dari ilmu itu adalah lahirnya amal. Yaitu aplikasi dalam hal yang diyakini, dilakukan dan ditinggalkan. Hanya saja, dari ketiga ilmu tersebut, yang paling banyak melahirkan perbedaan adalah ilmu fiqih, juga paling banyak melahirkan cabang permasalahannya. Karena memang wilayah pembahasannya mencakup seluruh perbuatan manusia.
Dalam ilmu aqidah, ada matan-matan ringkas yang telah dirumuskan oleh para ulama. Dalam madzhab Atsari misalnya ada Ushul As-Sunnah imam Ahmad bin Hanbal, Ushul As-Sunnah Al-Humaidi, Al-I’tiqod Abu Ya’la, Syarhus Sunnah Al-Barbahari, Al-Mukhtar fi Ushul As-Sunnah Ibnu Al-Banna yang merupakan ringkasan dari kitab Asy-Syari’ah karya Abu Bakar Al-Ajiri, Al-Wasithiyyah Ibnu Taimiyyah, dll. Dalam madzhab Asy’ari misalnya ada kitab Aqidatul Awwam Syekh Ahmad Al-Marzuqi, Ummul Barohin karya As-Sanusi, dan imam Al-Ghazali pun menulis Qawa’idul Aqa’id secara ringkas dalam kitabnya Ihya ‘Ulumuddin, dll. Dalam madzhab Maturidi, misalnya dikenal Matan An-Nasafi. Selain dari para ulama yang konsen pada bidang ilmu aqidah, ada juga karya lain yang ditulis oleh para ulama ahli fiqih, misalnya yang ditulis oleh seorang ulama bermadzhab Hanafi yaitu yang dikenal dengan Aqidah Ath-Thahawiyyah, dan secara khusus para ulama di madzhab Maliki banyak menulis rumusan aqidah yang biasanya mereka sertakan sebagai muqaddimah pada kitab fiqih mereka. Misalnya yang terkenal adalah muqaddimah Ar-Risalah karya Abu Zaid Al-Qairowani, matan Ibnu Asyir, matan Al-Ahdhari, dan secara khusus Ibnu Juzai A-Kalbi menuliskan rumusan aqidah ini adalah kitabnya An-Nurul Mubin fi Qawa’id Aqa’id Ad-Diin.
Dalam ilmu fiqih, tentu masing-masing madzhab fiqih memiliki kitab yang paling ringkas bagi pemula. Misalnya di madzhab Hanafi ada matan Nurul Idhah karya Abul Barokat, di madzhab Maliki ada matan Al-Ahdhari atau matan Ibnu ‘Asyir, di madzhab Syafi’i ada matan Abu Syuja’, dan di madzhab Hanbali ada matan Umdatul Fiqhi karya Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, dll.
Dalam ilmu Suluk, ada karya dari para ulama yang memang konsen dalam bidang ilmu ini. Misalnya Risalatul Mustarsyidin karya Al-Muhasibi, imam Al-Ghazali menulis di bidang ini bagi pemula misalnya Ayyuhal Walad atau Bidayatul Hidayah, begitu pula Ibnul Jauzi menulis Nashihatul Walad atau Ath-Thib Ar-Ruhani, juga Ibnu Taimiyyah menulis secara ringkas yang merupakan suatu bab di dalam kitab Fatawanya yang disebut dengan At-Tuhfah Al-’Iroqiyyah, dll. Juga ada di antara para ulama fiqih yang menyertakan ilmu ini ke dalam kitab matan fiqih mereka, dan ini biasanya bahkan cendrung menjadi ciri khas di madzhab Malik. Jadi, biasanya di dalam matan madzhab Malik yang ringkas sudah memuat tiga ilmu secara sekaligus. Misalnya matan Ibnu ‘Asyir, matan Al-Ahdhari, juga yang di tulis oleh ulama mu’ashir dari Mauritania yaitu Muhammad Maulud bin Ahmad Fal Asy-Syanqithi dalam kitabnya Al-Kifaf, yang ia tulis dalam bentuk nazham, dll.
Dalam majelis saya, saya mencoba mengkaji tiga ilmu dasar ini, paling tidak bisa menguasai matan An-Nurul Mubin fi Qawa’id Aqa’id Ad-Diin karya Ibnu Juzai Al-Kalbi dalam bidang ilmu Aqidah, Risalatul Musytarsyidin karya Al-Muhasibi dalam bidang ilmu Suluk, dan matan Abu Syuja’ dalam bidang ilmu fiqih madzhab Syafi’i.
Hadanallahu waiyyakum ajma’in.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar