Oleh
: Muhammad Atim
Ilmu inti di dalam Islam itu adalah yang terkait dengan tiga rukun
agama. Yaitu islam, iman dan ihsan. Sebagaimana disebutkan dalam
hadits berikut,
عَنْ
عُمَرَ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ قَالَ بَيْنَمَا نَحْنُ عِنْدَ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ
عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيدُ بَيَاضِ
الثِّيَابِ شَدِيدُ سَوَادِ الشَّعَرِ
لَا يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ
وَلَا يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ حَتَّى
جَلَسَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ
إِلَى رُكْبَتَيْهِ وَوَضَعَ كَفَّيْهِ
عَلَى فَخِذَيْهِ وَقَالَ يَا مُحَمَّدُ
أَخْبِرْنِي عَنْ الْإِسْلَامِ فَقَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ الْإِسْلَامُ أَنْ تَشْهَدَ
أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ
مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتُقِيمَ
الصَّلَاةَ وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ
وَتَصُومَ رَمَضَانَ وَتَحُجَّ الْبَيْتَ
إِنْ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيلًا
قَالَ صَدَقْتَ قَالَ فَعَجِبْنَا لَهُ
يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ قَالَ
فَأَخْبِرْنِي عَنْ الْإِيمَانِ قَالَ
أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ
وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ
الْآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ
وَشَرِّهِ قَالَ صَدَقْتَ قَالَ
فَأَخْبِرْنِي عَنْ الْإِحْسَانِ قَالَ
أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ
فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ
يَرَاكَ قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنْ
السَّاعَةِ قَالَ مَا الْمَسْئُولُ
عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنْ السَّائِلِ
قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنْ أَمَارَتِهَا
قَالَ أَنْ تَلِدَ الْأَمَةُ رَبَّتَهَا
وَأَنْ تَرَى الْحُفَاةَ الْعُرَاةَ
الْعَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُونَ
فِي الْبُنْيَانِ قَالَ ثُمَّ انْطَلَقَ
فَلَبِثْتُ مَلِيًّا ثُمَّ قَالَ لِي
يَا عُمَرُ أَتَدْرِي مَنْ السَّائِلُ
قُلْتُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ
قَالَ فَإِنَّهُ جِبْرِيلُ أَتَاكُمْ
يُعَلِّمُكُمْ دِينَكُمْ
Dari Umar bin al-Khaththab ra, ia berkata, 'Dahulu kami pernah berada
di sisi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, lalu datanglah
seorang laki-laki yang bajunya sangat putih, rambutnya sangat hitam,
tidak tampak padanya bekas-bekas perjalanan. Tidak seorang pun dari
kami mengenalnya, hingga dia mendatangi Nabi Shallallahu 'Alaihi
Wasalam lalu menyandarkan lututnya pada lutut Nabi Shallallahu
'Alaihi Wasalam, kemudian ia berkata, 'Wahai Muhammad, kabarkanlah
kepadaku tentang Islam? ' Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasalam
menjawab: "Kamu bersaksi bahwa tidak ada tuhan (yang berhak
disembah) selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan
utusan-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan puasa Ramadhan,
serta haji ke Baitullah jika kamu mampu bepergian kepadanya.' Dia
berkata, 'Kamu benar.' Umar berkata, 'Maka kami kaget terhadapnya
karena dia menanyakannya dan membenarkannya.' Dia bertanya lagi,
'Kabarkanlah kepadaku tentang iman itu? ' Beliau menjawab: "Kamu
beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para
Rasul-Nya, hari akhir, dan takdir baik dan buruk." Dia berkata,
'Kamu benar.' Dia bertanya, 'Kabarkanlah kepadaku tentang ihsan itu?
' Beliau menjawab: "Kamu menyembah Allah seakan-akan kamu
melihat-Nya, maka jika kamu tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia
melihatmu." Dia bertanya lagi, 'Kapankah hari akhir itu? '
Beliau menjawab: "Tidaklah orang yang ditanya itu lebih
mengetahui daripada orang yang bertanya." Dia bertanya, 'Lalu
kabarkanlah kepadaku tentang tanda-tandanya? ' Beliau menjawab:
"Apabila seorang budak melahirkan (anak) tuan-Nya, dan kamu
melihat orang yang tidak beralas kaki, telanjang, miskin, penggembala
kambing, namun bermegah-megahan dalam membangun bangunan."
Kemudian dia bertolak pergi. Maka aku tetap saja heran kemudian
beliau berkata; "Wahai Umar, apakah kamu tahu siapa penanya
tersebut?" Aku menjawab, 'Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.'
Beliau bersabda: "Itulah jibril, dia mendatangi kalian untuk
mengajarkan kepada kalian tentang agama kalian'." (HR. Muslim,
no. 8).
Tiga rukun agama ini berhubungan dengan tiga unsur manusia. Islam
ditujukan kepada fisik, iman ditujukan kepada akal, dan ihsan
ditujukan kepada hati. Hal itu dilihat dari rukun masing-masing. Lima
rukun Islam yaitu shadadat, shalat, zakat, shaum dan haji, berkaitan
dengan amalan fisik yang zhahir. Enam rukun iman yaitu iman kepada
Allah, kepada para malaikat, kepada kitab-kitab, kepada para rasul,
kepada hari akhir dan kepada takdir baik dan buruk, berkaitan dengan
keyakinan yang terlebih dahulu harus dipahami dan diterima
kebenarannya oleh akal, setelah itu baru sampai kepada keyakinan. Dan
satu rukun ihsan yaitu beribadah kepada Allah seakan-akan melihat
Allah atau minimal merasakan selalu dilihat oleh Allah, berkaitan
dengan amalan hati yang selalu tersambung kepada Allah. Maka, islam
melahirkan ilmu fiqih, iman melahirkan ilmu Aqidah, dan ihsan
melahirkan ilmu Akhlaq. Tiga ilmu ini merupakan inti ajaran Islam
yang mesti dipelajari oleh setiap muslim. Meskipun tidak keseluruhan
pembahasannya harus dikuasai, tetapi ada kadar yang wajib dipelajari
oleh setiap individu muslim berkaitan dengan kewajibannya kepada
Allah, yang disebut dengan ilmu fardhu ‘ain. Imam Al-Ghazali
rahimahullah telah
menjelaskan ilmu fardhu ‘ain ini dengan sangat bagus dalam
kitabnya Ihya Ulumuddin,
yang beliau sebut sebagai ilmu mu’amalah,
artinya ilmu mu’amalah dengan Allah.
Beliau menguraikan, “Dan
mu’amalah yang dibebankan kepada seorang hamba berakal dan balig
itu ada tiga: keyakinan, perbuatan dan yang ditinggalkan. Maka
apabila seorang yang berakal telah mencapai balig baik oleh sebab
mimpi ataupun usia, ia berada pada
waktu menjelang siang misalnya, maka kewajiban pertama atasnya adalah
mempelajari dua kalimat syahadat dan memahami maknanya, yaitu
perkataan,
لا
إِلهَ إِلا اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ
اللهِ
“Tiada tuhan (yang berhak disembah) selain Allah. Muhammad
adalah rasul (utusan) Allah.”
Tidak wajib baginya untuk mampu menyingkapnya dengan pengamatan,
penelitian dan perincian dalil-dalilnya, tetapi cukup baginya
membenarkan/mempercayainya dan meyakininya dengan keyakinan yang kuat
tanpa ada keraguan dan keguncangan jiwa. Hal itu bisa saja diraih
dengan hanya taqlid dan mendengar tanpa penelitian dan pembuktian.
Dimana Rasulullah saw pun mencukupkan kepada orang-orang Arab
pedalaman untuk membenarkan dan mengakui tanpa harus mempelajari
dalil.
Apabila ia telah melakukan itu, sungguh ia telah melaksanakan
kewajiban pada waktu tersebut, dan ilmu fardu ‘ain baginya pada
saat itu adalah mempelajari dua kalimat syahadat dan
memahami maknanya, ia tidak memiliki kewajiban untuk
mempelajari yang lainnya. Dalilnya, bahwa kalau ia
meninggal setelah itu, ia meninggal dalam keadaan taat kepada Allah
‘azza wajalla bukan sebagai orang yang durhaka kepada-Nya. Hanya
saja ia wajib mempelajari yang lainnya oleh sebab
faktor-faktor lain yang muncul, dan faktor-faktor tersebut tidak
bersifat mendesak ada pada setiap orang, tetapi dimungkinkan
ketiadaannya. Faktor-faktor tersebut bisa berkaitan dengan perbuatan,
atau yang ditinggalkan, ataupun berkaitan dengan keyakinan.
Adapun yang terkait dengan perbuatan, apabila orang
tersebut berkesempatan hidup dari menjelang siang hingga waktu
zhuhur, maka dengan masuk waktu zhuhur tersebut mulailah ia
wajib mempelajari thaharah dan shalat. Jika ia sehat, dimana
kalau ia sabar sampai waktu tergelincirnya matahari (waktu zhuhur),
tidak memungkinkan baginya untuk menyelesaikan pembelajaran dan
pengamalan pada waktu tersebut, bahkan akan keluar waktu (shalat
zhuhur) tersebut kalau ia sibuk dalam belajar, tidak
salah kalau dikatakan, pendapat yang kuat hendaklah ia tetap belajar,
ia wajib mendahulukan belajar pada waktu tersebut. Dapat pula
dikatakan, wajibnya mempelajari ilmu yang menjadi syarat amal setelah
wajibnya amal, dan amalan tersebut (shalat zhuhur) belum wajib
dilakukan sebelum tergelincirnya matahari. Begitu pula kaitannya
dengan shalat-shalat yang lain.
Jika ia hidup sampai Ramadhan, mulailah dengan sebab itu ia wajib
mempelajari shaum, yaitu bahwa waktunya dari sejak shubuh sampai
terbenam matahari. Dan yang wajib di dalamnya adalah niat dan
menahan dari makan, minum dan berhubungan suami istri, dan hal itu
terus dilakukan sampai ia melihat hilal (bulan syawal) atau adanya
dua orang saksi (yang melihatnya).
Jika ia mulai memiliki harta atau telah memiliki
harta pada saat ia balig, ia wajib mempelajari zakat
yang wajib baginya. Tetapi tidak wajib pada saat itu juga, ia hanya
wajib ketika telah sempurna satu tahun (haul) berdasarkan waktu
Islam. Jika ia tidak memiliki harta selain unta, tidak
wajib baginya mempelajari zakat selain zakat unta, begitu pula pada
seluruh macam-macam (ashnaf) zakat yang lain.
Lalu apabila ia masuk pada bulan-bulan haji, ia
tidak wajib untuk bersegera mempelajari ilmu haji, karena
mengerjakannya leluasa untuk ditunda sehingga mempelajarinya
tidak mesti bersegera. Tetapi selayaknya bagi para ulama Islam untuk
memperingatkan hal ini bahwa haji itu adalah kewajiban yang bisa
dilakukan secara leluasa waktunya bagi setiap orang
yang memiliki perbekalan dan kendaraan, apabila ia benar-benar telah
memilikinya hingga barangkali ia memandang ada
kemestian bagi dirinya untuk bersegera. Ketika
itulah, apabila ia telah bertekad melaksanakannya,
ia wajib mempelajari tatacara haji. Tidak
ada kewajiban baginya
selain mempelajari rukun-rukun dan kewajiban-kewajibannya saja,
tidak termasuk yang sunnahnya, karena mengerjakan
sesuatu yang sunnah, mempelajari ilmunya juga
termasuk sunnah, tidak termasuk fardhu ‘ain. Berkenaan dengan
haramnya diam dari memperingatkan atas kewajiban dasar haji pada
kondisi ini adalah satu hal yang layak diperhatikan dalam ilmu fiqih.
Begitulah tahapan dalam ilmu seluruh perbuatan yang fardhu ‘ain.
Adapun yang ditinggalkan, ia wajib mempelajari ilmu sesuai
dengan kondisi yang muncul. Hal itu berbeda-beda kondisinya pada
masing-masing individu. Dimana bagi seorang yang bisu tidak wajib
mempelajari apa yang diharamkan dalam pembicaraan, bagi seorang yang
buta tidak wajib mempelajari apa yang diharamkan dari penglihatan,
dan bagi seorang yang tinggal di pedalaman padang pasir, tidak wajib
mempelajari tempat-tempat tinggal yang haram
ditinggali. Begitulah kewajiban itu
sesuai dengan tuntutan kondisi. Apa yang diketahui bahwa ia bisa
terlepas darinya, tidak wajib baginya untuk
mempelajarinya, dan apa yang menjadi samar-samar baginya,
wajib untuk diperingatkan. Seperti kalau diantara umat Islam ada yang
memakai sutera, atau tinggal di tempat yang diambil secara gashab,
atau melihat kepada yang bukan mahrom, maka wajib menjelaskan hal itu
kepadanya. Dan yang tidak samar-samar baginya, tetapi dekat
dengan kehidupannya hingga dimungkinkan ia bisa terjerumus ke
dalamnya seperti makan dan minum, maka wajib
mengajarkannya. Hingga di suatu negeri apabila telah terbiasa minum
khomer dan makan daging babi maka wajib mengajarkannya dan
memperingatkannya. Dan apa yang wajib diajarkan tentu wajib
dipelajari.
Adapun berkenaan dengan keyakinan dan amal-amal hati, ia wajib
memiliki ilmu tentangnya sesuai dengan apa yang terbersit di
pikirannya. Jika terbersit di pikirannya keraguan tentang makna yang
ditunjuki oleh dua kalimat syahadat, maka ia wajib mempelajarinya
sampai dapat menghilangkan keraguan tersebut. Namun jika hal itu
tidak terbersit di pikirannya dan ia meninggal sebelum ia meyakini
bahwa firman Allah itu qadim (terdahulu), dan bahwa Dia itu dapat
terlihat (di akhirat), dan Dia tidak terikat dengan
peristiwa-peristiwa, dan sebagainya seperti yang disebutkan di dalam
permasalahan aqidah, sungguh ia meninggal
di atas Islam secara ijma. Tetapi, apa yang terbersit di pikiran ini,
yang mengharuskan untuk mencapai keyakinan, sebagiannya muncul secara
alami dari tabiat manusia dan sebagiannya lagi karena mendengar dari
penduduk negerinya. Jika di negerinya tersebar pembicaraan
tentang bid’ah-bid’ah, maka ia mesti dijaga pada awal masa
balignya dengan mentalqinkan yang haq kepadanya. Karena jika
kebatilan telah merasuk ke dalam dirinya, ia wajib untuk
menghilangkannya dan hal itu mungkin akan terasa sulit. Sebagaimana
kalau seorang muslim tersebut adalah seorang pedagang, dimana telah
tersebar di negerinya transaksi riba, maka ia wajib mempelajari agar
berhati-hati dari riba.
Inilah yang benar tentang penjelasan ilmu fardhu ‘ain, dan
maknanya adalah mengetahui tatacara pelaksanaan ilmu yang wajib.
Siapa yang mengetahui ilmu yang wajib dan waktu pelaksanaan
kewajibannya, sungguh ia telah memiliki ilmu tentang fardhu ‘ain.
Apa yang disebutkan oleh para ahli tasawuf berupa memahami
bahaya musuh dan bisikan malaikat adalah juga benar, akan tetapi itu
bagi orang yang memang berkepentingan terhadapnya. Apabila secara
umum manusia tidak dapat terlepas dari
pengaruh-pengaruh keburukan, riya dan hasad, maka ia wajib
mempelajari ilmu rubu’ al-muhlikat (seperempat dari pembahasan yang
beliau tulis dalam bukunya tentang hal-hal yang dapat membinasakan),
sesuai dengan yang dipandang perlu bagi dirinya.
Bagaimana tidak wajib? Sungguh Rasulullah saw telah bersabda : “Tiga
hal yang dapat membinasakan, yaitu kebakhilan yang ditaati, hawa
nafsu yang diikuti dan kekaguman seseorang pada dirinya.” (HR.
Bazzar, Ath-Thabrani, Abu Nu’aim dan Al-Baihaqi dalam Asy-Syu’ab,
dari hadits Anas dengan sanad yang lemah).
Hal-hal lain yang akan kami sebutkan berupa keadaan-keadaan
hati yang tercela seperti sombong, ujub, dan saudari-saudarinya,
mengikuti kepada tiga hal yang membinasakan tersebut.
Menghilangkannya adalah fardhu ‘ain. Tidak mungkin dapat
menghilangkannya kecuali dengan mengetahui batasan-batasannya,
sebab-sebabnya, tanda-tandanya, dan cara pengobatannya. Sesungguhnya
siapa yang tidak mengetahui keburukan, ia akan terjerumus padanya.
Pengobatannya adalah dengan melakukan kebalikan dari sebab tersebut.
Bagaimana ini bisa dilakukan tanpa mengetahui sebab dan musababnya?
Kebanyakan yang kami sebutkan dalam rubu al-muhlikat adalah termasuk
fardhu ‘ain. Sungguh orang-orang telah meninggalkan secara
keseluruhannya karena disibukan dengan sesuatu yang tidak bermakna.
Dan diantara yang mesti diajarkan kepadanya adalah hal-hal yang
jika tidak ia miliki akan menjadi penyebab ia keluar dari Islam,
yaitu : beriman kepada surga, neraka, dikumpulkan di padang mahsyar,
dan disebarkannya catatan amal, sampai ia beriman dan membenarkannya,
dan itu termasuk penyempurna dari dua kalimat syahadat. Sesungguhnya
setelah ia membenarkan bahwa Nabi Muhammad saw itu adalah seorang
rasul, ia mesti memahami risalah yang disampaikannya,
yaitu : siapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya maka baginya
surga, dan siapa yang durhaka kepada keduanya maka
baginya neraka.
Jika kamu memperhatikan tahapan ini, kamu akan tahu bahwa madzhab
yang benar adalah ini. Dan telah nyata kebenarannya bahwa
setiap hamba yang menjalani kondisinya pada siang dan malamnya,
realita dalam ibadah dan muamalahnya tidak
kosong dari hal-hal baru yang muncul yang berkaitan erat dengan
dirinya, maka ia wajib bertanya tentang setiap hal yang asing yang
terjadi tersebut. Dan ia wajib bersegera untuk mempelajari sesuatu
yang biasanya terjadi dalam waktu yang dekat.
Apabila telah jelas bahwa ilmu yang lafazhnya dima’rifahkan
dengan alif lam yang dimaksud oleh Nabi saw dalam sabdanya “Menuntut
ilmu adalah wajib bagi setiap muslim.” adalah ilmu amal yang
memiliki sisi kepopuleran bagi umat Islam, bukan yang lainnya, maka
sungguh telah jelaslah bentuk tahapan dan waktu kewajibannya. Wallahu
A’lam (Ihya Ulumuddin, hal.22-24).
Inilah ilmu fardhu ‘ain yang
mesti dipelajari oleh setiap muslim tanpa terkecuali. Seawam-awamnya
seorang muslim mesti mengetahui tiga ilmu ini yang berkaitan dengan:
apa yang mesti diyakini, dilakukan dan ditinggalkan, yang terkait
dengan tiga ilmu: Aqidah, Akhlaq dan Fiqih dalam permasalahannya yang
mendasar, seperti telah diuraikan di atas. Dan
tentu saja, seiring dengan berbagai kondisi dan keperluan yang ia
hadapi yang memunculkan permasalahan baru, ia mesti terus menambah
ilmu dalam tiga ilmu ini sesuai dengan kepentingan dirinya.
Oleh
karena itu, untuk merealisasikan ini, para ulama telah “berlomba”
dalam
menyusun karya-karya ringkas yang memuat ilmu dasar dari tiga ilmu
ini. Meskipun dalam taraf
pendalaman keilmuannya, para ulama itu antara satu sama lain berbeda.
Ada yang mendalami
satu dari ketiga ilmu tersebut, baik aqidah, akhlaq maupun fiqih,
sehingga terkenallah keulamaan mereka. Ada juga yang menggabungkan
dua ilmu atau bahkan ketiga-tiganya, sehingga mereka terkenal ahli
dalam ketiga-tiga nya,
bahkan mencapai derajat imam. Nah, imam Al-Ghazali adalah di antara
ulama yang menguasai ketiga-tiga ilmu tersebut. Meskipun
ketiga ilmu ini dalam taraf pendalamannya, artinya lebih dari kadar
yang hukumnya fardhu ‘ain untuk dipelajari, akan melahirkan madzhab
atau thariqah (metode) dalam detail permasalahan keilmuannya. Madzhab
dan metode ini ada yang berpijak kuat kepada hal yang qath’i, tidak
melenceng darinya, sehingga
para penganutnya tetap berada di jalan yang lurus, dan ada pula yang
melenceng dari yang qath’i, sehingga mereka menyimpang dari jalan
yang lurus. Dalam ilmu
aqidah, dikenal ada tiga madzhab Ahlus Sunnah yaitu Asy’ari,
Maturidi dan Atsari/Hanbali. Dalam ilmu fiqih, ada empat madzhab yang
populer: Hanafi, Maliki,
Syafi’i dan Hanbal, dan ada pula yang lainnya selain empat madzhab
ini. Begitu pula dalam ilmu akhlaq, atau dinamakan dengan ilmu
Tasawuf atau Suluk, ada madzhab atau lebih dikenal dengan istilah
thariqah (metode).
Sebelum
mempelajari pendalaman ketiga ilmu tersebut melalui berbagai madzhab
atau thariqah yang ada beserta
dengan perbedaan pendapat dan perdebatannya yang panjang,
seyogianya seorang muslim mempelajari ilmu dasarnya terlebih dahulu
yang bersifat qath’i, yang sebenarnya disepakati oleh seluruh
ulama. Yaitu ilmu yang
bersifat aplikatif, karena tujuan sebenarnya dari ilmu itu adalah
lahirnya amal. Yaitu aplikasi dalam hal yang diyakini, dilakukan
dan ditinggalkan. Hanya
saja, dari ketiga ilmu tersebut, yang paling banyak melahirkan
perbedaan adalah ilmu fiqih, juga paling banyak melahirkan cabang
permasalahannya. Karena memang wilayah pembahasannya mencakup seluruh
perbuatan manusia.
Dalam ilmu aqidah, ada matan-matan
ringkas yang telah dirumuskan oleh para ulama. Dalam madzhab Atsari
misalnya ada Ushul As-Sunnah
imam Ahmad bin Hanbal, Ushul As-Sunnah
Al-Humaidi, Al-I’tiqod
Abu Ya’la, Syarhus Sunnah
Al-Barbahari, Al-Mukhtar fi Ushul As-Sunnah
Ibnu Al-Banna yang merupakan ringkasan dari kitab Asy-Syari’ah
karya Abu Bakar Al-Ajiri, Al-Wasithiyyah
Ibnu Taimiyyah, dll. Dalam madzhab Asy’ari misalnya ada kitab
Aqidatul Awwam Syekh
Ahmad Al-Marzuqi, Ummul Barohin
karya As-Sanusi, dan imam Al-Ghazali pun menulis Qawa’idul
Aqa’id secara ringkas dalam
kitabnya Ihya ‘Ulumuddin, dll. Dalam madzhab Maturidi, misalnya
dikenal Matan An-Nasafi. Selain dari para ulama yang konsen pada
bidang ilmu aqidah, ada juga karya lain yang ditulis oleh para ulama
ahli fiqih, misalnya yang ditulis oleh seorang ulama bermadzhab
Hanafi yaitu yang dikenal dengan Aqidah Ath-Thahawiyyah, dan secara
khusus para ulama di madzhab Maliki banyak menulis rumusan aqidah
yang biasanya mereka sertakan sebagai muqaddimah pada kitab fiqih
mereka. Misalnya yang terkenal adalah muqaddimah Ar-Risalah karya Abu
Zaid Al-Qairowani, matan Ibnu
Asyir, matan Al-Ahdhari, dan secara khusus Ibnu Juzai A-Kalbi
menuliskan rumusan aqidah ini adalah kitabnya An-Nurul
Mubin fi Qawa’id Aqa’id Ad-Diin.
Dalam ilmu fiqih, tentu
masing-masing madzhab fiqih memiliki
kitab yang paling ringkas bagi pemula. Misalnya di madzhab Hanafi ada
matan Nurul Idhah
karya Abul Barokat, di madzhab Maliki ada matan Al-Ahdhari atau matan
Ibnu ‘Asyir, di madzhab Syafi’i ada matan Abu Syuja’, dan di
madzhab Hanbali ada matan Umdatul Fiqhi karya
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, dll.
Dalam ilmu Suluk, ada karya dari
para ulama yang memang konsen dalam bidang ilmu ini. Misalnya
Risalatul Mustarsyidin karya
Al-Muhasibi, imam Al-Ghazali menulis di bidang ini bagi pemula
misalnya Ayyuhal Walad atau
Bidayatul Hidayah,
begitu pula Ibnul Jauzi menulis Nashihatul Walad
atau Ath-Thib Ar-Ruhani,
juga Ibnu Taimiyyah menulis secara ringkas yang merupakan suatu bab
di dalam kitab Fatawanya yang disebut dengan At-Tuhfah
Al-’Iroqiyyah, dll. Juga ada
di antara para ulama fiqih yang menyertakan ilmu ini ke dalam kitab
matan fiqih
mereka, dan ini biasanya
bahkan cendrung menjadi ciri
khas di madzhab Malik. Jadi, biasanya di dalam matan madzhab Malik
yang ringkas sudah memuat tiga ilmu secara sekaligus. Misalnya matan
Ibnu ‘Asyir, matan Al-Ahdhari, juga
yang di tulis oleh ulama mu’ashir dari Mauritania yaitu Muhammad
Maulud bin Ahmad Fal Asy-Syanqithi dalam kitabnya Al-Kifaf, yang ia
tulis dalam bentuk nazham, dll.
Dalam
majelis saya, saya mencoba mengkaji tiga ilmu dasar ini, paling tidak
bisa menguasai matan An-Nurul Mubin fi Qawa’id Aqa’id
Ad-Diin karya Ibnu Juzai
Al-Kalbi dalam bidang ilmu Aqidah, Risalatul Musytarsyidin
karya Al-Muhasibi dalam bidang
ilmu Suluk, dan matan Abu Syuja’ dalam bidang ilmu fiqih madzhab
Syafi’i.
Hadanallahu waiyyakum ajma’in.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar