Rabu, 01 November 2017

MENGEMBANGKAN ILMU (1)



Serial Muqaddimah Ilmu Syar’i - 3
Selayaknya bagi setiap orang untuk mengembangkan ilmu pengetahuannya hingga ia dapat mengamalkan dan mengajarkannya sebagaimana mestinya.
Di antara cara mengambangkan ilmu adalah dengan memperhatikan beberapa hal berikut ini : 
1. Meniatkan untuk mengajarkan kembali ilmu yang dipelajar
     2. Menyadari bahwa yang akan kita ajarkan itu adalah sebagian dari ilmu yang kita dapatkan
      3. Mengetahui bahwa ilmu itu satu dengan lainnya saling berkaitan dan saling melengkapi
      4. Senantiasa berlatih dalam mengajar
      5. Menyibukkan diri dengan mengajarkan ilmu, karena jika tidak, ia akan terlupakan
     6. Menyusun prioritas ilmu sesuai kepentingannya, karena ilmu itu bermacam-macam, ada yang termasuk sumber, ada yang termasuk alat, ada yang dapat diperoleh melalui penelaahan (muthola’ah), dan ada yang diperoleh mesti dengan menerima langsung dari guru (talaqi bis-sama’).
Pertama, Meniatkan untuk mengajarkan kembali ilmu yang dipelajari
Ilmu itu banyak macamnya. Ilmu yang dihasilkan melalui usaha manusia itu secara garis besar diklasifikasikan kepada dua, yaitu ada ilmu yang dihasilkan dengan menerima dari orang lain (talaqi) dan ada ilmu yang dihasilkan berdasarkan pengalaman (khibrah). Ilmu talaqi, ada yang diterima melalui telinga dengan mendengar, melalui tulisan, dan ada yang melalui melihat dan memperhatikan. Sedangkan ilmu khibrah, adalah ilmu yang dihasilkan manusia melalui pengalaman-pengalamannya, ia bisa menyampaikannya kepada orang lain dan dapat mengungkapkan apa yang ada di dalam dadanya itu kepada orang lain. Berapa banyak orang yang di dalam dadanya terkandung banyak ilmu tetapi tak mampu untuk mengungkapkannya, dan berapa banyak orang yang seperti burung beo, mengetahui ilmu melalui talqin lalu menyampaikannya sama persis dengan yang ia terima. Kalau ibarat barang seperti yang dikatakan saudara-saudara Yusuf, “Ini barang kita dikembalikan lagi kepada kita.” (QS. Yusuf : 65).  Kedua kelompok tersebut masih pendek ilmunya, sedangkan kelompok ketiga adalah yang mampu mengembangkan, menambah dan memperbagus.
Suatu ketika seseorang melihat dalam mimpinya tiga burung merpati yang menelan mutiara. Merpati pertama mengeluarkannya lagi dengan bentuk yang sama, merpati kedua mengeluarkannya lagi dengan bentuk yang lebih besar dari sebelumnya, dan merpati ketiga mengeluarkannya lagi dalam bentuk yang lebih kecil. Lalu ia bertanya kepada Ibnu Sirin rahimahullah tentang tafsir dari mimpinya itu. Ia menjawab, “Kamu duduk di majelisku, di majelis Qatadah dan di majelis Hasan Al-Bashri. Merpati yang mengeluarkan mutiara yang lebih besar itu adalah Hasan Al-Bashri, ia menghapal hadits dan menambahkan ilmunya dengan kecerdasan dan pemahamannya. Merpati yang mengeluarkan mutiara dengan ukuran sama adalah Qatadah, ia menghapal hadits dan menyampaikannya sebagaimana adanya tanpa penambahan dan pengurangan. Sedangkan merpati yang mengeluarkan mutiara lebih kecil adalah aku. Aku menghapal hadits, namun aku tidak menyampaikan seluruhnya khawatir terjatuh pada kesalahan dan menambah sesuatu yang bukan darinya.
Secara umum, orang yang menyampaikan ilmu dengan yang sesuai, tak diragukan lagi ia lebih utama dan lebih banyak pahalanya. Ia akan mendapatkan pahala orang yang mengamalkan dari ilmu yang telah ia ajarkan, juga pahala siapapun orang yang ilmu itu sampai kepadanya sampai hari kiamat tanpa ada yang dikurangi pahala mereka sedikit pun. Dari sanalah kita mengetahui keunggulan orang-orang terdahulu (salaf) dibanding orang-orang belakangan (khalaf). Pahala mereka tidak ada putus-putusnya dan terus bertambah dari abad ke abad, karena ilmu mereka terus dimanfaatkan oleh generasi selanjutnya.  Oleh karena itu, hendaklah bagi orang yang belajar ilmu syar’i menyertakan niat yang lain, yaitu niat untuk mengajarkannya kembali, sebagaimana sabda Rasulullah saw,
خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ
“Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar Al-Qur’an dan mengamalkannya.” (HR. Bukhari dari Utsman bin Affan ra).
Orang yang belajar dengan niat belajar saja agar dia paham, dibanding orang yang menyertakan niat untuk mengajarkannya kembali di samping niat belajar, tentu berbeda. Orang yang hanya berniat belajar saja, ia hanya menghasilkan pemahaman untuk dirinya, dan banyak hal-hal yang tidak ia perhatikan dan pikirkan hingga sampai kepada sebuah pengalaman dan keterampilan. Sedangkan yang menyertakan niat untuk mengajarkannya kembali, selain ia memahami ilmu yang dipelajari, juga memperhatikan dengan sungguh-sungguh bagaimana situasi pembelajaran, syarat-syaratnya, metode pengajarannya, cara mengembangkan ilmu dan mengkombinasikannya, kesulitan-kesulitan yang mungkin muncul dan cara mengatasinya, menerapkannya dalam realitas manusia, memberi solusi-solusi bagi permasalahan yang mereka hadapi, mengamati kondisi para pelajar hingga diketahui mana di antara mereka yang menguasai ilmu yang dipelajari dan mana yang tidak, sehingga dengan itu ia dapat hidup dan berbaur bersama mereka secara peka.
Kedua, menyadari bahwa yang akan kita ajarkan itu adalah sebagian dari ilmu yang kita dapatkan


Mengajar itu, mesti kita sadari, adalah menyampaikan sebagian dari ilmu yang ada pada diri kita. Memilih ilmu yang pas untuk disampaikan kepada murid. Jangan sampai, kita mengajar kepada orang lain dengan menyampaikan semua yang kita tahu, sehingga saat mengajar itu diri kita bagaikan kotak yang kosong karena isinya dituangkan semua. Seperti perkataan Nabi Musa as kepada Nabi Khidir saat memohon untuk diberikan pengajaran,
هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَى أَنْ تُعَلِّمَنِي مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا
“Apakah aku boleh mengikutimu agar engkau mengajarkan kepadaku sebagian dari yang telah diajarkan kepadamu berupa petunjuk.” (QS. Al-Kahfi : 66).
Dalam ayat tersebut dikatakan, “sebagian dari yang telah diajarkan kepadamu.”
Para ahli ilmu berkata,
العِلْمُ بَحْرٌ وَأَوْعِيَتُهُ كَآنِيَتِهِ، آنِيَةُ الْمَاءِ يُغْتَرَفُ بِهَا وَلَا يُمْكِنُ أَنْ يَكُوْنَ إِنَاءٌ يَغْتَرِفُ الْبَحْرَ كُلَّهُ
“Ilmu itu adalah lautan, yang menampung ilmu itu bagaikan tempat yang menampung lautan. Satu wadah yang digunakan untuk menciduk air darinya, tidak mungkin menciduk seluruh air laut itu.”
Hal itu mendorong kita untuk menambah dan mengembangkan ilmu, agar yang kita sampaikan itu bukanlah seluruh ilmu kita. Agar kita terus mempelajari ilmu yang lebih dari yang kita ajarkan. Jika seseorang hendak mengajarkan suatu kitab, ia mesti menelaah kitab yang lebih luas dalam bidang ilmu yang ia ajarkan tersebut. Jika tidak, ia sesungguhnya tidak mampu untuk mengajarkannya. Di zaman ini mungkin kita bisa menjumpai orang yang ingin mensyarah (memberi penjelasan) terhadap kitab-kitab di puncak suatu bidang ilmu, padahal ia belum menguasai bidang ilmu tersebut. Misalnya ingin menjelaskan kitab Sibawaih, kitab puncak dalam ilmu Nahwu, padahal ia belum luas penguasaannya terhadap ilmu Nahwu. Begitu pula dalam ilmu Ushul Fiqih, misalnya kitab Al-Muwafaqat karya Asy-Syathibi, kitab dalam tingkatan yang cukup tinggi.
Belajar itu mesti bertahap, tidak bisa langsung loncat. Allah SWT berfirman,
كُوْنُوا رَبَّانِيِّيْنَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُوْنَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُوْنَ
“Jadilah kalian ulama rabbani, oleh karena kalian mengajarkan Al-Qur’an dan mempelajarinya.” (QS. Ali Imran : 79).
Ibnu Abbas ra menafsirkan makna Ar-Rabbaniyun yaitu para ulama, para fuqaha. Diriwayatkan darinya, Ar-Rabbani yaitu yang mendidik manusia dengan ilmu-ilmu yang kecil sebelum ilmu-ilmu yang besar.” (Fathul Bari, 1:159).
Oleh karena itu, para ulama meletakkan manhaj menuntut ilmu secara bertahap dalam kitab-kitab yang mereka tulis. Ibnu Qudamah misalnya, ahli fiqih dalam madzhab Hanbali, dan beliau ulama besarnya, beliau menyusun kitab dalam mempelajari ilmu fiqih madzhab Hanbali untuk tingkat dasar ‘Umdatul Fiqhi, kemudian Al-Muqni’, kemudian Al-Kafi, kemudian melangkah kepada yang paling tinggi yaitu Al-Mughni. Ibnu Hisyam Al-Anshari menyusun kitab dalam ilmu Nahwu untuk pemula kitab Qathrun Nada, kemudian Syudzur Adz-Dzahab, kemudian I’rabul Jumal, kemudian Awdhahul Masalik ila Alfiyah Ibni Malik, kemudian yang paling tinggi Mughni Al-Labib ‘an kutub al-a’arib.    
Tak sedikit orang yang tidak memperhatikan tahapan dalam menuntut ilmu ini, mereka ingin langsung meloncat kepada kitab yang paling besar dan tinggi, mereka menganggap ringkasan-ringkasan itu tidak berguna, hanya membuang-buang waktu saja. Akhirnya, kita bisa melihat hasil yang mereka pelajari, banyak kesalahan dalam memahami ilmu tersebut.
Ketiga, mengetahui bahwa ilmu itu satu dengan lainnya saling berkaitan dan saling melengkapi
Seluruh ilmu itu bagaikan anggota badan. Darah yang mengalir di otak adalah darah yang mengalir di tubuh, tangan, kaki dan yang lainnya, darah yang sama yang ada dalam suatu perputaran. Oleh karena itu, hendaklah penuntut ilmu mengetahui rahasia-rahasia ilmu dan keterkaitan-keterkaitan antara satu ilmu dengan yang lainnya, agar ia tahu bahwa tidak mungkin menjadi pakar dalam satu bidang ilmu tanpa mengetahui dengan ukuran yang dibutuhkan terhadap ilmu yang melengkapinya. Misalnya tidak mungkin seseorang menjadi ahli dalam ilmu fiqih jika tidak mengetahui seukuran yang dibutuhkan dari ilmu hadits, ushul fiqih, bahasa Arab dan yang lainnya.
Untuk itu kita dapati para ulama, selain ahli dalam satu bidang ilmu, mereka juga ahli di bidang ilmu lain. Inilah yang disebut dengan gelar Al-‘Allamah, yang menguasai berbagai bidang ilmu. Namun meskipun seluruh ilmu-ilmu syar’i dipelajari oleh para ulama, dan mereka menguasainya, namun tidak menutup kemungkinan ada ilmu yang menjadi dominan di antara ilmu-ilmu itu. Dalam menyusun kitab tafsir misalnya, kita dapati para ulama memiliki kecenderungan pada ilmu-ilmu tertentu, tafsir ibnu Katsir dominan pada ilmu haditsnya, Abu Hayyan dominan pada ilmu Nahwunya, Ar-Razi dominan pada ilmu-ilmu logikanya, Az-Zamakhsyari dominan pada ilmu Balagohnya, dst.
Hal itu karena awal mula pengkodifikasian ilmu-ilmu syar’i adalah pada pengkodifikasian hadits-hadits Rasulullah saw. Kitab paling awal dalam pengkodifikasian hadits yang sampai kepada kita adalah Muwatha imam Malik, kita dapati di dalamnya bab-bab dalam ilmu syar’i, ada aqidah, akhlaq, fiqih, tafsir, ulumul Qur’an, dan seterusnya. Begitu pula dalam kitab-kitab lain seperti Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Seiring berjalannya waktu dan munculnya kebutuhan-kebutuhan manusia yang baru, maka ilmu-ilmu yang awalnya menyatu dalam kitab sunnah tersebut, secara perlahan-lahan terpisah mengalami pendalaman-pendalaman sehingga menjadi disiplin ilmu tersendiri.
Dalam mempelajari ilmu-ilmu duniawi pun, para ulama Islam tidak mempelajarinya secara tersendiri, mereka akan melewati pertama kali pembelajaran terhadap ilmu-ilmu syar’i, kita kenal misalnya Ibnu Khaldun, Ibnu Sina, Al-Farabi, Ibnu Rusyd, Ibnu Haitsam, Jabir bin Hayyan, Al-Khawarizmi, dst, mereka ahli dalam ilmu-ilmu duniawi, tetapi mereka memiliki bekal yang cukup terhadap ilmu-ilmu syar’i bahkan menguasainya. Ini menjadi satu tahapan tersendiri dalam pendidikan Islam, dimana pelajar Islam itu pertama kali mempelajari ilmu-ilmu syar’i sebagai dasar yang dimulai dengan penanaman iman, adab, menghapal Al-Qur’an, kemudian hadits, kemudian mempelajari ilmu-ilmunya, dan setelah itu baru mereka mempelajari ilmu-ilmu duniawi yang tujuannya sebagai pengaplikasian dari ilmu-ilmu syar’i tersebut. Sehingga ilmu-ilmu duniawi yang mereka pelajari dan ajarkan, tidak akan lepas dari nuansa Islami, karena basik ilmu Islam mereka cukup kuat.   
Keempat, senantiasa berlatih dalam mengajar
Mengajar adalah sebuah keterampilan yang membutuhkan banyak latihan. Untuk pertama kali, hendaklah berlatih mengajar seorang diri, dalam keadaan sepi tidak ada orang. Pada saat itu ia membayangkan ada orang-orang yang sedang mendengarkannya, ini untuk melatih apakah ia mampu memberikan penjelasan atau tidak, apakah menguasai kitab atau pelajaran yang akan diajarkan atau tidak.
Seperti yang dilakukan oleh Al-A’masy rahimahullah, ia mengikat seekor kambing jantan (tais), lalu ia mengajarinya dan berkata, “Apakah kamu paham?”. Untuk itulah ia dikenal dengan tais Al-A’masy.
Begitu pula yang dilakukan oleh salah seorang ulama Hanafi yaitu imam Ad-Dabbas rahimahullah. Suatu ketika ia menutup pintu masjidnya lalu memuroja’ah kaidah-kaidah fiqih. Ad-Dabbas itu buta tidak dapat melihat, datanglah salah seorang muridnya, ia tahu bahwa jika Ad-Dabbas menutup pintunya pasti ia akan mengulang sesuatu, maka ia hendak mendengarkannya dan bersembunyi di pojok masjid. Ia pun mendengarkan Ad-Dabbas yang saat itu mengulang 34 kaidah fiqih. Namun tiba-tiba ia batuk dan didengar oleh Ad-Dabbas, ia segera berhenti lalu memukul muridnya tersebut dengan tongkatnya dan mengeluarkannya. Namun muridnya itu telah mencuri ilmu kaidah-kaidah fiqih tersebut.
Setelah itu, hendaklah ia berusaha untuk menerapkannya kepada istri dan anak-anaknya, dan juga kepada orang-orang yang ia tidak merasa ada beban terhadap mereka. Hal ini karena kemahiran dalam mengajar itu butuh kepada latihan yang terus menerus. Sebagaimana perkataan Ziyad bin Abihi,
إِنَّ ظَهْرَ الْمِنْبَرِ كَظَهْرِ الْفَرَسِ يَحْتَاجُ إِلَى أَدَبٍ
“Sesungguhnya punggung mimbar itu seperti punggung kuda yang butuh kepada adab.”
Untuk pertama kalinya seekor kuda tidak akan bisa ditunggangi kecuali oleh orang-orang yang kuat, dan yang dapat menjinakkannya adalah orang-orang yang punya keahlian khusus. Begitu pula mimbar yang dinaiki oleh manusia, untuk dapat berbicara di atasnya butuh persiapan dan penjinakkan terhadapnya. Orang yang baru pertama kali naik mimbar, pasti akan merasa grogi dan demam panggung. Bahkan tak sedikit materi yang telah dipersiapkan itu tiba-tiba buyar.
Diriwayatkan Al-Qaba’ rahimahullah, dia seorang orator Quraisy yang terkenal, ketika memulai pidato ia berteriak meminta air kepada orang-orang, “Berilah aku air...berilah aku air...” Karena terasa berat momen ketika itu baginya, saat orang-orang mengarahkan pandangan kepadanya.
Dikenal pula beberapa orang orator yang merasa berat ketika pertama kali, seperti Utsman bin Affan ra ketika naik mimbar sebagai khalifah, saat orang-orang menghadap kepadanya, ia teringat bahwa ia sedang berada di tempat berdiri Rasulullah saw menggantikan posisinya sebagai pemimpin umat. Ia memuji Allah dan setelah itu tak mampu mengucapkan kata-kata, ia diam dalam waktu yang cukup lama, orang-orang melihatnya, kemudian ia menangis. Lalu ia berkata,
أَنْتُمْ إِلَى أَمِيْرٍ فَعَّالٍ أَحْوَجُ مِنْكُمْ إِلَى أَمِيْرٍ قَوَّالٍ، وَلَئِنْ بَقَيْتُ لَتَأْتِيَنَّكُمْ الْخُطَبُ عَلَى وَجْهِهَا وَسَيَجْعَلُ اللهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرَى
“Kalian lebih membutuhkan pemimpin yang banyak bekerja daripada pemimpin yang banyak bicara. Jika aku masih hidup, akan datang kepada kalian khutbah-khutbah sebagaimana mestinya, dan semoga Allah akan menjadikan setelah kesulitan itu kemudahan.”
Lalu ia memohon ampun dan turun dari mimbar. Sungguh, ini merupakan khutbah yang paling mengena. 

Begitu pula Mu’awiyah bin Abi Sufyan ra. Ia adalah orang yang lemah lembut dan bijak. Apabila ia hendak berpidato dalam masalah penting, ia tidak mau berdiri karena saking terasa beratnya kondisi seperti itu. Ia adalah orang yang pertama kali duduk ketika memberikan pidato.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar