Serial Muqaddimah Ilmu Syar’i - 3
Selayaknya bagi setiap orang
untuk mengembangkan ilmu pengetahuannya hingga ia dapat mengamalkan dan
mengajarkannya sebagaimana mestinya.
Di antara cara mengambangkan
ilmu adalah dengan memperhatikan beberapa hal berikut ini :
1. Meniatkan untuk
mengajarkan kembali ilmu yang dipelajar
2. Menyadari bahwa yang
akan kita ajarkan itu adalah sebagian dari ilmu yang kita dapatkan
3. Mengetahui bahwa ilmu
itu satu dengan lainnya saling berkaitan dan saling melengkapi
4. Senantiasa berlatih
dalam mengajar
5. Menyibukkan diri
dengan mengajarkan ilmu, karena jika tidak, ia akan terlupakan
6. Menyusun prioritas
ilmu sesuai kepentingannya, karena ilmu itu bermacam-macam, ada yang termasuk
sumber, ada yang termasuk alat, ada yang dapat diperoleh melalui penelaahan (muthola’ah),
dan ada yang diperoleh mesti dengan menerima langsung dari guru (talaqi
bis-sama’).
Pertama, Meniatkan untuk
mengajarkan kembali ilmu yang dipelajari
Ilmu itu banyak macamnya. Ilmu
yang dihasilkan melalui usaha manusia itu secara garis besar diklasifikasikan kepada
dua, yaitu ada ilmu yang dihasilkan dengan menerima dari orang lain (talaqi)
dan ada ilmu yang dihasilkan berdasarkan pengalaman (khibrah). Ilmu
talaqi, ada yang diterima melalui telinga dengan mendengar, melalui tulisan,
dan ada yang melalui melihat dan memperhatikan. Sedangkan ilmu khibrah, adalah
ilmu yang dihasilkan manusia melalui pengalaman-pengalamannya, ia bisa
menyampaikannya kepada orang lain dan dapat mengungkapkan apa yang ada di dalam
dadanya itu kepada orang lain. Berapa banyak orang yang di dalam dadanya
terkandung banyak ilmu tetapi tak mampu untuk mengungkapkannya, dan berapa
banyak orang yang seperti burung beo, mengetahui ilmu melalui talqin lalu
menyampaikannya sama persis dengan yang ia terima. Kalau ibarat barang seperti
yang dikatakan saudara-saudara Yusuf, “Ini barang kita dikembalikan lagi
kepada kita.” (QS. Yusuf : 65). Kedua
kelompok tersebut masih pendek ilmunya, sedangkan kelompok ketiga adalah yang
mampu mengembangkan, menambah dan memperbagus.
Suatu ketika seseorang
melihat dalam mimpinya tiga burung merpati yang menelan mutiara. Merpati
pertama mengeluarkannya lagi dengan bentuk yang sama, merpati kedua
mengeluarkannya lagi dengan bentuk yang lebih besar dari sebelumnya, dan
merpati ketiga mengeluarkannya lagi dalam bentuk yang lebih kecil. Lalu ia
bertanya kepada Ibnu Sirin rahimahullah tentang tafsir dari mimpinya itu. Ia
menjawab, “Kamu duduk di majelisku, di majelis Qatadah dan di majelis Hasan
Al-Bashri. Merpati yang mengeluarkan mutiara yang lebih besar itu adalah Hasan
Al-Bashri, ia menghapal hadits dan menambahkan ilmunya dengan kecerdasan dan
pemahamannya. Merpati yang mengeluarkan mutiara dengan ukuran sama adalah
Qatadah, ia menghapal hadits dan menyampaikannya sebagaimana adanya tanpa
penambahan dan pengurangan. Sedangkan merpati yang mengeluarkan mutiara lebih
kecil adalah aku. Aku menghapal hadits, namun aku tidak menyampaikan seluruhnya
khawatir terjatuh pada kesalahan dan menambah sesuatu yang bukan darinya.
Secara umum, orang yang
menyampaikan ilmu dengan yang sesuai, tak diragukan lagi ia lebih utama dan
lebih banyak pahalanya. Ia akan mendapatkan pahala orang yang mengamalkan dari
ilmu yang telah ia ajarkan, juga pahala siapapun orang yang ilmu itu sampai
kepadanya sampai hari kiamat tanpa ada yang dikurangi pahala mereka sedikit
pun. Dari sanalah kita mengetahui keunggulan orang-orang terdahulu (salaf)
dibanding orang-orang belakangan (khalaf). Pahala mereka tidak ada
putus-putusnya dan terus bertambah dari abad ke abad, karena ilmu mereka terus
dimanfaatkan oleh generasi selanjutnya. Oleh
karena itu, hendaklah bagi orang yang belajar ilmu syar’i menyertakan niat yang
lain, yaitu niat untuk mengajarkannya kembali, sebagaimana sabda Rasulullah
saw,
خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ
“Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar
Al-Qur’an dan mengamalkannya.” (HR. Bukhari dari
Utsman bin Affan ra).
Orang yang belajar dengan
niat belajar saja agar dia paham, dibanding orang yang menyertakan niat untuk
mengajarkannya kembali di samping niat belajar, tentu berbeda. Orang yang hanya
berniat belajar saja, ia hanya menghasilkan pemahaman untuk dirinya, dan banyak
hal-hal yang tidak ia perhatikan dan pikirkan hingga sampai kepada sebuah
pengalaman dan keterampilan. Sedangkan yang menyertakan niat untuk
mengajarkannya kembali, selain ia memahami ilmu yang dipelajari, juga
memperhatikan dengan sungguh-sungguh bagaimana situasi pembelajaran,
syarat-syaratnya, metode pengajarannya, cara mengembangkan ilmu dan
mengkombinasikannya, kesulitan-kesulitan yang mungkin muncul dan cara
mengatasinya, menerapkannya dalam realitas manusia, memberi solusi-solusi bagi
permasalahan yang mereka hadapi, mengamati kondisi para pelajar hingga
diketahui mana di antara mereka yang menguasai ilmu yang dipelajari dan mana
yang tidak, sehingga dengan itu ia dapat hidup dan berbaur bersama mereka
secara peka.
Kedua, menyadari bahwa
yang akan kita ajarkan itu adalah sebagian dari ilmu yang kita dapatkan
Mengajar itu, mesti kita
sadari, adalah menyampaikan sebagian dari ilmu yang ada pada diri kita. Memilih
ilmu yang pas untuk disampaikan kepada murid. Jangan sampai, kita mengajar
kepada orang lain dengan menyampaikan semua yang kita tahu, sehingga saat
mengajar itu diri kita bagaikan kotak yang kosong karena isinya dituangkan
semua. Seperti perkataan Nabi Musa as kepada Nabi Khidir saat memohon untuk
diberikan pengajaran,
هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَى أَنْ تُعَلِّمَنِي مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا
“Apakah aku boleh
mengikutimu agar engkau mengajarkan kepadaku sebagian dari yang telah diajarkan
kepadamu berupa petunjuk.” (QS. Al-Kahfi : 66).
Dalam ayat tersebut
dikatakan, “sebagian dari yang telah diajarkan kepadamu.”
Para ahli ilmu berkata,
العِلْمُ بَحْرٌ
وَأَوْعِيَتُهُ كَآنِيَتِهِ، آنِيَةُ الْمَاءِ يُغْتَرَفُ بِهَا وَلَا يُمْكِنُ أَنْ
يَكُوْنَ إِنَاءٌ يَغْتَرِفُ الْبَحْرَ كُلَّهُ
“Ilmu itu adalah lautan,
yang menampung ilmu itu bagaikan tempat yang menampung lautan. Satu wadah yang
digunakan untuk menciduk air darinya, tidak mungkin menciduk seluruh air laut
itu.”
Hal itu mendorong kita untuk
menambah dan mengembangkan ilmu, agar yang kita sampaikan itu bukanlah seluruh
ilmu kita. Agar kita terus mempelajari ilmu yang lebih dari yang kita ajarkan.
Jika seseorang hendak mengajarkan suatu kitab, ia mesti menelaah kitab yang
lebih luas dalam bidang ilmu yang ia ajarkan tersebut. Jika tidak, ia
sesungguhnya tidak mampu untuk mengajarkannya. Di zaman ini mungkin kita bisa
menjumpai orang yang ingin mensyarah (memberi penjelasan) terhadap kitab-kitab
di puncak suatu bidang ilmu, padahal ia belum menguasai bidang ilmu tersebut.
Misalnya ingin menjelaskan kitab Sibawaih, kitab puncak dalam ilmu Nahwu,
padahal ia belum luas penguasaannya terhadap ilmu Nahwu. Begitu pula dalam ilmu
Ushul Fiqih, misalnya kitab Al-Muwafaqat karya Asy-Syathibi, kitab dalam
tingkatan yang cukup tinggi.
Belajar itu mesti bertahap,
tidak bisa langsung loncat. Allah SWT berfirman,
كُوْنُوا
رَبَّانِيِّيْنَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُوْنَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ
تَدْرُسُوْنَ
“Jadilah kalian ulama
rabbani, oleh karena kalian mengajarkan Al-Qur’an dan mempelajarinya.” (QS. Ali Imran : 79).
Ibnu Abbas ra menafsirkan
makna Ar-Rabbaniyun yaitu para ulama, para fuqaha. Diriwayatkan darinya,
Ar-Rabbani yaitu yang mendidik manusia dengan ilmu-ilmu yang kecil
sebelum ilmu-ilmu yang besar.” (Fathul Bari, 1:159).
Oleh karena itu, para ulama
meletakkan manhaj menuntut ilmu secara bertahap dalam kitab-kitab yang mereka
tulis. Ibnu Qudamah misalnya, ahli fiqih dalam madzhab Hanbali, dan beliau
ulama besarnya, beliau menyusun kitab dalam mempelajari ilmu fiqih madzhab
Hanbali untuk tingkat dasar ‘Umdatul Fiqhi, kemudian Al-Muqni’, kemudian
Al-Kafi, kemudian melangkah kepada yang paling tinggi yaitu Al-Mughni.
Ibnu Hisyam Al-Anshari menyusun kitab dalam ilmu Nahwu untuk pemula kitab Qathrun
Nada, kemudian Syudzur Adz-Dzahab, kemudian I’rabul Jumal, kemudian
Awdhahul Masalik ila Alfiyah Ibni Malik, kemudian yang paling tinggi Mughni
Al-Labib ‘an kutub al-a’arib.
Tak sedikit orang yang tidak
memperhatikan tahapan dalam menuntut ilmu ini, mereka ingin langsung meloncat
kepada kitab yang paling besar dan tinggi, mereka menganggap ringkasan-ringkasan
itu tidak berguna, hanya membuang-buang waktu saja. Akhirnya, kita bisa melihat
hasil yang mereka pelajari, banyak kesalahan dalam memahami ilmu tersebut.
Ketiga, mengetahui bahwa
ilmu itu satu dengan lainnya saling berkaitan dan saling melengkapi
Seluruh ilmu itu bagaikan anggota
badan. Darah yang mengalir di otak adalah darah yang mengalir di tubuh, tangan,
kaki dan yang lainnya, darah yang sama yang ada dalam suatu perputaran. Oleh
karena itu, hendaklah penuntut ilmu mengetahui rahasia-rahasia ilmu dan
keterkaitan-keterkaitan antara satu ilmu dengan yang lainnya, agar ia tahu
bahwa tidak mungkin menjadi pakar dalam satu bidang ilmu tanpa mengetahui
dengan ukuran yang dibutuhkan terhadap ilmu yang melengkapinya. Misalnya tidak
mungkin seseorang menjadi ahli dalam ilmu fiqih jika tidak mengetahui seukuran
yang dibutuhkan dari ilmu hadits, ushul fiqih, bahasa Arab dan yang lainnya.
Untuk itu kita dapati para
ulama, selain ahli dalam satu bidang ilmu, mereka juga ahli di bidang ilmu
lain. Inilah yang disebut dengan gelar Al-‘Allamah, yang menguasai
berbagai bidang ilmu. Namun meskipun seluruh ilmu-ilmu syar’i dipelajari oleh
para ulama, dan mereka menguasainya, namun tidak menutup kemungkinan ada ilmu
yang menjadi dominan di antara ilmu-ilmu itu. Dalam menyusun kitab tafsir
misalnya, kita dapati para ulama memiliki kecenderungan pada ilmu-ilmu
tertentu, tafsir ibnu Katsir dominan pada ilmu haditsnya, Abu Hayyan dominan
pada ilmu Nahwunya, Ar-Razi dominan pada ilmu-ilmu logikanya, Az-Zamakhsyari dominan
pada ilmu Balagohnya, dst.
Hal itu karena awal mula
pengkodifikasian ilmu-ilmu syar’i adalah pada pengkodifikasian hadits-hadits
Rasulullah saw. Kitab paling awal dalam pengkodifikasian hadits yang sampai
kepada kita adalah Muwatha imam Malik, kita dapati di dalamnya bab-bab dalam
ilmu syar’i, ada aqidah, akhlaq, fiqih, tafsir, ulumul Qur’an, dan seterusnya.
Begitu pula dalam kitab-kitab lain seperti Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Seiring
berjalannya waktu dan munculnya kebutuhan-kebutuhan manusia yang baru, maka
ilmu-ilmu yang awalnya menyatu dalam kitab sunnah tersebut, secara
perlahan-lahan terpisah mengalami pendalaman-pendalaman sehingga menjadi
disiplin ilmu tersendiri.
Dalam mempelajari ilmu-ilmu
duniawi pun, para ulama Islam tidak mempelajarinya secara tersendiri, mereka
akan melewati pertama kali pembelajaran terhadap ilmu-ilmu syar’i, kita kenal
misalnya Ibnu Khaldun, Ibnu Sina, Al-Farabi, Ibnu Rusyd, Ibnu Haitsam, Jabir
bin Hayyan, Al-Khawarizmi, dst, mereka ahli dalam ilmu-ilmu duniawi, tetapi
mereka memiliki bekal yang cukup terhadap ilmu-ilmu syar’i bahkan menguasainya.
Ini menjadi satu tahapan tersendiri dalam pendidikan Islam, dimana pelajar
Islam itu pertama kali mempelajari ilmu-ilmu syar’i sebagai dasar yang dimulai
dengan penanaman iman, adab, menghapal Al-Qur’an, kemudian hadits, kemudian
mempelajari ilmu-ilmunya, dan setelah itu baru mereka mempelajari ilmu-ilmu
duniawi yang tujuannya sebagai pengaplikasian dari ilmu-ilmu syar’i tersebut.
Sehingga ilmu-ilmu duniawi yang mereka pelajari dan ajarkan, tidak akan lepas
dari nuansa Islami, karena basik ilmu Islam mereka cukup kuat.
Keempat, senantiasa
berlatih dalam mengajar
Mengajar adalah sebuah
keterampilan yang membutuhkan banyak latihan. Untuk pertama kali, hendaklah
berlatih mengajar seorang diri, dalam keadaan sepi tidak ada orang. Pada saat
itu ia membayangkan ada orang-orang yang sedang mendengarkannya, ini untuk
melatih apakah ia mampu memberikan penjelasan atau tidak, apakah menguasai
kitab atau pelajaran yang akan diajarkan atau tidak.
Seperti yang dilakukan oleh
Al-A’masy rahimahullah, ia mengikat seekor kambing jantan (tais),
lalu ia mengajarinya dan berkata, “Apakah kamu paham?”. Untuk itulah ia
dikenal dengan tais Al-A’masy.
Begitu pula yang dilakukan
oleh salah seorang ulama Hanafi yaitu imam Ad-Dabbas rahimahullah. Suatu
ketika ia menutup pintu masjidnya lalu memuroja’ah kaidah-kaidah fiqih.
Ad-Dabbas itu buta tidak dapat melihat, datanglah salah seorang muridnya, ia
tahu bahwa jika Ad-Dabbas menutup pintunya pasti ia akan mengulang sesuatu,
maka ia hendak mendengarkannya dan bersembunyi di pojok masjid. Ia pun
mendengarkan Ad-Dabbas yang saat itu mengulang 34 kaidah fiqih. Namun tiba-tiba
ia batuk dan didengar oleh Ad-Dabbas, ia segera berhenti lalu memukul muridnya tersebut
dengan tongkatnya dan mengeluarkannya. Namun muridnya itu telah mencuri ilmu
kaidah-kaidah fiqih tersebut.
Setelah itu, hendaklah ia
berusaha untuk menerapkannya kepada istri dan anak-anaknya, dan juga kepada
orang-orang yang ia tidak merasa ada beban terhadap mereka. Hal ini karena
kemahiran dalam mengajar itu butuh kepada latihan yang terus menerus.
Sebagaimana perkataan Ziyad bin Abihi,
إِنَّ ظَهْرَ
الْمِنْبَرِ كَظَهْرِ الْفَرَسِ يَحْتَاجُ إِلَى أَدَبٍ
“Sesungguhnya punggung
mimbar itu seperti punggung kuda yang butuh kepada adab.”
Untuk pertama kalinya seekor
kuda tidak akan bisa ditunggangi kecuali oleh orang-orang yang kuat, dan yang
dapat menjinakkannya adalah orang-orang yang punya keahlian khusus. Begitu pula
mimbar yang dinaiki oleh manusia, untuk dapat berbicara di atasnya butuh
persiapan dan penjinakkan terhadapnya. Orang yang baru pertama kali naik
mimbar, pasti akan merasa grogi dan demam panggung. Bahkan tak sedikit
materi yang telah dipersiapkan itu tiba-tiba buyar.
Diriwayatkan Al-Qaba’ rahimahullah,
dia seorang orator Quraisy yang terkenal, ketika memulai pidato ia berteriak
meminta air kepada orang-orang, “Berilah aku air...berilah aku air...” Karena
terasa berat momen ketika itu baginya, saat orang-orang mengarahkan pandangan
kepadanya.
Dikenal pula beberapa orang
orator yang merasa berat ketika pertama kali, seperti Utsman bin Affan ra
ketika naik mimbar sebagai khalifah, saat orang-orang menghadap kepadanya, ia
teringat bahwa ia sedang berada di tempat berdiri Rasulullah saw menggantikan
posisinya sebagai pemimpin umat. Ia memuji Allah dan setelah itu tak mampu
mengucapkan kata-kata, ia diam dalam waktu yang cukup lama, orang-orang
melihatnya, kemudian ia menangis. Lalu ia berkata,
أَنْتُمْ إِلَى
أَمِيْرٍ فَعَّالٍ أَحْوَجُ مِنْكُمْ إِلَى أَمِيْرٍ قَوَّالٍ، وَلَئِنْ بَقَيْتُ
لَتَأْتِيَنَّكُمْ الْخُطَبُ عَلَى وَجْهِهَا وَسَيَجْعَلُ اللهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرَى
“Kalian lebih membutuhkan
pemimpin yang banyak bekerja daripada pemimpin yang banyak bicara. Jika aku
masih hidup, akan datang kepada kalian khutbah-khutbah sebagaimana mestinya,
dan semoga Allah akan menjadikan setelah kesulitan itu kemudahan.”
Lalu ia memohon ampun dan
turun dari mimbar. Sungguh, ini merupakan khutbah yang paling mengena.
Begitu pula Mu’awiyah bin Abi Sufyan ra. Ia adalah orang yang lemah lembut dan bijak. Apabila ia hendak berpidato dalam masalah penting, ia tidak mau berdiri karena saking terasa beratnya kondisi seperti itu. Ia adalah orang yang pertama kali duduk ketika memberikan pidato.
Begitu pula Mu’awiyah bin Abi Sufyan ra. Ia adalah orang yang lemah lembut dan bijak. Apabila ia hendak berpidato dalam masalah penting, ia tidak mau berdiri karena saking terasa beratnya kondisi seperti itu. Ia adalah orang yang pertama kali duduk ketika memberikan pidato.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar