Serial Muqaddimah Ilmu Syar'i - 3
Kelima, menyibukkan diri dengan mengajarkan ilmu, karena jika tidak, ia akan terlupakan
Seperti halnya memanah, yang membuat orang cukup lelah dalam mempelajarinya, jika tidak dipraktekkan lagi dalam beberapa waktu akan berkuranglah keterampilan terhadapnya. Sama seperti berenang, jika orang yang telah mempelajarinya tidak lagi mempraktekkannya akan menjadi lupa. Bahkan dalam masalah memanah, ada ancaman keras dari Rasulullah saw bagi orang yang mempelajarinya lalu menelantarkannya. Maka begitu pula keterampilan mengajar, jika kita telah mempelajarinya, jangan sampai terputus darinya.
Oleh karena itu, banyak para ulama ketika mereka dipenjara berusaha untuk tetap mengajar di balik penjara. Imam As-Sarkhasi suatu ketika dipenjara di dalam sumur. Murid-muridnya berkumpul, hingga suaranya sampai kepada mereka. Ia mendiktekan kitabnya Al-Mabsuth, meskipun kitabnya itu merupakan kitab yang cukup tebal, ia mendiktekannya dari dalam sumur.
Di awal pengajaran, hendaklah kita memperhatikan bahwa murid-murid kita adalah tolak ukur penerapan ilmu kita. Oleh karena itu, janganlah membebani murid dengan ilmu yang sulit dipahami oleh otak mereka, yang belum sampai pemahaman mereka. Jangan menjadikan permulaan belajar murid-murid kita adalah puncak ilmu yang kita pelajari. Namun hendaklah memulai dengan yang sesuai dengan tingkat pemahaman mereka secara bertahap. Dalam atsar Ali bin Abi Thalib ra berkata,
“Berbicaralah kalian kepada manusia dengan tingkat pemahaman mereka, apakah kalian suka Allah dan Rasul-Nya diingkari?” (HR. Bukhari).
Ibnu Mas’ud berkata,
“Tidaklah engkau berbicara kepada suatu kaum dengan pembicaraan yang tidak dipahami oleh akal mereka, kecuali hal itu menjadi fitnah bagi sebagian mereka.” (HR. Muslim).
Oleh karena itu, hendaklah bertahap dalam mengajar. Ilmu itu ada tahapannya, sebagaimana telah dibahas sebelumnya. Banyak orang yang meloncat dalam mengajarkan ilmu, ia menganggap telah sampai kepada tingkatan yang tinggi, namun sesungguhnya ia masih berada di awal pembelajaran.
Seperti halnya memanah, yang membuat orang cukup lelah dalam mempelajarinya, jika tidak dipraktekkan lagi dalam beberapa waktu akan berkuranglah keterampilan terhadapnya. Sama seperti berenang, jika orang yang telah mempelajarinya tidak lagi mempraktekkannya akan menjadi lupa. Bahkan dalam masalah memanah, ada ancaman keras dari Rasulullah saw bagi orang yang mempelajarinya lalu menelantarkannya. Maka begitu pula keterampilan mengajar, jika kita telah mempelajarinya, jangan sampai terputus darinya.
Oleh karena itu, banyak para ulama ketika mereka dipenjara berusaha untuk tetap mengajar di balik penjara. Imam As-Sarkhasi suatu ketika dipenjara di dalam sumur. Murid-muridnya berkumpul, hingga suaranya sampai kepada mereka. Ia mendiktekan kitabnya Al-Mabsuth, meskipun kitabnya itu merupakan kitab yang cukup tebal, ia mendiktekannya dari dalam sumur.
Di awal pengajaran, hendaklah kita memperhatikan bahwa murid-murid kita adalah tolak ukur penerapan ilmu kita. Oleh karena itu, janganlah membebani murid dengan ilmu yang sulit dipahami oleh otak mereka, yang belum sampai pemahaman mereka. Jangan menjadikan permulaan belajar murid-murid kita adalah puncak ilmu yang kita pelajari. Namun hendaklah memulai dengan yang sesuai dengan tingkat pemahaman mereka secara bertahap. Dalam atsar Ali bin Abi Thalib ra berkata,
حَدِّثُوا النَّاسَ بِمَا يَفْهَمُوْنَ أَتُحِبُّوْنَ أَنْ يُكَذَّبَ اللهُ وَرَسُوْلُهُ
“Berbicaralah kalian kepada manusia dengan tingkat pemahaman mereka, apakah kalian suka Allah dan Rasul-Nya diingkari?” (HR. Bukhari).
Ibnu Mas’ud berkata,
مَا أَنْتَ بِمُحَدِّثٍ قَوْماً حَدِيْثًا لَا تَبْلُغُهُ عُقُوْلُهمْ إِلَّا كَانَ لِبَعْضِهِمْ فِتْنَةً
“Tidaklah engkau berbicara kepada suatu kaum dengan pembicaraan yang tidak dipahami oleh akal mereka, kecuali hal itu menjadi fitnah bagi sebagian mereka.” (HR. Muslim).
Oleh karena itu, hendaklah bertahap dalam mengajar. Ilmu itu ada tahapannya, sebagaimana telah dibahas sebelumnya. Banyak orang yang meloncat dalam mengajarkan ilmu, ia menganggap telah sampai kepada tingkatan yang tinggi, namun sesungguhnya ia masih berada di awal pembelajaran.
Keenam, menyusun prioritas ilmu sesuai kepentingannya
Dalam ilmu syar’i, ada yang termasuk ilmu-ilmu alat (wasail) dan ada ilmu-ilmu inti (maqashid). Ilmu alat seperti bahasa Arab yang mencakup Nahwu, sharaf, Balagoh dll, ushul fiqih, ushul hadits, dll, sedangkan ilmu inti ada yang berupa sumber yaitu Al-Qur’an dan hadits, dan berupa isi yaitu aqidah, akhlaq dan fiqih. Para ulama berbeda pandangan dalam mendahulukan ilmu yang mesti dipelajari. Ada yang berpendapat agar mendahulukan ilmu alat, karena tanpa ilmu bahasa Arab misalnya seseorang tidak akan dapat memahami dengan baik Al-Qur’an dan hadits, begitu pula tanpa ilmu ushul fiqih seseorang tidak akan bisa memahami permasalahan-permasalahan fiqih. Ada juga yang berpendapat, mendahulukan ilmu-ilmu yang paling dibutuhkan oleh manusia, misalnya ilmu fiqih dan ilmu tafsir Al-Qur’an. Dalam setiap zaman, manusia membutuhkan ilmu fiqih karena ia berkaitan langsung dengan apa yang mesti dilakukan oleh manusia dan apa yang mesti ditinggalkannya, dengan kata lain tentang hukum-hukum perbuatan manusia. Begitu pula ilmu tafsir, ketika seseorang membaca Al-Qur’an, lalu ada ayat yang tidak dipahaminya, ia ingin memahaminya maka dibutuhkanlah ilmu tafsir.
Namun yang jelas dalam menyusun prioritas ilmu ini hendaklah mendahulukan sesuai dengan hukum mempelajarinya. Dalam ilmu syar’i ada yang hukumnya fardu ‘ain, fardu kifayah, dan ada yang hukumnya mandub. Dalam ilmu maqashid, kita mendahulukan yang hukumnya fardu ‘ain yaitu apa yang wajib kita yakini (i’tiqad), yang wajib kita lakukan (fi’il) dan yang wajib kita tinggalkan (tark). Dalam kata lain, yang dasar dari ilmu aqidah, akhlaq dan fiqih. Sedangkan pendalamannya termasuk fardu kifayah, dan tambahan-tambahan yang lebih dari yang dibutuhkan termasuk mandub. Dalam pendalaman inilah, kita bisa mendahulukan ilmu alat terlebih dahulu untuk dapat memahami pembahasan-pembahasan yang lebih mendalam dan pembahasan-pembahasan tambahan. Namun, dalam mempelajari ilmu alat pun, kita mesti mendahulukan yang paling diperlukan untuk memahami pendalaman pada ilmu isi yaitu aqidah, akhlaq dan fiqih dengan menggali langsung pada ilmu sumber, yaitu Al-Qur’an dan hadits. Dengan menyusun prioritas seperti ini, kita dapat melalui tangga-tangga ilmu secara bertahap, sehingga ilmu itu bisa kita serap dengan baik. Di sini kita mendahulukan ilmu-ilmu kecil sebelum ilmu-ilmu besar. Ilmu-ilmu dasar sebelum ilmu-ilmu cabang.
Setelah disusun prioritas, dalam prakteknya kita tidak bisa mempelajari beberapa ilmu dalam satu waktu. Karena hal itu akan membuat pikiran kita bercabang dan membuat tidak fokus. Ini sebenarnya di antara kelemahan menuntut ilmu dalam metode modern sekarang ini, yaitu mempelajari banyak ilmu dalam satu waktu. Kita mesti mempelajarinya satu persatu, agar kita dapat menguasainya. Atau kita menargetkan suatu pembahasan dalam suatu ilmu yang ingin kita kuasai, dan jangan berpindah ke ilmu atau pembahasan lain sebelum kita benar-benar menguasainya. Hendaklah kita mengkhususkan waktu untuk mempelajari suatu ilmu tersebut. Jika dalam satu hari ada lebih dari satu ilmu yang ingin kita pelajari, hendaklah kita memisahkan waktunya, misalnya pagi satu ilmu dan sore satu ilmu.
Sebagaimana nasihat seorang sahabat Nabi saw, Utbah bin Abi Sufyan kepada seorang guru yang akan mengajarkan anaknya. Saat ia menyerahkan anaknya ia berpesan,
Utbah rodhiyallohu 'anhu berkata: “Wahai Abdus Shomad! Hendaklah usaha perbaikanmu yang paling pertama terhadap anakku adalah perbaikanmu terhadap dirimu. Sesungguhnya pandangan mereka tergantung pandanganmu. Yang baik menurut mereka adalah apa yang engkau perbuat, dan yang buruk menurut mereka adalah yang engkau tinggalkan. Ajarkanlah mereka kitab Alloh (Al-Qur’an), dan janganlah membuat mereka bosan sehingga mereka meninggalkannya. Jangan pula membiarkan mereka tidak diajarkan Al-Qur’an sehingga mereka meninggalkannya. Riwayatkanlah kepada mereka hadits yang paling mulia dan syair yang paling bersih. Janganlah memindahkan mereka dari satu ilmu ke ilmu yang lain sampai mereka menguasainya, karena sesungguhnya terlalu penuhnya kata-kata di telinga mereka, membuat mereka sibuk tanpa memahami. Ajarkanlah mereka biografi orang-orang bijak dan akhlaq orang-orang beradab. Peringatkanlah mereka dalam adab mereka tanpa melihat aku. Dan jadilah bagi mereka seperti dokter yang tidak terburu-buru memberi obat sebelum mengenal penyakitnya. Mintalah tambahan kepadaku dengan memberi tambahan kepada mereka, niscaya aku akan tambahkan untukmu kebaikanku. Janganlah engkau memikirkan permohonan maaf dariku, karena sungguh aku selalu berfikir untuk mencukupkanmu.” (Adabul Mu’allimin Ibnu Suhnun, hal.48)
Mempelajari banyak ilmu dalam satu waktu menjadikan kita tidak bisa menguasai apa-apa. Seperti yang dikatakan oleh imam As-Suyuthi,
“Tidaklah aku beradu ilmu dengan orang yang fokus pada satu ilmu kecuali ia mengalahkanku, dan tidaklah aku beradu ilmu dengan orang yang fokus pada sejumlah ilmu kecuali aku dapat mengalahkannya.”
Setelah kita menguasai satu ilmu, hendaklah dilanjutkan dengan mempelajari ilmu berikutnya secara sambung-menyambung karena ilmu-ilmu tersebut saling berkaitan dan saling melengkapi. Jangan membatasi diri pada satu ilmu tanpa mau mempelajari ilmu lainnya terlebih dalam ilmu syar’i. Karena kita tidak akan dapat menjadi ahli dalam suatu ilmu tertentu tanpa memahami ilmu lainnya yang menjadi syarat, sebagaimana telah dijelaskan di bagian terdahulu.
Bagaimana ilmu dapat diperoleh?
Ada tiga cara memperoleh ilmu. Syekh Ath-Thahir bin Asyur dalam kitabnya At-Tahrir wat Tanwir ketika menjelaskan lima ayat pertama surat Al-‘Alaq, beliau mengatakan bahwa ayat-ayat tersebut mengandung cara memperoleh ilmu yaitu, pertama melalui talaqi dengan mendengar langsung (as-sama’) dari guru baik dengan penjelasan (ad-dars) atau dengan dikte (al-imla). Kedua, melalui tulisan dengan membaca dan menelaahnya (muthola’ah). Dan ketiga, melalui pemikiran yang dapat menghasilkan kesimpulan-kesimpulan (al-mustanbathat) dan karya (al-mukhtaro’at). Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyebut tiga cara tersebut dengan lafzhi (lafazh), rasmi (tulisan) dan dzihni (pemikiran).
Dalam hal ini perlu diperhatikan, ada ilmu-ilmu yang dapat diperoleh mesti dengan talaqi mendengar langsung seperti ilmu membaca Al-Qur’an dan ilmu qiroatnya, ilmu hadits yang dibarengi dengan sanad, dan ilmu-ilmu yang membutuhkan penjelasan langsung dari guru seperti Nahwu, Sharaf, Ushul Fiqih dan yang lainnya. Dan ada ilmu-ilmu yang dapat diperoleh cukup melalui muthala’ah seperti sejarah, kisah-kisah yang mengandung pelajaran tentang adab, dan juga sastra yang berisi pemikiran dan kondisi kehidupan manusia. Ada pula ilmu-ilmu yang diperoleh dengan dua cara tersebut seperti aqidah, akhlaq, fiqih, tafsir, syarah hadits, dst. Adapun melalui pemikiran, adalah cara terakhir sebagai sebuah hasil ketika seseorang telah melalui dua cara sebelumnya.
Dalam hal muthala’ah, seseorang harus sudah memiliki kesiapan dan kemampuan untuk melakukannya, seperti ia telah memiliki kemampuan bahasa Arab untuk memahami maksud-maksud dari teks-teks yang ditelaah tersebut. Dan tentu, ia mesti dibantu dengan bimbingan guru, karena jika tidak, berkemungkinan akan terjerumus kepada kesalahpahaman, karena jika hanya mengandalkan buku bisa saja dalam buku tersebut terdapat kesalahan penulisan. Abu Hayyan seorang ahli ilmu Nahwu berkata dalam syairnya,
“Orang bodoh menyangka bahwa buku-buku itu dapat menuntun
Seseorang menjadi paham dan memperoleh ilmu-ilmu
Orang bodoh itu tidak tahu bahwa di dalamnya terdapat
Kerancuan-kerancuan yang membingungkan akal untuk memahami
Jika kamu menuntut ilmu tanpa guru
Kamu akan tersesat dari jalan yang lurus
Berbagai urusan menjadi samar bagimu
Hingga kamu menjadi lebih sesat dari Tuma Al-Hakim"
Tuma Al-Hakim adalah seseorang yang mempelajari ilmu kedokteran hanya dari buku, tanpa guru. Suatu ketika ia membaca suatu hadits dalam kedokteran Nabi saw,
“Habbatussauda (jintan hitam) itu adalah obat bagi berbagai penyakit.”
Namun dalam buku yang ia baca itu terdapat kesalahan penulisan yaitu tertulis,
Yang berarti “ular yang hitam”. Ia pun menyarankan kepada orang-orang agar memakan ular yang hitam. Ia mengobati orang-orang dengannya, dan mereka pun mati karenanya.
Muthala’ah juga mesti dibarengi dengan mudzakarah, yaitu kita memperdengarkan bacaan kita kepada orang lain, dan orang lain memperdengarkannya kepada kita. Sehingga kita dapat lebih memahami dari apa yang kita baca. Sedangkan dalam talaqi kita juga mesti melakukan pemilihan (intikhob), yaitu memilih guru yang memang telah ahli dalam bidang ilmu yang kita ingin pelajari darinya, serta memilih ilmu mana terlebih dahulu yang ingin kita pelajari.
Mengapa kita harus mempelajari ilmu-ilmu yang di zaman sahabat saja tidak ada?
Ilmu-ilmu itu disusun karena munculnya kebutuhan manusia yang baru yang berbeda dari zaman sebelumnya. Jika kita berpatok kepada apa yang ada di zaman sahabat saja, bisakah kita hidup di zaman sekarang ini dengan cara hidup zaman sahabat? Memakan apa yang mereka makan, berpakaian seperti mereka berpakaian, mengendarai unta dan kuda, bergaya hidup seperti mereka? Kalau kita menolak ilmu yang dianggap sesuatu yang bid’ah yang tidak ada pada zaman Nabi saw dan para sahabat, artinya kita juga menolak mushaf Al-Qur’an seperti sekarang ini, jangan menggunakan kitab shahih Bukhari dan Muslim, dst, karena pada zaman Rasulullah saw belum ada mushaf Al-Qur’an, begitu pula zaman Abu Bakar, Umar, barulah pada zaman Utsman mulai disusun. Begitupula kodifikasi hadits, belum ada pada zaman sahabat. Seperti itu pulalah ilmu-ilmu yang lain, yang kemunculannya sesungguhnya menjawab permasalah baru yang muncul. Ilmu Nahwu muncul misalnya karena untuk menjaga bahasa Arab dari kesalahan karena khususnya pada zaman Ali ra sebagai cikal bakal munculnya ilmu Nahwu, orang-orang Arab telah bercampur baur sedemikian rupa dengan orang-orang non-Arab.
Al-Qur’an dan hadits itu adalah petunjuk dan pedoman bagi orang-orang beriman. Adapun dalam pengaplikasiannya, mereka dapat menemukan hal-hal baru –tentu yang tidak bertentangan- sebagai solusi bagi permasalahan-permasalahan baru yang muncul. Untuk itu, tafsir Al-Qur’an itu tidak terbatas pada apa yang dipahami oleh generasi sahabat saja, karena Al-Qur’an bukan hanya petunjuk untuk generasi mereka. Di zaman kita, banyak hal-hal yang dapat menyingkap makna-makna Al-Qur’an yang belum terbersit dalam pikiran para sahabat dahulu. Untuk itu, di setiap zaman dibutuhkan tafsir baru yang dapat memberi petunjuk dan menjawab permasalahan sesuai dengan kondisi zamannya. Begitu pula dalam ilmu fiqih, ilmu yang akan terus berkembang seiring dengan kemunculan permasalahan baru yang tak pernah berhenti. Oleh karena itu, pintu ijtihad tidak pernah ditutup, bagi para ulama yang punya kemampuan, mereka dituntut untuk berijtihad. Seperti itu pula ilmu-ilmu lainnya, selama ia dapat berkhidmat pada ilmu syar’i yang mulia ini, untuk membantu memahami dan mengaplikasikannya, seperti ilmu-ilmu bahasa Arab, ilmu-ilmu logika, ilmu-ilmu sosial, ilmu-ilmu alam, dst.
Bagaimana agar dapat menghadirkan ilmu yang telah dipelajari?
Untuk bisa menghadirkan ilmu yang telah kita pelajari, baik ketika mengajar, berdiskusi, atau pada saat-saat yang lainnya, tentu tidak cukup dengan sekali pembelajaran lalu ilmu-ilmu itu menjadi kuat di dalam otak kita. Tetapi hal itu membutuhkan pengulangan (muroja’ah) dan juga mudzakarah. Karena manusia itu memiliki sifat lupa. Dengan seringnya kita memuroja’ah, baik dengan membaca beberapa kali, atau sering membahasnya baik dalam pengajaran, pidato, diskusi dan yang lainnya, ia akan menjadi kuat di dalam pikiran kita. Untuk itulah, kita akan mendapati cerita para ulama yang membahas suatu kitab berpuluh-puluh kali bahkan ratusan kali. Misalnya Al-Muzanni berkata, “Aku membaca kitab Ar-Risalah (karya imam Asy-Syafi’i) selama lima puluh tahun, aku tidak tahu setiap kali membacanya, aku mendapatkan faidah baru yang belum aku ketahui sebelumnya.” (Lihat Ath-Thabaqat Asy-Syaf’iyyah Al-Kubra, Ibnu Subki). Disebutkan bahwa Abu Bakar bin Athiyyah Al-Muharibi membaca berulang-ulang shahih Bukhari sebanyak tujuh ratus kali. (Lihat Al-Gunyah, Qadhi ‘Iyadh). Ketika Syekh Ibrahim Al-Hariri berada di Makkah ia membacakan shahih Bukhari sebanyak empat kali, dan ketika di Madinah membacakannya lebih dari dua puluh kali. (Lihat Adh-Dhau Al-Lami’, As-Sakhowi).
Selain itu juga perlu menghapal hal-hal yang penting yang kita pelajari. Oleh karena itu, para ulama tak sedikit di setiap disiplin ilmu menyusun nazhom-nazhom ilmu dalam bentuk syair agar mudah dihapal, dan setelah itu kita perlu untuk terus mengulang-ulang hapalan kita itu.
Dalam ilmu syar’i, ada yang termasuk ilmu-ilmu alat (wasail) dan ada ilmu-ilmu inti (maqashid). Ilmu alat seperti bahasa Arab yang mencakup Nahwu, sharaf, Balagoh dll, ushul fiqih, ushul hadits, dll, sedangkan ilmu inti ada yang berupa sumber yaitu Al-Qur’an dan hadits, dan berupa isi yaitu aqidah, akhlaq dan fiqih. Para ulama berbeda pandangan dalam mendahulukan ilmu yang mesti dipelajari. Ada yang berpendapat agar mendahulukan ilmu alat, karena tanpa ilmu bahasa Arab misalnya seseorang tidak akan dapat memahami dengan baik Al-Qur’an dan hadits, begitu pula tanpa ilmu ushul fiqih seseorang tidak akan bisa memahami permasalahan-permasalahan fiqih. Ada juga yang berpendapat, mendahulukan ilmu-ilmu yang paling dibutuhkan oleh manusia, misalnya ilmu fiqih dan ilmu tafsir Al-Qur’an. Dalam setiap zaman, manusia membutuhkan ilmu fiqih karena ia berkaitan langsung dengan apa yang mesti dilakukan oleh manusia dan apa yang mesti ditinggalkannya, dengan kata lain tentang hukum-hukum perbuatan manusia. Begitu pula ilmu tafsir, ketika seseorang membaca Al-Qur’an, lalu ada ayat yang tidak dipahaminya, ia ingin memahaminya maka dibutuhkanlah ilmu tafsir.
Namun yang jelas dalam menyusun prioritas ilmu ini hendaklah mendahulukan sesuai dengan hukum mempelajarinya. Dalam ilmu syar’i ada yang hukumnya fardu ‘ain, fardu kifayah, dan ada yang hukumnya mandub. Dalam ilmu maqashid, kita mendahulukan yang hukumnya fardu ‘ain yaitu apa yang wajib kita yakini (i’tiqad), yang wajib kita lakukan (fi’il) dan yang wajib kita tinggalkan (tark). Dalam kata lain, yang dasar dari ilmu aqidah, akhlaq dan fiqih. Sedangkan pendalamannya termasuk fardu kifayah, dan tambahan-tambahan yang lebih dari yang dibutuhkan termasuk mandub. Dalam pendalaman inilah, kita bisa mendahulukan ilmu alat terlebih dahulu untuk dapat memahami pembahasan-pembahasan yang lebih mendalam dan pembahasan-pembahasan tambahan. Namun, dalam mempelajari ilmu alat pun, kita mesti mendahulukan yang paling diperlukan untuk memahami pendalaman pada ilmu isi yaitu aqidah, akhlaq dan fiqih dengan menggali langsung pada ilmu sumber, yaitu Al-Qur’an dan hadits. Dengan menyusun prioritas seperti ini, kita dapat melalui tangga-tangga ilmu secara bertahap, sehingga ilmu itu bisa kita serap dengan baik. Di sini kita mendahulukan ilmu-ilmu kecil sebelum ilmu-ilmu besar. Ilmu-ilmu dasar sebelum ilmu-ilmu cabang.
Setelah disusun prioritas, dalam prakteknya kita tidak bisa mempelajari beberapa ilmu dalam satu waktu. Karena hal itu akan membuat pikiran kita bercabang dan membuat tidak fokus. Ini sebenarnya di antara kelemahan menuntut ilmu dalam metode modern sekarang ini, yaitu mempelajari banyak ilmu dalam satu waktu. Kita mesti mempelajarinya satu persatu, agar kita dapat menguasainya. Atau kita menargetkan suatu pembahasan dalam suatu ilmu yang ingin kita kuasai, dan jangan berpindah ke ilmu atau pembahasan lain sebelum kita benar-benar menguasainya. Hendaklah kita mengkhususkan waktu untuk mempelajari suatu ilmu tersebut. Jika dalam satu hari ada lebih dari satu ilmu yang ingin kita pelajari, hendaklah kita memisahkan waktunya, misalnya pagi satu ilmu dan sore satu ilmu.
Sebagaimana nasihat seorang sahabat Nabi saw, Utbah bin Abi Sufyan kepada seorang guru yang akan mengajarkan anaknya. Saat ia menyerahkan anaknya ia berpesan,
قَالَ عُتْبَة –رضي الله عنه- يَا عَبْدَ الصَّمَد! لِيَكُنْ أَوَّلُ إِصْلَاحِكَ لِوَلَدِي إِصْلَاحَكَ لِنَفْسِكَ، فَإِنَّ عُيُوْنَهُمْ مَعْقُوْدَةٌ بِعَيْنِكَ، فَالْحَسَنُ عِنْدَهُمْ مَا صَنَعْتَ، وَالْقَبِيْحُ عِنْدَهُمْ مَا تَرَكْتَ، عَلِّمْهُمْ كِتَابَ اللهِ وَلَا تُمِلَّهُمْ فِيْهِ فَيَتْرُكُوْهُ، وَلَا تَتْرُكْهُمْ فِيْهِ فَيَهْجَرُوْهُ، وَرَوِّهِمْ مِنَ الْحَدِيْثِ أَشْرَفَهُ، وَمِنَ الشِّعْرِ أَعَفَّهُ، وَلَا تَنْقُلْهُمْ مِنْ عِلْمٍ إِلَى آخَرَ حَتَّى يُحْكِمُوْهُ، فَإِنَّ ازْدِحَامَ الْكَلَامِ فِي السَّمْعِ مُشْتَغِلَةٌ فِي الْفَهْمِ، وَعَلِّمْهُمْ سِيَرَ الْحُكَمَاءِ وَأَخْلَاقَ الْأُدَبَاءِ، وَهَدِّدْهُمْ فِي أَدَبِهِمْ دَوْنِي، وَكُنْ لَهُمْ كَالطَّبِيْبِ الَّذِي لَا يُعْجِلُ بِالدَّوَاءِ قَبْلَ مَعْرِفَةِ الدَّاءِ، وَاسْتَزِدْنِي بِزِيَادَتِكَ إِيَّاهُمْ أَزِدْكَ فِي بِرِّي، وَإِيَّاكَ أَنْ تَتَّكِلَ عَلَى عُذْرٍ مِنِّي فَقَدِ اتَّكَلْتُ عَلَى كِفَايَةٍ مِنْكَ
Utbah rodhiyallohu 'anhu berkata: “Wahai Abdus Shomad! Hendaklah usaha perbaikanmu yang paling pertama terhadap anakku adalah perbaikanmu terhadap dirimu. Sesungguhnya pandangan mereka tergantung pandanganmu. Yang baik menurut mereka adalah apa yang engkau perbuat, dan yang buruk menurut mereka adalah yang engkau tinggalkan. Ajarkanlah mereka kitab Alloh (Al-Qur’an), dan janganlah membuat mereka bosan sehingga mereka meninggalkannya. Jangan pula membiarkan mereka tidak diajarkan Al-Qur’an sehingga mereka meninggalkannya. Riwayatkanlah kepada mereka hadits yang paling mulia dan syair yang paling bersih. Janganlah memindahkan mereka dari satu ilmu ke ilmu yang lain sampai mereka menguasainya, karena sesungguhnya terlalu penuhnya kata-kata di telinga mereka, membuat mereka sibuk tanpa memahami. Ajarkanlah mereka biografi orang-orang bijak dan akhlaq orang-orang beradab. Peringatkanlah mereka dalam adab mereka tanpa melihat aku. Dan jadilah bagi mereka seperti dokter yang tidak terburu-buru memberi obat sebelum mengenal penyakitnya. Mintalah tambahan kepadaku dengan memberi tambahan kepada mereka, niscaya aku akan tambahkan untukmu kebaikanku. Janganlah engkau memikirkan permohonan maaf dariku, karena sungguh aku selalu berfikir untuk mencukupkanmu.” (Adabul Mu’allimin Ibnu Suhnun, hal.48)
Mempelajari banyak ilmu dalam satu waktu menjadikan kita tidak bisa menguasai apa-apa. Seperti yang dikatakan oleh imam As-Suyuthi,
مَا نَاوَرْتُ ذَا عِلْمٍ إِلَّا غَلَبَنِي وَلَا نَاوَرْتُ ذَا عُلُوْمٍ إِلَّا غَلَبْتُهُ
“Tidaklah aku beradu ilmu dengan orang yang fokus pada satu ilmu kecuali ia mengalahkanku, dan tidaklah aku beradu ilmu dengan orang yang fokus pada sejumlah ilmu kecuali aku dapat mengalahkannya.”
Setelah kita menguasai satu ilmu, hendaklah dilanjutkan dengan mempelajari ilmu berikutnya secara sambung-menyambung karena ilmu-ilmu tersebut saling berkaitan dan saling melengkapi. Jangan membatasi diri pada satu ilmu tanpa mau mempelajari ilmu lainnya terlebih dalam ilmu syar’i. Karena kita tidak akan dapat menjadi ahli dalam suatu ilmu tertentu tanpa memahami ilmu lainnya yang menjadi syarat, sebagaimana telah dijelaskan di bagian terdahulu.
Bagaimana ilmu dapat diperoleh?
Ada tiga cara memperoleh ilmu. Syekh Ath-Thahir bin Asyur dalam kitabnya At-Tahrir wat Tanwir ketika menjelaskan lima ayat pertama surat Al-‘Alaq, beliau mengatakan bahwa ayat-ayat tersebut mengandung cara memperoleh ilmu yaitu, pertama melalui talaqi dengan mendengar langsung (as-sama’) dari guru baik dengan penjelasan (ad-dars) atau dengan dikte (al-imla). Kedua, melalui tulisan dengan membaca dan menelaahnya (muthola’ah). Dan ketiga, melalui pemikiran yang dapat menghasilkan kesimpulan-kesimpulan (al-mustanbathat) dan karya (al-mukhtaro’at). Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyebut tiga cara tersebut dengan lafzhi (lafazh), rasmi (tulisan) dan dzihni (pemikiran).
Dalam hal ini perlu diperhatikan, ada ilmu-ilmu yang dapat diperoleh mesti dengan talaqi mendengar langsung seperti ilmu membaca Al-Qur’an dan ilmu qiroatnya, ilmu hadits yang dibarengi dengan sanad, dan ilmu-ilmu yang membutuhkan penjelasan langsung dari guru seperti Nahwu, Sharaf, Ushul Fiqih dan yang lainnya. Dan ada ilmu-ilmu yang dapat diperoleh cukup melalui muthala’ah seperti sejarah, kisah-kisah yang mengandung pelajaran tentang adab, dan juga sastra yang berisi pemikiran dan kondisi kehidupan manusia. Ada pula ilmu-ilmu yang diperoleh dengan dua cara tersebut seperti aqidah, akhlaq, fiqih, tafsir, syarah hadits, dst. Adapun melalui pemikiran, adalah cara terakhir sebagai sebuah hasil ketika seseorang telah melalui dua cara sebelumnya.
Dalam hal muthala’ah, seseorang harus sudah memiliki kesiapan dan kemampuan untuk melakukannya, seperti ia telah memiliki kemampuan bahasa Arab untuk memahami maksud-maksud dari teks-teks yang ditelaah tersebut. Dan tentu, ia mesti dibantu dengan bimbingan guru, karena jika tidak, berkemungkinan akan terjerumus kepada kesalahpahaman, karena jika hanya mengandalkan buku bisa saja dalam buku tersebut terdapat kesalahan penulisan. Abu Hayyan seorang ahli ilmu Nahwu berkata dalam syairnya,
يَظُنُّ الْغِمْرُ أَنَّ الْكُتْبَ تَهْدِي أَخَا فَهْمٍ لإِدْرَاكِ الْعُلُومِ
وَمَا يَدْرِي الْجَهُولُ بِأَنَّ فِيهَا غَوَامِضَ حَيَّرَتْ عَقْلَ الْفَهِيمِ
إِذَا رُمْتَ الْعُلُومَ بِغَيْرِ شَيْخٍ ضَلَلْتَ عَنِ الصِّراطِ الْمُسْتَقِيمِ
وَتَلْتَبِسُ الأُمُورُ عَلَيْكَ حَتَّى تَصِيرُ أَضَلَّ مِنْ تُومَا الْحَكِيمِ
وَمَا يَدْرِي الْجَهُولُ بِأَنَّ فِيهَا غَوَامِضَ حَيَّرَتْ عَقْلَ الْفَهِيمِ
إِذَا رُمْتَ الْعُلُومَ بِغَيْرِ شَيْخٍ ضَلَلْتَ عَنِ الصِّراطِ الْمُسْتَقِيمِ
وَتَلْتَبِسُ الأُمُورُ عَلَيْكَ حَتَّى تَصِيرُ أَضَلَّ مِنْ تُومَا الْحَكِيمِ
“Orang bodoh menyangka bahwa buku-buku itu dapat menuntun
Seseorang menjadi paham dan memperoleh ilmu-ilmu
Orang bodoh itu tidak tahu bahwa di dalamnya terdapat
Kerancuan-kerancuan yang membingungkan akal untuk memahami
Jika kamu menuntut ilmu tanpa guru
Kamu akan tersesat dari jalan yang lurus
Berbagai urusan menjadi samar bagimu
Hingga kamu menjadi lebih sesat dari Tuma Al-Hakim"
Tuma Al-Hakim adalah seseorang yang mempelajari ilmu kedokteran hanya dari buku, tanpa guru. Suatu ketika ia membaca suatu hadits dalam kedokteran Nabi saw,
الحَبَّةُ السَّوْدَاءُ دَوَاءٌ لِكُلِّ دَاءٍ
“Habbatussauda (jintan hitam) itu adalah obat bagi berbagai penyakit.”
Namun dalam buku yang ia baca itu terdapat kesalahan penulisan yaitu tertulis,
الحَيَّةُ السَّوْدَاءُ
Yang berarti “ular yang hitam”. Ia pun menyarankan kepada orang-orang agar memakan ular yang hitam. Ia mengobati orang-orang dengannya, dan mereka pun mati karenanya.
Muthala’ah juga mesti dibarengi dengan mudzakarah, yaitu kita memperdengarkan bacaan kita kepada orang lain, dan orang lain memperdengarkannya kepada kita. Sehingga kita dapat lebih memahami dari apa yang kita baca. Sedangkan dalam talaqi kita juga mesti melakukan pemilihan (intikhob), yaitu memilih guru yang memang telah ahli dalam bidang ilmu yang kita ingin pelajari darinya, serta memilih ilmu mana terlebih dahulu yang ingin kita pelajari.
Mengapa kita harus mempelajari ilmu-ilmu yang di zaman sahabat saja tidak ada?
Ilmu-ilmu itu disusun karena munculnya kebutuhan manusia yang baru yang berbeda dari zaman sebelumnya. Jika kita berpatok kepada apa yang ada di zaman sahabat saja, bisakah kita hidup di zaman sekarang ini dengan cara hidup zaman sahabat? Memakan apa yang mereka makan, berpakaian seperti mereka berpakaian, mengendarai unta dan kuda, bergaya hidup seperti mereka? Kalau kita menolak ilmu yang dianggap sesuatu yang bid’ah yang tidak ada pada zaman Nabi saw dan para sahabat, artinya kita juga menolak mushaf Al-Qur’an seperti sekarang ini, jangan menggunakan kitab shahih Bukhari dan Muslim, dst, karena pada zaman Rasulullah saw belum ada mushaf Al-Qur’an, begitu pula zaman Abu Bakar, Umar, barulah pada zaman Utsman mulai disusun. Begitupula kodifikasi hadits, belum ada pada zaman sahabat. Seperti itu pulalah ilmu-ilmu yang lain, yang kemunculannya sesungguhnya menjawab permasalah baru yang muncul. Ilmu Nahwu muncul misalnya karena untuk menjaga bahasa Arab dari kesalahan karena khususnya pada zaman Ali ra sebagai cikal bakal munculnya ilmu Nahwu, orang-orang Arab telah bercampur baur sedemikian rupa dengan orang-orang non-Arab.
Al-Qur’an dan hadits itu adalah petunjuk dan pedoman bagi orang-orang beriman. Adapun dalam pengaplikasiannya, mereka dapat menemukan hal-hal baru –tentu yang tidak bertentangan- sebagai solusi bagi permasalahan-permasalahan baru yang muncul. Untuk itu, tafsir Al-Qur’an itu tidak terbatas pada apa yang dipahami oleh generasi sahabat saja, karena Al-Qur’an bukan hanya petunjuk untuk generasi mereka. Di zaman kita, banyak hal-hal yang dapat menyingkap makna-makna Al-Qur’an yang belum terbersit dalam pikiran para sahabat dahulu. Untuk itu, di setiap zaman dibutuhkan tafsir baru yang dapat memberi petunjuk dan menjawab permasalahan sesuai dengan kondisi zamannya. Begitu pula dalam ilmu fiqih, ilmu yang akan terus berkembang seiring dengan kemunculan permasalahan baru yang tak pernah berhenti. Oleh karena itu, pintu ijtihad tidak pernah ditutup, bagi para ulama yang punya kemampuan, mereka dituntut untuk berijtihad. Seperti itu pula ilmu-ilmu lainnya, selama ia dapat berkhidmat pada ilmu syar’i yang mulia ini, untuk membantu memahami dan mengaplikasikannya, seperti ilmu-ilmu bahasa Arab, ilmu-ilmu logika, ilmu-ilmu sosial, ilmu-ilmu alam, dst.
Bagaimana agar dapat menghadirkan ilmu yang telah dipelajari?
Untuk bisa menghadirkan ilmu yang telah kita pelajari, baik ketika mengajar, berdiskusi, atau pada saat-saat yang lainnya, tentu tidak cukup dengan sekali pembelajaran lalu ilmu-ilmu itu menjadi kuat di dalam otak kita. Tetapi hal itu membutuhkan pengulangan (muroja’ah) dan juga mudzakarah. Karena manusia itu memiliki sifat lupa. Dengan seringnya kita memuroja’ah, baik dengan membaca beberapa kali, atau sering membahasnya baik dalam pengajaran, pidato, diskusi dan yang lainnya, ia akan menjadi kuat di dalam pikiran kita. Untuk itulah, kita akan mendapati cerita para ulama yang membahas suatu kitab berpuluh-puluh kali bahkan ratusan kali. Misalnya Al-Muzanni berkata, “Aku membaca kitab Ar-Risalah (karya imam Asy-Syafi’i) selama lima puluh tahun, aku tidak tahu setiap kali membacanya, aku mendapatkan faidah baru yang belum aku ketahui sebelumnya.” (Lihat Ath-Thabaqat Asy-Syaf’iyyah Al-Kubra, Ibnu Subki). Disebutkan bahwa Abu Bakar bin Athiyyah Al-Muharibi membaca berulang-ulang shahih Bukhari sebanyak tujuh ratus kali. (Lihat Al-Gunyah, Qadhi ‘Iyadh). Ketika Syekh Ibrahim Al-Hariri berada di Makkah ia membacakan shahih Bukhari sebanyak empat kali, dan ketika di Madinah membacakannya lebih dari dua puluh kali. (Lihat Adh-Dhau Al-Lami’, As-Sakhowi).
Selain itu juga perlu menghapal hal-hal yang penting yang kita pelajari. Oleh karena itu, para ulama tak sedikit di setiap disiplin ilmu menyusun nazhom-nazhom ilmu dalam bentuk syair agar mudah dihapal, dan setelah itu kita perlu untuk terus mengulang-ulang hapalan kita itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar