Kamis, 06 Mei 2021

Wanita Hamil dan Menyusui Apabila Berbuka, Apakah Qadha atau Fidyah ?

 


 Oleh : Muhammad Atim

 Wanita yang hamil dan menyusui, jika mereka kuat untuk melaksanakan shaum, maka mereka terkena hukum asal wajibnya shaum. Namun jika tidak kuat, mereka boleh untuk berbuka. Lalu apakah mereka wajib qadha ataukah fidyah?

Para ulama berbeda pendapat kepada empat pendapat sebagaimana diceritakan oleh Ibnu Mundzir.

قال ابن المنذر : وللعلماء في ذلك أربعة مذاهب، قال ابن عمر وابن عباس وسعيد بن جبير : يفطران ويطعمان، ولا قضاء عليهما، وقال عطاء بن أبي رباح والحسن والضحاك والنخعي والزهري وربيعة والأوزاعي وأبو حنيفة والثوري وأبو عبيد وأبو ثور وأصحاب الرأي : يفطران ويقضيان، ولا فدية كالمريض، وقال الشافعي وأحمد : يفطران ويقضيان ويفديان وروي ذلك عن مجاهد، وقال مالك : الحامل تفطر وتقضي ولا فدية والمرضع تفطر وتقضي وتفدي وقال ابن المنذر : وبقول عطاء أقول .

Ibnu Mundzir berkata : “Para ulama dalam hal itu memiliki empat pendapat. Ibnu Umar, Ibnu Abbas dan Sa’id bin Jubair berkata : keduanya berbuka dan memberi makan (fidyah) dan tidak ada qadha atas keduanya. ‘Atha bin Abi Rabah, Hasan, Adh-Dhahhak, An-Nakha’i, Az-Zuhri, Rabi’ah, Al-Auza’i, Abu Hanifah, Ats-Tsauri, Abu Ubaid, Abu Tsaur dan Ashabur Ro’yi berkata : keduanya berbuka dan qadha, dan tidak ada fidyah seperti orang yang sakit. Asy-Syafi’i dan Ahmad berkata : keduanya berbuka, qadha dan fidyah. Pendapat ini juga diriwayatkan dari Mujahid. Malik berkata : “Wanita hamil berbuka dan qadha, tidak ada fidyah, sedangkan wanita yang menyusui berbuka, ia qadha dan fidyah”. Dan Ibnu Mundzir berkata : “Aku berpendapat dengan pendapatnya Atha.” (An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, 6/178).

Dapat disimpulkan perbedaan pendapat ulama dalam masalah ini :

1.      Wajib fidyah tidak wajib qadha

2.      Wajib qadha tidak wajib fidyah

3.      Wajib qadha dan fidyah,

4.      Wanita hamil wajib qadha tidak wajib fidyah, dan wanita menyusui wajib qadha dan fidyah.

Pendapat Ibnu Umar dan Ibnu Abbas itu sebagaimana diriwayatkan berikut ini :

عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ امْرَأَتَهُ سَأَلَتْهُ، وَهِيَ حُبْلَى، فَقَالَ : أَفْطِرِي وَأَطْعِمِي عَنْ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِيْنًا وَلَا تَقْضِي

Dari Ibn Umar, bahwa istrinya bertanya kepadadnya dan ia sedang hamil. Lalu ia menajawab : “Berbukalah dan berilah makan setiap hari satu orang miskin, dan kamu tidak mengqadha. (HR. Ad-Daraquthni, Sunan Ad-Daraquthni, no. 2388).

 

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ : ﴿وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ﴾ ، قَالَ : كَانَتْ رُخْصَةً لِلشَّيْخِ الْكَبِيرِ، وَالْمَرْأَةِ الْكَبِيرَةِ ، وَهُمَا يُطِيقَانِ الصِّيَامَ أَنْ يُفْطِرَا، وَيُطْعِمَا مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ سْكِينًا، وَالْحُبْلَى وَالْمُرْضِعُ إِذَا خَافَتَا

Dari Ibnu Abbas : “Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin”, ia berkata : hal tersebut merupakan keringanan bagi laki-laki tua dan wanita tua, keduanya berat melaksanakan shaum, agar berbuka dan memberi makan setiap hari satu orang miskin, dan keringanan ini juga bagi orang yang hamil dan menyusui apabila keduanya merasa khawatir. (HR Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, no.2318).

وَكَانَ ابْنُ عَبَّاسٍ يَقُوْلُ لِأُمِّ وَلَدٍ لَهُ حُبْلَى : أَنْتِ بِمَنْزِلَةِ الَّتِي لا تُطِيقُهُ فَعَلَيْكِ الْفِدَاءُ، ولاَ قَضَاءَ عَلَيْكِ

Ibnu Abbas berkata kepada seorang perempuan Ummul Walad yang hamil : “Engkau kedudukannya sama dengan orang yang payah, maka wajib bagimu fidyah, tidak ada qadha bagimu (HR. Al-Bazzar, Musnad Al-Bazzar, no. 4996).

Dalam madzhab Syafi’i dan Hanbali sebenarnya dirinci seperti ini : “Apabila wanita hamil dan menyusui mengkhawatirkan dirinya atau mengkhawatirkan dirinya dan anaknya, maka keduanya wajib qadha, tidak wajib fidyah. Sedangkan jika mengkhawatirkan anaknya saja, maka wajib qadha dan fidyah.” (Lihat Minhajuth Thalibin, hal.73, Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, 6/177, Raudhul Murbi’, hal.176).

 

Sebab perbedaan pendapat mereka adalah karena wanita hamil dan menyusui bukanlah sebab tersendiri dibolehkannya berbuka karena tidak ada ayat Al-Qur’an ataupun hadits yang menyebutkan hal itu. Sehingga penentuan hukumnya dengan metode qiyas, yaitu mencari ‘illat (alasan hukum) lalu menyamakannya dengan yang ada di dalam nash. Yang ada di dalam nash itu adalah qadha bagi orang yang sakit dan safar, dan dalam hadits juga disebut bagi yang haid (yang nifas disamakan dengan yang haid). Sedangkan fidyah bagi orang-orang yang berat melaksanakan shaum yaitu –sebagaimana tafsiran Ibnu Abbas- adalah lelaki dan wanita yang sudah tua renta.

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيْضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ، وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍ

Maka barangsiapa di antara kalian yang keadaannya sakit atau sedang dalam perjalanan (lalu tidak shaum), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang ia tidak shaum) pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin.(QS. Al-Baqarah : 184).

Dari Abu Sa’id Al-Khudri, ia berkata, Rasulullah bersabda :

أَلَيْسَتْ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ، فَذلِكَ نُقْصَانُ دِيْنِهَا

“Bukankah apabila perempuan itu haid ia tidak shalat dan tidak shaum? Maka itulah suatu kekurangan dalam agamanya.” (HR. Bukhari, no. 1951).

عَنْ مُعَاذَةَ قَالَتْ سَأَلْتُ عَائِشَةَ فَقُلْتُ مَا بَالُ الْحَائِضِ تَقْضِي الصَّوْمَ وَلَا تَقْضِي الصَّلَاةَ فَقَالَتْ أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ قُلْتُ لَسْتُ بِحَرُورِيَّةٍ وَلَكِنِّي أَسْأَلُ قَالَتْ كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلَا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ

Dari Mu'adzah dia berkata, "Saya bertanya kepada Aisyah seraya berkata; 'Kenapa wanita haid mengqadha puasa dan tidak mengqadha' shalat?’ Aisyah menjawab; ‘Apakah kamu dari golongan Haruriyah?’ Aku menjawab; ‘Aku bukan Haruriyah, akan tetapi aku hanya bertanya.' Dia menjawab; ‘Kami dahulu mengalami haid, kami diperintahkan untuk mengqadha' puasa dan tidak diperintahkan mengqadha' shalat'. (HR. Muslim, no. 335).

عَنْ عَطَاءٍ سَمِعَ ابْنَ عَبَّاسٍ يَقْرَأُ وَعَلَى الَّذِينَ يُطَوَّقُونَهُ فَلَا يُطِيقُونَهُ ﴿فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ لَيْسَتْ بِمَنْسُوخَةٍ هُوَ الشَّيْخُ الْكَبِيرُ وَالْمَرْأَةُ الْكَبِيرَةُ لَا يَسْتَطِيعَانِ أَنْ يَصُومَا فَيُطْعِمَانِ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا

Dari Atha dia mendengar Ibnu Abbas membaca ayat, "Dan bagi orang-orang yang berat menjalankannya maka wajib membayar fidyah yaitu memberi makan satu orang miskin, "(QS. Al-Baqarah 184), Ibnu Abbas berkata : Ayat ini tidak dimanshukh, namun ayat ini hanya untuk lelaki dan wanita tua renta, yang tidak mampu menjalankannya, maka hendaklah mereka memberi makan setiap hari kepada orang miskin.” (HR. Bukhari, no. 4505).

Titik perselisihan (mahallun niza’)nya adalah apakah wanita hamil dan menyusui itu lebih disamakan kepada orang yang sakit ataukah kepada orang yang berat melaksanakan shaum? Jika lebih disamakan kepada orang yang sakit berarti wajib qadha, tidak wajib fidyah, dan jika lebih disamakan kepada orang yang berat melaksanakannya berarti wajib fidyah, tidak wajib qadha. Namun jika memiliki kesamaan dengan kedua-duanya maka wajib qadha dan fidyah. Selain itu, ada juga yang membedakan antara wanita hamil dan menyusui, yaitu wanita hamil qadha saja tidak wajib fidyah, sedangkan wanita menyusui wajib qadha dan fidyah.

Wanita hamil dan menyusui yang berbuka shaum itu, udzurnya adalah karena ada kekhawatiran. Jika kekhawatiran itu besar, yaitu jika tanpa makan-minum akan mengakibatkan kebinasaan atau rasa sakit yang parah, maka dalam kondisi seperti itu wajib untuk berbuka. Adapun jika kekhawatirannya lebih rendah dari itu, ia dianjurkan untuk berbuka. Kekhawatiran akan timbulnya rasa sakit atau bahkan kebinasaan baik terhadap dirinya maupun bagi anaknya, ini lebih dekat maknanya disamakan dengan orang yang sakit. Inilah yang dipahami oleh mayoritas para ulama, bahkan seluruh ulama di empat madzhab. Tidak ada perbedaan pada mereka tentang wajibnya qadha, mereka hanya berselisih apakah wajib fidyah atau tidak. Adapun pendapat yang tidak mewajibkan qadha yang dinisbatkan kepada Ibnu Umar dan Ibnu Abbas, jalan istidlalnya perlu ditinjau kembali. Karena mengqiyaskannya semata kepada lansia yang berat melaksanakan shaum, belumlah cukup setara. Perbedaannya, lansia tidak memiliki kesempatan untuk mengqadha shaum, sedangkan wanita hamil dan menyusui memiliki kesempatan untuk mengqadhanya.

Wallahu A’lam

 

Ikuti channel telegram :  

t.me/butirpencerahan

t.me/maisy_institute
 

Group WA 

https://chat.whatsapp.com/CUXTLOaU4Q14mPdualdt87

Tidak ada komentar:

Posting Komentar