Minggu, 07 Februari 2021

Memenuhi Akad


 Oleh : Muhammad Atim

 

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُوْدِ، أُحِلَّتْ لَكُمْ بَهِيْمَةُ الْأَنْعَامِ إِلَّا مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ غَيْرَ مُحِلِّي الصَّيْدِ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ. إِنَّ اللهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيْدُ

“Wahai orang-orang beriman, penuhilah akad-akad. Telah dihalalkan bagi kalian binatang ternak kecuali yang akan dibacakan kepada kalian dengan tidak menghalalkan hewan buruan ketika kalian sedang ihram. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum sesuai dengan apa yang Dia kehendaki”

(QS. Al-Maidah : 1).

Surat Al-Maidah adalah surat Madaniyyah yang turun di akhir periode Madinah. Ayat ketiganya yang turun pada hari ‘Arofah pada haji Wada’ menegaskan bahwa syariat Islam telah disempurnakan. Meskipun masih ada ayat-ayat lain yang turun setelah itu, sebagaimana menjadi perbedaan pendapat para ulama tentang ayat yang paling terakhir turun, dan yang paling kuat adalah surat Al-Baqarah ayat 281. Namun hal itu tidak menafikan bahwa surat Al-Maidah secara umum adalah surat yang paling akhir turun. Karena tidak mustahil antara satu surat dengan surat lainnya turun secara berselang.

Kondisi surat Al-Maidah sebagai surat yang paling akhir turun inilah yang menjadikan hukum-hukum yang ada di dalamnya adalah hukum yang muhkam (diberlakukan), tanpa ada yang dinasakh. Abu Maisarah, sebagaimana dikutip oleh Al-Qurthubi dalam tafsirnya, berkata : “Surat Al-Maidah adalah termasuk yang paling akhir diturunkan, tidak ada di dalamnya ayat yang mansukh. Dan di dalamnya ada 18 ketentuan hukum yang tidak disebutkan pada surat yang lainnya.” Lalu ia menyebutkan ke-18 hal tersebut. Kemudian Al-Qurthubi menambahkan yang ke-19 yaitu tentang syariat adzan yang disebutkan di dalamnya. Al-Hakim meriwayatkan dalam Al-Mustadraknya sebuah riwayat yang ia pandang shahih sesuai dengan syarat dua Syaikh (Bukhari dan Muslim), dari Jubair bin Nufair ia berkata : “Aku melaksanakan haji lalu aku menemui Aisyah, ia berkata kepadaku, “Wahai Jubair, apakah kamu membaca Al-Maidah?” Aku jawab, “Iya”. Lalu ia berkata : “Ketahuilah sesungguhnya ia adalah surat terakhir yang diturunkan. Maka apa yang kalian temukan di dalamnya sebagai kehalalan, maka tetapkanlah ia sebagai kehalalan, dan apa yang kalian temukan di dalamnya sebagai keharaman, maka tetapkanlah ia sebagai keharaman.”

Ayat yang pertama dari surat Al-Maidah ini mengandung hukum yang sangat kuat, yaitu memenuhi akad. Dan paling besarnya adalah akad perjanjian dengan Allah SWT. Untuk itulah, surat Al-Maidah ini dinamakan juga sebagai surat Al-‘Uquud (akad-akad). Selain itu, ayat ini juga mengandung mu’jizat kebahasaan. Bahwa dalam ayat yang pendek ini, terdapat banyak makna, kefasihan dan uslub (gaya bahasa) yang bervariasi. Ada panggilan “wahai orang-orang beriman!”, ada perintah “penuhilah akad-akad”, ada pembolehan “dihalalkan bagi kalian binatang ternak”, ada pengecualian “kecuali yang akan dibacakan kepada kalian”, ada pengecualian setelah pengecualian “dengan tidak menghalalkan binatang buruan ketika kalian sedang ihram”, dan ada khabar “sesungguhnya Allah menetapkan hukum sesuai yang Ia kehendaki.” Diceritakan oleh Al-Qurthubi dan Ibnu ‘Athiyyah bahwa ada seorang hakim yang mencoba berusaha membuat yang semisal dengan Al-Qur’an. Ketika ia lihat surat Al-Maidah ayat pertama ini, tak ada daya dan upaya baginya untuk menandinginya. Ia mengatakan, bahwa untuk membuat perkataan yang memuat gaya bahasa yang bervariasi seperti itu dibutuhkan untuk menyusunnya secara berjilid-jilid.

“Wahai orang-orang yang beriman!”       

Merupakan ciri khas surat madaniyyah diawali dengan panggilan “wahai orang-orang yang beriman!”. Di dalam Al-Qur’an, panggilan ini disebutkan sebanyak 88 kali, dan paling banyak disebutkan di dalam surat Al-Maidah, yaitu sebanyak 16 kali. Ibnu Abi Hatim meriwayatkan bahwa Ibnu Mas’ud berkata, “Apabila kamu mendengar Allah berfirman, “wahai orang-orang yang beriman!” maka maksimalkanlah pendengaranmu untuk mendengarnya, karena sesungguhnya itu berisi kebaikan yang akan Dia perintahkan, atau kejelakan yang akan Dia larang.”

“Penuhilah akad-akad”

Ayat ini berisi perintah untuk memenuhi akad. Akad menurut bahasa adalah asy-syaddu war rabthu (menarik dan mengikat). Secara hakikat, maknanya adalah mengikatkan tali pada ember atau sejenisnya. Dan menarik tali juga dinamakan akad. Lalu digunakan secara majaz untuk makna komitmen (iltizam). Penggunaan untuk makna majaz ini kemudian menjadi dominan hingga menjadi hakikat ‘urfiyyah. Dan ia bermakna : “Komitmen yang dilakukan di antara kedua belah pihak terhadap perbuatan tertentu.” Sedangkan dalam istilah para ahli fiqih, akad adalah : “Melakukan serah terima di antara kedua beliau pihak”. (lihat Tafsir At-Tahrir wat Tanwir).

Akad yang dimaksud dalam ayat ini mencakup seluruh akad. Selama akad itu tidak menyalahi ketentuan Allah maka wajib untuk dipenuhi. Baik akad yang dilakukan di antara sesama manusia berupa perjanjian ataupun transaksi-transaksi seperti jaul beli, pernikahan dan lainnya, bahkan terhadap orang kafir sekalipun. Ataupun akad dengan Allah, yaitu berkomitmen terhadap apa yang Ia halalkan dan yang Ia haramkan. Ibnu Abbas berkata : “Wahai orang-orang beriman, penuhilah akad-akad!” Yakni janji-janji. Yakni apa yang Allah halalkan, yang Ia haramkan, yang ia wajibkan dan seluruh yang Ia tentukan di dalam Al-Qur’an. Janganlah kalian mengkhianatinya dan melepaskannya.”

Mengapa Ibnu Abbas dan para ulama lainnya lebih memaknai akad di sini sebagai perjanjian dengan Allah? Karena perjanjian dengan Allah adalah akad yang paling kuat yang harus dipenuhi. Untuk itu, dalam lanjutan ayatnya Allah menyebutkan tentang hal-hal yang dihalalkan dan yang diharamkan. Sebagai sebuah komitmen yang harus dipegang erat oleh orang-orang beriman. Terlebih, keadaan surat Al-Maidah sebagai surat yang terakhir turun dan orang-orang beriman lebih banyak dipanggil, menunjukkan bahwa hukum-hukum yang terdapat di dalam surat ini hanya bisa dilakukan oleh orang-orang beriman. Oleh karena itu, memenuhi perjanjian dan komitmen terhadap akad, adalah ciri seseorang telah sampai kepada derajat keimanan yang sempurna. Dan sebaliknya orang yang ingkar terhadap janji dan akadnya adalah ciri orang yang munafik.

“Dihalalkan bagi kalian binatang ternak”

Apa kaitannya memenuhi akad dan dihalalkannya binatang ternak? Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa akad paling besar adalah komitmen terhadap halal haram yang ditentukan oleh Allah. Komitmen yang dilakukan dengan usaha yang kuat sebenarnya terletak pada meninggalkan yang haram. Sedangkan terhadap yang halal, tidak ada kesulitan di dalamnya, bahkan ia merupakan keni’matan. Sehingga, penyebutan hal yang dihalalkan ini sebagai pengantar untuk disebutkan setelahnya yang diharamkan. Sebagai isyarat untuk mengingatkan, bahwa ni’mat Allah dalam hal-hal yang dihalalkan itu sangat banyak. Adapun yang diharamkan hanya sedikit saja. Selain itu, di sini ada isyarat, bahwa semakin suatu umat memenuhi akad perjanjiannya, maka semakin banyak yang dihalalkan oleh Allah baginya. Sebaliknya, semakin suatu umat banyak tidak memenuhi akad perjanjian, maka semakin sedikit yang dihalalkan Allah baginya, sebagaimana yang menimpa Bani Israil.

“Al-Bahimah” artinya hewan. Sedangkan “Al-An’am” artinya ternak. Ternak yang dimaksud di dalam bahasa Arab adalah mencakup unta, sapi dan domba atau kambing. Sedangkan selain itu tidak termasuk al-an’am. Lalu apakah yang dihalalkan hanya binatang ini saja? Tentu tidak. Dalam lanjutan ayatnya ada kata “dengan tidak menghalalkan binatang buruan ketika kalian sedang ihram”, ini menunjukkan bahwa jika tidak sedang ihram, binatang buruan itu dihalalkan. Dan ini mencakup banyak sekali hewan yang bisa diburu dan dimakan. Menyebutkan kehalalan unta, sapi dan domba dalam ayat ini adalah untuk meluruskan adat jahiliyah yang mengharamkan sebagiannya yang mereka persembahkan untuk berhala yang disebut dengan bahirah, saibah, washilah dan ham (lihat surat Al-Maidah : 103). Juga keistimewaannya sebagai binatang yang bisa disembelih untuk ibadah qurban dan semacamnya.

“Kecuali yang akan dibacakan kepada kalian”

Mengecualikan dengan sesuatu yang belum jelas (mubham) dan dijanjikan penyebutaannya adalah agar membuat kita penasaran dan mau bersungguh-sungguh untuk mengetahuinya. Maka penyebutnya terdapat di dalam ayat ketiganya, yaitu bahwa yang diharamkan itu adalah bangkai, darah, daging babi dan yang disembelih untuk selain Allah, dengan memberi perincian kondisi saat ia menjadi bangkai. Dan ini yang harus dijaga oleh seorang mu’min sebagai komitmen atas janjinya kepada Allah, yaitu menjauhi makanan-makanan yang diharamkan.

“Dengan tidak menghalalkan hewan buruan ketika kalian sedang ihram”

Yang diharamkan berikutnya adalah binatang buruan saat sedang melakukan ihram. Kata “hurum” adalah jama dari “harom”. Maknanya mencakup dua hal, yaitu saat sedang ihram (berada dalam keadaan ihram dalam rangkaian ibadah haji dengan mengenakan pakaian ihram). Dan saat sedang berada di tanah haram. Hewan buruan di sini maksudnya adalah hewan buruan darat, sedangkan hewan buruan laut dihalalkan saat sedang ihram secara tegas dalam ayat berikutnya. Juga hewan-hewan yang membahayakan (disebut hewan yang fasik) seperti elang, gagak, kalajengking, tikus dan anjing galak.

Sesungguhnya Allah menetapkan hukum sesuai dengan apa yang Dia kehendaki”

Ini sebagai penegasan, bahwa Allahlah satu-satunya yang berkuasa menetapkan hukum sesuai kehandak-Nya, tak ada satu pun makhluk yang mampu menghalangi ketetapan-Nya.

 

Wallahu A’lam,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar