Suasana Mekah makin ramai
dengan pembicaraan orang-orang terhadap nabi akhir zaman yang baru muncul.
Sejak diangkatnya Muhammad saw secara resmi menjadi nabi, dengan turunnya wahyu
pertama saat ia ber-tahanus di gua Hiro di usianya yang menginjak empat
puluh tahun. Satu persatu keluarga beliau serta sahabat-sahabatnya menyatakan
diri masuk Islam. Tak sulit bagi mereka menerima kebenaran yang dibawa oleh
Muhammad saw, karena sudah lumrah diketahui bahwa ia adalah sosok yang jujur,
sangat dipercaya dan tidak pernah berbohong. Belum lama penduduk Mekah
menggelari beliau dengan Al-Amiin, orang yang sangat dipercaya. Wahyu
yang pertama turun surat Al-‘Alaq ayat 1 sampai 5, berisi ajakan agar manusia
mau belajar, membaca apa yang Allah turunkan kepada mereka berupa kebenaran,
pentingnya tulisan yang menjadi perantara sampainya ilmu, dan mengingatkan bahwa
Allahlah pada hakikatnya yang memberikan ilmu, agar manusia dapat keluar dari
kejahiliyahan. Sementara orang-orang yang enggan untuk belajar, lebih memilih
mempertahankan kejahiliyahannya. Mereka tidak mau menerima Islam meskipun
kejujuran Muhammad saw tidak lagi diragukan dalam diri mereka. Semata-mata
mereka terhalangi oleh perasaan gengsi dalam diri mereka karena kedudukan yang
telah mereka sandang di tengah kaumnya. Diantaranya pemimpin mereka yaitu Abu
Jahal, bapak dari kejahiliyahan. Dengan angkuhnya ia melarang Rasulullah saw
shalat, menghalangi da’wahnya, bahkan mengancam karena merasa banyak pengikut.
Untuk itu Allah menurunkan ayat-ayat berikutnya dalam surat Al-‘Alaq berkenaan
dengannya yang menegaskan bahwa perbuatannya itu akan dibalas dengan siksa yang
pedih. Oleh sebab itu, Abu Jahal disebut oleh Rasul sebagai Fir’aun di umat
ini.
Terlepas dari hiruk pikuk pergesekan
antara orang-orang yang beriman dengan para penentangnya, nun jauh di sana, di
luar kota Mekah, ada seorang anak penggembala
kambing. Ia tak ambil pusing dengan apa yang terjadi di tengah masyarakatnya.
Ia lebih senang berada di kesunyian bersama kambing-kambingnya. Meski
sebenarnya kabar munculnya seorang nabi itu telah sampai ke telinganya. Ia
adalah seorang anak remaja yang sedang berusaha mandiri dengan bekerja menggembalakan
kambing milik orang lain, agar ia dapat menyambung hidup dengan upah yang
diperolehnya itu. Ia tidak merasa terhina dengan pekerjaannya itu. Ia adalah
Abdullah bin Mas’ud. Orang-orang mengenalnya dengan panggilan Ibnu Ummi ‘Abd.
Saat duduk termenung menyaksikan
kambing-kambinya yang lahap menyantap makanan, tiba-tiba lamunannya terbuyarkan
oleh dua sosok manusia yang menghampirinya. Meski tak lagi muda, kedua orang
tersebut masih terlihat gagah. Sepertinya mereka berasal dari kalangan
terhormat. Keduanya terlihat kelelahan dan kehausan, karena baru saja lari dari
kejaran orang-orang kafir Quraisy.
“Wahai anak muda, tolonglah
perahkan susu kambing-kambingmu untuk melenyapkan dahaga dan membasahi
urat-urat tubuh kami!” pinta kedua orang
tersebut.
“Aku tidak bisa melakukannya sebab kambing-kambing ini
bukan milikku. Aku diberi amanah oleh pemiliknya untuk memeliharanya” jawab Ibnu Mas’ud.
Kedua lelaki itu tidak gusar oleh penolakan Abdullah bin
Mas’ud, bahkan mereka tampak kagum dan gembira. Kemudian salah seorang dari
mereka berkata,
“Tunjukkan padaku kambing gibas yang belum dikawinkan
dengan pejantan!”
Ibnu Mas’ud tak berpikir lama
untuk memenuhi permintaan kedua ini. Karena ia pikir toh tidak akan dapat
mengeluarkan susu. Setelah ditunjukkan, lelaki itu menambatkannya dan mengusap-usap
puting susunya sambil membaca doa dengan nama Allah. Si penggembala muda itu memandangnya
dengan heran. “Mana mungkin kambing betina yang masih muda dan belum pernah
dikawinkan bisa menghasilkan susu?” gumamnya dalam hati.
Namun dugaan Ibnu Mas’ud
meleset. Puting susu kambing itu membengkak dengan cepat lalu memancarkan susu
dengan deras. Sedangkan lelaki yang satunya lagi mencari batu yang cekung di
bagian tengahnya untuk menampung susu perahannya. Orang itu meminum susu bergantian
dengan kawannya. Ibnu Mas’ud pun mendapat bagian. Sampai ketiganya telah
meminum dengan puas, orang tersebut kembali mengusap-usap puting susu kambing
tersebut lalu berkata “Menutuplah seperti semula”, maka puting susu itu
pun menjadi seperti yang diperintahkannya. Ibnu Mas’ud masih belum percaya
dengan peristiwa yang menakjubkan sekaligus mengherankan yang terjadi di
hadapannya. Suatu kejadian di luar kebiasaan. Dalam usianya yang belia,
pikirannya menerawang dan menilai bahwa orang itu bukanlah orang sembarangan.
Itulah interaksi pertama
Abdullah bin Mas’ud dengan Islam. Orang tersebut adalah Rasulullah saw, dan
kawan yang bersamanya adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Peristiwa tersebut yang
mengantarkannya untuk memeluk Islam. Tak lama kemudian, ia mendatangi Rasulullah
saw untuk menyatakan keislamannya, lalu minta diajarkan kata-kata yang
diucapkan beliau saat berdoa itu. Dan juga minta diajarkan ayat-ayat Al-Qur’an.
Rasulullah saw mengusap kepalanya seraya berkata, “Engkau adalah anak muda yang
pandai dan terdidik.”
Ibnu Mas’ud tumbuh dalam
naungan Nubuwah. Ia kemudian tinggalkan penggembalaannya untuk menjadi pembantu
setia Rasulullah saw yang senantiasa menyertainya. Ia yang menyiapkan sandal
dan tongkatnya ketika hendak pergi. Ketika sampai di majelis yang Rasulullah
saw tuju, ia yang melepaskan sandalnya dan memasukkannya ke lengannya serta
menyimpan tongkatnya. Ia juga yang menyiapkan siwak beliau. Ia sering menemani
beliau dalam perjalanan, sampai menjadi hijab dikala beliau mandi dan bersuci.
Bahkan melayani beliau hingga beliau masuk rumah, menyiapkan tempat tidurnya
dan membangunkannya pada waktu beliau harus bangun. Sampai ada yang mengira
bahwa ia dan ibunya termasuk ahli bait Nabi saw karena seringnya masuk dan
keluar rumah beliau.[1] Hingga
ia menjadi pemegang rahasia Rasulullah saw. Bahkan ia dikenal sebagai orang
yang paling mirip prilaku dan petunjuknya dengan beliau. Ia paling bagus bacaan
Al-Qur’annya dan banyak mengetahui tafsirnya. Rasulullah saw bersabda, “Siapa
yang ingin membaca Al-Qur’an dengan segar seperti baru diturunkan maka bacalah
seperti bacaan Ibnu Ummi ‘Abd.”[2]
Maka tak heran kemudian Ibnu Mas’ud menjadi di antara orang yang paling
dekat wasilah (kedudukan)nya dengan Rasulullah saw di surga.
Namun, dalam pandangan orang-orang
jahiliyyah, orang seperti Ibnu Mas’ud tidaklah dianggap hebat. Mereka lebih
memandang dengan pandangan duniawi yang sempit. Ibnu Mas’ud yang bertubuh tipis
dan pendek serta tidak kaya, dan menjadi buruh penggembala kambing dari salah
seorang pemuka Quraisy yaitu Uqbah bin Abi Mu’aith, seringkali ia mendapatkan
penghinaan dari orang-orang kafir. Tak terkecuali dedengkot mereka, Abu Jahal. Abu
Jahal biasa memanggil Ibnu Mas’ud dengan “si bocah penggembala kambing”. Pernah
suatu ketika Abu Jahal menangkapnya lalu menyiksanya dan memukulinya. Ibnu
Mas’ud meski dengan bodi kecil, tentu ia merasakan sakit dari pukulan-pukulan
itu, namun sama sekali tak pernah membuat bergeming karena keimanan yang kokoh
di hatinya.
Di sini kita bisa membandingkan
antara kedua orang tersebut. Abu Jahal dengan segala harta kekayaannya,
kedudukannya dan kesempurnaan fisiknya, sementara Ibnu Mas’ud dengan penampilan
yang terbatas, bukan seorang pejabat dan kekurangan harta. Namun bagaimanakah
akhir dari keduanya? Kita akan melihat indahnya Islam yang tidak meletakkan
kemuliaan pada tampilan luar baik berupa fisik, harta kekayaan dan jabatan,
tetapi meletakkannya pada hati yang mau beriman dan raga yang mau beramal
shaleh, bagaimana pun kondisi orangnya. Rasulullah saw memandang Ibnu Mas’ud
begitu mulia di sisi Allah. Pernah suatu ketika Ibnu Mas’ud memanjat pohon Arok
untuk memetik siwak, keadaan betisnya sangat tipis, angin berhembus membuat kedua
betisnya tersingkap. Maka sekelompok orang yang ada di situ tertawa melihatnya.
Rasulullah saw berkata kepada mereka, “Karena apa kalian tertawa?” Mereka
menjawab, “Wahai Nabi Allah, karena tipisnya kedua betisnya!”. Maka
Rasulullah saw bersabda, “Demi Dzat yang diriku ada dalam genggaman-Nya,
sesungguhnya kedua betisnya itu lebih berat dalam timbangan (di hari kiamat)
dibandingkan bukit Uhud.”[3]
Abu Jahal merasa gengsi
mengikuti ajaran Muhammad saw, meskipun ia sebenarnya kagum terhadap ayat-ayat
Al-Qur’an yang sering dibacakan oleh beliau. Beberapa malam ia mencuri-curi
dengar bacaan dari Nabi. Namun kesombongan dalam dirinya itu menutupi hatinya
dan yang tersisa hanyalah kebencian. Ia tidak mau kalah pamor jabatan dan
kekuasaan. Ia merasa paling berkuasa terhadap wilayah yang ditinggalinya, kota
Mekah yang memang telah ditetapkan sebagai tanah suci oleh Allah SWT. Ia
menjadi semakin beringas dalam memusuhi Islam. Orang-orang yang mengenalnya
dahulu sebagai orang yang tajam berfikir dan bijaksana, untuk itu ia digelari
dengan Abu Hakam (bapak kebijaksanaan), namun ternyata setelah diutusnya
Rasulullah saw, ia seperti orang yang kehilangan akal sehat.
Dengan pongahnya Abu Jahal
menindas setiap orang yang masuk Islam. Jika orang tersebut memiliki kedudukan
dan kekuatan, ia memarahi dan mengancamnya, ia berkata, “Kamu telah
meninggalkan agama bapakmu padahal dia lebih baik darimu, pasti kami akan
membodohkan angan-anganmu, merendahkan pendapatmu, dan menurunkan kemuliaanmu.”
Jika seorang pedagang, ia berkata, “Pasti kami akan membangkrutkan
perdaganganmu dan membinasakan hartamu.” Dan jika seorang yang lemah ia
akan memukul dan menyiksanya.[4]
Maka tak heran Abu Jahal adalah
orang yang sangat berambisi ingin menghabisi Muhammad saw dan ajarannya. Ketika
mereka berkumpul di Darun Nadwah, tempat membicarakan masalah penting, satu
persatu di antara mereka mengusulkan bagaimana menghentikan tersebarnya ajaran
Muhammad saw. Ada yang mengusulkan untuk memenjarakannya, ada pula yang
mengusulkan agar membuangnya ke tempat lain, tetapi Abu Jahal dengan pikiran
jahatnya, ia mengusulkan bahwa tidak ada lagi yang dapat menghentikan da’wah
Muhammad saw kecuali dengan membunuhnya, yaitu dengan cara mengirimkan dari
setiap kabilah seorang pemuda yang gagah untuk sama-sama menumpahkan darahnya
dengan sekali tebas agar darahnya tercecer di setiap kabilah sehingga tidak
menimbulkan permalasahan di kemudian hari. Idenya ini disetujui oleh seorang
kakek jelmaan iblis yang saat itu hadir. Abu Jahal sendiri yang memimpin
operasi pembunuhan Nabi saw bersama sepuluh pemuda lainnya di malam yang gelap.
Dengan menyelinap dan pedang yang terasah tajam di tangan, mereka menunggu
waktu yang tepat untuk menyergap. Namun dengan pertolongan Allah, Rasulullah
saw berhasil lolos dari kepungan mereka tanpa dapat mereka lihat. Kemudian
beliau menyusul Abu Bakar Ash-Shiddiq untuk berhijrah ke Madinah bersamanya.
Kalau Abu Jahal begitu berani
menentang Islam, Abdullah bin Mas’ud justru berani dalam menegakkan Islam.
Fisiknya yang kecil tak mejadi penghalang untuk menjadi sang pemberani dengan
tekad membaja. Ia tercatat sebagai orang pertama setelah Rasulullah saw dalam
membaca Al-Qur’an secara terang-terangan di depan Ka’bah di hadapan orang-orang
kafir. Zubair bin Awwam ra menceritakan, “Orang yang pertama menjaharkan
Al-Qur’an di Mekah setelah Rasulullah saw adalah Abdullah bin Mas’ud. Suatu
hari para sahabat Rasulullah saw berkumpul. Mereka berkata, “Demi Allah,
orang-orang Quraisy tidak mendengarkan Al-Qur’an ini dijaharkan di hadapan
mereka, siapakah orang yang bersedia memperdengarkannya kepada mereka?”.
Abdullah bin Mas’ud berkata, “Saya”. Mereka berkata, “Kami mengkhawatirkanmu
dari mereka, sesungguhnya kami menginginkan orang yang memiliki kerabat yang
dapat menolong jika mereka hendak menyerang.” Ibnu Mas’ud berkata, “Biarkan
aku, Allahlah yang akan menolongku.”
Tanpa keraguan Ibnu Mas’ud
melangkahkan kaki di pagi hari menuju Ka’bah. Ia begitu yakin bahwa Ka’bah ini
milik Allah, kota Mekah ini milik Allah. Saat sampai di dekat Ka’bah ia membaca
dengan suara sangat lantang, “Bismillahirrahmanirrahiim...
Ar-Rahman...’Allamal Qur’an... Sementara orang-orang kafir Qurasiy sedang
duduk-duduk di tempat perkumpulan mereka. Perlahan mereka mulai mendengar. “Apa
yang dibaca oleh Ibnu Ummi ‘Abd?” tanya mereka heran. Ibnu Mas’ud menghadap
ke arah mereka sambil terus membaca. Sejurus kemudian mereka sadar bahwa apa
yang dibaca oleh Ibnu Mas’ud adalah bagian dari wahyu yang dibawa Muhammad saw.
Mereka segera menghampiri, dan tak ayal mereka langsung memukuli wajahnya
sampai babak belur. Namun Ibnu Mas’ud tetap saja berusaha membacanya sepanjang
ia mampu. Setelah itu ia berpaling kepada para sahabatnya. Mereka berkata, “Inilah
yang kami khawatirkan atasmu.” Namun dengan tenang Ibnu Mas’ud menjawab, “Tidaklah
musuh-musuh Allah itu lebih hina bagiku daripada sekarang ini. Jika kalian mau,
niscaya aku akan pergi kepada mereka dengan yang seperti ini esok hari!” Para
sahabat melarangnya, “Tidak. Cukuplah bagimu, engkau telah memperdengarkan
kepada mereka apa yang mereka benci.”[5]
***
Kepergian Rasulullah saw
bersama para sahabatnya ke Madinah, tidak membuat ambisi orang-orang kafir untuk
menghabisi Islam berhenti. Mereka terus berusaha meneror kaum muslimin. Hingga
Rasulullah saw tak tenang dalam tidurnya. Sampai Allah memberikannya penjagaan
khusus. Sampai tiba suatu waktu, orang-orang beriman untuk kesekian kalinya
melakukan penghadangan terahadap kafilah dagang Quraisy terutama saat mereka
pulang dari Syam, yang secara otomatis mereka akan melewati jalur Madinah. Ini
sebuah strategi jitu dari Rasulullah saw untuk melemahkan kekuatan mereka yang
tak kunjung berhenti memerangi. Saat itu Rasulullah saw memimpin langsung
pasukan yang berjumlah 313 orang. Abu Sufyan bin Harb yang memimpin kafilah dagang
Quraisy berhasil lolos dari hadangan kaum muslimin. Namun ia terlanjur memberitahu para pembesar Quraisy atas
penghadangan tersebut. Dan mereka telah siap dengan 1300 orang dalam pasukan. Meski
kafilah dagang mereka berhasil lolos, tetapi para pembesar kekafiran itu yang
sejak awal ingin menghabisi muslimin, urat-urat mereka mendidih untuk tetap
melanjutkan perjalanan. Di tengah jalan 300 orang mengikuti saran Akhnas bin
Syarik agar kembali ke Mekah karena tak ada lagi kepentingan untuk pergi karena
kafilah dagang mereka telah lolos. Namun Abu Jahal tetap membara, tanpa merasa
takut memusuhi Allah dan Rasul-Nya. 1000 orang dalam pasukan itu bersikukuh
memerangi muslimin. Mereka datang dengan membawa kemurkaan dan kedengkian.
Allah menggambarkan, “Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang keluar
dari kampungnya dengan rasa angkuh dan dengan maksud riya kepada manusia serta
menghalangi dari jalan Allah. Dan ilmu Allah meliputi setiap apa yang mereka
kerjakan.” (QS. Al-Anfal : 47). Maka meletuslah perang Badar, perang besar
pertama yang menjadi kemenangan bagi muslimin pada tanggal 17 Ramadhan tahun 2
H.
Abu Jahal mati di puncak
kemarahannya. Seperti firman Allah, “Matilah kalian dengan kemarahan kalian”
(QS. Ali Imran : 119). Orang yang paling angkuh, fir’aun di zaman umat Nabi
Muhammad saw ini, ternyata mati justru di tangan dua anak muda belia. Mereka
adalah Mu’adz bin Amr bin Al-Jamuh dan Mu’awwidz bin Afra, dari kalangan Anshar.
Abdurrahman bin Auf
menceritakan, “Tatkala aku sedang berada di tengah barisan perang Badar, aku
menengok ke arah kanan dan kiriku. Kulihat ada dua anak muda yang masih belia. Aku
berharap berada pada posisi mereka menjadi paling kuat di antara keduanya.[6] Salah
seorang di antara mereka mengerdipkan matanya kepadaku dan berkata, “Wahai
paman, apakah kamu mengenal Abu Jahal?”
“Ya”, jawabku. “Wahai anak saudaraku, apa yang hendak kamu lakukan
terhadapnya?” tanyaku.
“Kudengar dia suka mencaci maki
Rasulullah saw. Demi Dzat yang diriku ada di tangan-Nya, jika aku sudah
melihatnya, maka diriku tak akan berpisah darinya hingga siapakah di antara
kami yang lebih dahulu mati!”
Aku tertegun mendengar
perkataannya. Lalu pemuda yang satunya lagi mengerdipkan matanya kepadaku dan
bertanya seperti itu pula kepadaku. Tak lama kemudian aku melihat Abu Jahal
berputar-putar di tengah orang-orang kafir. Lalu aku katakan kepada kedua anak
tadi, “Apakah kalian melihat? Itu dia sasaran yang kalian tanyakan.”
Lalu dua pemuda itu bersigap
menyerbu dengan menghunus pedang masing-masing lalu keduanya menebas Abu Jahal
hingga (hampir) tewas. Kemudian keduanya menemui Rasulullah saw dan
mengabarkannya, maka beliau bertanya, “Siapakah di antara kalian berdua yang
telah membunuhnya?” Maka masing-masing dari keduanya menjawab, “Akulah
yang membunuhnya”. Beliau bertanya lagi, “Apakah kalian telah
membersihkan pedang kalian?”. Keduanya menjawab, “Belum”. Maka
beliau melihat pedang keduanya lalu berkata, “Kalau begitu kalian berdua yang
telah membunuhnya dan salabnya (harta benda yang melekat pada tubuh musuh saat
dibunuh) untuk Mu’adz bin Amr bin Al-Jamuh.” Kedua anak itu namanya Mu’adz
bin Afra dan Mu’adz bin Amr bin Al-Jamuh.”[7]
Setelah itu Rasulullah saw
bertanya kepada para sahabat, “Siapakah yang bersedia melihat bagaimana
kondisi Abu Jahal?”. Beliau memberi petunjuk dalam pencariannya di
tengah-tengah korban, “Jika tak terlihat oleh kalian di antara jasad-jasad
yang terbunuh, lihatlah oleh kalian ke bekas luka di lututnya. Sesungguhnya
pada suatu hari aku pernah berdesakan dengannya dalam jamuan hidangan Abdullah
bin Jud’an, kita berdua saat itu masih kanak-kanak. Aku sedikit lebih besar
darinya, aku dorong dia sampai terjatuh dengan kedua lututnya, salah satu
lututnya tersebut terluka yang bekasnya masih tetap ada.”[8]
Abdullah bin Mas’ud berkata, “Saya,
wahai Rasulullah!
Ibnu Mas’ud mencarinya di
tengah-tengah jasad orang-orang kafir yang terbunuh. Ia menemukannya dalam
keadaan sekarat karena tertebas oleh dua anak muda yang telah berlomba
membunuhnya itu. “Aku menemukannya di sisa-sisa hidupnya. Aku mengenalinya,
lalu aku letakkan kakiku di atas lehernya.” Begitu yang dilakukan Ibnu
Mas’ud saat mendapatinya. Ibnu Mas’ud teringat akan pengalaman dirinya
bersamanya. “Dahulu, pernah suatu kali ia menangkapku saat di Mekah, lalu ia
menyiksaku dan memukulku.”
“Kau Abu Jahal! Apakah Allah
telah menghinakanmu wahai musuh Allah?! seloroh Ibnu Mas’ud sambil menarik jenggotnya untuk mendongakkan kepalanya.
Dalam kondisi seperti itu Abu
Jahal menjawab, “Dengan apa ia menghinakanku? Apakah aku lebih celaka dari
seseorang yang telah kalian bunuh? Atau orang yang kalian bunuh itu justru
lebih terhormat? Andaikan saja bukan seorang pembajak tanah yang telah
membunuhku.”
Abu Jahal menyadari ia sangat
terhina karena dibunuh oleh kalangan Anshar yang memang pekerjaannya adalah
petani, bahkan oleh anak muda yang usianya masih belia, yang dalam pandangannya
hanyalah orang rendahan.
Ia kemudian bertanya lagi, “Beritahukan
kepadaku, milik siapakah wilayah ini hari ini?”
Ibnu Mas’ud dengan tegas
menjawab, “Milik Allah dan Rasul-Nya.”
“Aku sudah menaiki tangga yang
sulit wahai bocah penggembala kambing!”
Di saat-saat terakhirnya itu, Abu
Jahal masih teringat saja akan kedudukan dan pekerjaan Ibnu Mas’ud semasa di
Mekah, dimana ia sering memanggilnya dengan sebutan “si bocah penggembala
kambing”.
Setelah dialog itu, Abdullah
bin Mas’ud menarik kepalanya dan membawanya ke hadapan Rasulullah saw seraya
berkata, “Wahai Rasulullah, inilah kepala musuh Allah, Abu Jahal!
“Allah, tiada tuhan selain
Dia”, beliau mengucapkan itu tiga kali. “Allah maha besar.
Segala puji bagi Allah yang telah memenuhi janji-Nya, menolong hamba-Nya dan
mengalahkan pasukan musuh-Nya” lanjut beliau. Lalu beliau bersabda, “Inilah
fir’aun umat ini!”
Abu Jahal mati dalam keadaan
terhina. Ia telah menemui siksaan Allah yang telah lama menantinya. Begitulah
akhir dari kesombongan, keengganan membuka diri untuk menerima hidayah Allah
padahal telah nyata dan terang benderang di hadapannya.
Abdullah bin Mas’ud dengan
segala keserhanaan dan ketawadhuannya, ia tapaki petunjuk dan bimbingan dari
Allah dan rasul-Nya, hingga ia menjadi sahabat Rasulullah saw yang mulia. Bahkan
ia menjadi ulama dan termasuk orang yang ikut serta dalam mengemban amanah
mengurus wilayah yang kemudian menjadi kekuasaan Islam.
Sedangkan orang yang sok
berkuasa terhadap suatu wilayah, berbuat sewenang-wenang, menganiaya
orang-orang beriman dan memusuhi Islam dengan sekeras-kerasnya, pada akhirnya
Allah menghinakannya. Sangat mudah bagi Allah untuk membinasakannya. Karena
semuanya adalah milik Allah. Bumi ini milik Allah, wilayah yang ditempati oleh
orang-orang zhalim seperti itu juga milik Allah, sehingga tidak ada hak bagi
mereka untuk berlaku sewenang-wenang dengan membuat aturan sesuai kesenangan
hawa nafsu mereka. Dengan kepemimpinan orang-orang beriman, semuanya harus
tunduk kepada Allah, tunduk pada hukum Allah yang mengatur bumi ini. Ia harus
dijadikan acuan dalam mengelola dan mengurus bumi dan manusia yang
menempatinya, karena hanya Allahlah yang maha tahu akan kemaslahatan seluruh
makhluknya.
Setinggi apapun keangkuhan
orang-orang yang merasa berkuasa di muka bumi, karena seluruh wilayah ini milik
Allah, Allah akan memenangkan hamba-hamba-Nya yang bertekad untuk menegakkan
hukum-Nya. Fir’aun memang akan selalu muncul di setiap zaman, tetapi sudah
pasti, dengan kesungguhan orang beriman, pada akhirnya ia akan tumbang.
[1] Yaitu Abu Musa Al-‘Asy’ari berkata,
“Aku datang bersama saudaraku dari Yaman lalu aku tinggal beberapa waktu,
dan kami tidak mengira Ibnu Mas’ud dan ibunya kecuali termasuk Ahli bait Nabi
saw karena seringnya masuk dan keluar ke rumah beliau.” Lihat Siyar A’lam
An-Nubala, jilid 1, hal.468
[2] Lihat Adz-Dzahabi, Siyar A’lam An-Nubala,
jilid 1, hal. 476
[3] Lihat Shafwatush-Shafwah, hal.145
[4] Lihat Sirah Nabawiyyah Ibnu Hisyam,
hal.147
[5] Lihat Sirah Nabawiyyah Ibnu Hisyam,
hal.144-145
[6] Ini makna dari baina adhla’in
minhuma sebagaimana dijelaskan dalam Mirqatul Mafatih Syarh Misykatil
Mashabih, Jilid 7, hal.538
[7] Muttafaq ‘alaih, shahih Bakhari
no.3141 dan shahih Muslim no.1752, nama sebenarnya Mu’awwidz bin Afra tetapi
karena dinisbatkan kepada rekannya disebut secara sama menjadi Mu’adz bin Afra,
lihat Fathul Bari, Jilid 7, hal.369. Rasulullah saw memberikan salabnya kepada
Mu’adz bin Amr bin Al-Jamuh karena keputusan beliau melihat bahwa ia lebih
berpengaruh dalam pembunuhannya, lihat Fathul Bari Jilid 6, hal.297, atau juga
dikarenakan Mu’awwidz bin Afra terus berperang hingga meninggal setelah itu,
lihat Ar-Rahiqul Makhtum, hal.190
[8] Lihat Sirah Nabawiyyah Ibnu Hisyam,
hal.304
Tidak ada komentar:
Posting Komentar