Andai saja Islam datang membawa
misi ibadah ritual saja, tentu tidak akan membuat gerah para petinggi
kabilah-kabilah Arab, bahkan kerajaan Romawi dan Persia, dua negara adidaya
ketika itu.
Islam, dengan sifat
kesempurnaan dan keuniversalannya, yang bersumber dari wahyu yang terjaga,
hendak menyemburatkan cahaya ke seantero bumi. Menerangi kegelapan yang pekat,
akibat tingkah laku tercela manusia, yang disebut dengan kejahiliyahan.
Ia tidak hanya mengenalkan
tuhan yang sebenarnya yang layak disembah dan cara beribadah kepadanya, tetapi
juga memberi panduan yang lengkap dalam interaksi sesama manusia, dan terhadap
alam semesta untuk memakmurkannya. Termasuk bagaimana cara menjalankan kekuasaan.
Sistem kehidupan yang Allah
turunkan dalam Islam ini, semuanya bertujuan untuk kemaslahatan, baik yang
tampak maupun yang tersembunyi. Sehingga, jika sistem ini dijalankan, maka yang
akan mendapat kasih sayang dan ketentraman di bumi ini bukan hanya orang-orang
Islam saja, orang-orang kafir yang tunduk terhadap sistem ini pun akan
merasakannya, bahkan hewan, tumbuhan dan seluruh yang ada di alam semesta ini.
Untuk itulah Allah SWT menegaskan, "Tidaklah Kami mengutusmu, melainkan
sebagai rahmat bagi alam semesta". (QS. Al-Anbiya : 107).
Ketika Rasulullah saw lahir,
Allah SWT telah memberikan isyarat bahwa beliau adalah cahaya yang menerangi
istana-istana kekuasaan. Artinya, Islam yang dibawanya akan menggantikan sistem
kekuasaan yang ada, para sahabat dan para pelanjutnya akan menjadi para
pemimpin bumi yang memberikan kemaslahatan.
Suatu ketika para sahabat
bertanya,
“Wahai Rasulullah, kabarkanlah
kepada kami tentang dirimu”
Beliau menjawab,
“Ya, aku adalah doa ayahku
Ibrahim dan kabar gembira saudaraku Isa, ibuku saat hamil mengandungku melihat
ada cahaya yang keluar darinya menerangi istana-istana Syam...[1]
Allah SWT telah menjanjikan
bahwa bumi ini akan diwariskan kepada orang-orang shaleh. Janji ini pun
seringkali disampaikan oleh Rasulullah saw dalam berbagai kesempatan. Suatu
ketika beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah melipat bumi untukku, maka aku
melihat bagian timur dan baratnya, dan sesungguhnya umatku akan sampai
kekuasaannya kepada apa yang dilipatkan kepadaku dari bumi tersebut. Aku diberi
pembendaharaan harta yang merah (Romawi) dan putih (Persia)... (HR.
Muslim).
Saat di Mekah, beliau telah
menyampaikan kepada orang-orang kafir, “Bagaimana menurut kalian, jika
kalian mengucapkan satu kata saja, niscaya kalian akan menguasai bangsa Arab
dan non-Arab? Yaitu “Laa ilaaha illallah”.
Karena seringnya janji tersebut
terdengar oleh orang-orang kafir, mereka pun mengejek para sahabat yang sedang
berjalan di dekat mereka. Mereka menyindir, “Raja-raja dunia sedang
menghampiri kalian. Mereka akan mengalahkan raja-raja Kisra dan Kaisar” sembari
bersiual dan bertepuk tangan. Mereka tidak sadar, apa yang mereka lecehkan
suatu saat nanti menjadi kenyataan.
Benarlah, apa yang dijanjikan
oleh Allah itu menjadi kenyataan. Allah tidak pernah mengingkari janji-Nya.
Kekuasaan di bumi ini selanjutnya ada di tangan orang-orang yang beriman dan
beramal shaleh. Namun, untuk meraih janji Allah itu, tentu tidak dengan
berleha-leha, tetapi melalui perjuangan yang sangat berat. Itulah yang telah
dilakukan oleh Rasulullah saw dan para sahabatnya. Tidak ada yang menandingi
kesungguhan dan beratnya perjuangan yang mereka lakukan. Sehingga, kemenangan
dari Allah itu layak diberikan kepada mereka.
Seringkali mereka menghadapi
kondisi sulit dan terjepit, namun mereka tidak pernah berputus asa dan bersikap
pesimis. Mereka selalu optimis dan selalu yakin akan janji Allah. Misalnya
dalam perang Ahzab, saat orang-orang muslim dikepung oleh persekongkolan
orang-orang kafir di jazirah Arab yang terdiri dari musyrikin Quraisy, Ghatafan
dan orang-orang Yahudi. Jumlah mereka cukup banyak, sepuluh ribu orang.
Sementara kaum muslimin hanya sekitar seribu orang. Rasulullah saw memberi
keyakinan kepada para sahabat, jangankan musuh yang ada di hadapan kita, Romawi
dan Perisa, dua kerajaan besar saat itu pun akan ditaklukkan. Yaitu ketika
ditemukan batu yang keras yang tidak bisa dipecahkan oleh para sahabat. Mereka
melaporkannya kepada Rasulullah saw. Lalu beliau memecahkannya. Di pukulan
pertama beliau mengatakan, “Allahu Akbar! Aku telah diberi kunci-kunci Syam.
Demi Allah! Sesungguhnya aku melihat istana-istananya yang berwarna merah
sekarang.” Di pukulan kedua beliau bersabda, “Allahu Akbar! Aku telah
diberi Persia. Demi Allah! Sesungguhnya aku melihat istana Madain yang putih
sekarang.” Dan di pukulan ketiga beliau bersabda, “Allahu Akbar! Aku
telah diberi kunci-kunci Yaman. Demi Allah! Aku melihat pintu-pintu Shan’a dari
tempatku.”[2]
Kemenangan demi kemenangan
diraih oleh kaum muslimin. Meskipun masa kejayaan Islam itu tidak disaksikan
langsung oleh Rasulullah saw, karena beliau lebih memilih untuk kembali kepada
Rabbnya. Di tahun 8 H terjadi Fathu Makkah, sebuah penaklukkan besar tanpa ada
penumpahan darah. Jazirah Arab pun berbondong-bondong masuk ke dalam Islam.
Sementara Romawi dan Persia, keruntuhannya diawali dengan kabar peperangan
besar di antara mereka. Romawi dikalahkan oleh Persia, lalu disusul dengan
kemenangan Romawi atas Persia. Ini adalah sebuah isyarat, bahwa babak
berikutnya Islam akan mengalahkan Romawi dan Persia. Sebagaimana disebutkan di
dalam surat Ar-Ruum, “Alif lam mim. Romawi telah dikalahkan. Di negeri
Romawi yang terdekat (ke tempat Rasul, yaitu di negeri Syam), dan mereka
setelah kekalahannya itu akan menang. Dalam beberapa tahun lagi (sekitar tiga
sampai sembilan tahun). Bagi Allahlah urusan sebelum dan sesudah (mereka
menang). Dan pada hari (kemenangan bangsa Romawi) itu bergembiralah orang-orang
yang beriman. Karena pertolongan Allah. Dia menolong siapa yang Dia kehendaki.
Dia Maha Perkasa, Maha Penyayang. (Itulah) janji Allah. Allah tidak akan
menyalahi janji-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. Mereka
mengetahui yang tampak dari kehidupan dunia, sedangkan terhadap akhirat mereka
lalai.” (QS. Ar-Rum: 1-7).
Ayat tersebut turun ketika kaum
muslimin masih di Makkah, sekitar setahun sebelum hijrah ke Madinah. Yaitu
ketika orang-orang kafir Quraisy bergembira dengan kemenangan Persia atas
Romawi. Melalui ayat ini, para sahabat menyampaikan bahwa Romawi kelak akan
mengalahkan Persia. Orang-orang kafir tidak percaya. Abu Bakar Ash-Shiddiq,
yang sangat kuat sikap membenarkannya terhadap wahyu, menantang taruhan kepada
mereka. Maka Ubay bin Khalaf menyanggupinya. Mereka menyepakati dalam waktu
enam tahun dengan taruhan sepuluh ekor unta. Namun Rasulullah saw menegur Abu
Bakar, bukankah kata “Al-Bidh’u” itu antara tiga sampai sembilan tahun?
Beliau menyuruhnya untuk menambah waktu dan taruhannya. Abu Bakar pun menambah
waktu taruhannya hingga sembilan tahun dengan seratus ekor unta. Tentu taruhan
ini dilakukan sebelum turun ayat larangan taruhan.
Setelah tujuh tahun berlalu, ternyata benar,
Romawi dapat mengalahkan Persia. Abu Bakar pun memenangkan taruhan. Tetapi Ubay
bin Khalaf telah terbunuh dalam perang Uhud, dan taruhan tetap dilanjutkan oleh
keluarganya. Namun saat itu taruhan telah diharamkan, maka Rasulullah saw
menyuruh untuk menyedekahkan seratus unta tersebut. Kisah kemenangan Romawi
tersebut diceritakan di dalam kitab-kitab tafsir.
Heraklius, Kaisar Romawi, dalam
pengurungannya di Konstantinopel, tidak berdiam diri seraya pasrah, tetapi ia
merancang strategi bagaimana dapat mengalahkan Persia serta mengambil kembali
salib agungnya yang dicuri oleh mereka. Ia membuat suatu tipu daya. Ia meminta
kepada Sabur, Kisra Persia untuk meninggalkan negerinya dengan ganti harta
berapapun yang ia minta sebagai sebuah perdamaian. Sabur menerima
permintaannya. Ia mensyaratkan harta yang sangat banyak berupa emas, permata,
kain-kain, wanita-wanita, pembantu-pembantu, dan sebagainya, yang sesungguhnya
tidak akan pernah mampu dipenuhi oleh raja manapun di dunia. Namun, sebagai
sebuah tipu daya, Heraklius menyanggupinya dan mengatakan bahwa ia memiliki apa
yang dimintanya. Walaupun sebenarnya, seluruh yang ia miliki tak akan dapat
memenuhi sepersepuluhnya saja dari yang diminta. Ia memohon kepada Kisra agar
membolehkannya mendatangi negeri Syam dan negeri-negeri kekuasaannya untuk
mengumpulkan harta yang ia minta. Sang Kisra pun mengizinkannya.
Hal ini dimanfaatkan oleh
Heraklius untuk mengumpulkan rakyatnya dan mempersiapkan pasukannya. Ia
bertekad untuk mematahkan kekuatan Persia. Ia berkata kepada rakyatnya, “Sungguh,
aku akan keluar dengan suatu urusan yang telah aku tetapkan dan dengan suatu
pasukan yang telah aku tentukan. Jika aku kembali sebelum setahun, maka aku
adalah raja kalian, namun jika aku tidak kembali setelah itu, urusannya
terserah kalian, kalian boleh keluar dari baiat kepadaku dan beralih kepada
penguasa lain.”
Rakyatnya yang setia menjawab, “Sungguh,
engkau adalah raja kami selama engkau masih hidup, walaupun engkau tidak ada
selama sepuluh tahun.”
Ketika Heraklius telah keluar
dari Konstatinopel bersama pasukannya, dari pasukan tengahnya disampaikan kabar
bahwa Kisra dan pasukannya telah berkemah di dekat Konstantinopel, untuk
menunggunya kembali. Heraklius segera mempercepat langkahnya hingga sampai di
negeri Persia. Di sanalah ia berkesempatan membunuh orang-orang Persia satu
demi satu hingga sampai di Madain, singgasana kerajaan Kisra. Ia berhasil
membunuh orang-orang di sana, mengambil seluruh hartanya dan menawan
wanita-wanitanya bahkan permaisurinya. Heraklius mencukur gundul anak raja
Persia lalu menaikannya ke atas keledai dalam keadaan sangat terhina. Ia
mengirimkannya kepada Kisra sembari membawa beberapa gelang Persia dengan
sebuah pesan, “Ini yang kamu minta, ambillah!”
Ketika pesan itu sampai kepada
Kisra, ia sangat sedih dan marah besar. Ia bersikeras dengan segala cara untuk
menguasai Konstatinopel namun tak mampu. Akhirnya tak ada pilihan lain selain
menuju ke arungan sungai Jaihun (kini sungai Amu Darya) untuk mencegat pasukan
Kaisar, karena tak ada jalan lain bagi Kaisar Heraklius untuk kembali ke
Konstantinopel kecuali melawati arungan sungai itu. Namun lagi-lagi Heraklius
melancarkan strategi jitunya. Ia menempatkan pasukannya dan segala yang
diperoleh dari rampasan perang di mulut sungai. Sedangkan ia berangkat bersama
sebagian pasukan dan memerintahkan mereka untuk membawa kotoran hewan dan
jerami. Ia membawa pasukannya itu melalui jalan atas yang mendaki hingga sampai
di tempat yang jaraknya hampir perjalanan satu hari dari sungai. Sesampainya di
atas, ia memerintahkan untuk membuang bawaannya itu ke arah sungai. Sehingga
ketika hanyut melewati Kisra, ia dan pasukannya akan mengira bahwa Kaisar dan
pasukannya telah lewat melalui jalan itu. Maka mereka segera berangkat mencari
dan meninggalkan arungan sungai itu sehingga menjadi kosong. Kaisar segera
kembali menemui pasukannya dan berhasil lolos melewati sungai hingga sampai di
Konstantinopel. Ini menjadi hari besar bagi kaum kristen. Sedangkan Kisra dan
pasukannya dalam keadaan bingung, tak tahu apa yang mesti dilakukan.
Negeri-negeri Kaisar tak berhasil mereka capai, sedangkan negeri-negeri sendiri
telah diporakporandakan.[3]
Dalam ayat di atas dijelaskan
bahwa orang-orang beriman bergembira di hari kemenangan tersebut. Namun
sejatinya, mereka tidak hanya bergembira atas kemenangan Romawi atas Persia,
tetapi yang lebih utama adalah mereka bergembira karena kemenangan bagi mereka
telah dekat. Peristiwa itu terjadi tepatnya di hari Hudaibiyah[4]
tahun 6 H. Karena tak lama lagi mereka akan mendapat kemenangan dalam Fathu
Makkah, dan dalam masa selanjutnya mereka akan dapat menguasai Romawi dan
Persia.
Di awal bulan Muharram tahun 7 H,
tak berapa lama setelah Kaisar Romawi mengalahkan Persia dan menunaikan
nazarnya yaitu berjalan kaki dari Homs ke Aila (Yerussalem/Baitul Maqdis,
Palestina), Rasulullah saw mengirimkan surat melalui beberapa utusannya, yaitu
kepada Najasyi raja Habasyah, Muqauqis raja Mesir, Kisra raja Persia, Kaisar
raja Romawi, Al-Mundzir bin Sawa pemimpin Bahrain, Haudzah bin Ali Al-Hanafi
pemimpin Yamamah, Al-Harits bin Abu Syamr Al-Ghassani pemimpin Damaskus dan
kepada raja Oman. Di antara mereka ada yang masuk Islam seperti Najasyi yang
bernama Ashamah dan raja Oman yang bernama Jaifar dan saudaranya yang bernama
Abd, ada yang menolak dengan halus seperti Muqauqis Mesir, Kaisar Romawi,
Al-Mundzir bin Sawa (sebagian rakyatnya masuk Islam), dan ada yang menolak dengan
keras seperti Kisra Persia, pemimpin Yamamah dan pemimpin Damaskus.
Satu persatu raja-raja tersebut
dapat ditaklukkan oleh kaum muslimin. Bahkan saat Rasulullah saw masih hidup,
beliau menyaksikan kekalahan Persia dan Romawi. Raja Persia yang merobek-robek
surat Rasulullah saw itu, tak lama kekuasaannya pun dirobek-robek oleh kalangan
mereka sendiri atas doa Rasulullah saw. Begitupun Romawi, telah nampak
kekalahan mereka dalam perang Mu’tah tahun 8 H dan perang Tabuk tahun 9 H.
Puncaknya adalah pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab ra. Romawi dikalahkan
dalam perang Yarmuk, dan Persia dikalahkan dalam perang Qadisiyyah.
Episode kekuasaan Persia dan Romawi telah
berakhir, tibalah episode berikutnya yaitu episode kekhalifahan Islam. Alam
yang telah diliputi dengan kegelapan jahiliyah, dengan berbagai sistem yang
penuh dengan kezaliman dan kerusakan, telah berganti dengan sistem Islam yang
penuh dengan kasih sayang dan keadilan. Sebuah fakta sejarah dari kepemimpinan
Islam yang dibanggakan oleh dunia, yang tak bisa lagi terbantahkan. Seharusnya
episode ini menjadi kebanggaan umat Islam hari ini untuk berusaha mengulang
kembali kebesarannya. Telah berabad-abad lamanya kekhalifahan Islam tegak, dari
sejak Rasulullah saw mendirikan negara Islam di Madinah, hingga kemudian umat
Islam tidak lagi memiliki kekhalifahan, tepatnya ketika diruntuhkan
Kekhalifahan Turki Utsmani tahun 1924 M. Bumi kembali dipenuhi kegelapan
jahiliyah, akankah kita mampu membuat cahaya Islam kembali menerangi
singgasana-singgasana kekuasaan saat ini bahkan jagat raya? Sebuah janji Allah
yang pasti terjadi di kemudian hari, yang mesti kita songsong dengan penuh
semangat perjuangan.
Belajar dari kisah orang-orang besar dalam Islam - #01
[1]
HR. Ahmad, Siroh Nabawiyyah Ibnu
Hisyam, hal.79
[2] Lihat Ar-Rahiqul Makhtum, hal. 261-262
[3] Kisah ini diceritakan oleh Ibnu Katsir
dalam tafsirnya, lihat Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 6, hal.302-303
[4]
Ada yang mengatakan hari kemenangan
Romawi atas Persia bertepatan dengan hari perang Badar dengan alasan itu adalah
hari kemenagan bagi muslimin. Namun, rasa syukur Heraklius yang ia ekspresikan
setelah kemenangan dengan nadzar berjalan kaki dari Homs ke Aila (Yerussalem),
dan tak lama kemudian ia mendapat surat dari Rasulullah saw yang dikirim
selepas peristiwa Hudaibiyyah, hal itu menunjukkan lebih tepat jika bertepatan
dengan hari Hudaibiyah, selain Hudaibiyyah pun merupakan kemenangan yang lebih
besar daripada Badar. Lihat At-Tahrir wat-Tanwir, Jilid 21, hal.45, Tafsir Ibnu
katsir, Jilid 6, hal.304. Wallahu A’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar