Ta’aruf artinya saling mengenal. Terdapat dalam
Al-Qur’an,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا
خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ
لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ
عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi
Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurot : 13).
Kaitannya dengan dua insan; laki-laki dan perempuan yang
akan menikah, memang satu sama lain sebelum memutuskan untuk menikah,
dianjurkan terlebih dahulu mengenal calon pasangannya. Hal itu sebagai jalan
agar kita dapat melaksanakan perintah Rasulullah saw agar menikahi calon
pasangan karena agamanya, atau karena keshalehannya. Karena, bagaimana mungkin
kita dapat menikahi pasangan yang shaleh/shalehah kalau kita tidak mengenalnya?
Sebagaimana seorang laki-laki diperintahkan untuk
menikahi perempuan karena agamanya,
عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا
وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
“Dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu, dari Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Wanita itu dinikahi
karena empat hal, karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya
dan karena agamanya. Maka pilihlah karena agamanya, niscaya kamu akan
beruntung."
(Shahih Bukhari no. 5090, Shahih Muslim no. 715, Shahih Ibnu
Hibban no.4036, Sunan Kubro Nasai no.5318, Sunan Daruquthni no.3760, Sunan
Shugra Baihaqi, no.1453).
Begitupun seorang perempuan diperintahkan untuk menikahi
laki-laki karena agamanya,
عَنْ أَبِي
حَاتِمٍ الْمُزَنِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِذَا جَاءَكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ فَأَنْكِحُوهُ
إِلَّا تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ قَالُوا يَا رَسُولَ
اللَّهِ وَإِنْ كَانَ فِيهِ قَالَ إِذَا جَاءَكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ
وَخُلُقَهُ فَأَنْكِحُوهُ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ. قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ
حَسَنٌ غَرِيبٌ وَأَبُو حَاتِمٍ الْمُزَنِيُّ لَهُ صُحْبَةٌ وَلَا نَعْرِفُ لَهُ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَيْرَ هَذَا الْحَدِيثِ
Dari Abu Hatim Al Muzani berkata; Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam bersabda: "Jika seseorang datang melamar (anak
perempuan dan kerabat) kalian, sedang kalian ridha pada agama dan akhlaknya,
maka nikahkanlah dia. Jika tidak kalian lakukan, niscaya akan terjadi fitnah di
muka bumi dan kerusakan." Para shahabat bertanya; "Meskipun dia tidak
kaya." Beliau bersabda: "Jika seseorang datang melamar (anak
perempuan) kalian, kalian ridha pada agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah
dia." Beliau mengatakannya tiga kali. Abu Isa berkata; "Ini merupakan
hadits hasan gharib. Abu Hatim Al Muzani adalah seorang sahabat, namun tidak kami
ketahui dia meriwayatkan hadits dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam selain
hadits ini."
(Jami At-Tirmidzi no.1084, Sunan Shugro Baihaqi no.1456, Al-Mu’jam
Al-Ausath Thabrani no.446, Al-Mu’jam Al-Kabir Thabrani no. 762)
Lalu bagaimanakah cara melakukan ta’aruf tersebut? Tentu
saja dengan cara-cara yang tidak dilarang. Banyak cara yang dibolehkan untuk
melakukan ta’aruf, setiap orang harus memilih cara yang lebih tepat sesuai
kondisinya. Kalau saya poinkan, mungkin bisa dijabarkan seberti berikut,
Dengan menguji langsung calon tersebut tanpa disadarinya.
Misalnya dengan cara kita datang pada waktu shalat di masjid dekat rumahnya,
apakah dia ke masjid atau tidak pada saat waktu shalat, apabila calon tersebut
lelaki. Jika tidak hadir, perlu dicek mungkin dia sedang sakit, bisa dengan
menanyakan kepada jama’ahnya. Atau dengan menguji sikap amanahnya. Dan lebih
baik lagi jika memang kita telah benar-benar mengenalnya sebagai orang yang
baik agamanya karena orang tersebut ada di lingkungan aktifitas kita misalnya.
Atau jika kita telah mengenal keluarganya, dengan mengenali lingkungan
keluarganya dan juga menggali informasi dari pihak keluarganya.
Seperti halnya Rasulullah saw ketika menikahi Aisyah dan
Hafshah. Beliau tidak terlalu repot mengenali keduanya, karena beliau telah
mengenali ayahnya, yaitu Abu Bakar dan Umar. Jika pendidikan di keluarganya
berjalan, biasanya karakter ayah akan turun kepada anak-anaknya. Dengan
mengenali Abu Bakar, Rasulullah saw menikahi Aisyah karena karakternya tidak
akan jauh beda. Begitu pula dengan mengenali Umar, Rasulullah saw menikahi
Hafshah karena karakternya tidak akan jauh berbeda.
Bisa juga karena mereka adalah murid-murid kita di dalam
suatu majlis ilmu yang sudah kita ketahui keshalehan dan keilmuan agamanya.
Seperti halnya para ulama yang menikahkan putrinya kepada murid-muridnya.
Atau bisa jadi kita baru sebentar mengenalinya, tetapi
keshalehan dan akhlaqnya membuat kita kagum. Ini juga bisa dilakukan. Seperti
halnya Umar bin Khattab ketika beliau kagum terhadap seorang putri penjual
susu, yang tidak mau berbuat curang meski tidak dilihat Umar yang saat itu
sebagai khalifah dan meski disuruh oleh ibunya untuk mencampurkan susu dengan
air. Umar yang mendengarnya dari balik dinding rumahnya, merasa sangat kagum
lalu menyuruh anaknya (Ashim) untuk menikahi gadis tersebut. Dari pernikahan
mereka ternyata melahirkan keturunan yang baik yang kemudian dikenal dengan
khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Selain mengenali lingkungan keluarganya, kita juga mesti
mengenali lingkungan pergaulannnya, lingkungan pendidikannya, dan juga
lingkungan aktifitas kerjanya. Karena lingkungan itu sangat mempengaruhi
karakter diri seseorang. Hal itu bisa dilakukan dengan melihat terlebih dahulu
biodatanya, dan juga menggali informasinya baik dari ustadz atau ustadzahnya,
gurunya, teman-temannya, atau siapapun yang dimungkinkan dapat mengenalinya.
Dan perlu diingat bahwa mengenal seseorang itu tidak
mungkin dalam satu waktu mengenalinya secara keseluruhan. Ada saja hal-hal yang
tidak kita ketahui dari seseorang. Oleh karena itu, ta’aruf untuk menuju ke
jenjang pernikahan itu, bukan berarti kita telah benar-benar mengenalinya
seratus persen, tetapi kita punya keyakinan dan menurut prasangka kita yang
kuat (ghalabatu zhan) kita menganggap bahwa orang tersebut baik agama dan
akhlaqnya serta layak untuk dijadikan pasangan. Dan selebihnya adalah tawakal.
Usaha mengenal untuk ke jenjang pernikahan itu puncaknya
dengan dilakukan khitbah. Dalam khitbah itu calon laki-laki dianjurkan untuk
melihat (nazhor) calon perempuan, agar dapat mengetahui langsung secara
fisik. Juga saat itu adalah waktu untuk saling mengenal secara terbuka antara
kedua belah pihak, dengan menanyakan informasi apapun yang diperlukan, tanpa
ada yang ditutup-tutupi. Karena dengan khitbah inilah calon perempuan menjadi
terikat, tidak boleh lagi dikhitbah oleh lelaki lain. Jika memang kedua belah
pihak telah menerima dan siap untuk menikah, maka saat itulah ditentukan
tanggal pernikahan.
Karena ta’aruf menuju ke jenjang pernikahan itu tujuannya
untuk memunculkan dugaan kuat saja agar yakin untuk melaksanakan pernikahan,
maka sesungguhnya ta’aruf itu tidak pernah berhenti. Setelah menikah pun,
sepasang suami istri, tetap saja mereka berdua terus melakukan ta’aruf. Bahkan
mungkin sepanjang hayat. Agar dapat mengenal pasangan lebih jauh. Dengan saling
mengenal tersebut, tujuannya adalah masing-masing dapat menyesuaikan diri dalam
satu kesatuan rumah tangga, dan juga dapat saling melengkapi.
Wallahu A’lam.
(Muhammad Atim)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar