Minggu, 24 Juli 2022

Mendamaikan Dua Kubu Ahlus Sunnah

 


Oleh : Muhammad Atim

 

Menyadari bahwa yang diperdebatkan diantara dua kubu dalam ilmu aqidah adalah perkara ijtihadiyyah, adalah cara untuk mendamaikan, mendekatkan, bahkan menyatukan.

Kalau soal titik temu, bukankah sudah jelas semuanya menerima pokok-pokok aqidah? Menerima rukun iman, beriman kepada keesaan Allah (tauhid) dan tidak syirik, menerima semua nash baik Al-Qur'an maupun sunnah yang menyebut soal aqidah, termasuk apa yang Allah tetapkan untuk Dirinya? (mengitsbat). Sepakat untuk tidak menyerupakan sifat-sifat Allah tersebut dengan makhluk (tidak tamtsil/tasybih), dan sepakat untuk tidak membagaimanakan/menggambarkan (takyif) sifat Allah tersebut. Inilah pokok aqidah, inilah titik temunya.

Bukankah semuanya menyatakan diri berpegang kepada sunnah, menyebut diri sebagai ahlus sunnah? Maka tidak usah saling berebut klaim, akui saja kedua kubu ini adalah sesama ahlus sunnah.

Yang menjadi penghalang adalah sikap ta'ashub (fanatik) terhadap kelompoknya, dan ghuluw (berlebih-lebihan) terhadap kelompok lainnya. Maka hilangkanlah kedua sikap jahiliyyah ini.

Mengapa sulit untuk mengatakan perdebatan mereka adalah masalah ijtihadiyyah, bukankah perbedaan pendapat itu dilakukan oleh ulama-ulama besar yang ahli dalam ijtihad?

Apa susahnya memposisikan perdebatan furu aqidah ini seperti halnya perbedaan ijtihadiyyah dalam ilmu fiqih? Kita bisa bertoleransi dalam perbedaan fiqih, mengapa dalam perbedaan furu aqidah tidak bisa? Padahal sama-sama hasil ijtihad, sama-sama mengerahkan segala kemampuan menggunakan metode dalam memahami nash-nash yang tidak qath'i.

Perbedaan ini bukan hanya sebatas perbedaan antara asy'ari dan taimi/wahabi. Pahami dulu akar dan garis perbedaannya dengan jelas. Akar perbedaannya adalah berkaitan dengan sifat-sifat khobariyyah, yang Allah tetapkan untuk Dirinya seperti yad, ain, istiwa, dan sebagainya, apakah di dalamnya ada makna zahir yang layak bagi Allah sehingga tidak perlu dita'wil, ataukah makna zahirnya hanya menunjukkan yang serupa dengan makhluk sehingga membolehkan untuk dita'wil atau minimal tafwidh tanpa menetapkan makna zahirnya. Inilah akar perbedaannya. Adapun perbedaan-perbedaan lain hanya sebagai turunannya saja, dan banyak juga perbedaan yang hanya dari sisi penggunakan istilahnya saja, sedangkan secara makna sebenarnya disepakati.

Dari akar perbedaan ini, maka lahirlah dua kubu besarnya. Dua kubu itu bisa kita sebut dengan ahlul hadits/atsar dan ahlul kalam. Pendapat pertama dipegang oleh ahlul hadits/atsar, dan pendapat kedua dipegang oleh ahli kalam. Perbedaan aliran/kecendrungan ini bukankah mirip dengan perbedaan aliran fiqih antara madrasah ahli hadits dan ahli ro'yu? Jadi, ini adalah kecendrungan yang wajar dalam wilayah ijtihad. Yang dimaksud dengan ahli hadits/atsar, bukan berarti tidak menggunakan logika sama sekali, juga sebaliknya, yang dimaksud dengan ahli kalam, bukan berarti tidak menggunakan hadits/atsar. Ini hanya soal dominasi saja. Persis seperti kedua madrasah fiqih tersebut.

 Yang termasuk ahlul hadits/atsar adalah yang dikenal dengan madzhab Hanbali dalam aqidah, termasuk Ibnu Taimiyyah sebagai ulama besarnya. Tapi, kelompok ini bukan hanya Hanbali dan Taimi saja, karena banyak para ulama di luar mereka, seperti dalam madzhab Maliki ada para ulama seperti Ibnu Abdil Bar, Ibnu Abi Zaid Al-Qairowani, dll. Keduanya tentu sebelum masa Ibnu Taimiyyah. Bahkan ulama salaf (maksudnya generasi tabi'ut tabi'in) seperti imam Malik, Abu Hanifah, Asy-Syafi'i, Ahmad, Sufyan Ibnu Uyainah, Sufyan Ats-Tsauri, Al-Auza'i, dll, yang perkataan mereka dinukil dalam permasalahan ini, bisa dimasukkan ke dalam kelompok ini, karena mereka menetapkan apa adanya sesuai yang ada dalam nash, dan mereka tidak menggunakan metode ilmu kalam. Sehingga kelompok ini sering dinisbatkan kepada madzhab Salaf.

Walaupun dalam kelompok besar ini, tidak menutup kemungkinan ada perbedaan-perbedaan istilah yang digunakan, tetapi secara akar madzhab sebenarnya sama. Sebagaimana hal itu juga terjadi pada kelompok kedua, seperti yang akan dibahas.

Yang dimaksud dengan kelompok ahli kalam di sini adalah ulama kalam ahlus sunnah, yaitu dalam dua madzhab besar; Asy'ari dan Maturidi. Dalam kelompok ini juga banyak ulama besar yang diakui keilmuannya dan ahli ijtihad. Sebut saja misalnya, tentu kedua imamnya Abul Hasan Al-Asy'ari (walaupun beliau dalam banyak permasalahan rujuk kepada pendapat madzhab pertama) dan juga Abu Manshur Al-Maturidi, Al-Baqillani, Al-Baihaqi, Al-Qurthubi, Al-Juwaini, Al-Ghazali, Ar-Razi, An-Nawawi, Ibnu Katsir, Ibnu Hajar Al-'Asqalani, dll.

Dan tentu saja dalam kelompok besar ini, ada perbedaan. Antara madzhab Asy'ari dan Maturidi tentu saja ada perbedaan. Bahkan dalam madzhab Asy'ari sendiri tidak sedikit terjadi perbedaan di antara para ulamanya.

Karena kelompok ini menggunakan metode ilmu kalam, sebagai ijtihad baru bagi mereka yang belum dilakukan oleh para ulama sebelumnya (ulama salaf, yaitu tabi'ut tabi'in), maka kelompok ini sering disebut sebagai madzhab Kholaf.

Para ulama salaf (tabi'ut tabi'in) mereka diperselisihkan apakah pendapat mereka itu mengitsbat makna zahir ataukah tafwidh. Nukilan-nukilan dari mereka, memang bisa dipahami menunjukkan kepada dua hal tersebut. (Walaupun saya lebih condong memilih bahwa mereka menetapkan makna zahirnya yang layak bagi Allah). Sebenarnya kedua hal tersebut sangat dekat, bahkan tidak berlebihan jika dikatakan sebagai khilaf lafzhi. Karena menetapkan makna zahir itu bukan berarti mampu merinci maknanya, ia hanya meyakini ada makna yang layak bagi Allah yang berbeda dengan makhluk, yang sebenarnya dipahami oleh bahasa Arab yang masih murni, buktinya para sahabat tidak menganggapnya musykil, mereka tidak menanyakan maknanya kepada Nabi, termasuk kaum kafir pun seperti Abu Jahal, yang selalu mencari-cari kemusykilan di dalam Al-Qur'an sebagai poin untuk menyerang Islam, justru mereka tidak melakukannya, artinya tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang musykil. Hal itu karena kaifiyyat dari sifat tersebut tidak diketahui. Ini jelas misalnya dalam perkataan imam Malik, "istiwa itu ma'lum (maknanya diketahui)". Begitu pula tafwidh, bukan berarti tidak paham sama sekali. Ia bisa dipahami dari atsar/pengaruh yang ditimbulkan dari sifat tersebut. Misalnya sifat yadain, tidak dipahami tafsir/rincian maknanya, tapi bisa dipahami dari atsarnya, yaitu dengan sifat tersebut Allah menciptakan nabi Adam (lima kholaqtu biyadayya, QS. Shad : 75).

 

Kalau kelompok kedua ini mengakui pendapat tafwidh ini, bahkan sebagai pendapat alternatif, bahkan ulama besarnya seperti Al-Juwaini lebih condong kepada ini di akhir hayatnya, dan menyebutnya mengikuti madzhab Salaf, mengapa tidak menerima istilah menetapkan makna zahir, padahal tidak jauh berbeda sebagaimana yang telah saya jelaskan. Mengapa tidak menganggapnya sebagai sebuah ijtihad yang diakhui?

Jadi, sebenarnya mudah untuk damai dan bersatu, adalah dengan saling menghargai perbedaan ijtihad, dan menghilangkan sikap ta'ashub dan ghuluw. Sekuat apapun dalil yang kita gunakan, tetap saja kekuatannya zhanni, tidak sampai kepada qath'i. Sehingga masih ada ruang untuk ijtihad yang berbeda. Akan terasa damai jika perdebatan yang dilakukan adalah untuk mencari dan memilih pendapat mana yang rajih (lebih kuat) dari yang marjuh, bukan untuk saling mengeluarkan dari ahlus sunnah, memfasikkan, membid'ahkan, bahkan mengkafirkan. Karena ijtihad itu benarnya mendapat dua pahala dan salahnya mendapat satu pahala.

Sikap inshaf/fair dalam hal ini harus kita pegang kuat, agar tidak ghuluw. Misalnya harus  mampu membedakan antara kelompok ahlul hadits/atsar dengan kelompok mujassimah, karena buktinya mereka menentangnya. Begitu pula membedakan antara kelompok ahli kalam ahlus sunnah/asy'ari-maturidi dengan ahlul kalam ahli bid'ah yaitu mu'tazilah/jahmiyyah, karena buktinya mereka menentangnya. Jangan mudah menyamakan dan menuduh.

Wallahu A'lam.

Semoga Allah menyatukan hati kita, yang berpegang teguh di atas agama-Nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar