Kamis, 16 Juni 2022

MAKNA ZAHIR BAGI HANABILAH

 


Oleh : Muhammad Atim

 

Sebagian Asy’ariyyah memaksakan kehendak kepada pihak yang berbeda, yaitu dalam hal ini Hanabilah, untuk menggunakan metode mereka dalam memahami sifat-sifat Allah, khususnya sifat khabariyyah. Padahal antara madzhab Asy’ari dan Hanbali memiliki perbedaan metode. Yaitu, madzhab Asy’ari meyakini sifat-sifat khobariyyah itu memiliki satu makna zahir yaitu yang serupa dengan makhluk, sehingga makna zahirnya itu bukan yang dimaksud. Sehingga harus di-tafwidh atau dita’wil. Sedangkan Hanbali meyakini bahwa ia memiliki dua makna zahir, ada makna zahir yang serupa dengan makhluk dan itu bukanlah yang dimaksud, dan adapula makna zahir yang layak bagi Allah, dan itulah makna zahir yang dimaksud. Sehingga tidak perlu kepada ta’wil, dan metode mereka jelas mengharamkan ta’wil. Pemaksaan kehendak ini mengakibatkan penghakiman sepihak, akhirnya dengan mudah menuduh tajsim. Khususnya kepada para pengikut Ibnu Taimiyyah, bahkan kepada Ibnu Taimiyyah sendiri, mereka berusaha memisahkannya dari madzhab Hanbali, padahal jelas secara akar mereka sama, dan bagian dari lingkup madzhab Hanbali. Andaikan mereka mau memahami perbedaan metode ini, seharusnya mereka lebih berhati-hati.

Berikut ini perkataan para ulama Hanabilah tentang makna zahir. Dan bisa kita lihat baik syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah maupun ulama Hanbali yang lainnya memiliki pandangan yang sama tentang masalah makna zahir ini.

Al-Qadhi Abu Ya’la (w.458 H) mengatakan :

واعلم أنه لا يجوز رد هذه الأخبار على ما ذهب إليه جماعة من المعتزلة، ولا التشاغل بتأويلها على ما ذهب إليه الأشعرية، والواجب حملها على ظاهرها، وأنها صفات لله تعالى، لا تشبه سائر الموصوفين بها من الخلق ولا نعتقد التشبيه فيها، لكن على ما روي عن شيخنا وإمامنا أبي عبد الله أحمد بن محمد بن حنبل وغيره من أئمة أصحاب الحديث أنهم قالوا في هذه الأخبار : أمروها كما جاءت، فحملوها على ظاهرها في أنها صفات لله تعالى لا تشبه سائر الموصوفين.

“Dan ketahuilah bahwasanya tidak boleh menolak khobar-khobar ini sebagaimana madzhab yang dipegang oleh sekelompok dari mu’tazilah, juga tidak boleh menyibukkan diri dengan menta’wilnya sebagaimana madzhab yang dipegang oleh Asy’ariyyah. Yang wajib adalah membawanya kepada zahirnya, dan bahwa ia adalah sifat-sifat bagi Allah Ta’ala, tidak menyerupai seluruh yang disifati dari makhluk, dan kita tidak meyakini adanya penyerupaan padanya. Tetapi sesuai dengan yang diriwayatkan dari syaikh kami dan imam kami, yaitu Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal dan selain beliau dari para imam ahli hadits bahwa mereka berkata : “Biarkanlah ia sebagaimana datangnya”, mereka membawanya kepada zahirnya, bahwa ia adalah sifat-sifat bagi Allah yang tidak menyerupai seluruh yang disifati dari makhluk.” (Al-Qadhi Abu Ya’la, Ibthalut Ta’wilat li Akhbar Ash-Shifat, hal.43-44).

Muwaffaquddin Ibnu Qudamah Al-Maqdisi (w.620 H) mengatakan :

فهذا وما أشبهه مما صح سنده وعدلت رواته، نؤمن به ولا نرده ولا نجحده ولا نتأوله بتأويل يخالف ظاهره، ولا نشبه بصفات المخلوقين، ولا بسمات المحدثين ونعلم أن الله سبحانه وتعالى لا شبيه له ولا نظير ﴿لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ﴾ (الشورى : ١١) وكل ما تخيل في الذهن أو خطر بالبال فإن الله تعالى بخلافه

“Maka ini (ayat-ayat dan hadits-hadits tentang sifat Allah) dan yang serupa dengannya dari apa yang telah shahih sanadnya dan terpercaya para perowinya, kita beriman kepadanya, tidak menolaknya dan tidak menentangnya, tidak menta’wilnya dengan ta’wil yang menyalahi zahirnya. Dan kita tidak menyerupakan dengan sifat-sifat makhluk, juga dengan ciri-ciri yang baharu. Dan kita tahu bahwa Allah SWT tidak ada yang serupa dan yang sebanding dengan-Nya. “Tidak ada sesuatu pun yang menyamainya, dan Dia Maha Mendengar, Maha Melihat.” (QS. Asy-Syura : 11). Dan setiap apa yang terkhayalkan di pikiran dan terbersit dalam sanubari, maka sesungguhnya Allah Ta’ala berbeda dengannya.” (Ibnu Qudamah, Lum’atul I’tiqad, hal.6-7)

Ibnu Taimiyyah (w.728 H) berkata :

فإن كان المستمع يظن أن ظاهر الصفات تماثل صفات المخلوقين لزم أن لا يكون شيء من ظاهر ذلك مرادا. وإن كان يعتقد أن ظاهرها ما يليق بالخالق ويختص به لم يكن له نفي هذا الظاهر، ونفي أن يكون مرادا إلا بدليل يدل على النفي، وليس في العقل ولا السمع ما ينفي هذا إلا بجنس ما ينفي به سائر الصفات، فيكون الكلام في الجميع واحد.

“Jika pendengar mengira bahwa zahir sifat-sifat ini menyerupai sifat-sifat makhluk, maka haruslah sesuatu dari zahir itu bukan yang dimaksud. Namun jika ia meyakini bahwa zahirnya adalah yang layak bagi Allah Sang Pencipta dan khusus dengan-Nya, maka tidak boleh ia menafikan zahir ini, dan menafikan bahwa ialah yang dimaksud, kecuali dengan dalil yang menunjukkan kepada penafian. Sedangkan tidak ada dalam akal, juga dalam sama’ (nash) yang menafikan ini, kecuali dengan sejenis yang dapat menafikan seluruh sifat. Maka pembahasan pada semuanya itu sama saja.” (Ibnu Taimiyyah, Majmu’ah Al-Fatawa, 3/32).

Najmuddin Ath-Thufi (w.716 H) berkata :

فالظواهر الواردة في الكتاب والسنة في صفات الباري جل جلاله، لنا أن نسكت عنها، ولنا أن نتكلم فيها، فإن سكتنا عنها قلنا : تمر كما جاءت، كما نقل عن الإمام أحمد رضي الله عنه وسائر أعيان أئمة السلف، وإن تكلمنا فيها قلنا : هي على ظواهرها من غير تحريف، ما لم يقم دليل يترجح عليها بالتأويل، لكن الكلام يبقى في ظواهرها ما هي؟

فالجهمية لقصور نظرهم ومعرفتهم بالأحكام الإلهية، لم يفهموا منها إلا الظاهر المشاهد من المخلوقين من يد ووجه وغير ذلك، فلذلك حرفوها عن ظواهرها إلى مجازات بعيدة.

ونحن نقول : المراد بظواهر النصوص : معان هي حقائق فيها ثابتة لله سبحانه وتعالى، مخالفة للمعاني المفهومة من المخلوقين، وذلك على جهة الاشتراك

“Zahir-zahir yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan sunnah tentang sifat-sifat Allah Sang Pencipta, kita boleh diam darinya, dan boleh juga berbicara tentangnya. Jika kita diam, kita katakan : “Ia dibiarkan sebagaimana datangnya”, sebagaimana dinukil dari imam Ahmad radhiyallahu ‘anhu dan seluruh tokoh imam Salaf. Sedangkan jika kita berbicara tentangnya, kita katakan : “Ia sebagaimana zahirnya tanpa pengubahan, selama tidak ada dalil yang kuat dengan dita’wil. Tapi, pertanyaannya kemudian, apa yang dimaksud dengan zahir-zahir itu?

Jahmiyyah, dengan pendeknya pemikiran dan pengetahuan mereka terhadap hukum-hukum ilahiyyah, mereka tidak memahami darinya selain zahir yang dapat disaksikan dari makhluk-makhluk, berupa tangan, wajah dan selain itu. Oleh karena itu, mereka merubahnya dari zahirnya kepada majaz-majaz yang jauh.

Sedangkan kami mengatakan; “Yang dimaksud dengan zahir nash adalah hakikat-hakikat yang ditetapkan untuk Allah SWT, berbeda dengan makna-makna yang dipahami dari makhluk, hal itu sebagai bentuk isytirak (lafaz sama, arti berbeda).” (Najmuddin Ath-Thufi, Syarah Mukhtashar Ar-Raudhah, 1/560).

Ia juga berkata :

قاعدة : أهملنا إلحاقها بفصل الصفات، فلنلحقها هنا، وذلك أن الناس اختلفوا في آيات الصفات وأخبارها، نحو ﴿بَلْ يَدَاهُ مَبْسُوْطَتَانِ﴾ [المائدة : ٤] ﴿وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ﴾ [الرحمن : ٢٧] ﴿يَوْمَ يُكْشَفُ عَنْ سَاقٍ ﴾ [القلم : ٤٢] وحديث القدم، والإصبع، والضحك، والتواجد ونحوها وهي كثيرة.

فمنهم : من حملها على ظواهرها المتعارفة فجسم ومثل، ومنهم : من تأولها على معاني محتملة في الجملة فرارا من التجسيم فأبطل وعطل، ومنهم من جعلها ألفاظا مشتركة بين صفات المخلوقين وصفات الله عز وجل، حقائق بالنسبة إلى ذاته المقدسة، كالعين المشترك بين عين الماء وعين الذهب، فيقول : لي يد حقيقة ولله عز وجل يد حقيقة ولا اشتراك بين اليدين إلى في لفظ اليد، أما مدلولها فيد الله حقيقة لائقة به عز وجل، كما أن لي ذاتا ولله عز وجل ذاتا ولا اشتراك إلا في الإسم، وهذا رأي الحنابلة وجمهور أهل السنة وهو مذهب جيد صحيح عند من فهمه لا غبار عليه.

“Satu kaidah : kami melewatkan untuk menyertakannya pada fasal sifat, maka kami sertakan di sini. Yaitu bahwa orang-orang berbeda pendapat tentang ayat-ayat sifat dan khobar-khobarnya, seperti “Bal yadahu mabsuthatan” (QS. Al-Maidah : 4), “Wa yabqa wajhu robbika” (QS. Ar-Rahman : 27), “Yauma yuksyafu ‘an saaqin” (QS. Al-Qalam : 42), hadits qadam, ishba’, dhahik, tawajud, dan semisalnya, dan ia banyak.

Di antara mereka ada yang membawanya kepada zahir-zahirnya yang dikenal, maka ia melakukan tajsim (meyakininya sebagai fisik) dan tamtsil (menyerupakan dengan makhluk). Di antara mereka ada yang menta’wilnya kepada makna-makna yang terkandung secara global karena menghindar dari tajsim, maka ia menggugurkannya dan melakukan ta’thil (peniadaan sifat). Dan di antara mereka ada yang menjadikannya sebagai lafazh-lafazh yang musytarak antara sifat makhluk dengan sifat Allah. Ia adalah hakikat-hakikat yang dinisbatkan kepada Dzat-Nya yang suci, seperti kata “ain” yang musytarak antara ‘ain al-ma’i (mata air) dengan ‘ain adz-dzahab (mata uang emas). Maka ia mengatakan : “Aku punya tangan secara hakikat, dan Allah punya tangan secara hakikat, tidak ada kesamaan di antara dua tangan itu kecuali pada lafazh “yad”. Adapun makna yang ditunjukinya, tangan Allah itu adalah hakikat yang layak bagi-Nya Azza wa Jalla, sebagaimana aku memiliki dzat, dan Allah memiliki dzat, dan tidak ada persamaan kecuali pada namanya saja. Inilah pandangan Hanabilah dan jumhur Ahlus Sunnah, dan dia adalah madzhab yang bagus dan benar, bagi orang yang memahaminya, tidak ada kesamaran padanya.” (Najmuddin Ath-Thufi, Hallalul ‘Uqad fi Bayani Ahkamil Mu’taqad, hal.32-33).

Al-Hafizh Ibnu Rajab Al-Hanbali (w.795 H) berkata :

ومن قال : الظاهر منها غير مراد، قيل له : الظاهر ظاهران : ظاهر يليق بالمخلوقين ويختص بهم فهو غير مراد، وظاهر يليق بذي الجلال والإكرام فهو مراد ونفيه تعطيل.

“Dan orang yang mengatakan : “Zahir darinya itu bukan yang dimaksud”, maka dijawab untuknya : “Zahir itu ada dua; zahir yang layak untuk makhluk dan khusus bagi mereka, maka itu bukanlah yang dimaksud, dan zahir yang layak bagi Allah Yang memiliki keagungan dan kemuliaan, maka itulah yang dimaksud, dan menafikannya merupakan ta’thil.” (Ibnu Rajab Al-Hanbali, Fathul Bari Syarh Shahih Al-Bukhari, 7/233).

Al-Hafizh Adz-Dzahabi (w.748 H) berkata :

قلت: قد صار الظاهر اليوم ظاهرين: أحدهما حق، والثاني باطل، فالحق أن يقول: إنه سميع بصير، مريد متكلم، حي عليم، كل شئ هالك إلا وجهه، خلق آدم بيده، وكلم موسى تكليما، واتخذ إبراهيم خليلا، وأمثال ذلك، فنمره على ما جاء، ونفهم منه دلالة الخطاب كما يليق به تعالى، ولا نقول: له تأويل يخالف ذلك.

والظاهر الآخر وهو الباطل، والضلال: أن تعتقد قياس الغائب على الشاهد، وتمثل البارئ بخلقه، تعالى الله عن ذلك، بل صفاته كذاته، فلا عدل له، ولا ضد له، ولا نظير له، ولا مثل له، ولا شبيه له، وليس كمثله شئ، لا في ذاته، ولا في صفاته، وهذا أمر يستوي فيه الفقيه والعامي، والله أعلم.

Aku katakan : “Zahir itu sekarang telah menjadi dua zahir. Yang pertama adalah haq, sedangkan yang kedua batil. Maka yang haq adalah ia berkata : “Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha Berkehendak, Maha Berbicara, Maha Hidup, Maha Mengetahui, segala sesuatu itu binasa selain wajah-Nya, Dia menciptakan Adam dengan tangan-Nya, Dia berbicara dengan Musa dengan sebenar-benar pembicaraan, Dia menjadikan Ibrahim sebagai kekasih, dan yang semisal dengan itu. Maka kita biarkan ia sebagaimana datangnya. Dan kita paham darinya petunjuk pesannya sebagaimana yang layak bagi-Nya Ta’ala, dan kita tidak mengatakan; ia memiliki ta’wil yang menyalahi hal itu.

Sedangkan zahir yang kedua adalah batil dan sesat. Yaitu engkau meyakini qiyas/penyerupaan antara Yang Ghaib dengan yang nampak, engkau menyerupakan Sang Pencipta dengan makhluk-Nya, Allah Maha Tinggi dari hal itu. Tetapi sifat-Nya itu seperti Dzatnya, maka tidak ada bandingannya, tidak ada lawannya, tidak ada yang mirip dengannya, tidak ada yang semisal dengannya, tidak ada yang serupa dengannya, dan tidak ada sesuatu pun yang menyamainya, baik pada dzat-Nya maupun pada sifat-Nya. Ini adalah perkara yang disepakati baik oleh ahli fiqih maupun oleh orang awam.” (Adz-Dzahabi, Siyar A’lam An-Nubala, 19/449).

Wallahu A'lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar