Kamis, 16 Juni 2022

A. Hassan dan Permasalahan Sifat Allah

 


Oleh : Muhammad Atim

 

Berkenaan dengan sifat-sifat Allah yang dianggap menimbulkan anggapan kesamaan dengan makhluk (sifat khobariyyah), para ulama sejak dahulu berbeda pendapat apakah harus dita’wil ataukah harus dibiarkan sebagaimana makna zahirnya. Tidak dipungkiri dari kedua belah pihak ada yang bersikap tasyaddud (keras), bahkan sampai hari ini. Yaitu menyesatkan dan membid’ahkan satu sama lain. Namun, bersikap toleransi, tawasuth, dan memposisikannya sebagai permasalahan ijtihadiyyah, furu dan khilafiyyah dalam aqidah adalah lebih tepat. Tidak menjadikannya sebagai alasan untuk menyesatkan, apalagi mengkafirkan. Tetapi sebagai khilafiyyah yang boleh dicari mana pendapat yang rojih (lebih kuat) dari yang marjuh (lemah), bukan antara yang haq dan batil.

Sikap seperti ini diantaranya ditampilkan oleh para ulama yang mengusung gerakan pembaharuan Islam. Di Indonesia, di antaranya A. Hassan, sebagai guru besar Persatuan Islam (PERSIS), yang merupakan organisasi pembaharuan Islam.

Dalam tulisan A. Hassan dalam bukunya Kitab Tauhid berikut, akan terlihat bagaimana beliau menyikapi permasalahan sifat Allah tersebut. Yaitu beliau memposisikannya sebagai permasalahan ijtihadiyyah yang boleh dipilih ijtihad mana yang lebih kuat. Beliau tidak menolak ta’wil, selama ta’wil itu memiliki dasar yang jelas. Tentang sifat tangan misalnya, beliau membolehkan tangan Allah itu diartikan dengan kekuasaan Allah, karena menurut bahasa Arab, di antara makna tangan adalah kekuasaan. Namun, beliau juga membolehkan memahaminya dengan makna zahir, yaitu diartikan tangan Allah, tetapi dengan tidak menyerupakannya dengan makhluk. Tangan yang sesuai dengan keagungan-Nya. Begitu pula dengan mata. Di sini beliau membolehkan untuk menggunakan metode ta’wil, juga membolehkan menggunakan metode itsbat makna zahir dengan mentafwidh kaifiyyahnya. Namun terkadang beliau menguatkan salah satunya, yaitu tentang makna istiwa, beliau lebih memilih memahaminya dengan makna zahir.   

 

Apakah Allah bertangan, bermata, bermuka,

bersemayam, beserta berhampiran (dekat) ?

 

Di dalam Al-Qur’an ada terdapat ayat-ayat artinya : “Tangan Allah itu di atas tangan-tangan mereka” (QS. Al-Fath :10). “Di tangan-Mu lah ada kebaikan” (QS. Ali Imran : 26). “Apa yang melarangmu daripada sujud kepada (makhluq) yang Aku telah jadikan dengan kedua tangan-Ku” (QS. Shad : 75). Apa maknanya ? Apakah Allah bertangan ?

Dalam bahasa Arab, kalimah tangan atau dua tangan itu, terpakai juga buat arti pemberian, kekuasaan, diri dan sebagainya. Jadi, ayat-ayat itu, boleh kita pakaikan salah satu dari arti-arti majazi yang tersebut, menurut tempat yang layak bagi masing-masing.

Boleh juga kita berkata, Allah bertangan, tetapi tidak sama dengan makhluq,

Di dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang artinya : “Buatlah kapal  itu di (hadapan) mata-mata Kami” (QS. Hud : 73). “Sesungguhnya engkau di (hadapan) mata-mata Kami” (QS. Ath-Thur : 48). Apa maksudnya ? Apakah Allah mempunyai mata ?

Di dalam bahasa Arab, dan di lain-lain bahasa, kalimah mata itu, terpakai juga buat arti perhatian, anggapan, pengawasan, pengetahuan dan sebagainya.

Sering orang-orang berkata : “Si anu diperanakkan di hadapan mata saya”. Maksudnya saya tahu kapan dia diperanakkan. “Pada penglihatan saya, perkara itu tak baik dijalankan.” Maksudnya menurut anggapan saya, perkara itu tak baik dikerjakan. “Perkara ini selamanya di hadapan mata saya”. Maksudnya, perkara ini selalu di dalam pengawasan dan perhatian saya.

Oleh sebab yang demikian, maka di ayat-ayat tadi, boleh dipakaikan salah satu makna majazi yang tersebut itu, menurut tempat yang pantas buat masing-masing.

Boleh juga kita berkata : Allah melihat dengan mata, tetapi mata-Nya tidak sama dengan kita.

Di dalam Al-Qur’an dan hadits-hadits ada banyak tersebut kalimah wajhu rabbika, wajhullah, dan sebagainya. Adakah kalimah-kalimah itu berarti muka Allah ?

Di dalam bahasa Arab, kalimah liwajhillah, liwajhi rabbika, dan sebagainya itu, sungguhpun salinan kalimahnya : karena muka Allah, karena muka Tuhanmu, tetapi makna yang terpakai ialah, karena Allah, karena Tuhanmu. Jadi, di dalam susunan seperti itu, kalimah wajhu tidak diartikan, atau bisa juga diartikan dengan diri. Jadi, maknanya : karena diri Allah, karena diri Tuhanmu.

Di dalam Al-Qur’an ada tersebut ayat yang artinya : “Rahman itu istiwa di atas arsy” (QS. Thaha : 5). Apa maknanya itu, Allah duduk di atas arsy ?

Istiwa itu asal maknanya, ialah bersemayam, duduk dan sebagainya.

Ulama Salaf, yaitu ulama Islam zaman dahulu, berkata, bahwa firman Allah yang Ia bersemayam di atas arsy itu, kita percaya lantaran Ia berkata sendiri, tetapi caranya, kita tidah tahu, yakni tentulah dengan cara yang layak dan patut dengan kesucian-Nya daripada sifat-sifat kemakhlukan.

Sebagian dari ulama Khalaf, yaitu ulama mutaakhirin berkata, maknanya itu : Allah memerintah di atas arsy, atau Allah berkuasa di atas arsy. Jadi, istiwa itu, mereka ta’wilkan dengan arti istaula : memerintah, berkuasa.

Ulama ini, kalau kita bertanya : apakah Allah memerintah atau berkuasa itu sama caranya dengan makhluk ? Tentu mereka menjawab : tidak sama dengan makhluk.

Lantaran itu, bukankah lebih selamat dan lebih mudah, kita berkata : Allah bersemayam di atas arsy, tetapi caranya tidak sama dengan makhluk ?

Apakah makna ayat-ayat “Allah beserta kamu di mana kamu ada” (QS. Al-Hadid : 4). “Sesungguhnya Allah bersama kita” (QS. Al-Bara’ah : 40). “Kami lebih hampir kepada (manusia) daripada urat nyawanya.” (QS. Qaf : 16).

Maksudnya, bahwa Allah beserta kita, dan hampir kepada kita, dengan penjagaan-Nya, pemeliharaan-Nya, rahmat-Nya, bukan dzat-Nya.

(A.  Hassan, Kitab Tauhid, hal. 26-28).

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar