Kamis, 23 April 2020

Penutupan Masjid dalam Timbangan Maqashid Syariah



Oleh : Muhammad Atim

Dalam kondisi wabah covid 19 sekarang ini, para ulama baik di Indonesia maupun di negara-negara lain telah mengeluarkan fatwa untuk diliburkannya ibadah di masjid, dari mulai shalat Jum’at, shalat berjama’ah, dan kegiatan-kegiatan lain, demi memutus rantai persebaran virus ini. Maka suasana pun menjadi berubah, seluruh aktifitas ritual ibadah dan aktifitas lainnya hanya dilakukan di dalam rumah saja. Dalam kenyataan seperti ini, sebagian orang mempertanyakan, apakah ini lebih mengutamakan menjaga jiwa manusia daripada menjaga agama? Terkesan agama diabaikan. Manusia lebih mementingkan dirinya daripada agama.

Untuk menjawab dan menyikapi permasalahan ini, tentu tidak boleh sembarangan. Tidak cukup memandang agama secara zahirnya saja, tetapi mesti memahami hakikat ajaran Islam ini. Untuk itu orang yang tidak memiliki ilmu, hendaklah tidak berkomentar dan menahan lisan dan jemarinya, karena berbicara dalam masalah agama tanpa ilmu adalah termasuk dosa besar.

Dengan pengamatan yang menyeluruh terhadap ajaran Islam, para ulama menyimpulkan bahwa tujuan terbesar dari ajaran Islam adalah mendatangkan kemaslahatan dan mencegah kemadharatan. Hanya saja, kemaslahatan ini ditimbang dengan timbangan syariat, tidak dengan ukuran hawa nafsu manusia. Maka ditetapkanlah lima perkara yang menjadi maksud-maksud syariat (maqashid asy-syari’ah), yaitu menjaga agama (hifzh ad-diin), menjaga jiwa (hifzh an-nafs), menjaga nasab dan kehormatan (hifzh an-nasab wal ‘irdh), menjaga harta (hifzh al-maal), dan menjaga akal (hifzh al-‘aql). Dari kelima perkara ini, ada yang kemaslahatannya bersifat keakhiratan yaitu menjaga agama, dan ada yang bersifat keduniaan yaitu empat yang lainnya. Oleh karena itu, seluruh syariat yang ada di dalam ajaran Islam pasti tidak akan terlepas dari tujuan ini.

Untuk menyikapi perkara yang seolah-olah bertentangan secara zahir antara kelima hal ini, yaitu seperti antara menjaga agama dan menjaga jiwa dalam kasus wabah corona ini, kita mesti memahaminya secara lebih mendetail. Yaitu, bahwa kelima perkara ini tidaklah berada dalam satu level, tetapi para ulama telah membaginya menjadi tiga level.

Pertama, level dharuriyyat (hal-hal yang mendesak). Jika hal-hal yang darurat ini tidak ada maka akan mengakibatkan lenyapnya kemasalahatan baik di dunia maupun di akhirat. Di dunia dengan hilangnya atau rusaknya kehidupannya, dan di akhirat dengan mendapatkan penderitaan di dalam neraka. Dalam hal agama adalah pelaksanaan kewajiban-kewajiban dan ditinggalkannya hal-hal yang haram. Dalam hal keduniaan adalah terjaganya keberadaan nyawa, nasab dan kehormatan, harta dan akal, yaitu dengan makan, minum, berpakaian, tempat tinggal dan bermuamalah (interaksi antar sesama manusia) secara benar.

Kedua, level hajiyat (hal-hal yang dibutuhkan). Jika hal-hal yang dibutuhkan ini tidak ada, maka manusia akan mendapatkan kesulitan, tetapi tidak membuat hilang atau rusaknya kehidupannya. Dalam hal agama adalah adanya rukhsah dalam ibadah, seperti menjama’ dan meqashar shalat, rukhsah untuk tidak shalat jum’at, tayamum, berbuka shaum ramadhan, dalam kondisi-kondisi yang memang diberikan keringanan seperti safar, sakit, dan sebagainya. Jika tidak ada rukhsah dalam kondisi-kondisi seperti ini, tentu manusia akan merasakan kesulitan di dalam melaksanakannya. Tetapi inilah Islam ajaran yang penuh kasih sayang, tidak pernah memberatkan para pemeluknya. Namun, dengan berubahnya tatacara ibadah dari yang biasa (azimah) kepada yang bersifat rukhsah, bukan berarti ia meninggalkan kewajiban, ia tetap mendapat pahala yang sama seperti pada saat kondisi biasanya. Dalam hal keduniaan adalah hal-hal yang dibutuhkan oleh manusia untuk kehidupannya, misalnya untuk makan ia membutuhkan piring sebagai alas makannya, gelas sebagai tempat minumnya, kendaraan untuk berbelanja, dan sebagainya, yang jika hal-hal ini tidak ada, ia akan mendapatkan kesulitan namun tidak sampai membuat lenyap dan rusak kehidupannya.

Ketiga, level tahsiniyyat (hal-hal yang menjadi pelengkap). Jika hal-hal pelengkap ini tidak ada, tidak membuat hilang dan rusak kehidupannya, tidak pula mendapatkan kesulitan, tetapi hanya sebatas bertentangan dengan prinsip ketinggian kualitas, keelokan dan keindahan. Dalam hal agama adalah pelaksanaan ibadah-ibadah sunnah. Jika ibadah-ibadah sunnah ini tidak dilaksanakan, tidak akan membuat pelakunya disiksa di akhirat, tetapi tentu tidak dengan meninggalkan secara keseluruhannya, karena kekurangan dalam ibadah-ibadah wajib dapat dilengkapi oleh ibadah sunnah. Jika seseorang sama sekali meninggalkan ibadah sunnah, tidak ada yang dapat menambal kebolongan ibadah wajibnya, tentu ia akan mendapatkan siksa disebabkan hal itu. Dalam hal keduniaan, adalah hal-hal yang lebih dari kedaruratan dan kebutuhannya, misalnya memilih makanan yang paling berkualitas, pakaian yang bagus, bermuamalah dengan cara yang paling elok, dan sebagainya.

Dengan memahami tingkatan ini, kita mesti menempatkan permasalahan pada tempatnya. Bahaya covid 19 yang telah mewabah ini adalah ancaman terhadap nyawa manusia. Menjaga jiwa manusia adalah termasuk maqashid asy-syari’ah sebagaimana telah dijelaskan, dan ia termasuk pada level dharuriyyat, karena jika tidak dilakukan akan menyebabkan hilangnya nyawa manusia. Lalu dengan dihentikannya aktifitas ibadah di masjid apakah artinya mengabaikan kedaruratan dalam agama? Lebih mementingkan jiwa manusia daripada agama? Tentu tidak. Karena beribadah di masjid bukanlah termasuk dharuriyyat dalam agama. Pelaksanaan kewajiban-kewajiban masih bisa dilakukan tanpa di masjid dan berjama’ah atau berkerumun. Justeru Allah subhanahu wa ta’ala memberikan rukhsah kepada kita dalam kondisi seperti ini. Shalat jum’at yang hukumnya wajib yang biasa dilaksanakan di masjid saja menjadi diberhentikan oleh sebab udzur ini, terlepas dari perbedaan pendapat apakah kemudian ia diganti dengan tetap mengadakan shalat jum’at di rumah jika memungkinkan diadakan jama’ah, ataukah diganti dengan shalat zhuhur secara mutlak. Begitupun shalat berjama’ah, di samping memang mayoritas ulama memandang bahwa shalat berjama’ah hukumnya tidak wajib tetapi sunnah muakkadah. Dan berjama’ah itu pun tidak ada keharusan dilakukan di masjid, dilakukan di masjid adalah sebagai keutamaan saja. Maka apalagi ibadah-ibadah sunnah seperti shalat tarawih, pengajian, dan sebagainya, tentu lebih ringan untuk tidak dilaksanakan di masjid. Yang jelas, ini adalah bagian dari rukhsah yang Allah berikan kepada kita. Jadi, tidak ada kewajiban agama yang kita abaikan dalam hal ini. Oleh karena itu dalam prakteknya, kita mesti menerapan maqashid syari’ah ini sesuai tingkatannya, yaitu mendahulukan perkara yang dharuriyyat, kemudian hajiyat, kemudian tahsiniyyat. Hal-hal yang bersifat hajiyat dan tahsiniyyat dalam agama bisa kita tinggalkan demi terealisasinya dharuriyyat dalam masalah keduniaan.

Lain halnya dengan orang yang memang benar-benar meninggalkan kewajiban dengan alasan khawatir terhadap keselamatan dirinya. Ia berdosa karena meninggalkan kewajiban. Hal seperti ini tidak ada di dalam syariat Islam. Tidak ada satu syariat pun yang memberi kemadharatan kepada manusia. Kewajiban-kewajiban itu tidak boleh ditinggalkan sama sekali bagaimanapun kondisinya, hanya saja pelaksanaannya disesuaikan dengan kemampuannya. Shalat lima waktu itu tidak boleh ditinggalkan sama sekali. Jika seseorang tidak mampu melakukannya dengan berdiri, boleh sambil duduk, jika tidak mampu, boleh sambil berbaring, dan jika tidak mampu bergerak boleh dengan isyarat. Juga ada rukhsah jama dan qashar. Bagi tenaga medis misalnya yang menangani pasien corona, dimana ia tidak bisa membuka perlengkapan APD (Alat Pelindung Diri) dalam waktu yang lama, maka ia diberikan rukhsah untuk tidak berwudhu karena otomatis jika berwudhu ia harus membuka APDnya. Maka ia dibolehkan bertayamum dan itupun tanpa membuka APDnya. Begitu pun shaum Ramadhan, jika ada udzur tidak mampu melaksanakannya oleh sebab safar atau sakit, maka ia boleh menggantinya di hari lain di luar Ramadhan. Adapun zakat, jika memang belum memiliki harta yang mencapai nishab zakat, tentu ia tidak memiliki kewajiban zakat. Begitupun haji, tidak ada kemampuan untuk melaksanakannya, ia belum memiliki kewajiban terhadapnya. Karena sifat kelenturan/fleksibelitas/murunah dalam syariat Islam ini yaitu dengan adanya rukhsah, membuat tidak ada satu pun dalam syariat Islam yang bertentangan dengan kemaslahatan manusia di dunia. Allah SWT selalu menyesuaikan syariatnya dengan kemampuan hamba-Nya.

لَا يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
 
“Allah tidak membebani satu jiwa melainkan sesuai kemampuannya.” (QS. Al-Baqarah : 286).

فَاتَّقُوا اللهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

“Bertakwalah kepada Allah sesuai dengan kemampuan kalian.” (QS. ِAt-Taghabun : 16).

Lalu apakah kondisi sekarang ini sudah layak menjadi alasan adanya rukhsah untuk dihentikannya ibadah di masjid? Tentu saja, karena wabah ini sangat berpotensi mengancam nyawa manusia. Di antara sebab rukhsah adalah adanya kekhawatiran timbulnya kemadharatan (khauf adh-dharar). Hal ini dapat kita temukan di dalam syariat baik secara umum maupun secara khusus berkenaan dengan rukhsah jum’at dan jama’ah. Secara umum misalnya adanya shalat khauf, bolehnya memakan makanan yang haram pada saat darurat, yaitu ketika takut akan kehilangan nyawa, bolehnya bertayamum jika berwudhu dikhawatirkan memberi kemadharatan pada tubuh, atau jika mencari air dikhawatirkan menyebabkan kemadharatan pada diri dan hartanya, dan sebagainya. Adapun secara khusus, ada dalil-dalil yang menunjukkan bolehnya tidak datang ke masjid untuk shalat jum’at dan berjama’ah karena khawatir timbulnya kemadharatan.

Di dalam shahih Muslim bab Ash-Shalat fir Rihal fil mathar (shalat di tempat kediaman pada saat hujan) disebutkan beberapa hadits di antaranya,

عن نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ نَادَى بِالصَّلاَةِ فِى لَيْلَةٍ ذَاتِ بَرْدٍ وَرِيحٍ وَمَطَرٍ فَقَالَ فِى آخِرِ نِدَائِهِ أَلاَ صَلُّوا فِى رِحَالِكُمْ أَلاَ صَلُّوا فِى الرِّحَالِ. ثُمَّ قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَأْمُرُ الْمُؤَذِّنَ إِذَا كَانَتْ لَيْلَةٌ بَارِدَةٌ أَوْ ذَاتُ مَطَرٍ فِى السَّفَرِ أَنْ يَقُولَ أَلاَ صَلُّوا فِى رِحَالِكُمْ.

Dari Nafi’, dari Ibnu Umar bahwasanya dia pernah adzan untuk shalat di malam yang dingin, berangin kencang dan hujan, kemudian dia mengatakan di akhir adzannya, “Alaa shollu fi rihaalikum, alaa shollu fir rihaal” [Hendaklah shalat di rumah kalian, hendaklah shalat di rumah kalian]’. Kemudian beliau mengatakan, ”Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam biasa menyuruh muadzin, apabila cuaca malam dingin dan berhujan ketika beliau bersafar (perjalanan jauh) agar mengumandangkan, “Alaa shollu fi rihaalikum” [Hendaklah shalat di tempat kalian masing-masing]. (HR. Muslim, no. 697).

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ لِمُؤَذِّنِهِ فِى يَوْمٍ مَطِيرٍ إِذَا قُلْتَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ فَلاَ تَقُلْ حَىَّ عَلَى الصَّلاَةِ قُلْ صَلُّوا فِى بُيُوتِكُمْ – قَالَ – فَكَأَنَّ النَّاسَ اسْتَنْكَرُوا ذَاكَ فَقَالَ أَتَعْجَبُونَ مِنْ ذَا قَدْ فَعَلَ ذَا مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنِّى إِنَّ الْجُمُعَةَ عَزْمَةٌ وَإِنِّى كَرِهْتُ أَنْ أُحْرِجَكُمْ فَتَمْشُوا فِى الطِّينِ وَالدَّحْض.

Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas, beliau mengatakan kepada mu’adzin pada saat hujan, ”Apabila engkau mengucapkan ’Asyhadu allaa ilaha illalloh, asyhadu anna Muhammadar Rasulullah’, maka janganlah engkau ucapkan ’Hayya ’alash sholaah’. Tetapi ucapkanlah ’Sholluu fii buyutikum’ [Sholatlah di rumah kalian]. Lalu perawi mengatakan, ”Seakan-akan manusia mengingkari perkataan Ibnu Abbas tersebut”. Lalu Ibnu Abbas mengatakan, ”Apakah kalian merasa heran dengan hal itu. Sungguh orang yang lebih baik dariku telah melakukan seperti ini. Sesungguhnya (shalat) Jum’at adalah suatu kewajiban. Namun aku tidak suka jika kalian merasa susah (berat) jika harus berjalan di tanah yang penuh lumpur.” Dalam riwayat lain, Ibnu Abbas mengatakan, ”Orang yang lebih baik dariku telah melakukan hal ini yaitu Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam.” (HR. Muslim, no. 699).

Dalam hadits di atas jelas, pada saat kondisi hujan lebat dan angin kencang yang dikhawatirkan menimbulkan kesulitan dengan berjalan di tanah yang penuh lumpur dibolehkan untuk tidak datang shalat jum’at dan jama’ah, maka apalagi di saat wabah penyakit seperti sekarang yang kekhawatiran terhadap kemadharatannya tentu lebih besar.

عَنْ جَابِرٍ بْنِ عَبْدِ اللهِ زَعَمَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَنْ أَكَلَ ثَوْمًا أَوْ بَصَلًا فَلْيَعْتَزِلْنَا - أَوْ قَالَ – فَليَعْتَزِلْ مَسْجِدَنَا، وَلْيَقْعُدْ فِي بَيْتِهِ

Dari Jabir bin Abdullah ia meyakini bahwa Nabi saw bersabda : “Siapa yang memakan bawang putih atau bawang merah maka menjauhlah dari kami” atau beliau bersabda : “maka menjauhlah dari masjid kami dan hendaklah ia menetap di rumahnya.” (HR. Bukhari, no. 855, Muslim no.564).

Dalam hadits di atas disebutkan bahwa orang yang memakan bawang putih atau bawang merah dilarang untuk datang ke masjid karena dapat memadharatkan orang lain dengan baunya, maka apalagi kemadharatan dari wabah penyakit yang jauh lebih besar.

Di samping dalil-dalil lain yang memerintahkan agar menghindar dari penyakit, apalagi ketika penyakit tersebut sudah menjadi wabah.

Dengan mengetahui kuatnya penetapan rukhsah diliburkannya masjid dari shalat jum’at dan jama’ah secara syar’i, tentu mestinya kita tidak lagi menganggap ini sebagai bentuk pengabaian terhadap agama, justeru dalam rangka mengamalkan agama.

Wallahu A’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar