Sabtu, 11 April 2020

Ngaji Tafsir As-Sa’di


Oleh : Muhammad Atim

Tujuan dari ilmu tafsir adalah memahami maksud-maksud firman Allah di dalam Al-Qur’an. Oleh karena itu, siapapun yang mempelajari ilmu tafsir hendaklah mengingat tujuan ini. Jangan sampai menyelami ilmu tafsir dengan kajian berbagai disiplin ilmunya, lalu banyak periwayatan dan perbedaan pendapat para ulama, namun belum mampu menangkap maksud inti dari ayat yang sedang dikaji. Itulah mengapa mempelajari ilmu tafsir itu, termasuk juga ilmu-ilmu yang lain, mesti secara bertahap. Dimulai dari tafsir yang ringkas yang menyajikan maksud-maksud inti dari ayat-ayat, lalu meningkat kepada tafsir pertengahan yang mulai menyajikan dari sisi periwayatannya (ma’tsur) ataupun mengupas dari sisi ilmu-ilmu diroyahnya, hingga kepada tafsir-tafsir yang panjang lebar mengupas makna-makna dan dan kandungan petunjuknya yang luas melalui berbagai disiplin ilmunya.
Setelah melakukan pengamatan yang sederhana terhadap tafsir-tafsir ringkas, menurut penulis, Tafsir As-Sa’di lah yang paling mampu merepresentasikan tujuan utama dari maksud pembelajaran tafsir ini, yaitu memahami inti-inti maksud dari ayat-ayat Al-Qur’an. Untuk itulah dalam majelis kajian saya, saya menjadikannya sebagai kitab tafsir panduan bagi pemula. Inti-inti maksud yang sudah dipahami itu, diharapkan mampu menyentuh alam batin agar dapat secara terus menerus menguatkan dan meningkatkan keimanan dan dapat menyentuh alam realita untuk menjadi petunjuk yang diamalkan. Hal ini tidak mengurangi keistimewaan kitab-kitab tafsir ringkas lainnya, karena masing-masing kitab yang telah ditulis oleh ulama yang mu’tabar tentu memiliki keistimewaan tersendiri. Sebut saja misalnya tafsir Jalalain karya dua ulama besar Jalaluddin As-Suyuthi dan Jalaluddin Al-Mahalli rahimahumallah, ini terlalu ringkas, banyak faidah-faidah inti yang belum tersajikan. Lalu tafsir Shofwatut Tafasir karya Syekh Muhammad Ali Ash-Shabuni hafizhahullah, meskipun ringkas tetapi sudah mulai menyajikan pengklasifikasian disiplin ilmunya, misalnya beliau memisahkan pembahasan dari segi bahasa, lalu penamaan, asbabun nuzul, ilmu balaghah dan sebagainya. Tafsir ini sebagaiknya dipelajari di tahap berikutnya. Begitu pula tafsir At-Tashil li ‘Ulum At-Tanzil karya Ibnu Juzai Al-Kalbi rahimahullah, sudah mengupas kajian tafsir dari tinjauan berbagai disiplin ilmunya. Jika kita ingin lebih melengkapi pemahaman, tentu saja sebaiknya mempelajari juga tafsir-tafsir ringkas lainnya baik yang disebutkan di atas maupun yang tidak disebutkan. 
 
Tentang As-Sa’di rahimahullah

Nama lengkap beliau adalah Abu Abdillah Abdurrahman bin Naashir bin Abdullah bin Nashir As Sa’di dari Bani Tamim. Dilahirkan pada 12 Muharram 1307 H / 1886 M, di kota Unaizah, Qosim, Saudi Arabia. Ibu beliau wafat pada saat beliau berusia empat tahun dan ayah beliau wafat pada saat berusia tujuh tahun. Beliau menghapal Al-Qur'an dan menguasai ilmu qiro’at sebelum berusia sebelas tahun. Kemudian mendedikasikan umurnya untuk menuntut ilmu dari para ulama yang berada di kotanya dan kemudian mengajar hingga wafatnya karena sakit pada 24 Jumadits Tsani 1376 H / 1956 M.
Beliau mempelajari ilmu-ilmu syar’i dari guru-guru beliau seperti Ibrahim bin Hamd Jasir, Muhammad bin Abdul Karim Asy-Syabl, Shalih bin Utsman Al-Qadhi, dan lainnya, juga guru lain yang memberinya ijazah diantaranya Muhammad Amin Asy-Syanqithi penulis tafsir Adhwaul Bayan dan Abdul Hayy Al-Kattani. Beliau menguasai berbagai disiplin ilmu syar’i seperti Tafsir, Aqidah, Fiqih, Hadits dan Bahasa Arab. Murid beliau yang paling menonjol adalah Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dan Abdullah bin Abdurrahman Al-Bassam. 
 
Madzhab dan keilmuan beliau

Beliau bermadzhab Hanbali baik dalam bidang akidah maupun fiqih. Beliau sangat konsen mendalami kitab-kitab Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan muridnya Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah rahimahumallah, sehingga pengaruh keduanya sangat kental dalam keilmuan beliau dalam ilmu Ushul Fiqih, Tauhid, Tafsir dan Fiqih. Sehingga pada akhirnya dalam bidang fiqih beliau tidak mengingatkan diri pada madzhab Hanbali, tetapi seringkali beliau mentarjih (menguatkan) pendapat yang berbeda sesuai dengan dalil-dalil yang beliau pahami. 
 
Tafsir beliau dan manhajnya

Tafsir beliau yang saya maksud adalah yang beliau beri nama Taisir Al-Karim Ar-Rahman fi Tafsir Al-Kalam Al-Mannan. Beliau menyelesaikan penulisan kitab tafsir ini sekitar 2 tahun, yaitu tahun 1342 sampai dengan tahun 1344 H, beliau memulai saat berusia 35 tahun dan menyelesaikannya saat berusia 37 tahun.
Manhaj yang beliau tempuh dalam penulisan tafsirnya adalah dengan secara langsung mengemukakan maksud-maksud inti dari ayat, tanpa menyebutkan riwayat, perbedaan pendapat, uraian lafazh-lafazh dan sisi kebahasaan serta uraian berbagai disiplin keilmuan yang berkaitan dengan tafsir. Maksud-maksud inti dari ayat tersebut beliau hasilkan dari memahami alur pembicaraan dari ayat disertai dengan memahami sirah Rasulullah saw dan penguasaan terhadap bahasa Arab. Juga dengan cara mentadaburi dan mentafakuri lafazh-lafazh dan maknanya, pemahaman yang melekat dan yang terkandung di dalamnya, dan apa yang ditunjuki baik secara tersurat (manthuq) maupun tersirat (mafhum). Hal ini beliau ungkapkan dalam muqaddimah beliau,
Sungguh telah banyak tafsir-tafsir para ulama rahimahumullah terhadap kitab Allah. Ada diantaranya yang panjang lebar namun keluar pada kebanyakan pembahasannya dari maksudnya, dan ada juga yang ringkas yang terbatas pada uraian sebagian lafazh-lafazh kebahasaan dengan tanpa memperhatikan maksudnya.
Yang justru seharusnya dilakukan dalam hal ini adalah menjadikan makna itu adalah maksud, sedangkan lafazh hanyalah sebagai wasilah yang mengantarkan kepadanya. Maka hendaklah diperhatikan alur pembicaraannya (siyaqul kalam), dan apa tujuan dari alur tersebut dan membandingkannya dengan yang mirip dengan ayat di tempat lain. Dan diketahuilah bahwa Al-Qur’an ini disusun untuk memberi hidayah kepada makhluk seluruhnya, baik yang berilmu maupun yang bodoh, orang kota dan orang desanya. Mengamati alur ayat-ayat disertai dengan mengetahui kondisi-kondisi Rasulullah saw dan sirahnya bersama para sahabatnya dan musuh-musuhnya pada saat Al-Qur’an ini diturunkan, adalah hal yang paling besar dalam membantu memahami maksud dari ayat-ayat tersebut. Khususnya apabila hal itu dibarengi dengan mengetahui ilmu-ilmu bahasa Arab dan macam-macamnya.
Siapa yang diberikan taufik kepada hal itu, tidak ada yang akan dia lakukan kecuali mentadaburi, memahami dan banyak tafakur terhadap lafazh-lafazh dan makna-maknanya, pemahaman yang melekat dan yang terkandung di dalamnya, dan apa yang ditunjuki baik secara tersurat (manthuq) maupun secara tersirat (mafhum). Dan apabila ia telah mengerahkan kesungguhannya dalam hal itu, maka Rabb lebih dermawan daripada hamba-Nya. Maka mesti Dia akan membukakan untuknya dari ilmu-ilmu-Nya perkara-perkara yang tidak tercakup di bawah usahanya.
Tatkala Allah Al-Bari menganugerahkan kepadaku dan kepada saudara-saudaraku kesibukan terhadap kitab-Nya yang mulia sesuai dengan kondisi yang layak bagi kami, aku sangat berkeinginan untuk menulis dari tafsir kitab Allah apa yang mudah, dan apa yang Allah anugerahkan kepada kami itu agar menjadi pengingat bagi orang-orang yang telah meraih ilmu, sebagai alat bagi orang-orang yang meneliti dan sebagai pembantu bagi orang-orang yang sedang menempuh perjalanan menuntut ilmu, dan aku menuliskannya karena khawatir akan lenyap. Tidak ada tujuanku dalam penulisan tafsir ini kecuali agar makna itu menjadi maksudnya, dan aku tidak menyibukkan diri dalam menguraikan lafazh-lafazh dan kata-kata yang sulit bagi makna yang disebutkan, karena para ulama ahli tafsir telah membuat cukup orang-orang yang datang setelahnya. Semoga Allah membalas mereka dengan kebaikan atas jasanya terhadap kaum muslimin.”
Selain itu, sebagaimana telah disinggung sebelumnya, bahwa pemahaman dalam tafsir yang beliau kemukakan sangat dipengaruhi oleh ilmu-ilmu dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah, bahkan secara khusus sebagai muqaddimah dalam ilmu tafsir beliau tuangkan faidah-faidah dari Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah.
Dalam segi gaya penyajiannya mirip gaya yang dilakukan oleh imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya, yaitu setelah menyebutkan ayat langsung mengemukakan faidah-faidah dan permasalahan yang terkandung di dalamnya.
Beliau memberi perhatian khusus pada ayat-ayat yang berisi perumpamaan (dharbul amtsal), mengambil ibrah dari kisah-kisah dan menjauhi riwayat-riwayat israiliyyat.
Dan merupakan keistimewaannya adalah beliau sangat apik dan teliti dalam mengemukakan kesimpulan-kesimpulan dari ayat (diqqatul istinbath) baik yang berkenaan dengan faidah, hukum dan hikmah dan juga bahasa yang beliau gunakan adalah bahasa yang mudah dipahami baik bagi orang yang ilmunya mendalam maupun yang tidak, sebagaimana kesan ini disampaikan oleh Syekh Utsaimin rahimahullah. Dan juga beliau menambahkan bahwa kitab tafsirnya adalah kitab tafsir sekaligus kitab pendidikan terhadap akhlaq-akhlaq yang utama.
Wallahu A’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar