Kamis, 30 April 2020

Keutamaan Ilmu Fiqih



Serial Mengenal Ilmu Fiqih (2)
Oleh : Muhammad Atim


Mengetahui keutamaan suatu ilmu sangat penting, agar kita terdorong lebih semangat untuk mempelajarinya. Juga agar kita lebih memahami seberapa besar nilai, urgensi dan manfaat dari ilmu tersebut, sehingga meskipun kita tidak mempelajarinya, paling tidak bisa menghargai dan memuliakannya.
Untuk mengetahui keutamaan ilmu fiqih, perlu diketahui beberapa hal tentangnya, yaitu : apa objek kajiannya, apa saja pembahasannya, apa manfaatnya, dari mana pengambilan ilmunya, apa hubungannya dengan ilmu lain, dan apa hukum mempelajarinya secara syari'at. Dimana beberapa hal ini merupakan syarat sahnya suatu disiplin ilmu, yang dikenal dengan 10 mabadi, yaitu : definisi, nama, objek kajian, pembahasan, keutamaan, manfaat, hukum syar'i, pengambilan ilmu, nisbat kepada ilmu lain dan peletak. Nama dan definisi sudah kita bahas dalam pembahasan sebelumnya, sisanya akan kita bahas dalam pembahasan ini, kecuali peletak yang akan di bahas pada pembahasan selanjutnya.
Objek kajian ilmu fiqih adalah perbuatan manusia yang sudah layak dibebani syari'at (mukallaf). Sehingga, pembahasannya sangat luas yaitu berkaitan dengan seluruh perbuatan manusia ditinjau dari segi hukumnya apakah wajib, sunnah, haram, makruh atau mubah.
Jika diklasifikasikan, perbuatan manusia itu mencakup: hubungannya dengan Allah, hubungannya dengan sesama manusia, dan hubungannya dengan alam sekitar.
Hubungan dengan Allah disebut dengan ibadah atau ibadah mahdhah, seperti shalat, zakat, shaum, haji, dsb.
Hubungan dengan sesama manusia disebut dengan mu'amalah, dan ia banyak dimensinya. Ada yang berkaitan dengan keluarga seperti hukum nikah, talak, waris, dsb. Ada yang berkaitan dengan transaksi seperti perdagangan, sewa, pinjaman, dsb. Ada yang berkaitan dengan hukum pidana seperti pembunuhan, pencurian, perzinahan dsb. Ada yang berkaitan dengan politik dan ketatanegaraan yang dikenal dengan al-ahkam as-sulthaniyyah atau as-siyasah asy-syar'iyyah. Ada yang berkaitan dengan hubungan internasional antar negara, dan sebagainya.
Sedangkan hubungannya dengan alam sekitar seperti hukum makanan, minuman, sembelihan, perburuan, pakaian, perhiasan, dsb.
Maka, manfaat dari ilmu fiqih adalah, karena setiap perbuatan kita di dunia ini akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah apakah sesuai dengan syariat-Nya ataukah tidak, dalam arti melakukan yang wajib, sunnah dan mubah dan meninggalkan yang haram dan makruh. Maka dengan memahami ilmu fiqih, kita bisa memperhitungkan, membimbing dan mengarahkan setiap perbuatan kita. Oleh karena itu, tak ragu lagi, bahwa ilmu fiqih adalah jalan agar kita bisa selamat di akhirat kelak.
Darimanakah ilmu ini diambil? Tentu karena ia merupakan hukum Allah, maka semata-mata diambil dari wahyu Allah yang tertuang di dalam Al-Qur'an dan Sunnah rasul-Nya, baik secara nash (tersurat), maupun secara istinbath (tersirat).


Sedangkan nisbat/hubungannya dengan ilmu lain, khususnya ilmu-ilmu syar'i, adalah nisbat umum-khusus wajhi (umum-khusus dalam segi tertentu), artinya dalam ilmu fiqih ada pembahasan ilmu lain misalnya membahas perbuatan hati seperti niat, ia juga dibahas dalam ilmu akhlaq, begitu pula ketika membahas makna suatu lafazh diperlukan definisi dari ilmu bahasa Arab, ketika membahas khomer misalnya apa makna khomer secara bahasa? Karena hukum terhadap sesuatu itu sangat tergantung kepada gambaran makna terhadap sesuatu tersebut, sehingga menjadi suatu kaidah yang dikenal,
حُكْمُ الشَّيْءِ فَرْعٌ عَنْ تَصَوُّرِهِ
"Hukum sesuatu adalah cabang dari penggambaran maknanya"
Lalu apa hukum mempelajarinya? Karena ia berkaitan dengan keselamatan di akhirat, maka hukum mempelajarinya adalah wajib. Hanya kewajibannya dibagi kepada fardhu 'ain dan fardhu kifayah. Yang fardhu 'ain adalah yang berkaitan dengan perbuatan yang sudah menjadi kewajiban bagi seseorang. Seperti ketika seseorang telah wajib shalat lima waktu, maka ia wajib mempelajarinya, ketika telah wajib zakat, ia wajib mempelajari ilmu fiqih zakat, begitu pula shaum, haji, dst. Begitu pula berkaitan dengan perbuatan yang secara langsung dilakulan oleh seseorang. Misalnya ketika seseorang melakukan perdagangan, maka fardhu 'ain baginya untuk mempelajari fiqih perdagangan, dan ketika transaksi riba telah banyak dilakukan maka ia juga wajib mempelajari tentang fiqih riba, agar ia menghindarinya, dsb.
Adapun yang hukumnya fardhu kifayah adalah yang selainnya, yaitu perbuatan yang belum secara langsung dilakukan, baik sebagai bekal ilmu karena sewaktu-waktu bisa saja dibutuhkan ataupun dalam rangka mengajarkan kepada orang lain, memberi penjelasan kepada orang lain yang membutuhkan, serta memberi fatwa pada suatu kasus yang ditanyakan oleh orang lain, tentu bagi orang yang memang sudah layak untuk berfatwa.
Selain itu, untuk mengenal keutamaannya, ada beberapa dalil ataupun perkataan para ulama yang mesti kita ketahui.
Hanya saja, ketika memahami kata fiqih yang disebutkan baik di dalam ayat maupun hadits, maknanya masih bersifat umum yaitu mempelajari atau mendalami ilmu agama Islam, tidak ditinjau dari makna secara istilah bidang ilmu fiqih secara tertentu, karena istilah ilmu fiqih sendiri baru mapan pada masa-masa berikutnya.
Diantara dalilnya adalah,
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً ۚ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
"Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya." (QS. At-Taubah : 122).
Kata fiqih dalam ayat diatas yang berderivasi menjadi tafaqquh maknanya tidak khusus ilmu fiqih, tetapi mempelajari ilmu Islam secara umum. Begitu pula yang terdapat dalam hadits, dari Muawiyyah radhiyallahu 'anhu berkata, aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda :
مَنْ يُرِِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِِ
"Siapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya, maka Dia akan memahamkannya pada agama." (HR. Bukhari no. 71, Muslim no.1037).
Ada makna fiqih secara khusus yang disebutkan oleh salah seorang tabi'in yaitu 'Atha bin Abi Rabah ketika menafsirkan sabda Nabi saw "halaqah-halaqah dzikir", sebagaimana berikut ini,
Dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda :
إِذَا مَرَرْتُمْ بِرِيَاضِ الْجَنَّةِ فَارْتَعُوا قَالُوا وَمَا رِيَاضُ الْجَنَّةِ قَالَ حِلَقُ الذِّكْرِ
Jika kamu melewati taman-taman Surga, maka singgahlah dengan senang.” Para sahabat bertanya, ”Apakah taman-taman Surga itu?” Beliau menjawab, ”Halaqah-halaqah (kelompok-kelompok) dzikir.” (HR. Tirmidzi no.3510)
'Atha berkata : "Dzikir ini adalah majelis halal dan haram, bagaimana kamu membeli, menjual, shalat, shaum, haji, menikah, mentala, dan yang semacamnya." (Imam Nawawi, Adab Alim wal Muta’allim, hal.16).
Ibnu Syihab Az-Zuhri berkata :
مُا عُبِدَ اللهُ بِمِثْلِ الْفِقْهِ
Tidak ada bentuk ibadah kepada Allah yang sebanding dengan fiqih”. (Imam Nawawi, Adab Alim wal Muta’allim, hal.17).
Disebutkan juga perkataan ulama salaf lain yang semakna dengan perkataan Az-Zuhri di atas.
Ada hadits yang menguatkan makna ini, meskipun dalam sanadnya ada kelemahan, tetapi maknanya shahih. Hadits ini dicantumkan oleh imam Nawawi dalam kitabnya, Adab Alim wal Muta’allim, hal. 13, yaitu hadits riwayat At-Tirmidzi dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu :
فَقِيْهٌ وَاحِدٌ أَشَدُّ عَلَى الشَّيْطَانِ مِنْ أَلْفِ عَابِدٍ
Seorang faqih itu lebih menyulitkan syetan daripada seribu ahli ibadah”
Kalaupun makna fiqih di atas maknanya ditarik kepada mempelajari ilmu agama secara umum, jika kita bandingkan, tetap saja ilmu fiqih lebih dominan karena cakupan pembahasannya lebih luas dibanding dengan ilmu-ilmu syar’i lainnya. Wallahu A’lam.
Kita perlu belajar kepada para ulama yang betul-betul menghayati keutamaan ilmu fiqih ini, lalu mereka sungguh-sungguh mempelajarinya hingga menjadi imam dalam ilmu ini. Kita mengenal 4 imam madzhab fiqih, yaitu imam Abu Hanifah, imam Malik, imam Syafi'i dan imam Ahmad rahimahumullah. Mereka mencapai derajat kepakaran dalam ilmu fiqih ini tiada lain karena mereka benar-benar memahami keutamaan ilmu ini.
Kita lihat misalnya bagaimana Imam Abu Hanifah rahimahullah mempelajari ilmu fiqih. Menurut berbagai riwayat diantaranya dari muridnya yaitu Abu Yusuf, ia menceritakan kisahnya.
«كيف وُفقت إلى الفقه؟»، فقال: «أخبرك، أما التوفيق فكان من الله، وله الحمد كما هو أهله ومستحقه، إني لما أردت تعلم العلم جعلت العلوم كلها نصب عيني، فقرأت فناً فناً منها، وتفكرت عاقبته وموضع نفعه، فقلت آخذ في الكلام، ثم نظرت، فإذا عاقبته عاقبة سوء ونفعه قليل، وإذا كمل الإنسان فيه لا يستطيع أن يتكلم جهاراً ورمي بكل سوء ويقال صاحب هوى، ثم تتبعت أمر الأدب والنحو، فإذا عاقبة أمره أن أجلس مع صبي أعلمه النحو والأدب، ثم تتبعت أمر الشعر، فوجدت عاقبة أمره المدح والهجاء، وقول الكذب وتمزيق الدين، ثم تفكرت في أمر القراءات، فقلت: إذا بلغت الغاية منه اجتمع إلي أحداث يقرؤون علي، والكلام في القرآن ومعانيه صعب، فقلت: أطلب الحديث، فقلت: إذا جمعت منه الكثير أحتاج إلى عمر طويل حتى يُحتاج إلي، وإذا احتيج إلي لا يجتمع إلا الأحداث، ولعلهم يرمونني بالكذب وسوء الحفظ فيلزمني ذلك إلى يوم الدين، ثم قلبت الفقه، فكلما قلبته وأدرته لم يزدد إلا جلالة، ولم أجد فيه عيباً، ورأيت الجلوس مع العلماء والفقهاء والمشايخ والبصراء والتخلق بأخلاقهم، ورأيت أنه لا يستقيم أداء الفرائض وإقامة الدين والتعبد إلا بمعرفته، وطلب الدنيا والآخرة إلا به، ومن أراد أن يطلب به الدنيا طلب به أمراً جسيماً، وصار إلى رفعة منها، ومن أراد العبادة والتخلي لم يستطع أحد أن يقول: تعبد بغير علم، وقيل إنه فقه وعمل بعلم».
Ia ditanya, "Bagaimana engkau diberi taufik kepada ilmu fiqih?" Maka ia menjawab : “Aku beritahukan kepadamu, adapun taufik itu dari Allah, dan milik-Nya segala pujian sebagaimana Dia berhak terhadapnya. Sesunggunya ketika aku hendak mempelajari ilmu, aku jadikan ilmu-ilmu itu seluruhnya di hadapan mataku. Lalu aku membaca satu persatu bidang-bidang ilmu tersebut. Lalu aku memikirkan tujuan akhirnya dan letak manfaatnya. Aku berkata, aku akan mengambil ilmu kalam. Lalu aku mengamati, ternyata tujuan akhirnya adalah tujuan yang buruk dan manfaatnya sedikit. Ketika orang telah sempurna mendalaminya, ia tidak bisa berbicara secara terang-terangan, ia dituduh dengan segala keburukan dan dikatakan sebagai pelaku hawa nafsu. Kemudian aku meneliti perihal ilmu sastra dan nahwu. Ternyata tujuan akhirnya aku duduk bersama anak kecil, aku ajari dia ilmu nahwu dan sastra. Lalu aku meneliti perihal ilmu sya’ir. Aku temukan ternyata tujuan akhirnya adalah memuji-muji atau menghujat, perkataan dusta dan merusak agama. Lalu aku memikirkan perihal ilmu qiro’at. Lalu aku berkata, jika aku telah mencapai puncaknya, anak-anak muda akan berkumpul kepadaku membacakan Al-Qur’an. Sedangkan berbicara tentang Al-Qur’an dan makna-maknanya adalah hal yang sulit. Lalu aku berkata, aku akan menuntut ilmu hadits. Kemudian aku berkata, apabila aku telah mengumpulkan banyak hadits, aku butuh umur yang panjang hingga aku dibutuhkan. Apabila aku telah dibutuhkan, tidak ada yang berkumpul kepadaku kecuali anak-anak muda. Dan bisa saja mereka menuduhku dusta dan jelek hapalan, lalu hal itu terus melekat padaku sampai hari pembalasan. Kemudian aku menerima ilmu fiqih. Maka setiap kali aku menerimanya dan bergelut dengannya, ia tidak memberi tambahan kepadaku kecuali kemuliaan. Aku tidak menemukan ada aib padanya. Aku melihat adanya duduk bersama para ulama, ahli fiqih, masyayikh dan ahli pemikiran, dan berakhlaq dengan akhlaq mereka. Dan aku melihat mereka tidak terus menerus melaksanakan kewajiban, menegakkan agama dan beribadah kecuali dengan memiliki ilmu terhadapnya, mereka tidak mencari dunia dan akhirat kecuali dengan ilmunya. Siapa yang ingin mencari dunia dengan ilmu, sungguh ia mencari hasil yang besar, dan ia menjadi tinggi. Dan siapa yang ingin beribadah dan mengosongkan diri dengan ibadah, tidak ada seorang pun yang mampu berkata kepadanya, “beribadahlah kamu tanpa ilmu”. Justeru orang akan berkata, “Itu adalah fiqih dan beramal dengan ilmu.” (Muhammad Abu Zahrah, Abu Hanifah, hal.24-25 dan As-Suyuthi, Tabyidh Ash-Shahifah, hal.23).
Apa yang dialami oleh Abu Hanifah di atas, bukan berarti ilmu lain selain fiqih tidak manfaatnya, sama sekali tidak. Ilmu-ilmu lain tetap ada manfaatnya, hanya ilmu fiqih lebih besar manfaatnya untuk didalami. Kisah di atas juga menunjukkan bahwa imam Abu Hanifah menemukan bakatnya dalam bidang ilmu fiqih.
Imam Asy-Syafi’i rahimahullah juga menyebutkan keutamaan ilmu fiqih, disamping menyebutkan keutamaan ilmu lainnya.
من تعلم القرآن عظمت قيمته، ومن نظر في الفقه نبل قدره، ومن كتب الحديث قويت حجته، ومن نظر في اللغة رق طبعه، ومن نظر في الحساب جزل رأيه، ومن لم يصن نفسه لم ينفعه علمه
"Siapa yang belajar ilmu Al-Qur'an, maka besarlah nilai dirinya, siapa yang menelah ilmu fiqih maka cerdaslah ukuran dirinya, siapa yang menulis hadits maka kuatlah hujjahnya, siapa yang menelaah ilmu bahasa maka lembutlah tabiatnya, siapa yang menelaah ilmu hisab (hitung) maka tajamlah pemikirannya, dan siapa yang tidak menjaga dirinya, maka tidak bermanfaatlah ilmunya". (Imam Nawawi, Adab Alim wal Muta’allim, hal.14-15).
Wallahu A’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar