Serial Mengenal Ilmu Fiqih
(2)
Oleh : Muhammad Atim
Mengetahui keutamaan suatu ilmu
sangat penting, agar kita terdorong lebih semangat untuk
mempelajarinya. Juga agar kita lebih memahami seberapa besar nilai,
urgensi dan manfaat dari ilmu tersebut, sehingga meskipun kita tidak
mempelajarinya, paling tidak bisa menghargai dan memuliakannya.
Untuk mengetahui keutamaan ilmu
fiqih, perlu diketahui beberapa hal tentangnya, yaitu : apa objek
kajiannya, apa saja pembahasannya, apa manfaatnya, dari mana
pengambilan ilmunya, apa hubungannya dengan ilmu lain, dan apa hukum
mempelajarinya secara syari'at. Dimana beberapa hal ini merupakan
syarat sahnya suatu disiplin ilmu, yang dikenal dengan 10 mabadi,
yaitu : definisi, nama, objek kajian, pembahasan, keutamaan, manfaat,
hukum syar'i, pengambilan ilmu, nisbat kepada ilmu lain dan peletak.
Nama dan definisi sudah kita bahas dalam pembahasan sebelumnya,
sisanya akan kita bahas dalam pembahasan ini, kecuali peletak yang
akan di bahas pada pembahasan selanjutnya.
Objek kajian ilmu fiqih adalah
perbuatan manusia yang sudah layak dibebani syari'at (mukallaf).
Sehingga, pembahasannya sangat luas yaitu berkaitan dengan seluruh
perbuatan manusia ditinjau dari segi hukumnya apakah wajib, sunnah,
haram, makruh atau mubah.
Jika diklasifikasikan, perbuatan
manusia itu mencakup: hubungannya dengan Allah, hubungannya dengan
sesama manusia, dan hubungannya dengan alam sekitar.
Hubungan dengan Allah disebut
dengan ibadah atau ibadah mahdhah, seperti shalat, zakat, shaum,
haji, dsb.
Hubungan dengan sesama manusia
disebut dengan mu'amalah, dan ia banyak dimensinya. Ada yang
berkaitan dengan keluarga seperti hukum nikah, talak, waris, dsb. Ada
yang berkaitan dengan transaksi seperti perdagangan, sewa, pinjaman,
dsb. Ada yang berkaitan dengan hukum pidana seperti pembunuhan,
pencurian, perzinahan dsb. Ada yang berkaitan dengan politik dan
ketatanegaraan yang dikenal dengan al-ahkam as-sulthaniyyah
atau as-siyasah asy-syar'iyyah. Ada yang berkaitan dengan
hubungan internasional antar negara, dan sebagainya.
Sedangkan hubungannya dengan
alam sekitar seperti hukum makanan, minuman, sembelihan, perburuan,
pakaian, perhiasan, dsb.
Maka, manfaat dari ilmu fiqih
adalah, karena setiap perbuatan kita di dunia ini akan
dipertanggungjawabkan di hadapan Allah apakah sesuai dengan
syariat-Nya ataukah tidak, dalam arti melakukan yang wajib, sunnah
dan mubah dan meninggalkan yang haram dan makruh. Maka dengan
memahami ilmu fiqih, kita bisa memperhitungkan, membimbing dan
mengarahkan setiap perbuatan kita. Oleh karena itu, tak ragu lagi,
bahwa ilmu fiqih adalah jalan agar kita bisa selamat di akhirat
kelak.
Darimanakah ilmu ini diambil?
Tentu karena ia merupakan hukum Allah, maka semata-mata diambil dari
wahyu Allah yang tertuang di dalam Al-Qur'an dan Sunnah rasul-Nya,
baik secara nash (tersurat), maupun secara istinbath (tersirat).
Sedangkan nisbat/hubungannya
dengan ilmu lain, khususnya ilmu-ilmu syar'i, adalah nisbat
umum-khusus wajhi (umum-khusus dalam segi tertentu), artinya dalam
ilmu fiqih ada pembahasan ilmu lain misalnya membahas perbuatan hati
seperti niat, ia juga dibahas dalam ilmu akhlaq, begitu pula ketika
membahas makna suatu lafazh diperlukan definisi dari ilmu bahasa
Arab, ketika membahas khomer misalnya apa makna khomer secara bahasa?
Karena hukum terhadap sesuatu itu sangat tergantung kepada gambaran
makna terhadap sesuatu tersebut, sehingga menjadi suatu kaidah yang
dikenal,
حُكْمُ
الشَّيْءِ فَرْعٌ عَنْ تَصَوُّرِهِ
"Hukum sesuatu adalah
cabang dari penggambaran maknanya"
Lalu apa hukum mempelajarinya?
Karena ia berkaitan dengan keselamatan di akhirat, maka hukum
mempelajarinya adalah wajib. Hanya kewajibannya dibagi kepada fardhu
'ain dan fardhu kifayah. Yang fardhu 'ain adalah yang berkaitan
dengan perbuatan yang sudah menjadi kewajiban bagi seseorang. Seperti
ketika seseorang telah wajib shalat lima waktu, maka ia wajib
mempelajarinya, ketika telah wajib zakat, ia wajib mempelajari ilmu
fiqih zakat, begitu pula shaum, haji, dst. Begitu pula berkaitan
dengan perbuatan yang secara langsung dilakulan oleh seseorang.
Misalnya ketika seseorang melakukan perdagangan, maka fardhu 'ain
baginya untuk mempelajari fiqih perdagangan, dan ketika transaksi
riba telah banyak dilakukan maka ia juga wajib mempelajari tentang
fiqih riba, agar ia menghindarinya, dsb.
Adapun yang hukumnya fardhu
kifayah adalah yang selainnya, yaitu perbuatan yang belum secara
langsung dilakukan, baik sebagai bekal ilmu karena sewaktu-waktu bisa
saja dibutuhkan ataupun dalam rangka mengajarkan kepada orang lain,
memberi penjelasan kepada orang lain yang membutuhkan, serta memberi
fatwa pada suatu kasus yang ditanyakan oleh orang lain, tentu bagi
orang yang memang sudah layak untuk berfatwa.
Selain itu, untuk mengenal
keutamaannya, ada beberapa dalil ataupun perkataan para ulama yang
mesti kita ketahui.
Hanya saja, ketika memahami kata
fiqih yang disebutkan baik di dalam ayat maupun hadits, maknanya
masih bersifat umum yaitu mempelajari atau mendalami ilmu agama
Islam, tidak ditinjau dari makna secara istilah bidang ilmu fiqih
secara tertentu, karena istilah ilmu fiqih sendiri baru mapan pada
masa-masa berikutnya.
Diantara dalilnya adalah,
وَمَا
كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا
كَافَّةً ۚ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ
فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا
فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ
إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ
يَحْذَرُونَ
"Tidak sepatutnya bagi
mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi
dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk
memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi
peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya,
supaya mereka itu dapat menjaga dirinya." (QS. At-Taubah : 122).
Kata fiqih dalam ayat diatas
yang berderivasi menjadi tafaqquh maknanya tidak khusus ilmu fiqih,
tetapi mempelajari ilmu Islam secara umum. Begitu pula yang terdapat
dalam hadits, dari Muawiyyah radhiyallahu 'anhu berkata, aku
mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda :
مَنْ
يُرِِدِ
اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي
الدِّينِِ
"Siapa yang Allah kehendaki
kebaikan padanya, maka Dia akan memahamkannya pada agama." (HR.
Bukhari no. 71, Muslim no.1037).
Ada makna fiqih secara khusus
yang disebutkan oleh salah seorang tabi'in yaitu 'Atha bin Abi Rabah
ketika menafsirkan sabda Nabi saw "halaqah-halaqah dzikir",
sebagaimana berikut ini,
Dari Anas bin Malik radhiyallahu
'anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda :
إِذَا
مَرَرْتُمْ بِرِيَاضِ الْجَنَّةِ
فَارْتَعُوا قَالُوا وَمَا رِيَاضُ
الْجَنَّةِ قَالَ حِلَقُ الذِّكْرِ
“Jika kamu melewati
taman-taman Surga, maka singgahlah dengan senang.” Para sahabat
bertanya, ”Apakah taman-taman Surga itu?” Beliau menjawab,
”Halaqah-halaqah (kelompok-kelompok) dzikir.” (HR. Tirmidzi
no.3510)
'Atha berkata : "Dzikir ini
adalah majelis halal dan haram, bagaimana kamu membeli, menjual,
shalat, shaum, haji, menikah, mentala, dan yang semacamnya."
(Imam Nawawi, Adab
Alim wal Muta’allim, hal.16).
Ibnu
Syihab Az-Zuhri berkata :
مُا
عُبِدَ اللهُ بِمِثْلِ الْفِقْهِ
“Tidak ada bentuk ibadah
kepada Allah yang sebanding dengan fiqih”. (Imam Nawawi, Adab
Alim wal Muta’allim, hal.17).
Disebutkan juga perkataan ulama
salaf lain yang semakna dengan perkataan Az-Zuhri di atas.
Ada hadits yang menguatkan makna
ini, meskipun dalam sanadnya ada kelemahan, tetapi maknanya shahih.
Hadits ini dicantumkan oleh imam Nawawi dalam kitabnya, Adab Alim wal
Muta’allim, hal. 13, yaitu hadits riwayat At-Tirmidzi dari Ibnu
Abbas radhiyallahu ‘anhu :
فَقِيْهٌ
وَاحِدٌ أَشَدُّ عَلَى الشَّيْطَانِ
مِنْ أَلْفِ عَابِدٍ
“Seorang
faqih itu lebih menyulitkan syetan daripada seribu ahli ibadah”
Kalaupun
makna fiqih di atas maknanya ditarik kepada mempelajari ilmu agama
secara umum, jika kita bandingkan, tetap saja ilmu fiqih lebih
dominan karena cakupan pembahasannya lebih luas dibanding dengan
ilmu-ilmu syar’i lainnya. Wallahu
A’lam.
Kita
perlu belajar kepada para ulama yang betul-betul menghayati keutamaan
ilmu fiqih ini, lalu mereka sungguh-sungguh mempelajarinya hingga
menjadi imam dalam ilmu ini. Kita
mengenal 4 imam madzhab
fiqih, yaitu imam Abu Hanifah, imam Malik, imam Syafi'i dan imam
Ahmad rahimahumullah. Mereka
mencapai derajat kepakaran dalam ilmu fiqih ini tiada lain karena
mereka benar-benar memahami keutamaan ilmu ini.
Kita lihat misalnya bagaimana
Imam Abu Hanifah rahimahullah mempelajari ilmu fiqih. Menurut
berbagai riwayat diantaranya dari muridnya yaitu Abu Yusuf, ia
menceritakan kisahnya.
«كيف
وُفقت إلى الفقه؟»،
فقال:
«أخبرك،
أما التوفيق فكان من الله، وله الحمد كما
هو أهله ومستحقه، إني لما أردت تعلم العلم
جعلت العلوم كلها نصب عيني، فقرأت فناً
فناً منها، وتفكرت عاقبته وموضع نفعه،
فقلت آخذ في الكلام، ثم نظرت، فإذا عاقبته
عاقبة سوء ونفعه قليل، وإذا كمل الإنسان
فيه لا يستطيع أن يتكلم جهاراً ورمي بكل
سوء ويقال صاحب هوى، ثم تتبعت أمر الأدب
والنحو، فإذا عاقبة أمره أن أجلس مع صبي
أعلمه النحو والأدب، ثم تتبعت أمر الشعر،
فوجدت عاقبة أمره المدح والهجاء، وقول
الكذب وتمزيق الدين، ثم تفكرت في أمر
القراءات، فقلت:
إذا
بلغت الغاية منه اجتمع إلي أحداث يقرؤون
علي، والكلام في القرآن ومعانيه صعب،
فقلت:
أطلب
الحديث، فقلت:
إذا
جمعت منه الكثير أحتاج إلى عمر طويل حتى
يُحتاج إلي، وإذا احتيج إلي لا يجتمع إلا
الأحداث، ولعلهم يرمونني بالكذب وسوء
الحفظ فيلزمني ذلك إلى يوم الدين، ثم قلبت
الفقه، فكلما قلبته وأدرته لم يزدد إلا
جلالة، ولم أجد فيه عيباً، ورأيت الجلوس
مع العلماء والفقهاء والمشايخ والبصراء
والتخلق بأخلاقهم، ورأيت أنه لا يستقيم
أداء الفرائض وإقامة الدين والتعبد إلا
بمعرفته، وطلب الدنيا والآخرة إلا به،
ومن أراد أن يطلب به الدنيا طلب به أمراً
جسيماً، وصار إلى رفعة منها، ومن أراد
العبادة والتخلي لم يستطع أحد أن يقول:
تعبد
بغير علم، وقيل إنه فقه وعمل بعلم».
“Ia
ditanya, "Bagaimana engkau diberi taufik kepada ilmu fiqih?"
Maka ia menjawab : “Aku beritahukan kepadamu, adapun taufik itu
dari Allah, dan milik-Nya segala pujian sebagaimana Dia berhak
terhadapnya. Sesunggunya ketika aku hendak mempelajari ilmu, aku
jadikan ilmu-ilmu itu seluruhnya di hadapan mataku. Lalu aku membaca
satu persatu bidang-bidang ilmu tersebut. Lalu aku memikirkan tujuan
akhirnya dan letak manfaatnya. Aku berkata, aku akan mengambil ilmu
kalam. Lalu aku mengamati, ternyata tujuan akhirnya adalah tujuan
yang buruk dan manfaatnya sedikit. Ketika orang telah sempurna
mendalaminya, ia tidak bisa berbicara secara terang-terangan, ia
dituduh dengan segala keburukan dan dikatakan sebagai pelaku hawa
nafsu. Kemudian aku meneliti perihal ilmu sastra dan nahwu. Ternyata
tujuan akhirnya aku duduk bersama anak kecil, aku ajari dia ilmu
nahwu dan sastra. Lalu aku meneliti perihal ilmu sya’ir. Aku
temukan ternyata tujuan akhirnya adalah memuji-muji atau menghujat,
perkataan dusta dan merusak agama. Lalu aku memikirkan perihal ilmu
qiro’at. Lalu aku berkata, jika aku telah mencapai puncaknya,
anak-anak muda akan berkumpul kepadaku membacakan Al-Qur’an.
Sedangkan berbicara tentang Al-Qur’an dan makna-maknanya adalah hal
yang sulit. Lalu aku berkata, aku akan menuntut ilmu hadits. Kemudian
aku berkata, apabila aku telah mengumpulkan banyak hadits, aku butuh
umur yang panjang hingga aku dibutuhkan. Apabila aku telah
dibutuhkan, tidak ada yang berkumpul kepadaku kecuali anak-anak muda.
Dan bisa saja mereka menuduhku dusta dan jelek hapalan, lalu hal itu
terus melekat padaku sampai hari pembalasan. Kemudian aku menerima
ilmu fiqih. Maka setiap kali aku menerimanya dan bergelut dengannya,
ia tidak memberi tambahan kepadaku kecuali kemuliaan. Aku tidak
menemukan ada aib padanya. Aku melihat adanya duduk bersama para
ulama, ahli fiqih, masyayikh dan ahli pemikiran, dan berakhlaq dengan
akhlaq mereka. Dan aku melihat mereka tidak terus menerus
melaksanakan kewajiban, menegakkan agama dan beribadah kecuali dengan
memiliki ilmu terhadapnya, mereka tidak mencari dunia dan akhirat
kecuali dengan ilmunya. Siapa yang ingin mencari dunia dengan ilmu,
sungguh ia mencari hasil yang besar, dan ia menjadi tinggi. Dan siapa
yang ingin beribadah dan mengosongkan diri dengan ibadah, tidak ada
seorang pun yang mampu berkata kepadanya, “beribadahlah kamu tanpa
ilmu”. Justeru orang akan berkata, “Itu adalah fiqih dan beramal
dengan ilmu.” (Muhammad Abu Zahrah, Abu Hanifah, hal.24-25
dan As-Suyuthi, Tabyidh Ash-Shahifah, hal.23).
Apa
yang dialami oleh Abu Hanifah di atas, bukan berarti ilmu lain selain
fiqih tidak manfaatnya, sama sekali tidak. Ilmu-ilmu
lain tetap ada manfaatnya, hanya ilmu fiqih lebih besar manfaatnya
untuk didalami. Kisah
di atas juga
menunjukkan bahwa imam Abu Hanifah menemukan bakatnya dalam bidang
ilmu
fiqih.
Imam
Asy-Syafi’i rahimahullah juga
menyebutkan keutamaan ilmu fiqih, disamping menyebutkan keutamaan
ilmu lainnya.
من
تعلم القرآن عظمت قيمته، ومن نظر في الفقه
نبل قدره، ومن كتب الحديث قويت حجته، ومن
نظر في اللغة رق طبعه، ومن نظر في الحساب
جزل رأيه، ومن لم يصن نفسه لم ينفعه علمه
"Siapa
yang belajar ilmu Al-Qur'an, maka besarlah nilai dirinya, siapa yang
menelah ilmu fiqih maka cerdaslah ukuran dirinya, siapa yang menulis
hadits maka kuatlah hujjahnya, siapa yang menelaah ilmu bahasa maka
lembutlah tabiatnya, siapa yang menelaah ilmu hisab (hitung) maka
tajamlah pemikirannya, dan siapa yang tidak menjaga dirinya, maka
tidak bermanfaatlah ilmunya". (Imam
Nawawi, Adab
Alim wal Muta’allim, hal.14-15).
Wallahu
A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar