Senin, 11 Mei 2020

Alam adalah Tanda



Serial Menyusuri Jejak Iman
 Oleh : Muhammad Atim

Tidak sulit untuk bisa beriman kepada Allah. Asalkan mau berpikir secara jernih dan melapangkan hati untuk menerima kebenaran. Yang menjadi penghalang dari sampainya iman adalah memperumit cara berpikir hingga berujung pada keraguan dan hati yang dipenuhi kebencian dan kedengkian.
Kita tinggal membuka pikiran untuk merenungkan, bahkan terhadap yang paling dekat dengan kita, alam sekitar kita, bahkan diri kita sendiri, dengan mengamati fakta dan tabiatnya. Lalu bacalah ayat-ayat Al-Qur’an dengan penuh penghayatan. Niscaya kita akan menemukan kebenaran di dalamnya. Ada keserasian antara apa yang difirmankan oleh Allah di dalamnya dengan fakta yang kita ketahui. Allah berbicara kepada fitrah kita, menyentuh kesadaran kita.
Untuk sampai kepada keyakinan mengesakan Allah (tauhid), tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Dia semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, sangatlah mudah, dapat dipahami oleh seluruh manusia dalam semua tingkatan akal mereka. Yang paling rendah daya pikirnya sampai yang paling tinggi, yaitu para ulama. Seorang Arab baduy yang tinggal di gurun pasir dan jauh dari peradaban pun mampu memahami dan menerimanya. Para ulama ketika menafsirkan ayat,
“Wahai manusia! Sembahlah Tuhan kalian yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa. Yang telah menjadikan bumi sebagai hamparan (siap untuk dihuni) dan langit sebagai bangunan (atap yang kokoh), dan menurunkan air dari langit, lalu Dia mengeluarkan dengannya di antara buah-buahan sebagai rizki bagi kalian. Maka janganlah kalian menjadikan bagi Allah tandingan-tandingan padahal kalian mengetahui.” (QS. Al-Baqarah : 21-22).
Mereka berkata : “Sesungguhnya orang yang memperhatikan alam ini baik di alam bawah maupun di alam atas dengan aneka bentuk, warna, tabiat, manfaat dan ketelitian dalam menempatkan sesuai manfaatnya, maka ia akan mengetahui kekuasaan Penciptanya, hikmah-Nya, ilmu-Nya, kehebatan-Nya dan keagungan kekuasaan-Nya, sebagaimana perkataan orang Arab baduy ketika ia ditanya, “Apa bukti atas keberadaan Allah ta’ala?” Ia berkata :
يَا سُبْحَانَ اللهِ، إِنَّ الْبَعْرَةَ لَتَدُلُّ عَلَى الْبَعِيْرِ، وَإِنَّ أَثَرَ الْأَقْدَامِ لَتَدُلُّ عَلَى الْمَسِيْرِ، فَسَمَاءٌ ذَاتُ أَبْرَاجٍ، وَأَرْضٌ ذَاتُ فِجَاجٍ، وَبِحَارٌ ذَاتُ أَمْوَاجٍ، أَلَا تَدُلُّ عَلَى وُجُوْدِ اللَّطِيْفِ الْخَبِيْرِ؟
“Wahai, Subhanallah! Sesungguhnya kotoran unta itu benar-benar menunjukkan adanya unta, telapak kaki benar-benar menunjukkan adanya perjalanan, maka langit yang memiliki bintang-bintang, bumi yang memiliki jalan-jalan yang luas, dan lautan yang memiliki ombak, tidakkah itu menunjukkan adanya Yang Maha Lembut dan Maha Mengetahui?”
Ini logika yang sangat simpel, mudah dipahami dan menyentuh fitrah kita sebagai manusia. Akal manusia akan meyakini : “Setiap yang ada pasti ada yang mengadakannya”, dan mustahil sesuatu ada dengan sendirinya tanpa ada yang mengadakannya. Sang Arab baduy ini cukup menjadikan bukti apa yang mudah ia lihat. Pemandangan padang pasir yang kerap kali dilihatnya itu sudah cukup untuk membuktikan adanya Allah Sang Pencipta. Kotoran unta yang bertaburan dan telapak kaki di padang pasir itu, dengan pasti menunjukkan adanya unta yang melewat dan orang yang melakukan perjalanan, meski tanpa melihatnya secara langsung. Lalu bagaimana dengan alam yang besar seperti langit, bumi dan lautan dengan berbagai keunikan dan keindahannya, tidak mungkin ada dengan sendirinya, dan tidak mungkin manusia yang membuat dan mengadakannya. Berarti hanya ada Sang Pencipta Tunggal, yaitu Allah azza wajalla.
Begitu pun para ulama, saat mereka ditanya tentang bukti adanya Allah, mereka menjadikan alam ini sebagai buktinya, dengan perenungan mereka yang beragam.  
Imam Malik rahimahullah ditanya oleh Ar-Rasyid tentang bukti adanya Allah, maka ia menjawab :
بِاخْتِلَافِ اللُّغَاتِ وَالْأَصْوَاتِ وَالنَّغَمَاتِ
“Dengan adanya perbedaan bahasa, suara dan irama.”
Imam Abu Hanifah rahimahullah ditanya oleh sebagian ahli zindiq (yang menyimpang dari ajaran agama yang benar, termasuk orang munafik) tentang keberadaan Allah, ia menjawab :
دَعُوْنِي فَإِنِّي مُفَكِّرٌ فِي أَمْرٍ قَدْ أُخْبِرْتُ عَنْهُ ، ذَكَرُوْا لِي أَنَّ سَفِيْنَةً فِي الْبَحْرِ مُوَقَّرَةٌ فِيْهَا أَنْوَاعٌ مِنَ الْمَتَاجِرِ وَلَيْسَ بِهَا أَحَدٌ يَحْرِسُهَا وَلَا يَسُوْقُهَا، وَهِيَ مَعَ ذٰلِكَ تَذْهَبُ وَتَجِيْءُ وَتَسِيْرُ بِنَفْسِهَا وَتَخْتَرِقُ الأَمْوَاجَ الْعِظَامَ حَتَّى تَتَخَلَّصَ مِنْهَا، وَتَسِيْرُ حَيْثُ شَاءَتْ بِنَفْسِهَا مِنْ غَيْرِ أَنْ يَسُوْقَهَا أَحَدٌ
“Biarkanlah aku memberi jawaban. Sesungguhnya aku memikirkan suatu perkara yang pernah diberitahukan kepadaku. Mereka menyebutkan kepadaku bahwa ada satu kapal di lautan yang terdapat di dalamnya berbagai macam barang dagangan tetapi tidak ada seorang pun yang menjaganya dan menjalankannya. Tapi meski begitu ia bisa pergi dan kembali, ia berjalan sendiri, ia menembus ombak-ombak besar hingga ia mampu berlepas darinya. Ia berjalan kemana saja yang  ia mau dengan sendirinya tanpa ada seorang pun yang menjalankannya.”
Mereka berkata :
هٰذَا شَيْءٌ لَا يَقُوْلُهُ عَاقِلٌ
“Ini tidak mungkin dikatakan oleh satu pun orang berakal”
Maka Abu Hanifah berkata kepada mereka :
وَيْحَكُمْ، هٰذِهِ الْمَوْجُوْدَاتُ بِمَا فِيْهَا مِنَ الْعَالَمِ الْعُلُوِّي وَالسُّفُلِي وَمَا اشْتَمَلَتْ عَلَيْهِ مِنَ الْأَشْيَاءِ الْمُحْكَمَةِ لَيْسَ لَهَا صَانِعٌ !
 “Celakalah kalian! Alam semesta ini, baik alam atas maupun alam bawah dengan segala sesuatu yang sangat menakjubkan yang ada padanya, apakah tidak ada penciptanya?!
Mereka pun terdiam. Akhirnya mereka kembali dari kesesatan mereka dan masuk Islam ditangan Abu Hanifah.
Imam Asy-Syafi’i rahimahullah ditanya tentang bukti keberadaan Allah, ia menjawab :
هٰذَا وَرَقُ التُّوْتِ طَعْمُهُ وَاحِدٌ تَأْكُلُهُ الدُّوْدُ فَيَخْرُجُ مِنْهُ الإِبْرِيْسِمُ، وَتَأْكُلُهُ النَّحْلُ فَيَخْرُجُ مِنْهُ الْعَسَلُ، وَتَأْكُلُهُ الشَّاةُ وَالْبَعِيْرُ وَالْأَنْعَامُ فَتُلْقِيْهِ بَعْرًا وَرَوْثًا، وَتَأْكُلُهُ الظَّبَاءُ فَيَخْرُجُ مِنْهَا الْمِسْكُ وَهُوَ شَيْءٌ وَاحِدٌ
“Ini daun murbei, rasanya satu. Ia dimakan oleh ulat, maka keluarlah darinya sutra. Dimakan oleh lebah, maka keluarlah darinya madu. Dimakan oleh kambing, unta dan hewan-hewan ternak, lalu hewan-hewan itu melemparkannya sebagai kotoran. Dan dimakan oleh antelop/rusa jantan tidak bertanduk, maka keluarlah darinya minyak kasturi. Padahal ia adalah satu hal yang sama.”
Imam Ahmad rahimahullah juga ditanya tentang bukti adanya Allah, ia menjawab :
هَاهُنَا حِصْنٌ حَصِيْنٌ أَمْلَسُ، لَيْسَ لَهُ بَابٌ وَلَا مَنْفَذٌ، ظَاهِرُهُ كَالْفِضَّةِ الْبَيْضَاءِ، وَبَاطِنُهُ كَالذَّهَبِ الإِبْرِيْزِ، فَبَيْنَا هُوَ كَذلِكَ إِذِ انْصَدَعَ جِدَارُهُ فَخَرَجَ مِنْهُ حَيَوَانٌ سَمِيْعٌ بَصِيْرٌ ذُو شَكْلٍ حَسَنٍ وَصَوْتٍ مَلِيْحٍ، يَعْنِي بِذٰلِكَ الْبَيْضَةُ إِذَا خَرَجَ مِنْهَا الدَّجَاجَةُ.
“Ini adalah benteng yang sangat melindungi yang licin, tidak ada pintu dan tidak ada jendela. Luarnya seperti perak yang putih dan dalamnya seperti emas murni. Dalam kondisi seperti itu tiba-tiba dindingnya pecah maka keluarlah darinya hewan yang bisa mendengar dan melihat, yang memiliki bentuk yang indah  dan suara yang merdu. Yang dimaksud dengan hal itu adalah telur apabila keluar darinya seekor ayam.”
Ulama lain menambahkan, “Siapa yang memperhatikan langit-langit ini dalam ketinggiannya, keluasannya dan yang ada padanya berupa bintang-bintang yang besar dan kecil yang menerangi, yang berjalan dan yang menetap. Saksikanlah ia bagaimana beredar pada peredaran yang besar di setiap sehari semalam, dan masing-masingnya memiliki perjalanan yang khusus. Dan lihatlah lautan yang mengelilingi bumi dari setiap penjuru. Gunung-gunung yang dipancangkan di bumi agar bumi menjadi kuat dan penghuninya bisa tenang dengan berbagai macam bentuk dan warnanya. Begitu pula sungai-sungai yang mengalir dari satu negeri ke negeri lain untuk kemanfaatan manusia. Hewan-hewan yang beraneka ragam yang dikembangbiakkan dan tumbuh-tumbuhan yang memiliki berbagai variasi rasa, bentuk dan warna meskipun dengan karakter tanah dan air yang sama, niscaya ia mengetahui adanya Sang Pencipta, kekuasaan-Nya yang besar, hikmah-Nya, kasih sayang-Nya, kelembutan-Nya dan kebaikan-Nya. Tidak ada tuhan selan Dia, kepada-Nyalah bertawakal dan bertaubat.”
Para ulama itu, semakin menambah ilmu mereka semakin mengenal Allah, bertambah iman dan rasa takut kepada Allah. Untuk itu Allah berfirman :
أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ أَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجْنَا بِهِ ثَمَرَاتٍ مُخْتَلِفًا أَلْوَانُهَا ۚ وَمِنَ الْجِبَالِ جُدَدٌ بِيضٌ وَحُمْرٌ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهَا وَغَرَابِيبُ سُودٌ. وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ وَالْأَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ كَذَٰلِكَ ۗ إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ
“Tidakkah kamu melihat bahwasanya Allah menurunkan hujan dari langit lalu Kami hasilkan dengan hujan itu buah-buahan yang beraneka macam jenisnya. Dan di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya dan ada (pula) yang hitam pekat. Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Fathir : 27-28).
Jadi, sisi manapun dari alam ini yang kita perhatikan, pasti kita akan menemukan bukti adanya Allah, keesaan-Nya dan kekuasaan-Nya. Karena memang kata “alam” sendiri secara bahasa berasal dari kata ‘alamah yang berarti tanda. Begitu mudah bukti ini dipahami, bagi setiap orang yang mau membuka pikiran dan hatinya. Hanya orang yang tertutup hati dan pikirannya saja yang tidak dapat memahaminya. Al-Mu’taz menyenandungkan sya’irnya :
فَيَا عَجَبًا كَيْفَ يُعْصَى الْإِلٰهُ         أَمْ يَجْحَدُهُ الْجَاحِدُ
وَفِي كُلِّ شَيْءٍ لَهُ آيَةٌ               تَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ وَاحِدٌ
“Duhai, alangkah mengherankannya bagaimana Tuhan didurhakai
Atau si pembangkang itu membangkang kepada-Nya
Padahal dalam segala sesuai terdapat tanda
Yang menunjukkan bahwa Dia itu Satu”
(Lihat Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 1, hal.92-93).
Allah akan terus memperlihatkan tanda-tanda kekuasaan-Nya di alam ini, hingga menjadi jelaslah kebenaran ini. Agar menjadi hujjah bagi orang yang tidak mau beriman di akhirat kelak, bahwa mereka layak untuk mendapatkan siksa-Nya.
سَنُرِيْهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاق وَفِي أَنْفُسِهِمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ، أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيْدٌ
“Akan Kami perlihatkan ayat-ayat Kami di seluruh alam semesta dan di dalam diri mereka sendiri, hingga menjadi jelas bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah kebenaran, tidakkah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?” (QS. Fushshilat : 53).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar