Muhammad Atim
Bahasa Arab adalah ilmu alat untuk
memahami Islam. Kita tidak mungkin dapat memahami Islam tanpa melalui bahasa
Arab. Karena memahami Islam itu hukumnya wajib, maka mempelajari bahasa Arab
juga hukumnya menjadi wajib. Sebagaimana kaidah ushul fiqih yang telah kita
ketahui,
مَا لَا يَتِمُّ
الْوَاجِبُ إِلَّا بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
“Sesuatu yang menjadi wasilah dapat
terlaksananya suatu kewajiban adalah juga termasuk wajib.”
Lalu, apa ukuran wajibnya
mempelajari bahasa Arab?
Kewajibannya bisa dibagi dua, yaitu
wajib bagi setiap individu muslim (fardhu ‘ain), dan wajib bagi sebagian
muslimin, jika telah ada yang melaksanakan maka gugur kewajiban yang lainnya,
dan jika tidak ada satu pun yang melaksanakannya maka seluruhnya berdosa, dan
pahalanya tentu didapatkan oleh orang yang melakukannya, yang disebut dengan
fardhu kifayah.
Yang termasuk fardhu ‘ain adalah
ukuran orang dapat memahami syahadat yang ia ucapkan sebagai pernyataan
keislaman dan ibadah yang menggunakan bahasa Arab, seperti shalat. Setiap muslim
diwajibkan untuk memahami apa yang ia baca dalam shalat berupa doa-doa shalat,
al-fatihah yang hukumnya wajib, dan surat yang lainnya pun meskipun hukum
membacanya sunnah tetapi ketika ia membacanya ia dituntut untuk paham maknanya,
membaca dzikir-dzikir, dan doa-doa berbahasa Arab yang dipanjatkan, karena
bagaimana mungkin Allah mengabulkan doa-doa tersebut sementara orang yang
berdoanya sendiri tidak mengerti apa yang ia minta dalam doanya. Orang yang
melaksanakan shalat dengan tanpa memahami apa yang ia baca dalam shalat maka ia
termasuk kategori orang yang lalai dalam shalatnya yang diancam celaka oleh
Allah di dalam Al-Qur’an. Lalai adalah kebalikan dari khusyu’, maka salah satu
syarat khusyu’ adalah memahami apa yang dibaca di dalam shalat. Inilah ukuran
wajib bagi setiap muslim untuk mempelajari bahasa Arab, agar ia paham terhadap
ibadah yang dilakukan.
Sedangkan yang termasuk kategori
fardhu kifayah adalah yang lebih dari itu. Dimana kita sebagai umat Islam telah
dipilih oleh Allah untuk menjadi saksi bagi Allah terhadap apa yang dilakukan
oleh seluruh manusia.
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ
“Wahai orang-orang beriman! Jadilah
kalian benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi untuk Allah...” (QS. An-Nisa : 135).
وَكَذَٰلِكَ
جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ
الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا
“Dan demikian (pula)
Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu
menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi
atas (perbuatan) kamu....” (QS. An-Nisa : 135).
Syarat seseorang menjadi saksi
adalah mengetahui/berilmu terhadap apa yang ia persaksikan. Sebagaimana firman
Allah SWT,
وَمَا
شَهِدْنَا إِلَّا بِمَا عَلِمْنَا وَمَا كُنَّا لِلْغَيْبِ حَافِظِينَ
“Dan kami hanya menyaksikan apa
yang kami ketahui, dan sekali-kali kami tidak dapat menjaga (mengetahui) hal
yang ghaib.” (QS. Yusuf : 810.
وَلَا يَمْلِكُ
الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ الشَّفَاعَةَ إِلَّا مَنْ شَهِدَ بِالْحَقِّ
وَهُمْ يَعْلَمُونَ
“Dan sembahan-sembahan
yang mereka sembah selain Allah tidak dapat memberi syafa'at; akan tetapi
(orang yang dapat memberi syafa'at ialah) orang yang bersaksi terhadap kebenaran (tauhid) dan mereka memiliki ilmu terhadapnya. (QS. Az-Zukhruf : 86).
Jika kita menjadi saksi bagi Allah
terhadap perbuatan manusia, yang kita persaksikan dari Allah itu adalah wahyu-Nya
yang menggunakan bahasa Arab, bagaimana mungkin kita dapat menjadi saksi bagi
Allah jika tanpa memahami bahasa Arab?
Kita juga menjadi saksi terhadap
apa yang dilakukan oleh para nabi terdahulu dan kaumnya. Misalnya terhadap nabi
Nuh dan kaumnya sebagaimana disebutkan di dalam hadits,
عَنْ أَبِي
سَعِيدٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَجِيءُ
نُوحٌ وَأُمَّتُهُ فَيَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى هَلْ بَلَّغْتَ فَيَقُولُ نَعَمْ أَيْ
رَبِّ فَيَقُولُ لِأُمَّتِهِ هَلْ بَلَّغَكُمْ فَيَقُولُونَ لَا مَا جَاءَنَا مِنْ
نَبِيٍّ فَيَقُولُ لِنُوحٍ مَنْ يَشْهَدُ لَكَ فَيَقُولُ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأُمَّتُهُ فَنَشْهَدُ أَنَّهُ قَدْ بَلَّغَ وَهُوَ قَوْلُهُ
جَلَّ ذِكْرُهُ (وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ
عَلَى النَّاسِ) وَالْوَسَطُ الْعَدْلُ
Dari Abu Sa'id, ia berkata;
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Pada hari kiamat, Nabi
Nuh 'alaihissalam dan ummatnya datang lalu Allah Ta'ala berfirman: "Apakah
kamu telah menyampaikan (ajaran)?. Nuh 'Alaihissalam menjawab: "Sudah,
wahai Rabbku". Kemudian Allah bertanya kepada ummatnya: "Apakah benar
dia telah menyampaikan kepada kalian?". Mereka menjawab; "Tidak.
Tidak ada seorang Nabi pun yang datang kepada kami". Lalu Allah berfirman
kepada Nuh 'alaihissalam: "Siapa yang menjadi saksi atasmu?". Nabi
Nuh Alaihissalam berkata; "Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam dan
ummatnya". Maka kami pun bersaksi bahwa Nabi Nuh 'alaihissalam telah
menyampaikan risalah yang diembannya kepada ummatnya. Begitulah seperti yang
difirmankan Allah Yang Maha Tinggi (QS al-Baqarah ayat 143 yang artinya),
("Dan demikianlah kami telah menjadikan kalian sebagai ummat pertengahan
untuk menjadi saksi atas manusia.."). al-washathu artinya al-'adl (adil). (HR. Bukhari no. 3091).
Kita menjadi saksi terhadap para
nabi terdahulu dan kaumnya adalah dengan mengetahui kisahnya di dalam Al-Qur’an.
Bagaimana mungkin kita dapat memahami kisah-kisah tersebut di dalam Al-Qur’an
jika tanpa bahasa Arab.
Dengan bahasa Arab, Al-Qur’an dan
Sunnah dapat dipahami, para ulama dapat mengambil petunjuk-petunjuk yang
mendalam dari keduanya, berijtihad, menjawab berbagai kerancuan di dalam
memahaminya. Maka inilah yang termasuk kategori hukum fardu kifayah dalam
mempelajari bahasa Arab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar