Semangat kita dalam menuntut ilmu mesti ditata
agar menjadi konsistensi yang berkesinambungan, setiap saat selalu ada tambahan
ilmu, meskipun tentu ada jeda-jeda rehat dalam menyerap ilmu tersebut, serta
perlahan menerapkannya dalam pengamalan. Agar jangan sampai, semangatnya hanya
semangat musiman, atau di awal-awal saja, yang menunjukkan sebenarnya tidak
bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu.
Satu teladan dari Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam yang semangatnya sangat luar biasa di dalam menuntut ilmu.
Beliau tidak saja mengkhawatirkan dirinya akan celaka karena kebodohan, tetapi
terlebih mengkhawatirkan umatnya, karena beliau sangat menginginkan keselamatan
terhadap umatnya. Hingga beliau tergesa-gesa dalam bertalaqi menerima bacaan
Al-Qur'an dari Jibril as.
Diriwayatkan dari Ibnu 'Abbas radhiyallahu ‘anhu
tentang firman Allah Ta'ala: (Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk
(membaca) Al Quran karena hendak cepat-cepat ingin (menguasainya)." Ibnu
'Abbas berkata: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sangat
kuat keinginannya untuk menghapalkan apa yang diturunkan (Al Qur'an) dan
menggerak-gerakkan kedua bibir Beliau." Ibnu 'Abbas berkata: "aku
akan menggerakkan kedua bibirku (untuk membacakannya) kepada kalian sebagaimana
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melakukannya kepadaku". Sa'id
berkata: "Dan aku akan menggerakkan kedua bibirku (untuk membacakannya)
kepada kalian sebagaimana aku melihat Ibnu 'Abbas melakukannya. Maka Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam menggerakkan kedua bibirnya, Kemudian turunlah
firman Allah Ta'ala: Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran
karena hendak cepat-cepat (menguasai) nya. Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah
mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya". Maksudnya
Allah mengumpulkannya di dalam dadamu (untuk dihafalkan) dan kemudian kamu
membacanya: "Apabila Kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah
bacaannya itu". Maksudnya: "Dengarkanlah dan diamlah". Kemudian
Allah Ta'ala berfirman: "Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kamilah
penjelasannya. Maksudnya: "Dan Kewajiban Kamilah untuk membacakannya"
Dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sejak saat itu bila Jibril 'Alaihis
Salam datang kepadanya, Beliau mendengarkannya. Dan bila Jibril 'Alaihis Salam
sudah pergi, maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam membacakannya (kepada para
sahabat) sebagaimana Jibril 'Alaihis Salam membacakannya kepada Beliau
shallallahu 'alaihi wasallam.” (Muttafaq 'Alaih)
Turun pula ayat,
"Maka Maha Tinggi Allah Raja Yang
sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al qur'an sebelum
disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan katakanlah: "Ya Tuhanku,
tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan". (QS. Thaha : 114).
Syekh Ibnu 'Asyur rahimahullah
menjelaskan, “Ayat tersebut hadir sebagai lanjutan dari apa yang telah
disebutkan pada ayat sebelumnya tentang perhatian terhadap Al-Qur’an dan apa
yang terkandung di dalamnya berupa segala bentuk perbaikan untuk manusia. Ketika
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam sangat gigih dalam memperbaiki umat,
sangat besar perhatiannya terhadap keselamatan mereka, maka tidak heran jika
terlintas di dalam benak beliau yang mulia setelah mendengar ayat-ayat
tersebut, suatu harapan besar dan tuntutan dalam memperbanyak turunnya Al-Qur’an
dan munculnya sikap terburu-buru untuk dapat membimbing manusia dan memperbaiki
mereka. Maka Allah SWT mengajarkan beliau untuk menyerahkan urusan kepada-Nya, karena
Dia lebih mengetahui tentang apa yang sesuai dengan kondisi umat secara umum. (Tafsir
At-Tahrir wat Tanwir, 16/316).
Yang ditegur dalam ayat ini adalah sikap
ketergesa-gesaan, karena walau bagaimanapun sikap ketergesa-gesaan itu tidak
baik dan berasal dari syetan. Seringkali dengan tergesa-gesa, malah membuat
urusan tidan teratur, energi tidak tertata, dst, padahal menuntut ilmu itu
perlu keteraturan, program yang jelas dan tepat, serta ketekunan. Maka,
semangat sebagai modal awal tersebut mesti ditata dengan baik menjadi suatu
konsistensi. Oleh karena itu Allah SWT memerintahkan, "Dan berdoalah
"Wahai Rabbku, tambahkanlah untukku ilmu". Artinya ilmu itu butuh
proses dan tahapan, butuh usaha dan kesungguhan yang terus menerus. Doa itulah
yang harus senantiasa menjadi energi yang tak pernah habis untuk terus menambah
ilmu hingga akhir hayat. Ibnu Uyainah rahimahullah berkata,
"Rasulullah saw terus menerus mendapatkan tambahan ilmu hingga Allah azza
wa jalla mewafatkannya." (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 5/203)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata
berkenaan dengan ayat diatas, "Cukuplah menjadi kemuliaan bagi ilmu bahwa
Allah memerintahkan Nabi-Nya untuk menambahnya." (Miftah Daris Sa'adah,
1/223-224).
Dan dikatakan, "Tidaklah Allah
memerintahkan rasul-Nya untuk menambah sesuatu, kecuali menambah ilmu"
(lihat Fathul Bari, 1/170).
Abu Abdillah Malik bin Anas rahimahullah
ditanya, jika tersisa waktu sesaat saja bagi seseorang menjelang ajal, “Ibadah
apa yang layak ia lakukan?” Ia menjawab, “Ilmu yang ia
pelajari.” Kemudian ditanyakan lagi, “Wahai Abu Abdillah, ia belum
mengamalkannya?” Ia menjawab, “Mempelajarinya lebih baik daripada
mengamalkannya.” (Syekh Ad-Dadaw hafizhahullah, Muqoddimah fii Al-‘Ulum
Asy-Syar’iyyah).
Ibnu Jarir Ath-Thobari rahimahullah, sang bapak
ahli tafsir, meskipun telah dekat dengan ajalnya, beliau masih saja ingin
menambah ilmu. Diceritakan oleh Al-Mu’afa An-Nahrawani dalam buku Al-Jalis
Ash-Shalih, ia berkata, “Diceritakan kepadaku oleh sebagian Bani Furat,
dari salah seorang di antara mereka, bahwa ia berada di sisi Abu Ja’far Ibnu
Jarir Ath-Thabari sebelum wafatnya, dan beliau wafat setelah satu jam atau
kurang dari itu. Dibacakan sebuah doa kepadanya oleh Ja'far bin Muhammad, beliau
pun meminta tempat tinta dan secarik kertas, kemudian menuliskan doa tersebut. Seseorang bertanya kepadanya, "Kenapa anda
masih sempat menulis dalam kondisi seperti ini?" Beliau menjawab,
"Hendaknya orang itu harus tetap belajar sampai meninggal dunia." (Ali bin Muhammad Al-‘Imrani, Al-Musyawwiq ila al-qiroah wa thalab al-‘ilmi,
hal.29-30).
Sangat mengherankan, jika ada orang yang sedikit ilmu,
namun telah merasa kenyang dengan ilmu. Tidak terlihat dalam dirinya semangat
untuk menambah ilmu, bahkan cenderung menjadi orang yang sok tahu. Cukuplah menjadi
suatu keterbelakangan, ketika seseorang atau suatu masyarakat tidak ada lagi
giroh terhadap ilmu. Khususnya ilmu-ilmu syari’at yang menjadi penuntun jalan
pendakian menuju surga. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan kita hidayah
untuk terus semangat dan cinta terhadap ilmu, senantiasa menambahnya di setiap
saat hingga ajal tiba. Aamiin Ya Rabbal ‘Alamin.
(M. Atim)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar