Apa yang mendorong manusia untuk mau terus
belajar? Yaitu adanya rasa khawatir dan takut terjerumus ke dalam kerugian
bahkan kecelakaan dalam suatu urusan. Manusia dengan karunia akal yang
diberikan, sebelum melakukan sesuatu, ia akan berpikir dan mempelajari terlebih
dahulu agar sukses dalam melakukan sesuatu itu. Ketika hendak menaiki tangga,
ia akan mempelajari atau mengamati terlebih dahulu bagaimana caranya agar tidak
jatuh. Sebelum menaiki kendaraan, ia akan mempelajari bagaimana cara
berkendaraan agar tidak jatuh atau menabrak. Begitupun, sebelum melakukan
sebuah usaha, ia akan mempelajari bagaimana cara menjalankan usaha tersebut.
Jadi, seberapa besar kekhawatiran akan kegagalan dan semangat meraih
kesuksesan, maka sebesar itulah dorongan untuk mau belajar.
Orang-orang beriman yang meyakini akan adanya
kehidupan akhirat yang abadi setelah kehidupan dunia ini, kekhawatirannya
tidaklah tertuju pada dunia, tetapi justeru tertumpah pada kehidupan akhirat.
Hampir tidak ada kekhawatirannya terhadap dunia, belajar dan usahanya untuk
urusan dunia, mereka jadikan sebagai jembatan meraih keselamatan di akhirat.
Mereka yakin, untuk dunia ini, Allah SWT telah menjamin pemenuhan rezekinya.
Tidak ada kekhawatiran dan bersedih hati dalam hal ini. Rezeki tinggal dijemput
saja dengan sebab yang dilakukan. Sedangkan untuk kehidupan akhirat, siapakah
di antara kita yang sudah mendapatkan jaminan nasibnya disana? Tentu tidak ada.
Itulah yang semestinya menjadi kekhawatiran terbesar kita, yang selanjutnya
menjadi pendorong bagi kita untuk mau belajar bagaimana caranya agar selamat di
akhirat kelak, yaitu dengan mempelajari agama yang telah diturunkan oleh Allah
SWT.
Bukankah pada awalnya Rasulullah saw
memperingatkan umatnya dari siksa yang keras agar tertanam rasa takut dalam
dirinya? Saat pertama kali beliau mengumumkan da’wahnya di atas bukit Shafa
beliau bersabda, “Sesungguhnya aku seorang pemberi peringatan bagi kalian
sebelum datangnya adzab yang keras!”. Bahkan beliau memperingatkan setiap
kabilah dan individu, “Wahai bani Ka’b bin Luay, selamatkan diri kalian dari
neraka! Wahai bani Murrah bin Ka’b, selamatkanlah diri kalian dari neraka!
Wahai bani Abdi Syams, selamatkanlah diri kalian dari neraka! Wahai bani Abdi
Manaf, selamatkanlah diri kalian dari neraka! Wahai bani Hasyim, selamatkanlah
diri kalian dari neraka! Wahai bani Abdul Muttalib, selamatkanlah diri kalian
dari neraka! Wahai Fatimah, selamatkanlah dirimu dari neraka! Sesungguhnya aku
tidak bisa berbuat apapun terhadap diri kalian di hadapan Allah, selain kalian
memiliki tali rahim, maka aku akan membasahinya menurut kebasahannya.” (HR.
Muslim, kitab Iman, bab tentang firman Allah dan berilah peringatan kepada
kerabatmu yang dekat).
Rasa takut inilah yang mendorong para sahabat
untuk bersemangat dan berlomba-lomba belajar kepada Rasulullah saw. Ketika
turun ayat, “Wahai orang-orang beriman! Jagalah diri kalian dan keluarga kalian
dari neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, padanya ada malaikat
yang bengis lagi keras, mereka tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang Dia
perintahkan kepada mereka, dan mereka mengerjakan apa yang diperintahkan kepada
mereka.” (QS. At-Tahrim : 6), para sahabat paham bahwa cara menjaga diri dan
keluarga dari siksa neraka adalah dengan belajar ilmu Islam serta mengamalkan
ilmu tersebut. Maka Ali ra misalnya menafsirkan ayat tersebut, “Ajarkanlah
mereka adab, ajarkanlah mereka ilmu.” (Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 8, hal. 167).
Untuk itulah, perintah yang pertama kali turun
sebelum perintah-perintah syariat adalah perintah untuk belajar ilmu wahyu yang
diturunkan oleh Allah, “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan.
Yang telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmu maha
pemurah. Yang telah mengajarkan melalui perantaraan pena. Yang telah
mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-‘Alaq : 1-5).
Rasa takut (khouf) yang mendorong untuk semangat
belajar, disambung dengan rasa penuh harap (roja). Karena seorang mu'min
sejati, tidak pernah merasa puas hanya dengan bisa selamat dari neraka, tetapi
mereka berlomba-lomba untuk meraih kedudukan tertinggi di surga kelak. Inilah
yang menjadi jawaban mengapa para ulama tidak pernah berhenti berinteraksi
dengan ilmu hingga akhir nafas mereka, karena mereka menginginkan hasil terbaik
dari ilmu yang mereka gali, petunjuk terbaik, amal terbaik, karya terbaik,
sehingga Allah SWT membalasnya dengan balasan terbaik pula.
Ini harus menjadi penguat keyakinan kita bahwa Allah SWT akan meninggikan derajat orang-orang beriman yang diberi ilmu,
يرفع الله الذين آمنوا منكم والذين أوتوا العلم درجات
"Allah mengangkat orang-orang yang
beriman diantara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa
derajat." (QS. Al-Mujadalah : 11).
(M. Atim)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar