Jumat, 13 Juli 2018

Dorongan untuk terus belajar


Apa yang mendorong manusia untuk mau terus belajar? Yaitu adanya rasa khawatir dan takut terjerumus ke dalam kerugian bahkan kecelakaan dalam suatu urusan. Manusia dengan karunia akal yang diberikan, sebelum melakukan sesuatu, ia akan berpikir dan mempelajari terlebih dahulu agar sukses dalam melakukan sesuatu itu. Ketika hendak menaiki tangga, ia akan mempelajari atau mengamati terlebih dahulu bagaimana caranya agar tidak jatuh. Sebelum menaiki kendaraan, ia akan mempelajari bagaimana cara berkendaraan agar tidak jatuh atau menabrak. Begitupun, sebelum melakukan sebuah usaha, ia akan mempelajari bagaimana cara menjalankan usaha tersebut. Jadi, seberapa besar kekhawatiran akan kegagalan dan semangat meraih kesuksesan, maka sebesar itulah dorongan untuk mau belajar.

Orang-orang beriman yang meyakini akan adanya kehidupan akhirat yang abadi setelah kehidupan dunia ini, kekhawatirannya tidaklah tertuju pada dunia, tetapi justeru tertumpah pada kehidupan akhirat. Hampir tidak ada kekhawatirannya terhadap dunia, belajar dan usahanya untuk urusan dunia, mereka jadikan sebagai jembatan meraih keselamatan di akhirat. Mereka yakin, untuk dunia ini, Allah SWT telah menjamin pemenuhan rezekinya. Tidak ada kekhawatiran dan bersedih hati dalam hal ini. Rezeki tinggal dijemput saja dengan sebab yang dilakukan. Sedangkan untuk kehidupan akhirat, siapakah di antara kita yang sudah mendapatkan jaminan nasibnya disana? Tentu tidak ada. Itulah yang semestinya menjadi kekhawatiran terbesar kita, yang selanjutnya menjadi pendorong bagi kita untuk mau belajar bagaimana caranya agar selamat di akhirat kelak, yaitu dengan mempelajari agama yang telah diturunkan oleh Allah SWT.

Bukankah pada awalnya Rasulullah saw memperingatkan umatnya dari siksa yang keras agar tertanam rasa takut dalam dirinya? Saat pertama kali beliau mengumumkan da’wahnya di atas bukit Shafa beliau bersabda, “Sesungguhnya aku seorang pemberi peringatan bagi kalian sebelum datangnya adzab yang keras!”. Bahkan beliau memperingatkan setiap kabilah dan individu, “Wahai bani Ka’b bin Luay, selamatkan diri kalian dari neraka! Wahai bani Murrah bin Ka’b, selamatkanlah diri kalian dari neraka! Wahai bani Abdi Syams, selamatkanlah diri kalian dari neraka! Wahai bani Abdi Manaf, selamatkanlah diri kalian dari neraka! Wahai bani Hasyim, selamatkanlah diri kalian dari neraka! Wahai bani Abdul Muttalib, selamatkanlah diri kalian dari neraka! Wahai Fatimah, selamatkanlah dirimu dari neraka! Sesungguhnya aku tidak bisa berbuat apapun terhadap diri kalian di hadapan Allah, selain kalian memiliki tali rahim, maka aku akan membasahinya menurut kebasahannya.” (HR. Muslim, kitab Iman, bab tentang firman Allah dan berilah peringatan kepada kerabatmu yang dekat). 

Rasa takut inilah yang mendorong para sahabat untuk bersemangat dan berlomba-lomba belajar kepada Rasulullah saw. Ketika turun ayat, “Wahai orang-orang beriman! Jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, padanya ada malaikat yang bengis lagi keras, mereka tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka, dan mereka mengerjakan apa yang diperintahkan kepada mereka.” (QS. At-Tahrim : 6), para sahabat paham bahwa cara menjaga diri dan keluarga dari siksa neraka adalah dengan belajar ilmu Islam serta mengamalkan ilmu tersebut. Maka Ali ra misalnya menafsirkan ayat tersebut, “Ajarkanlah mereka adab, ajarkanlah mereka ilmu.” (Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 8, hal. 167). 

Untuk itulah, perintah yang pertama kali turun sebelum perintah-perintah syariat adalah perintah untuk belajar ilmu wahyu yang diturunkan oleh Allah, “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan. Yang telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmu maha pemurah. Yang telah mengajarkan melalui perantaraan pena. Yang telah mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-‘Alaq : 1-5).

Rasa takut (khouf) yang mendorong untuk semangat belajar, disambung dengan rasa penuh harap (roja). Karena seorang mu'min sejati, tidak pernah merasa puas hanya dengan bisa selamat dari neraka, tetapi mereka berlomba-lomba untuk meraih kedudukan tertinggi di surga kelak. Inilah yang menjadi jawaban mengapa para ulama tidak pernah berhenti berinteraksi dengan ilmu hingga akhir nafas mereka, karena mereka menginginkan hasil terbaik dari ilmu yang mereka gali, petunjuk terbaik, amal terbaik, karya terbaik, sehingga Allah SWT membalasnya dengan balasan terbaik pula.

Ini harus menjadi penguat keyakinan kita bahwa Allah SWT akan meninggikan derajat orang-orang beriman yang diberi ilmu, 

يرفع الله الذين آمنوا منكم والذين أوتوا العلم درجات

"Allah mengangkat orang-orang yang beriman diantara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat." (QS. Al-Mujadalah : 11).

(M. Atim)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar