Kamis, 20 Juli 2017

MAU IKUT MADZHAB APA MAU IKUT AL-QUR'AN DAN HADITS ?

Ada sedikit khowatir (bersitan pikiran) dalam masalah fiqih,

MAU IKUT MADZHAB APA MAU IKUT AL-QUR'AN DAN HADITS ?

Sependek penelusuran saya sampai saat ini, pertanyaan ini ko rasanya tidak tepat ya. Masa madzhab dibenturkan dengan Al-Qur'an dan Hadits. Ini berarti tidak faham makna dari madzhab itu. Madzhab bukanlah suatu agama. Bukanlah menambah-nambah sesuatu yang baru (bid'ah) di luar Al-Qur'an dan Hadits. Madzhab hanyalah pemahaman dari Al-Qur'an dan Hadits sendiri. Ia adalah "metodologi dalam memahami dan berinteraksi dengan nash-nash Al-Qur'an dan Hadits". Di sana ada dasar-dasarnya, dan ada cabang-cabang yang dibangun di atas dasar itu. Makanya ia hanya berlaku dalam masalah ijtihadiyah, masalah zhonni (tidak tegas) dari nash itu. Adapun masalah yang qoth'i (tegas), bukan wilayah madzhab, seperti 6 rukun iman dan 5 rukun Islam, itu adalah hal-hal yang dasar dari agama Islam, tidak boleh diklaim madzhab tertentu.

Ilmu fiqih itu sangat mendalam, tidak bisa satu dua ayat atau hadits dalam satu masalah langsung disimpulkan, tapi perlu mengumpulkan berbagai dalil (jam'ul Adillah), kemudian diramu, lalu disimpulkan, setelah itu pun perlu memahami realitas (waqi') untuk menerapkannya terhadap peristiwa tertentu. Nah, para imam dan ulama madzhab itu sangat banyak menguasai (menghapal dan memahami) hadits, terlebih Al-Qur'an, mereka juga menguasai perangkat-perangkat untuk memahaminya dan menerapkannya.

Jadi pertanyaan yang tepat, kamu memahami Al-Qur'an dan Hadits yang zhonni dengan madzhab apa? Hanya saja di zaman ini ada orang yang berafiliasi dengan madzhab tertentu seperti sebagian orang Indonesia bermadzhab Syafi'i, dan memang sejak lama hal itu telah dikenal sebagaimana ditulis oleh Ibnu Batutah dalam kitab rihlahnya. Dan adapula yang tidak berafiliasi dengan madzhab tertentu, namun sejatinya mereka juga mengambil dari para ulama madzhab itu dengan memilih pendapat yang paling kuat menurut mereka. Namun pada hakikatnya setiap orang baik berafiliasi kepada madzhab tertentu atau tidak, berkewajiban untuk memilih dan mengikuti pendapat yang paling kuat sepengetahuannya, dan itu bisa berbeda-beda. Bermadzhab bukan berarti tidak boleh berbeda dengan pendapat imam madzhab, karena para imam madzhab itu pun mengingatkan agar jangan mengambil pendapatnya tanpa tahu dalilnya. Seperti imam Nawawi yang bermadzhab Syafi'i berbeda dalam beberapa masalah dengan imam Syafi'i sendiri, misalnya jika imam Syafi'i menganggap makruh air yang terjemur matahari, imam Nawawi tidak menyetujuinya.

Lalu, kenapa harus berafiliasi dengan madzhab tertentu jika memang diketahui banyak yang salahnya? Ya itu tadi jawabannya, bermadzhab bukan berarti tidak boleh berbeda, hanya saja metodologi yang digunakannya sama sehingga perbedaan itu tidak banyak. Dan namanya juga ijtihad pasti ada benar dan salahnya. Sama juga dengan orang yang tidak berafiliasi madzhab tertentu, ada benar dan salahnya.

Bukankah bermadzhab itu menimbulkan sikap taqlid? Jika dibaca lagi tentang peringatan imam madzhab di atas tentu tidak. Taqlid hukumnya haram bagi yang bisa memahami dalil-dalilnya, bisa berijtihad. Tapi apakah semua orang bisa berijtihad? Tentu tidak, banyak orang yang awam. Nah bagi mereka justru wajib bertaqlid, dalam arti mengikuti pendapat imam/ulama yang dipercaya ilmunya meskipun ia sendiri tidak tahu dalil-dalilnya, berdasarkan ayat, "Tanyakanlah kepada ahli ilmu, jika kalian tidak mengetahui".

Lalu bukankah pendapat imam-imam madzhab itu banyak tidak ada dalilnya? Ketika kita bertanya, apa dalilnya? Perlu diketahui, dalil dasar itu memang Al-Qur'an dan Hadits, tapi kan ada dalil yang lain yang dipahami dari dua sumber itu juga seperti ijma, qiyas, istishhab, saddu dzaro'i, dll. Belum cara beristidlal dari dalil itu seperti memahami manthuq-mafhumnya, muthlaq-muqoyyadnya, 'am-khosnya, dan sebagainya. Termasuk juga memahami qowa'id fiqih dan maqoshid syar'inya. Lagi pula apakah pantas kita menuduh para imam madzhab seperti imam Abu Hanifah, imam Malik, imam Syafi'i, imam Ahmad, yang tinggi keshalihan dan ilmunya, mereka berkata dalam urusan agama ini tanpa ilmu? Padahal kata Allah, tidak ada yang lebih zalim daripada orang yang mengadakan kebohongan terhadap-Nya. Di samping kita meyakini bahwa mereka tidak ma'shum.

Jadi, bisa jadi kita mendengar atau membaca ada pendapat imam Madzhab lalu tidak ada dalilnya, hanya karena kita tidak tahu saja, bukan benar-benar tidak ada. Ketika kita mempelajari fiqih melalui madzhab tertentu, karena memang madzhab itu adalah suatu madrasah pembelajaran fiqih, kita misalnya mempelajari matan-matan yang berisi pendapat tanpa dalilnya, maka jangan terburu-buru memvonis tidak ada dalilnya. Karena matan itu sendiri bervariasi, ada yang menyebut satu pendapat saja, ada yang menyebut perbedaan pendapat di satu madzhab itu, ada yang menyebut dengan dalilnya, dan sebagainya. Lagi pula pembelajaran fiqih dalam madzhab itu sangat sistematis, ada tahapannya, tahap awal memang biasanya dengan matan yang berisi kesimpulan-kesimpulannya agar mudah dihapal, dan biasanya guru yang mumpuni akan menjelaskan dengan dalil-dalilnya, setelah itu mempelajari syarahnya, lalu kemudian membandingkan dengan madzhab lain, lalu mentarjih (mengambil yang lebih kuat). Seperti dalam madzhab Syafi'i, kita pertama belajar matan Abu Syuja', lalu syarahnya misalnya Kifayatul Akhyar, yang dijelaskan disana dalil-dalilnya dan perbedaan pendapatnya, lalu belajar juga Al-Wajiz imam Ghazali dan Al-Minhaj imam Nawawi yang permasalahannya lebih meluas lagi, lalu Al-Majmu Syarah Muhadzdzab karya imam Nawawi yang merupakan perbandingan (muqoronah) dengan madzhab lain serta mentarjih pendapat. Dan perlu diketahui juga, ilmu fiqih semakin berkembang seiring adanya permasalahan-permasalahan baru di setiap zaman yang memerlukan ketelitian dalam berijtihad.

Wallohu A'lam.

Ada yang mau mendiskusikannya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar